"Kau masih tidak mau mengatakannya padanya?" seorang pria muda berambut pirang terlihat duduk di salah satu sofa yang ada di bar itu. Salah satu tangannya memegang gelas berisi wine dan tangan satunya bersandar pada pinggiran sofa yang dilapisi kain beludru hitam itu. Kedua mata biru safirnya menatap pria seumurannya yang sedang duduk dengan posisi menunduk di depannya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Pria yang satu, seorang pria berambut hitam dan beramata hitam onyx yang sedang menuangkan minumannya ke dalam gelasnya hanya menyahut pertanyaan itu dengan dengusan pelan. Dia kemudian bersandar pada sandaran sofa di belakangnya. Mereka berdua seolah tidak menghiraukan keramaian yang ada di sekitar mereka. Dentuman musik, teriakan orang-orang, dan suara gelas yang beradu.

"Ini sudah ulangtahunnya yang kesepuluh, kau tahu?" kata pria berambut kuning itu lagi.

Pria bermata gelap itu meneguk minumannya sampai habis dengan sekali tegukan. Dia lalu menatap pria di depannya dengan tatapan kesal.

"Aku tahu, Naruto. Aku ayahnya," katanya gusar. Dia kembali menuangkan minuman ke gelasnya.

Sementara pria berambut kuning yang dipanggil Naruto itu hanya menghela napas pasrah.

"Aku hanya kasihan padanya. Dia selalu terlihat sedih di sekolah, Sasuke," katanya seraya meletakkan gelasnya di atas meja dan menatap pria di depannya itu.

Sasuke, nama pria berambut hitam itu, hanya terdiam dan kembali meneguk minumannya.

"Dia juga terlihat sedih di rumah," katanya kemudian, dengan wajah datar seperti biasa.

"Lalu? Kau akan menyembunyikan semua darinya sampai kapan?" tanya Naruto.

"Aku tidak tahu," jawab Sasuke enteng.

Naruto kembali menghela napas panjang. Tangannya terulur untuk meraih botol ketiga yang akan dituangkan Sasuke ke gelasnya. Dia merebut paksa botol itu dari tangan Sasuke.

"Kau tidak boleh mabuk lagi. Cukup, Sasuke. Ayo, pulang," kata Naruto.

Sasuke tampak tidak terima. Dia hampir merebut lagi botol itu dari tangan Naruto saat ponsel di saku kemejanya berdering keras.

Sasuke beralih mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya dan melihat layarnya menyala. Sebuah pesan baru masuk.

Dari ibunya.

Sasuke segera membuka pesan itu.

"Sarada-chan sakit. Tubuhnya panas sekali. Cepat pulang."

Sasuke segera menutup ponselnya dan bergegas mengambil jasnya. Dia berdiri dari tempat duduknya.

"Aku pulang," katanya tanpa menoleh pada Naruto yang menatapnya dengan dahi berkerut.

Belum sempat Naruto membalas perkataan sahabatnya itu, sosok tinggi Sasuke sudah terlebih dulu menghilang di tengah-tengah kerumunan ornag-orang yang sedang menari dengan gerakan liar di lantai dansa.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

.

.

Warning:

OOC. Typo. Dan beberapa hal yang tidak berkenan.

.

.

DON'T Like DON'T Read!

.

.

.

.

.

.

.

.

"Jadi, karena minggu depan adalah hari ibu, aku ingin kalian membuat sebuah karangan tentang Ibu kalian. Ingat, ya? Kalian harus membuatnya sebagus-bagusnya. Karena itu adalah karangan tentang cinta kalian pada ibu kalian," kalimat panjang wanita berambut hitam bernama Shizune itu menandakan kalau pelajaran sudah berakhir hari itu. Beberapa anak sudah mulai merapikan peralatan tulisnya dan memasukkan ke dalam tas untuk bersiap pulang. Bahkan ada beberapa dari mereka yang sudah bersiap pulang sejak tadi.

"Tentu saja karanganku akan jadi karangan yang paling bagus nanti!" ujar seorang anak laki-laki berambut kuning dengan nada sombong.

"Bodoh! Ini bukan perlombaan," gertak teman satu bangkunya.

"Tapi ibuku adalah yang paling cantik di Konoha. Jadi aku pasti menang," ujar anak laki-laki berambut kuning itu, masih dengan nada bangga.

"Cih! Kalau soal itu, aku tidak peduli. Ibuku adalah yang paling kuat di Konoha. Dan juga paling ... merepotkan," timpal seorang anak laki-laki yang memiliki rambut hitam seperti nanas di bangku paling belakang.

"Dasar tidak sopan, Shikadai. Kalau ibumu mendengar itu, kau pasti akan dimarahi habis-habisan," ujar anak laki-laki berkulit pucat di sebelahnya.

Kelas jadi lebih ribut sepeninggal guru Shizune. Beberapa anak terlihat berdesak-desakan untuk keluar dari kelas dan ada yang mendorong satu sama lain sampai ada yang terjatuh.

Seorang anak perempuan berambut hitam lurus dan berkacamata masih terlihat duduk di bangkunya. Dia tampak tidak tertarik dengan keramaian di sekitarnya. Wajahnya kelihatan berkerut sambil menatap sekelilingnya dengan tatapan tidak suka.

"Ibu, ibu. Semua orang membicarakan ibu. Membuat kesal saja," batinnya.

"Sarada! Ayo, kita pulang!" seorang anak perempuan bertubuh bulat dan berkulit gelap tiba-tiba berdiri di samping mejanya. Dia menatap Sarada dengan senyum lebar di wajahnya dan membuat wajahnya semakin bulat saja.

"Kau tidak akan mengajakku membeli makanan aneh-aneh lagi kan?" tanya Sarada.

Anak perempuan yang bernama Chouchou itu menggeleng.

"Tidak. Kali ini kau pasti suka," katanya dengan riang.

Dahi Sarada berkerut. Mata hitamnya menatap anak perempuan itu di balik kacamatanya dengan tatapan penuh selidik.

"Apa?" tanya Sarada ingin tahu.

"Ada kedai anmitsu di pinggir kota. Katanya enak sekali. Aku pernah mencobanya saat berlibur ke tempat nenek di Suna dan mampir ke kedai itu. Anmitsu-nya enak sekali," kata Chouchou. Dari raut wajahnya yang kelaparan itu, tampaknya dia sedang membayangkan makan anmitsu.

"Dan kau mengajakku ke pinggir kota sekarang? Papa pasti memarahiku habis-habisan," kata Sarada. Dia mengibaskan tangannya ke arah Chouchou dan berdiri dari kursinya.

"Siapa bilang kita ke sana sendirian? Aku akan menumpang bibi Anko ke sana. Dia akan keluar kota, dan kita bisa pergi ke sana. Nanti aku akan meminta ayahku untuk menjemputku di sana," ujar Chouchou.

Sarada menatap Chouchou dengan tatapan tak percaya.

"Kau benar-benar nekat," ujarnya.

"Karena kau bilang sangat suka anmitsu makanya aku mengajakmu ke sana. Tenang, aku akan mentraktirmu. Walaupun ayahmu adalah orang paling kaya di kota ini, aku juga bisa mentraktirmu, tau?" ujar Chouchou seraya menepuk dadanya dengan bangga.

Sarada hanya menghela napas panjang.

"Terserah kau sajalah," katanya kemudian.

Wajah Chouchou berubah jadi antusias.

"Jadi kau mau?" tanyanya bersemangat.

"Asal kau berjanji menyembunyikan ini dari Papa. Dan... Paman Chouji akan menjemput kita nanti," kata Sarada.

"Kau tenang saja. Ayo, kita temui bibi Anko dulu," kata Chouchou seraya menarik lengan Sarada. Sarada hanya mengikutinya di belakang tanpa minat. Dia memang menyukai anmitsu. Dan Chouchou yang menawari akan mentraktirnya anmitsu itu bukan ide buruk.

Tapi ada yang mengganjal perasaannya saat ini.

Tugas mengarang yang baru saja diberikan guru Shizune padanya beberapa saat yang lalu.

Bisakah dia menyelesaikannya?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kedai itu tidak terlalu ramai dan hanya terlihat beberapa orang yang duduk di kursi yang tersedia di kedai itu. Beberapa pelayan yang mengenakan seragam pelayan berwarna merah marun, terlihat mondar mandir di kedai yang tidak terlalu luas itu sambil membawa nampan berisi pesanan pelanggan.

Sarada melangkahkan kakinya memasuki kedai itu, menyusul Chouchou yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kedai. Pintu berdenting pelan saat Sarada membuka pintu kayu itu.

Suasana kedai makan yang ceria langsung menyambutnya.

Beberapa pernak pernik yang menyerupai permen dari berbagai jenis di belahan dunia, menghiasi setiap sudut kedai. Dindingnya bahkan dilapisi kertas dinding bercorak es krim. Sarada masuk kedai itu dengan pandangan takjub.

"Halo, adik-adik manis. Kalian ingin memesan sesuatu?" seorang pelayan berambut coklat panjang langsung menyambut mereka berdua. Pelayan perempuan yang usianya masih muda itu menatap mereka seraya menyunggingkan senyum ramah.

"Bisa kami duduk dulu?" tanya Sarada.

"Oh, ya. Tentu saja. Ada kursi kosong dekat jendela. Pemandangan dari sana bagus," kata pelayan itu seraya berjalan mendahului mereka.

Sarada dan Chouchou mengikuti pelayan itu.

Saat mereka sampai di tempat yang dimaksud, Sarada segera duduk di sana dan menatap keluar jendela. Jendela di dekatnya berhadapan langsung dengan halaman belakang kedai itu. Ada sebuah pohon sakura yang tumbuh di sana. Dan tampak beberapa kuncupnya yang siap mekar. Musim dingin baru saja berlalu, dan musim semi sudah mulai menggeliat bangun dari tidur panjangnya.

Chouchou sudah mulai memesan banyak makanan. Mulai dari es krim, dango dan beberapa coklat. Tapi Sarada hanya memesan anmitsu, dengan sedikit es krim, karena cuaca masih agak dingin.

"Wah, kebetulan sekali. Hari ini pemilik kedai akan datang ke sini. Dia juga penyuka anmitsu sepertimu," kata pelayan itu.

"Benarkah?" Chouchou menatap pelayan itu dengan tatapan riang.

"Yah. Kalian tunggu di sini dulu, ya? Pesanan akan segera diantar," ujar pelayan itu seraya berjalan meninggalkan meja mereka.

Sarada kembali menatap keluar jendela. Ke arah bunga sakura yang ada tumbuh di halaman belakang itu. Ada beberapa bunga lain yang tumbuh di sekitanya, tapi pohon sakura yang berdiri di tengah-tengah tanaman lain itu menarik perhatiannya.

"Ada apa, Sarada? Kau terlihat murung sejak tadi," kata Chouchou, menatap ke arah Sarada dengan tatapan ingin tahu.

Sarada tidak segera menoleh maupun menjawab. Dia masih menatap ke arah pohon sakura itu, tapi perasaannya kembali tercekat.

"Aku sedang memikirkan tugas yang diberikan guru Shizune," jawabnya kemudian.

"Ah, yang tentang karangan itu, ya? Aku juga bingung harus menulis apa. Apa aku harus bilang kalau ibuku suka sekali berteriak-teriak dan memarahi para tetangga yang suka mengatai ayahku gendut?" Chouchou mengerutkan dahinya, tampak sedang berpikir keras.

Sarada tidak menatapnya. Dia mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat.

Ibu? Orang seperti apa dia? Dia bahkan tidak tahu seperti apa ibunya.

Sarada masih menatap pohon sakura yang ada di halaman belakang itu saat matanya menangkap sosok seorang perempuan yang berjalan di bawah pohon itu. Sarada menatap sosok itu dengan dahi berkerut. Sosok perempuan itu mengenakan mantel hangat yang panjang dan beanie yang menutupi kepalanya. Perempuan itu berjalan menuju taman bunga dan berdiri menatap pohon sakura itu untuk beberapa saat.

Sepertinya perempuan itu tidak sadar sedang diperhatikan oleh seseorang karena dia tampak biasa saja dan memetik beberapa bunga di taman itu. Saat dia bergerak untuk memetik bunga yang lain, beanie-nya terlepas dari kepalanya.

Angin sepoi berhembus di sekitar perempuan itu dan memainkan rambutnya yang terlepas dari beanie-nya. Rambut sebahu berwarna merah muda yang membuat Sarada terpana untuk beberapa saat. Rambut perempuan itu sewarna dengan bunga sakura yang ada di belakangnya. Dan rambut sebahu itu sedang berkibar dengan indahnya karena ditiup angin.

"Pesanan sudah datang," suara pelayan yang mengantarkan makanan ke meja mereka, membuat Sarada tersentak dari pikirannya.

"Apa, sih, yang kau lihat dari tadi?" tanya Chouchou penasaran, seraya ikut menoleh keluar jendela.

"Ah, itu dia," kata pelayan itu seraya meletakkan pesanan ke atas meja.

Sarada menoleh ke arah pelayan itu dengan dahi berkerut.

"Apa?"

"Itu pemilik kedai ini," jawab pelayan itu seraya tersenyum dan meninggalkan mereka berdua.

Chouchou langsung menyantap makanannya tanpa menunggu diperintah.

Sarada kembali melihat keluar jendela. Tapi perempuan berambut merah muda itu sudah tidak ada lagi.

Dia menatap anmitsu-nya dengan enggan. Biasanya dia akan langsung menyantap makanan kesukaannya ini dan menghabiskannya sekaligus. Tapi baru kali ini dia merasa tidak minat dengan anmitsu. Banyak hal yang terjadi hari ini dan membuat selera makannya hilang. Satu, tentang tugas karangan itu. Dan yang kedua, entah kenapa dia penasaran sekali dengan perempuan berambut merah muda yang dilihatnya tadi.

"Kenapa kau tidak makan?" Chouchou menatap Sarada dengan tatapan cemas.

"Ah, ya," sahut Sarada seraya menyendok anmitsunya. Dia memang tidak sedang ingin makan. Tapi mengingat kalau Chouchou sudah jauh-jauh membawanya ke sini dan mentraktirnya, dia tidak mau mengecewakan temannya itu.

Sarada menyendok buah stroberi dengan pikiran yang masih dipenuhi dengan tugas karangan dan bayangan perempuan berambut merah muda tadi.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sarada tidak bisa tidur malam ini. Seharusnya dia sudah tidur dan berada di alam mimpinya. Tapi tugas mengarang itu benar-benar memenuhi pikirannya kali ini. Biasanya kalau dia tidak bisa mengerjakan tugas sekolah, dia bisa bertanya pada salah satu orang di rumah itu. Ayahnya tentu tidak akan mengeluh untuk mengajarinya tugas sekolah yang tidak dia paham. Bahkan kakek-neneknya pun tidak akan menolak kalau Sarada minta tolong pada mereka. Tapi tidak untuk tugas kali ini.

Sarada bahkan tidak berani bertanya pada siapapun untuk tugasnya ini.

Karena dia tahu jawaban semua orang kalau dia bertanya tentang ini pada mereka.

Wajah mereka akan mengeras. Raut kesedihan langsung terpancar di wajah mereka. Dan ayahnya tiba-tiba berubah jadi murung sepanjang hari.

Maka dari itu, Sarada tidak pernah bertanya hal ini lagi pada mereka.

Sarada berjalan menuju dapur dengan langkah pelan. Dia tidak mau membangunkan semua orang di rumah ini. Karena rumah ini masih berbentuk rumah tradisional yang menggunakan lantai kayu sebagai tempat berpijak, dia harus melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Seluruh ruangan di rumah itu gelap karena lampu sudah dimatikan.

Sarada berjalan sambil meraba-raba dinding.

Saat langkahnya sudah sampai di dapur, dia sedikit kaget karena melihat sosok ayahnya sudah berdiri di depan lemari es yang terbuka. Ayahnya juga sama kagetnya dengannya.

"Sarada? Kenapa kau bangun malam-malam begini?" tanya ayahnya seraya menutup pintu lemari es. Dia mengeluarkan sebuah botol dari dan meletakannya di atas meja dapur.

"Aku haus," jawab Sarada singkat seraya berjalan melewati ayahnya dan mengambil gelas.

"Kau terbangun karena haus?" tanya ayahnya. Kedua mata hitamnya menatap Sarada dengan tatapan lembut.

"Papa baru pulang?" Sarada balas bertanya pada ayahnya. Dia menuangkan air minum ke dalam gelasnya dan meneguknya sampai habis.

"Yah. Kau sepertinya benar-benar sedang kehausan," kata ayahnya seraya mengusap kepala Sarada.

"Hm," sahut Sarada seraya mengangguk.

Ayahnya menatap Sarada dengan wajah bingung. Ada yang aneh dengan raut wajah Sarada.

"Ada yang sedang menggangu pikiranmu?" tanya ayahnya, seraya duduk di samping Sarada.

Sarada tidak segera menjawab. Dia terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

"Aku tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan Shizune-sensei," jawab Sarada kemudian.

Ayahnya mengangkat alisnya dan menatap Sarada dengan tatapan bingung.

"Kau bisa bertanya pada baa-san kalau tidak mengerti kan? Papa akan mengajarimu kalau kau tidak tahu," kata ayahnya dengan suara lembut.

Kedua bibir Sarada terkatup rapat.

"Tapi ... Aku tidak ingin membuat semua orang sedih lagi," ujarnya kemudian.

Ayahnya mengerutkan dahi menatapnya.

"Apa maksudmu?" tanyanya bingung.

Sarada kembali terdiam untuk beberapa saat. Dia tidak tahu harus memulai dari mana.

Tapi dia harus melakukannya. Atau dia pergi ke sekolah tanpa tugasnya.

"Shizune-sensei mengatakan kalau aku harus membuat sebuah karangan. Sebentar lagi hari ibu. Jadi setiap anak-anak harus membuat karangan tentang ibu mereka. Tentang kasih sayang kita kepada ibu," jawab Sarada kemudian seraya menunduk. Dia tidak berani menatap ayahnya.

Ayahnya sekarang pasti menatapnya dengan pandangan itu lagi. Tatapan kaget, sedih dan marah yang bercampur jadi satu. Tapi Sarada tidak bisa menjawab yang lain. Dia butuh bantuan orang lain untuk bisa mengerjakan tugasnya.

Mereka masih terdiam di ruang dapur itu untuk beberapa saat, tanpa ada yang bicara di antara mereka. Hanya tedengar hembusan napas berat ayahnya.

"Papa... Kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku, seperti apa Mama?" tanya Sarada kemudian.

Dia tahu pertanyaannya itu akan semakin memperburuk keadaan. Tapi dia sudah lama memendam hal ini. Dia hanya ingin tahu. Saat semua anak seumurannya tahu seperti apa ibunya, kenapa dia sama sekali tidak tahu seperti apa sosok ibunya?

"Apa dia juga mengenakan kacamata sepertiku? Apa matanya juga hitam sepertiku?" tanya Sarada dengan rasa ingin tahu yang menggebu.

Dia melirik ayahnya dengan takut-takut.

Dari sudut matanya, dia bisa melihat ayahnya tampak berat hati menjawabnya. Ayahnya mengusap kepalanya dengan perlahan.

"Ibumu adalah wanita yang hebat," jawab ayahnya kemudian.

"Tapi kenapa dia tidak ada di sini? Kenapa kau sama sekali tidak memiliki fotonya?" Sarada kini benar-benar menatap ayahnya.

"Karena kami tidak bisa bersatu lagi," jawab ayahnya kemudian.

Ayahnya tampak kelihatan sedih. Sorot matanya tidak setajam biasanya.

"Kenapa kalian tidak bisa bersatu?" tanya Sarada, masih dengan keingintahuan yang belum terjawab.

Ayahnya kini tampak frustasi.

"Sarada, bisakah kita tunda pembicaraan ini sampai besok pagi? Ini sudah larut. Dan kau harus segera tidur. Ayo, aku antarkan kau ke kamar," kata ayahnya seraya berdiri dari tempat duduknya dan menarik lengan Sarada untuk mengikutinya.

Sarada tidak menjawab. Dia hanya pasrah saat tangan ayahnya menggenggam tangannya dan menarinya untuk pergi ke kamarnya.

Saat mereka sampai di depan kamarnya, ayahnya berjongkok di depannya dan mengecup keningnya.

"Jangan terlalu dipikirkan. Bayangkan saja, ibumu adalah orang yang baik seperti nenekmu. Jadi, kau bisa menulis karangan itu. Percayalah. Ibumu orang yang sangat baik dan juga.. cantik sepertimu," kata ayahnya.

Walaupun kata-kata itu tidak menuntaskan rasa penasaran Sarada, Sarada akhirnya tersenyum lega juga. Dia mencium pipi ayahnya sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya dan mulai membungkus tubuhnya dengan selimut tebal.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sarada sedang membantu neneknya membersihkan gudang di belakang rumah, saat matanya melihat tumpukan album lama yang dikumpulkan jadi satu dalam sebuah kardus.

"Nenek, ini apa?" tanya Sarada seraya menunjuk kardus itu.

Neneknya yang masih berkutat dengan beberapa kardus lain, tampak memicingkan mata menatap kardus itu.

"Ah, itu barang-barang milik ayahmu. Foto-foto milik ayahmu saat masih kecil sampai sekolah menengah dulu," jelas neneknya. Wanita itu kembali berkutat dengan kardus lain dan mempersiapkan kardus baru.

Sarada menyeret kardus itu untuk dibawa keluar. Kardus yang sudah bolong di sana sini karena dimakan ngengat itu akan diganti dengan yang baru. Dan beberapa barang yang tidak terpakai akan dijual ke penjual barang bekas.

"Nenek, ini–"

SRET!

Belum sempat Sarada menyelesaikan kalimatnya, kardus yang dibawanya langsung terjatuh dan membuat barang-barangnya terjatuh. Kardus itu sudah usang, bagian bawahnya sudah tidak kuat untuk menahan berat barang yang ada di dalamnya.

"AH!" Sarada berseru frustasi.

Dia segera memberesi barang-barang itu dengan cepat, mengabaikan debu yang mulai berterbangan di sekitarnya.

Saat dia mengambil kembali barang-barang yang terjatuh itu dan merapikannya lagi, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya.

Sebuah foto yang terselip di antara sampul album.

Sarada menarik foto itu keluar.

Tampaklah sebuah foto ayahnya yang masih menggunakan seragam sekolah dengan seorang gadis.

Sarada mengerutkan dahi menatap foto itu.

Di foto itu tampak ayahnya sedang berdiri dengan sikap tenang dan wajah datar seperti biasanya, dan ada seorang gadis yang merangkul lengannya dengan erat sekali.

Gadis itu memiliki rambut merah panjang dan kedua matanya berwarna ruby di balik kacamata berbingkainya.

'Seorang gadis berkacamata?' batin Sarada penuh selidik.

"Sarada-chan?" panggil neneknya.

Sarada segera mendongak.

"Nenek, ini foto siapa?" tanya Sarada penuh ingin tahu, seraya memperlihatkan foto itu kepada neneknya.

Raut wajah neneknya tiba-tiba berubah saat melihat foto itu.

Kedua dahinya berkerut dan menambah kerutan yang sudah ada di wajah tuanya.

"Nenek?" Sarada kembali bertanya dengan nada mendesak.

"Cepat kembalikan itu ke tempatnya semula, Sarada," kata neneknya.

"Ini siapa?" Sarada masih bertanya dengan nada penuh ingin tahu. Dia ingin tahu kebenarannya.

Siapa perempuan berkacamata ini? Apakah dia ibunya? Apakah dia adalah ibu kandungnya? Karena kacamata itu mirip sekali dengannya?

Selama ini Sarada selalu bertanya-tanya sendiri. Seluruh keluarga besarnya; kakek, nenek, paman dan juga ayahnya sama sekali tidak ada yang mengenakan kacamata. Lalu kenapa dia bisa memakai kacamata sendiri di antara semua orang itu?

Apakah karena ibunya juga mengenakan kacamata?

Jadi, apakah ini ibunya?

"Lebih baik kau tanyakan saja nanti pada ayahmu, Sarada-chan," kata neneknya.

Dia melihat wajah neneknya mulai melembut dan dia tersenyum lembut pada Sarada. Mencoba menyalurkan ketenangan pada anak itu.

Tapi Sarada terlanjur tidak bisa tenang. Dia dikuasai rasa penasaran yang menggelegak dan sudah siap akan meledak kapan saja.

Kali ini dia harus tahu kebenarannya dari ayahnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

A/N: sebenernya mau tak bikin ONESHOOT ini mah! Tapi aku udah ngantuk dan lagi batuk-batuk parah. Jadi lanjut lagi besok atau kapan2 deh, ya? Gak kuat ngetik lama2. Sori kalo banyak typo.

Fic ini terinspirasi dari kejengahan saya sama orang2 yang bilang "Sarada anak Karin karena mirip banget ama Karin dibanding Sakura". Sumpah pengen rasanya tak chidori satu2 tuh orang.

Ah, ya sudahlah.

See ya!