Prolog

Semua orang berpikir, jika laki-laki superior akan selalu mendapatkan perempuan inferior. Di situ aku mulai berpikir, bagaimana jika yang di dapat oleh laki-laki superior adalah seorang laki-laki lain yang tak kalah superiornya?

Agregasi

.

Rate: T

.

Romance and Family

.

Warning!

Banyak karakter OOC, Typo bersebaran di mana-mana, EYD gak bener, bahasa aneh, YAOI

.

Yakuza!Akashi x Actor!Kuroko

.

Bagi yang gak suka YAOI, silahkan tekan tombol back

New York, America

New York, kota yang tidak pernah tidur. Hiruk pikuk kota semakin membising tiap jamnya. Lampu-lampu berwarna-warni mulai menyala serempak di seluruh kota. Lalu lalang orang-orang semakin ramai. Mungkin orang-orangnya pun tak akan pernah tertidur.

Kuroko Tetsuya memandang lurus ke langit malam. Secangkir teh madu hangat disesapnya. Tangan kirinya menggenggam setumpuk kertas yang dijilid berisi dialog-dialog. Menjadi aktor bukanlah pekerjaan yang ringan. Beruntunglah Kuroko hanya butuh 4 jam tidur setiap harinya.

Jepang dan America adalah dua hal yang berbeda. Orang-orang Amerika terlihat lebih sibuk dan selalu memulai hari mereka lebih awal ketimbang orang Jepang. Kuroko membaca lagi naskah dialognya sekali lagi. Ini adalah movie perdananya dan Kuroko tak ingin mengacaukannya.

Romeo and Cinderella

Judul yang cukup lucu. Bukankah seharusnya judulnya Romeo and Juliet? Tapi Kuroko memilih untuk tak ambil pusing karena penulis naskahnya sudah tak bisa diragukan lagi. Lagipula Kuroko hanya akan menjalankan perannya, dapat uangnya, dan jadi terkenal. Rasanya itu sudah cukup untuk memuaskan keinginan kedua orang tuanya.

Kuroko menutup jilidan naskah itu. Tetes terakhir teh madunya meluncur halus melewati kerongkongannya. Kuroko menutup pintu balkon apartmentnya dan melangkah masuk ke dalam. Entah mengapa ia merasa benar-benar lelah hari ini. Padahal dirinya sudah sebisa mungkin mengosongkan jadwal untuk beristirahat.

Kuroko merebahkan dirinya di atas kasur. Membiarkan pikirannya melayang, membentuk bayangan imajinatif tentang drama yang dimainkannya. Angannya mulai menyusun prediksi bagaimana film yang akan diperankannya. Adegan-adegan khayalan yang berasal dari naskah yang ia baca mulai bermunculan. Membuatnya sedikit lebih mudah mendalami sosok Romeo melalui sudut pandangnya.

Angannya mulai membentuk sebuah opera. Dengan bubuhan simfoni yang indah. Sebelum akhirnya mengantarnya ke dalam opera mimpi yang tak bisa dikendalikan.

New York, America

Persetan dengan keramaian kota New York. Bagi Akashi Seijuurou, kantornya saja sudah cukup ramai untuk membuatnya pusing. Ini sudah jam sepuluh malam, tapi hampir seluruh karyawan masih hilir mudik dengan berkas di tangan mereka. Bertumpuk-tumpuk kertas terkirim masuk ke ruangan Akashi dan itu sukses membuat sang ahli waris migrain.

"Ini yang terakhir Akashi."

Midorima Shintarou, sekertarisnya, menaruh kumpulan laporan setebal kamus besar kebahasaan di hadapannya. Akashi menghela nafas lelah. Ia bahkan tak bisa melihat Midorima di balik tumpukan kertas yang sangat tinggi itu. Akashi meruntuk frustasi.

"Pulanglah Midorima. Kau pasti lelah."

Midorima berbalik tanpa mengucap salam. Sudah biasa dirinya melihat Akashi yang akan begadang untuk menyelesaikan paper-paper yang bagaikan neraka itu. Jujur saja sang pangeran tsundere ini ingin membantu Akashi-selaku pujaan hati. Tapi apa daya? Gengsi dan penyakit tsundere membuatnya urung mengungkapkan perasaan kepada sang bos.

"Kau yakin nanodayo? Ta-tapi bukan berarti aku peduli padamu ya!"

Akashi terkekeh. "Yakin. Pulanglah. Aku masih punya banyak pekerjaan yang harus dilakukan."

Midorima membungkuk sedikit kepada Akashi, kemudian berjalan keluar. Akashi menghela nafas. Iris merahnya menatap tumpukan kertas di depannya dengan putus asa.

"Aku tidak menyangka menjadi bos yakuza harus serepot ini."

Bagaimana pun juga Akashi adalah manusia. Kertas-kertas di atas mejanya terus beranak-pinak dan itu membuat kepalanya hampir meledak. Masalah terus berdatangan seakan tak ada habisnya. Akashi meraih salah satu kertas dari tumpukan di depannya, tumpukan terakhir yang di bawa Midorima. Matanya dengan teliti membaca kalimat per kalimat yang diketikkan di sana. Helaan nafas kembali meluncur. Lagi-lagi masalah yang disebabkan salah satu musuh bisnisnya.

Mata Akashi memicing tajam menatap dua baris kalimat yang dituliskan dengan tinta biru. Akashi terkekeh membaca tulisan yang di tulis di sana. Bibirnya menggumam.

"Ada-ada saja kau Midorima."

Matanya kembali beralih ke tulisan itu.

"Sepertinya kau harus mencari pacar nanodayo. Tapi bukan berarti aku peduli padamu ya!"

.

.

.

Next chapter: 1. Idiot