.

.

.

Rintik-rintik air berjatuhan dari langit kelabu yang membungkus kota dalam kegelapan. Semakin banyak air yang berjatuhan untuk mencium bumi. Angin-angin yang bertiup sedang memamerkan seberapa kuat mereka dapat menghembuskan segalanya. Karena ulah mereka, tak seorangpun penduduk kota keluar dari rumah yang aman dan nyaman. Tetapi mereka tak dapat memaksa seorang gadis untuk tunduk pada mereka. Gadis berambut merah jambu itu berjalan tenang di tengah badai yang berkecamuk. Ia sama sekali tak tampak kedinginan dalam balutan piyama tidur putih yang basah. Iris hijaunya memandang lurus ke depan, namun tergambar kekosongan yang nyata dalam kedua matanya.

Gadis itu berhenti di depan sebuah bangunan tua bergaya Eropa. Dinding batanya sudah kusam dan berlumut. Retak menjalari hampir seluruh bagian dinding. Dua tiang penyangga tampak gagah melindungi teras bangunan. Tak ada satupun jendela pada bangunan itu. Pintu kayu ek bercat cokelat tua menjadi satu-satunya pintu masuk. Pada bagian tengah, tertulis kalimat berbunyi 'Die Liebe und der Hass'. Di samping pintu, terpasang sebuah papan nama kayu yang berusaha bertahan pada dudukannya dari terpaan angin. Dalam tinta keemasan, sebuah kalimat terukir di atas papan tersebut. Die Apotheke.

Setelah terdiam beberapa saat, ia melangkah memasuki teras bangunan. Ia sampai di depan pintu dan siap untuk membukanya. Namun jauh di lubuk hatinya, ia takut. Apakah hal yang akan dilakukannya adalah tindakan benar? Ataukah ini awal dari kesalahan besarnya? Ia membulatkan tekadnya dan mendorong pintu tersebut. Ia tahu, sekali ia melangkah masuk, tak akan ada jalan keluar. Dan gadis itu pun masuk –siap menanggung konsekuensi yang menghadang.

. : Die Apotheke : .

(c) 2014

Disclaimer : Naruto is Masashi Kishimoto's. Apotheke is Kurotsune Ruuka's.

Warning! : AU. SasuSaku.

Kau patah hati? Kau disakiti oleh kekasihmu? Atau cintamu bertepuk sebelah tangan? Silakan datang ke apotek di ujung jalan untuk menemukan obat yang sesuai dengan permasalahanmu. Nona Sakura siap membantu!

. : : .


Bel yang terpasang pada pintu toko berdenting. Seorang gadis berlari memasuki ruangan bercat putih dengan ornamen fleur de lis berwarna merah jambu di dinding. Ia berhenti di depan sebuah meja counter berwarna cokelat. Di balik meja, seorang gadis berambut merah muda menyambutnya dengan sebuah senyuman. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" ujarnya lembut. Gadis berambut pirang itu mengangkat wajahnya dan menampakkan matanya yang bengkak. Ia terlalu banyak menangis. Ia mencoba membuka mulut, namun tak ada suara yang keluar.

"Ah! Sepertinya saya tahu apa yang anda butuhkan. Tunggu sebentar," ujar gadis di seberang counter.

Gadis itu menghilang di antara rak dan meja pajangan yang memuat begitu banyak obat-obatan, dalam berbagai bentuk. Beberapa saat kemudian, ia kembali muncul dengan mengenggam sebuah botol berpita kuning di tangannya. Ia menjulurkan botol itu kepada gadis berambut pirang tadi.

"Sterne untuk Nona Yamanaka yang pernyataan cintanya baru saja ditolak. Dengan ini, perasaan anda akan membaik dan anda akan mampu membuka lembaran baru," jelas gadis beriris hijau tersebut.

Ino tergagap dan berkata, "Ba... Bagaimana kau tahu? Aku bahkan belum mengucapkan apapun."

Sang gadis hanya tersenyum. "Itu karena saya sudah menjadi apoteker di tempat ini untuk waktu yang lama. Saya telah hafal raut wajah pelanggan dan permasalahan mereka," katanya. Ino melirik ke sebuah pelat hitam bertuliskan Haruno Sakura yang tersemat di blus putih sang apoteker. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum lalu menerima botol berpita kuning tersebut.

"Berapa harga... Um, apa tadi namanya?" tanya Ino sambil merogoh-rogoh saku bajunya.

Ino berharap uangnya cukup untuk membayar obat yang dipegangnya itu. Tiba-tiba terbesit sesuatu dalam benaknya. Ia bertanya-tanya mengapa ia dapat percaya begitu saja terhadap obat itu. Ia hanya pernah mendengar sebuah rumor tentang keberadaan sebuah apotek yang menjual obat ampuh untuk patah hati. Namun ia tidak pernah menemukan apotek ini sebelumnya meskipun letaknya di ujung jalan menuju rumahnya –tidak sampai ia patah hati.

"Sterne. Ah, untuk Nona Ino harganya hanya ingatan akan laki-laki yang kau suka saja, kok." Sakura mengulum sebuah senyum yang terlihat mengancam. Gadis itu mengulurkan tangannya ke depan wajah Ino dan membuka genggaman telapak tangannya. Sebuah cahaya kekuningan muncul dari tangannya. Tampak kilatan-kilatan sesuatu keluar dari kepala Ino menuju tangan Sakura. Jika dicermati, sesuatu itu tampak seperti lembaran foto. Berlembar-lembar foto bagaikan tersedot dari diri Ino dan seiring tersedotnya foto-foto itu, sinar di mata birunya mulai berubah. Lebih ceria. Bagaikan semua kesedihan dari dirinya telah hilang. "Nah, minumlah obat itu, ya."

Ino mengangguk dan langsung meminum cairan dari botol yang dipegangnya. Wajahnya menjadi lebih berseri. Iris birunya bagaikan langit cerah tanpa awan –bebas dari awan badai manapun. Senyum kecil terukir di bibirnya.

"Perasaanku jauh lebih baik sekarang! Terima kasih, nona apoteker!" ujar Ino sambil berbalik dan berjalan keluar dari toko. Ia bersenandung kecil sepanjang perjalanan pulang. Kedua iris emerald Sakura memerhatikan sosok Ino dari jendela kaca. Ia terus memandanginya sampai kliennya tak terlihat lagi. Sebuah senyum kecil terbentuk di sudut bibirnya. Namun senyum itu langsung pudar ketika ia mendengar sebuah suara dari belakangnya.

"Kerja bagus, Sakura. Tetapi perolehan emosi berkualitasmu menurun," ujar seorang wanita berambut kuning pucat. Sebuah tanda berbentuk wajik menghiasi keningnya.

"Sayang, aku tidak peduli berapa banyak emosi gelb yang kau kumpulkan. Aku butuh yang berkualitas! Rot! Aku butuh lebih banyak rot dan violett!" pekiknya sambil menatap Sakura dengan tatapan yang sulit dimengerti. Ia berjalan memutari gadis itu berkali-kali. "Dan aku butuh sebuah schwarz berkualitas secepatnya." Ia berhenti dan menatap sang gadis penuh ancaman. Telunjuknya menyentuh kening Sakura.

"Akan saya usahakan, Tsunade-sama," jawab Sakura sambil memejamkan matanya. Dalam suaranya terkandung sebuah rasa takut terhadap wanita itu. Tsunade masih menatapnya dengan tatapan tajam yang seolah-olah dapat membunuhnya. Telunjuknya makin menekan kening Sakura –seakan telunjuk itu mampu menembus keningnya dan mengoyak otaknya. Dan Sakura tahu wanita itu dapat melakukan hal seperti itu.

Dentingan bel pintu membuat Sakura lega. Sekonyong-konyong, Tsunade telah menghilang dari hadapannya. Tetapi bekas telunjuk wanita itu masih membara di dahinya –seolah rasa itu ditugaskan untuk mengingatkan Sakura akan perintah Tsunade. Ia menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikiran akan Tsunade. Bukan saatnya untuk memikirkan itu. Ada pelanggan yang harus dilayani.

Kini di hadapannya berdiri seorang lelaki beriris lavender. Sorot matanya terlihat lembut. Wajahnya dibingkai oleh helaian rambut panjang berwarna cokelat. Di dahinya terukir sebuah tato kehijauan yang menggambarkan tanda silang di antar dua garis berujung melengkung. Ia terlihat tampan dan gagah dengan badannya yang tinggi dan tegap. Tetapi Sakura tahu akan rahasia pria ini.

"Kau datang lagi. Apa lagi kali ini?" ujar Sakura dengan dingin. Tak ada keramahan pada nada suaranya. Ia berbalik badan dan berjalan keluar dari area counter apotek. Laki-laki itu tersenyum tipis dan mengikuti Sakura menuju sebuah pintu di sudut ruangan. Pintu itu tampak samar berkat warna putih dan ornamen fleur de lis yang sama seperti di dinding toko. Gagang pintunya juga bercat putih. Sehingga, jika tidak benar-benar diperhatikan, orang tidak akan tahu ada pintu di sudut ruangan.

Sakura membuka pintu tersebut dan melangkah ke dalam terlebih dahulu. Kini mereka berada di sebuah ruangan dengan banyak pintu. Semua pintu bermodel sama dan terbuat dari kayu ek, tetapi tidak ada pintu yang memiliki warna sama. Setiap pintu dihiasi oleh sebuah gambar yang berbeda-beda. Contohnya, pintu berwarna merah memiliki ukiran gambar mawar yang indah. Pintu berwarna kuning bergambar gelas kaca yang rapuh. Di langit-langit ruangan terdapat sebuah lampu gantung dengan hiasan permata berwarna-warni, seperti warna-warna pintu yang ada.

"Kali ini, apa yang kau inginkan, Neji?" tanya Sakura pada laki-laki di belakangnya. Tanpa menunggu jawaban darinya, gadis itu melangkah menuju pintu bercat indigo dengan ukiran tangan-tangan yang berusaha menggapai sesuatu.

"Tebakanmu tepat sekali, nona apoteker," jawab Neji sambil tersenyum ganjil –seperti memuji tetapi juga seperti meremehkan.

"Aku butuh obat untuk membuatnya hanya melihatku. Juga yang bisa membuatnya menjadi milikku selamanya! Oh! Juga obat yang membuatnya selalu patuh padaku! Tentenku yang manis hanya milikku seorang. Aku tak ingin kehilangannya," sambung Neji dengan gelagat seperti maniak yang berusaha memeluk sesuatu yang amat disukainya. "Buat obat yang mengikatnya padaku. Yang lebih kuat dari obat sebelumnya!" teriak Neji sambil membentangkan tangannya.

Sakura hanya menghela nafas dan membuka pintu indigo tersebut. Ia melangkah masuk dan segera menuju sebuah meja dengan bermacam-macam toples dan sepasang alu beserta lumpangnya. Di samping meja itu, ada sebuah perapian kecil dengan kuali kuningan berukuran besar. Ruangan itu terlihat gelap karena hanya ada lilin temaram yang menyala di sudut-sudut ruangan. Apalagi dindingnya bercat cokelat tua dan lantainya dilapisi karpet indigo. Di sisi lain ruangan, terdapat sebuah kursi yang menghadap ke arah meja dengan berbagai toples itu.

Sakura mempersilahkan Neji untuk duduk di kursi tersebut sementara ia berkutat di meja kerjanya. Ia mengambil beberapa tanaman dan bahan lain dari toples-toples yang ada. Beberapa ia masukkan ke dalam lumpang, sementara beberapa lainnya ia masukkan ke dalam kuali yang dipanaskan. Tangannya mulai menggerus bahan yang dimasukkannya ke dalam lumpang dengan alu. Bibirnya tampak bergerak-gerak seperti merapal suatu mantra.

"Hei Neji, apa yang terjadi dengan Tenten? Maksudku, dengan obat sebelumnya seharusnya..." ujar Sakura sambil terus menggerus.

Naji berdecih kesal. "Ia menemukan botol obat dengan pita indigo dan begitu ia melihatnya, ia seperti orang yang tersadar dari hipnotis. Ia menatapku dengan kesal dan berteriak-teriak mengataiku tak mempercayainya," ujar laki-laki beriris lavender tersebut. Ia berhenti sejenak –sepertinya ragu-ragu untuk melanjutkan perkataannya. "Ia tak mau bertemu denganku. Kemudian tadi aku melihatnya berjalan bersama Lee. Aku nggak terima Tenten tersenyum di sampingnya! Hanya aku yang akan membuatnya tersenyum, bukan orang lain!" pekik Neji sebal. Iris lavendernya dipenuhi kecemburuan.

Melihat reaksi Neji, Sakura berhenti melakukan pekerjaannya. Ia menatap ke arah Neji dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Ia meletakkan telunjuk kanannya di dekat dagu dan tangan kirinya dalam keadaan menggenggam di bawah tangan kanannya. Ia seperti mengatakan sesuatu, namun tanpa suara. Api yang menari-nari di atas lilin yang terdapat di setiap sudut ruangan mulai membesar dan menari dengan lebih bersemangat –ganas lebih tepatnya.

"Oh engkau yang dipenuhi obsesi," ujar Sakura dengan pandangan mata kosong –seolah ia tengah dirasuki oleh sesuatu.

"Serahkan perasaan obsesif dan kecemburuanmu yang membabi-buta," sambungnya sambil membuka genggaman tangan kirinya dan mengulurkannya ke arah Neji.

"Indigo lapis lazuli, kemarilah! Datanglah pada penguasamu!" pungkasnya. Seketika itu juga sebuah batu berharga melayang keluar dari dada Neji. Batu itu tampak seperti lapis lazuli, namun warnanya lebih gelap. Batu itu lebih berwarna indigo daripada biru. Sakura mengulurkan tangan kanannya dan batu itu terbang ke telapak tangan Sakura seolah menuruti perintahnya. Ia tersenyum kecil. Akan tetapi, di balik itu seperti terdapat sebuah kegetiran yang tak dapat diungkapkannya.

Seusai peristiwa itu, Neji terlihat seperti orang yang jiwanya dipisahkan dari raganya. Ia duduk diam, tak bergerak seinci pun. Pandangan matanya kosong menatap langit-langit ruangan yang bercat cokelat seperti dindingnya. Kulitnya memucat seusai kejadian itu. Namun perlahan warna mulai merambati kulitnya lagi. Matanya yang semula seperti kehilangan cahayanya perlahan mulai normal. Sekonyong-konyong, ia tersentak kaget di atas kursinya seperti orang terkena loncatan listrik. "Apa yang terjadi barusan?" tanyanya bingung.

"Tenang saja, Neji. Tak ada apa-apa, kau tadi hanya tertidur sebentar. Pasti kamu baru bangun dari mimpi buruk. Obatmu untuk Tenten tercinta sebentar lagi selesai," kata Sakura sambil meraih alunya. Ia kembali mengerjakan obat pesanan pelanggan setianya. Sekilas Sakura menatap batu indigo yang sebenarnya berupa kristalisasi perasaan Neji. Entah apa yang akan dilakukannya dengan batu tersebut.


. : : .

Langit biru terlihat cerah dengan semburat putih yang menghiasinya. Kilauan sinar matahari terpantul di sungai yang mengalir di jantung kota. Gelombang manusia berjalan hilir-mudik di atas jembatan batu yang menghubungkan bagian kota yang dipisahkan oleh sungai. Di antara gelombang manusia, tampak sebuah sosok yang mengenakan mantel dan tudung berwarna gelap meskipun cuaca terasa hangat. Ia mengenakan sepatu boots high-top dan rok selutut di balik mantel cokelatnya. Ia berjalan melintasi jembatan menuju sebuah cafe di seberang sungai. Samar-samar ia dapat melihat seorang laki-laki berambut cokelat panjang di dalam cafe.

Gadis itu kini berada di depan cafe. Ia memandangi Neji yang sedang bercengkrama bersama seorang gadis berambut cokelat dengan dua cepol. Iris emeraldnya menangkap sebuah botol kecil berpita indigo di saku jaket yang dikenakan Neji. Botol tersebut tampak kosong dan tak berisi. Kini Sakura menatap Tenten yang tengah tertawa lepas karena obrolannya dengan Neji. Untuk sesaat, terbesit rasa iri dan sakit hati pada diri Sakura. Seandainya saja waktu itu ia bisa bersama laki-laki itu, laki-laki yang dicintainya.

Ekor mata Sakura menangkap sesosok laki-laki yang familier. Ia langsung menoleh ke arahnya, namun laki-laki itu telah tertelan lautan manusia yang berlalu-lalang di jembatan. Ia hanya dapat melihat sebagian punggung dan kepala laki-laki itu dari kejauhan. Hanya punggung dan kepalanya saja sudah mampu memberi sensasi kejutan listrik pada diri Sakura. Ia mengenalinya. Ia mengenali punggung itu. Ia mengenali rambutnya dari belakang. Ia tak mungkin salah mengenali orang itu. Laki-laki itu.

Kekuatan seperti disedot dari kedua kakinya. Ia jatuh terduduk di atas trotoar. Sakura tak peduli apa yang dipikirkan orang yang lewat. Ia hanya peduli satu hal: Sasuke masih hidup. Ia yakin laki-laki yang barusan dilihatnya adalah Sasuke. Rambut gelapnya yang berantakan dan mencuat ke belakang itu khas. Dan Sakura baru saja melihatnya lagi, meski hanya sekilas. Perasaan menyesal membuncah di hati Sakura. Andai saja ia bertemu dengannya lebih awal, Sakura tidak harus melangkahkan kakinya ke dalam bangunan itu –bangunan dengan pintu bertuliskan Die Liebe und der Hass yang ia masuki. Andai saja ia tahu Sasuke masih hidup sebelum ini, Sakura tidak harus berurusan dengan Die Apotheke yang terkutuk.

"Oh? Penyesalan rupanya?" bisik sebuah suara di telinganya.

Angin dingin serasa merayapi tengkuk Sakura ketika wanita itu berbicara tepat di sebelah telinganya. Sakura tidak berani untuk menoleh ke arah Tsunade. Ia terlalu takut untuk berhadapan dengan wanita tersebut.

"Kau tahu, Sakura? Dia hanyalah mayat hidup. Aku mengabulkan permintaanmu, sayangku. Aku tak membiarkannya mati, kan? Sesuai dengan janjiku ketika kau pertama datang ke apotek," ujar Tsunade sambil meluruskan punggungnya. Telinga Sakura tak lagi berada tepat di samping bibirnya. Iris hazelnut miliknya memandangi gadis yang masih mematung di depannya.

"Kau mau bukti? Oke," kata Tsunade kemudian membisikkan beberapa kata yang terdengar asing.

Sakura terburu-buru berdiri dengan sempoyongan ketika ia melihat seorang laki-laki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Wajah tirus yang tampan itu. Rambut biru gelap bermodel ayam itu –serius deh, bagian belakang rambutnya yang mencuat ke belakang benar-benar seperti pantat ayam. Iris onyx yang berkilat dengan egonya yang tinggi itu. Ia berlari ke Sasuke sekuat tenaga. Ia mengulurkan tangannya ke depan, berusaha meraih lelaki itu.

"Sasuke!" teriaknya bahagia. Kedua matanya berkaca-kaca. Senyum terukir di bibirnya. Tudungnya telah lama terlepas saat ia berlari ke arah laki-laki itu. Kini ia berada di depan Sasuke. Tangannya menggenggam pergelangan tangan lelaki berambut indigo tersebut. Seketika senyumnya memudar. Sakura baru menyadarinya. Kulit laki-laki itu bertambah pucat dan kering bagaikan porselen. Kulitnya terasa dingin, tidak seperti manusia yang hidup. Suhu tubuhnya benar-benar abnormal. Ketika Sakura menatap ke dalam matanya, sepasang onyx tersebut tampak kosong dan tak berdasar. Kilatan ego yang biasa terpancar di matanya telah hilang.

"Sasuke... kau baik-baik saja?" tanya Sakura dengan perasaan takut. Suaranya tercekat di tenggorokan.

"Kau siapa?" tanya Sasuke dengan dingin. Meskipun iris onyx miliknya menatap iris emerald Sakura, ia tak dapat merasakan keberadaan Sasuke. Dan pertanyaan barusan benar-benar membuat hati Sakura mencelos. Ia mematung, tak sanggup untuk mengatakan apa-apa lagi. Meskipun keinginannya terpenuhi, tetapi bukan seperti ini keadaan yang ia inginkan. Saat itu, ia tahu ia terlalu egois dan berani menantang takdir, tetapi ia pikir ia mampu menanggung konsekuensinya. Sekarang Sakura tahu ia salah.

"Kau percaya sekarang, Sakura?" tanya Tsunade dengan sebuah senyum di bibirnya.

Chapter 1 : The Drugstore and The Undead – End.


Yuhuiii, aku senang sekali berhasil nyelesaikan satu chapter fic ini hohoho *w* sudah lama banget aku nggak nulis fic. Rasanya kaku dan aneh gitu, tapi seneeeeng pake banget. Waktu aku buka akunku, sedih juga sih kayanya Eternity harus discontinued soalnya udah ga ada feel *lho. Ya sudah, RnR?

Terima kasih.