Selamat malam,
Di luar hujan turun rintik-rintik. Syahdu. Sayangnya yang di sini pusing karena sambil merevisi naskah laknat ini sambil nyambi main Kancolle dan terima telepon. Semoga saja ketikan ini enggak ngawur. Amin.
Kemarin saya bilang saya hiatus, ya? Ya, hitung saja yang ini sebagai pelunasan utang-piutang dengan rekan seprofesi, Yami-chan Kagami. Naskah ZKSK yang lama menyusul, ya. Kapan-kapan. Kalau ingat. (haha)
Beralih, saya cukup terkesima dengan reaksi para pembaca "I Giorni", di mana mereka ternyata enggak merestui ZKKG. Haleluya ehe. Saya sendiri secara pribadi menjadikan ZKKG NOTP terbesar dalam fandom ini. Saya meyakini bahwa Kaga adalah milik Akagi seorang. Y, yah, walaupun cukup mendukung gerakan Kaga x Houshou. /heh
Tapi percayalah, selama iman saya masih teguh pada Mikudayo, bendera AKKG akan terus berkibar, memerangi jentik ZKKG yang semakin marak di khalayak.
Saya memang dikenal sebagai pribadi yang sangat NONONONONO pada Gokkousen, tapi percayalah, saya tidak membenci ZKSK. Selama Zuikaku enggak coba-coba NTR Akagi dengan mengemis notis Kaga, saya enggak akan misuh-misuh di medsos.
Ya, virus (haha) ini memang keren. Sayangnya bisa merusak pencitraan ras senpai kalau avatar FFn saya turut saya ubah jadi (haha). Jadi, silakan nikmati saja di FB. (haha)
UPDATE:
Terima kasih atas review yang telah diberikan. Berikut saya akan menjawabnya.
Donatcchi: Enggak, kok, bukan cuma perasaanmu. Dulu pun di akun FallingtotheGround nyaris semua fiksi penggemar garapan saya memang merupakan songfic. Kan sudah saya bilang kalau ini adalah perkara utang-piutang dengan OTP tetangga, jadi bear with the incest R-18 thingy, haha. Setelah menyempatkan diri membaca beberapa bagian awal dan tengah 1Q84 jilid 1 agaknya penulisan saya sedikit terpengaruh, dan memang tidak perlu dipungkiri bahwa gaya penulisan Haruki Murakami-sensei memang sangat memengaruhi perkembangan gaya penulisan saya.
kripik himeci: Ditandakutipkan juga enggak jadi masalah, karena memang ini cerita porno.
Reppu: Kan sudah saya bilang kalau ini adalah perkara utang-piutang dengan OTP tetangga, jadi jangan pertanyakan apa saya ini tsundere atau bagaimana. Tabrak-tabrakan truk mengganggu pengguna jalan lainnya, maka dari itu mari kita lakukan pembunuhan karakter yang lebih damai. /mananya
Sip, trims untuk masukannya, bos.
Yami-chan Kagami: Karena spesial pelunasan utang-piutang di antara kita, bolehlah saya melempar kembali ciri khas anda dalam fiksi penggemar ini, haha. Saya turut menunggu kejutan AKKG garapan anda.
Snow Promenade
Ditulis oleh 生川・明
- pernyataan kepemilikan aka disclaimer -
Kantai Collection copyright by KADOKAWA GAMES and DMM - dot - com
Da aku mah apa atuh cuma tukang delusi yang akhirnya diutus untuk menulis.
- peringatan -
AU
Delusi? Delusi.
utang-piutang
saya ngapain nulis cerita kayak gini
ini OTP tetangga
- ucapan terima kasih -
KBBI
daftar main Winamp yang menarik saya kembali ke masa-masa jaya VOCALOID
otak yang suka seenaknya memunculkan ide, lalu hilang-timbul
Butiran salju kecil-kecil turun dari langit yang dingin
Hasratku kini berkabut sudah
Sepi menggelitik tubuhku tiap kali aku teringat akan hari perpisahan kita
ZUIKAKU tertegun di depan toko elektronik di jalan pulangnya dari sekolah. Matanya lurus tertuju pada deretan layar tipis nan besar di etalase sana, bukan beritikad membeli, namun tertuju pada berita yang disiarkan setiap layar itu. Di dalam layar-layar itu terpampang jelas kepala berita bertuliskan "GERMO TERTANGKAP, PENCARIAN PELACUR KASUS RUMAH PELACURAN XXX TERUS BERLANGSUNG". Ya, dengan huruf kapital tentunya. Terpampang dengan sangat jelas dan besar di sepanjang deret bawah layar, cukup untuk terbaca oleh orang yang berada di dalam mobil di belakangnya. Zuikaku meraih ponselnya dan dengan terburu-buru mencari sebuah nama. Beriringan dengan suara 'tut' panjang yang menanti jawaban dari orang di seberang sana, Zuikaku berlari secepat yang ia bisa.
SEJAK kecil keluargaku memang bukanlah keluarga yang selayaknya. Sosok ayah yang pengangguran dan kerjanya hanya berjudi di pacuan kuda, seorang ibu yang pergi ke sana-sini menipu demi meminjam uang. Satu-satunya orang yang paling manusiawi di antara kebun binatang itu adalah Kak Shoukaku. Kak Shoukaku jarang sekali berbicara. Biasanya ia hanya menggandeng tanganku menuju kamar, mengunci pintu, lalu mendekapku erat sampai kegaduhan di luar sana lenyap—jika ibu dan ayah bertengkar. Terkadang ia akan menyelinap masuk ke kamarku di tengah malam yang sunyi untuk memberiku ramen instan—jika ibu menghukumku dan tidak memberiku makan. Di lain kesempatan ia bahkan menyelipkan uang saku yang sudah susah payah ia kumpulkan di dalam kantong uangku agar aku bisa mengikuti kegiatan di luar sekolah. Meski jarang berbicara, Kak Shoukaku tidak pernah menangis. Ia hanya selalu ada di sana, menjadi malaikat pelindungku, turut membisukan kepedihan dunia kami. Bahkan saat para penagih utang membunuh kedua orang tua kami, Kak Shoukaku hanya menggandeng sebelah tanganku dan berjalan meninggalkan "masa lalu" kami dengan sebuah senyum lembut yang menghangatkan hati.
"Terpujilah para penagih utang, Tuhan memberkati mereka," adalah sebaris kalimat yang Kak Shoukaku ucapkan dengan tulus, dengan nada yang riang.
"KAK Shoukaku!"
Zuikaku membanting pintu depan kamar apartemen kecilnya dan berlari masuk mengecek seluruh ruangan, mencari sang kakak. Sayangnya yang ia temukan hanyalah absente. Dilihatnya kembali layar ponselnya; kini daftar panggil itu dipenuhi panggilan keluar kepada kakaknya, namun tak satu pun terjawab. Zuikaku melempar tasnya dan duduk menyandar pada tembok yang mendingin. Ia terlalu naif berpikir bahwa Shoukaku akan berlindung di tempatnya. Ya, berlindung. Atau lebih tepatnya melarikan diri. Semua dikarenakan berita yang Zuikaku lihat tadi. Bagaimana wajah Shoukaku terpampang jelas dalam daftar pencarian orang, bagaimana Shoukaku mampu membuatnya bertahan hidup sampai sejauh ini.
AWALNYA kami tinggal di pinggir jalan atau di kolong jembatan dan bertahan hidup dengan belas kasih yang segelintir orang berikan kala mereka berjalan melewati kami. Kemudian Kak Shoukaku mendapatkan pekerjaan sebagai pengantar susu. Setiap pagi Kak Shoukaku bangun jauh sebelum fajar terbit untuk menunaikan tugasnya. Upahnya tidak seberapa, tetapi kami sangat senang karena kami bisa meminum sebotol susu setiap pagi. Kemudian Kak Shoukaku mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai pengantar ramen. Setelah mengantar susu, Kak Shoukaku akan membawaku ke warung ramen tempatnya bekerja untuk bermain bersama anak si pemilik warung, sedang Kak Shoukaku kembali menunaikan tugasnya yang lain. Kak Shoukaku kerja dengan tekun, sejak warung buka menuju jam makan siang, hingga malam saat mi sudah habis sempurna. Melihat ketekunannya, si pemilik warung mengizinkan kami untuk tinggal di loteng rumahnya dan memberi kami jatah makan siang dan malam. Meskipun begitu, Kak Shoukaku juga tetap menerima upahnya—yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mengantar susu.
Selang beberapa bulan, Kak Shoukaku memutuskan agar aku kembali bersekolah. Aku hanya menurut. Sadar bahwa aku belum bisa melakukan apa pun untuk membantu dan hanya bisa membebaninya, aku pun memutuskan untuk menuruti setiap permintaan Kak Shoukaku. Kak Shoukaku? Ia tidak melanjutkan pendidikannya karena uang hasil jerih payahnya hanya cukup untuk membiayai satu di antara kami. Sebagai gantinya, agar ia tidak lupa, Kak Shoukaku akan selalu membantuku belajar di malam hari dan pergi ke perpustakaan atau rumah teman sekolahnya dulu di akhir pekan dan hari libur untuk belajar.
Setelah Kak Shoukaku menginjak usia 18 tahun, kami keluar dari rumah si pemilik warung ramen dan menyewa kamar di apartemen kecil ini. Kak Shoukaku tidak lagi mengantar susu, jadi setiap pagi ia ada di apartemen kami. Tetapi ia selalu keluar pada malam hari sepulangnya dari warung mi. Kupikir Kak Shoukaku telah memasuki usia di mana ia berpikir bahwa bersolek adalah salah satu kebutuhan hidup seorang perempuan sehingga ia selalu nampak elok sebelum meninggalkan apartemen. Aku salah. Salah besar. Pada suatu kesempatan, aku membuntuti Kak Shoukaku karena penasaran dengan apa yang ia lakukan setiap malam. Aku sangat terkejut kala melihat Kak Shoukaku memasuki blok kecil tempat pelacuran merajalela di distrik ini. Yang membuatku lebih terkejut adalah saat seorang pria paruh baya menyapanya dan merangkul pinggangnya seraya mereka masuk ke salah satu bangunan kusam di sana. Semuanya terjawab sudah, mengapa pada akhirnya Kak Shoukaku memutuskan agar kami keluar dari rumah si pemilik mi, bahkan bisa menyewa apartemen dan makan tiga kali sehari dengan menu yang beragam. Aku jelas geram dan melabraknya keesokan harinya. Tapi Kak Shoukaku hanya diam dan menatapku dengan sendu. Ia meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat, lalu meminta maaf karena tidak bisa menjadi kakak yang baik bagiku.
Dan siapa yang menyangka itu akan menjadi kali terakhirku bertemu dengan Kak Shoukaku?
DRRRT... drrrt...
Zuikaku terbangun kala ponselnya bergetar. Dengan masih berkunang-kunang ia berusaha membaca kanji nama di layar dan seketika terbelalak saat menyadari bahwa itu adalah Shoukaku. Segera ditekannya tombol penerima panggilan di sudut kanan deret teratas tombol-tombol ponselnya.
"Kak Shoukaku!? Kak Shoukaku ada di mana sekarang!?" pekiknya panik.
Tidak ada jawaban.
"Kak Shoukaku!? Kau di sana!? Jawab aku!" pekiknya lagi.
Tetap tidak ada jawaban.
"Kak Shoukaku..." ia mendesah, khawatir akan kakaknya.
"Sudah tenang?" sahut suara di seberang sana.
"Kak Shoukaku!" pekiknya senang kala mendengar suara sang kakak.
"Ada apa meneleponku terus seharian ini? Apa uang bulananmu belum sampai?" tanya Shoukaku dengan suara lembut khasnya.
"Bukan masalah itu," jawab Zuikaku tiga perempat kecewa karena bukannya ia turut mengkhawatirkan keadaannya, malah mempermasalahkan uang.
Tidak ada jawaban. Shoukaku menunggu Zuikaku untuk menjelaskan maksud dan tujuannya menelepon seharian tadi.
"Kak Shoukaku sekarang ada di mana?" tanya Zuikaku cemas.
"Jangan cemas. Aku baik-baik saja," jawab Shoukaku menenangkannya. Tentunya gagal.
"Bagaimana aku tidak cemas!? Wajahmu ada di setiap berita pencarian orang!" bentak Zuikaku. Air matanya rupanya mengalir sudah.
"Aku baik-baik saja," adalah satu-satunya kalimat yang meluncur dari bibir sang kakak. Zuikaku tidak bisa menuntut lebih.
Zuikaku terus menghujaninya dengan segala tanyanya, namun Shoukaku tetap menjawab dengan kata-kata yang sama. Jengkel memang. Dan pada akhirnya pun ia kehabisan pertanyaan juga. Kemudian hanya hening yang mengiringi perubahan detik durasi pembicaraan mereka.
"Zuikaku."
Zuikaku hanya bergumam menjawab panggilan kakaknya.
"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, aku akan menutup teleponnya."
Ya, tutup saja. Toh kau juga tidak ada peduli pada hatiku, batin Zuikaku.
"Belajarlah yang tekun. Sebentar lagi ujian masuk universitas, bukan?"
"Tidak usah kuliahlah. Aku akan bekerja saja agar Kak Shoukaku tidak perlu ditiduri pria paruh baya beristri terus," ucapnya tanpa berpikir.
Tidak ada jawaban dari seberang sana. Tentu saja. Kemungkinan terbesarnya adalah Shoukaku sakit hati dengan kalimat terakhir yang Zuikaku katakan.
"Lalu?"
Zuikaku terlihat bingung dengan pertanyaan yang Shoukaku ajukan.
"Lalu, kau mau kerja apa kalau hanya tamat SMA? Kau mau menjual selangkanganmu juga?"
Seluruh panas tubuh Zuikaku spontan memuncak di kepalanya. Ia benar-benar berang mendengar tanggapan sang kakak. Sambil mencengkeram ponselnya kuat-kuat, ia berteriak, "Jangan samakan aku dengan lonte macam kau! Aku masih jauh lebih terhormat daripada kau!"
"Kalau begitu menurut dan berkuliahlah dengan uangku agar kau bisa bekerja bersih nanti," jawab yang di seberang sana dengan tenang.
Tanpa salam, telepon diputus begitu saja. Zuikaku melempar ponselnya ke tembok kuat-kuat sampai berserakan penutup dan baterainya di lantai. Ia benar-benar benci. Hampir enam tahun sudah ia berpisah dengan Shoukaku, tak disangkanya sang kakak tak sedikit pun merindukannya. Tak usah merindu, mengerti isi hatinya saja tidak. Atau setidaknya itulah yang Zuikaku yakini dalam hatinya.
Sekarang pun salju yang menunggu pagi menjelang masih bersinar
Di jalan di mana sosokmu masih tertinggal, aku berlari
WAKTU kian berjalan tak mengenal kasih pada siapa pun. Natal. Tahun baru. Musim dingin tahun ini pun Zuikaku lalui dalam kesendiriannya. Ia bisa saja berpacaran dan membawa kekasihnya masuk untuk mengusir sepi, namun sayang hanya Shoukaku yang terus memenuhi kepalanya. Di saat ia memiliki banyak kesempatan untuk mengisi ruang kosong di antara jemarinya dan menghidupi masa mudanya dengan seutuhnya, ia lebih memilih untuk menapaki jalan bersalju tebal yang sedari dulu selalu ia lalui bersama Shoukaku. Setiap kali ia berhenti melangkah dan menengok ke belakang, ia hanya bisa merasa pilu karena hanya ada langkah kakinya di sana. Pun begitu, ia tetap menjalani hidup yang menyedihkan itu.
Ujian masuk perguruan tinggi pun telah berlalu. Begitu pula dengan hari kasih sayang dan musim dingin yang serupa Shoukaku itu. Kemudian ujian akhir sekolah pun turut berlalu dan kini Zuikaku hanya tertegun memandangi sertifikat kelulusan yang sedari tadi dipegangnya setengah meter dari wajahnya. Semua berlalu begitu saja, terlalu cepat, tanpa bisa ia nikmati.
Kupikir mungkin seandainya kau tak akan pernah datang ke tempat ini
Aku akan mampu mengerti arti "kesendirian"
PADA akhirnya Zuikaku memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di jurusan seni. Kehidupannya terus berjalan selayaknya kehidupan di hari-hari yang telah tertinggal di belakangnya. Hanya saja kini ia memutuskan untuk bekerja sambilan; menyibukkan dirinya sehingga ia tidak perlu berlarut-larut meratapi Shoukaku di sudut kamarnya sepanjang sisa harinya. Bukti bahwa Shoukaku masihlah hidup dan masih berkeliaran bebas di dunia ini adalah kiriman uang bulanan yang terus diterimanya secara teratur setiap tanggal 1 di tiap-tiap bulan. Sejak pertengkarannya di telepon beberapa tahun silam, mereka tidak pernah saling menghubungi satu sama lain. Ya, Zuikaku kembali habis termakan waktu. Kini ia sudah di penghujung umur kuliahnya, namun entah hati dan jiwanya tertinggal di mana. Ia hanya bisa meyakini satu hal: bahwasanya pertengkarannya dengan Shoukaku hanya menorehkan jarak yang lebih gamblang, dan membuatnya semakin merindukan sang kakak.
Sama halnya seperti malam ini. Setelah usai ia bekerja, Zuikaku melamun di ruang karyawan sambil memandangi kontak nomor Shoukaku di ponselnya. Hanya nomor telepon. Bukan foto. Bukan pesan. Kemudian yang bisa dilakukannya hanya mendesah dan berjalan pulang dengan kepala yang uring-uringan. Hari gajinya masih terlampau jauh namun ia tidak kekurangan uang sama sekali. Tugas akhirnya pun sudah hampir selesai. Namun sayang tidak dengan Shoukaku. Shoukaku secara perlahan namun pasti mengabur dari kehidupannya dan hanya menjadi bayang-bayang yang tak lagi mesti ia permasalahkan. Lantas mengapa justru kenyataan itu malah membuatnya merasa sebaliknya?
DI depan pintu kamar apartemennya Zuikaku hanya berdiri menunduk, dahi menempel pada pintu yang dingin termakan musim. Diraihnya kunci kamarnya dan dibukanya pintu di hadapannya dengan berat hati, lalu setelah ia berada di dalamnya, ia menatap ke kehampaan dunia luar dan memutuskan untuk memisahkan dirinya dari dunia luar yang begitu keji. Jika itu Shoukaku, ia pasti sangat menikmati dunia luar, terutama di malam seperti ini; ditindih pria besar berduit dan merasakan hentakan demi hentakan batang yang keras dan membara di dalam vaginanya hingga puncak kenikmatan. Tentu hangat, batin Zuikaku. Saat ini mestinya Shoukaku sudah berumur 25 atau 26 tahun dan mestinya ia sudah menikah dan menghidupi kehidupannya saja. Bahagia dengan suami dan memiliki banyak anak. Namun nyatanya wanita itu masih terus saja menjual tubuhnya demi menghidupi adiknya yang tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih. Zuikaku pun sadar bahwa ialah yang paling bersalah.
Sedang ia nyaris terlelap, Zuikaku mendengar suara ketukan di pintu apartemennya. Siapa? Apa mungkin pemilik apartemen? Tapi aku sudah membayar biaya sewa bulan ini, adalah yang Zuikaku pikirkan seraya bangkit dan melangkah menuju pintunya. Betapa ia terkejut melihat sesosok wanita berambut sewarna salju dalam balutan busana musim dingin berdiri di sana.
"...Kak Shoukaku?" panggilnya setengah bertanya.
Wanita itu hanya tersenyum lembut dan memeluk Zuikaku dengan sangat erat. Zuikaku masih mengatur semua rangkaian kejadian yang saling bertubrukan, berjejalan masuk ke akal sehatnya ketika wanita itu melepaskan pelukannya dan menatapnya dalam. Wanita itu dulu jauh lebih besar darinya, namun kini hanya sedadanya. Iris lavendelnya begitu teduh, tak berubah sama sekali. Tangan-tangannya pun masih sehangat terakhir kali mereka melilit tubuh Zuikaku. Namun. Di atas itu semua.
"Zuikaku."
Suara lembut itu adalah yang paling ingin Zuikaku dengar. Zuikaku mendekap sosok sang kakak erat. Sangat erat. Tangisnya meledak. Seluruh bencinya sirna begitu saja. Dadanya keburu sesak akan rindu yang kian berlarut-larut.
"ZUIKAKU anak yang baik."
Sedari kedatangannya sampai setelah mereka selesai menyantap makan malam, Shoukaku terus duduk menyandarkan adiknya ke dadanya, mengusap kepala sang adik dengan penuh kasih. Alaminya Zuikaku akan menolak untuk diperlakukan seperti ini, terlebih dengan segala perasaannya yang campur aduk terhadap sang kakak, namun nyatanya ia hanya diam menikmati perlakuan Shoukaku yang tak ada ubahnya dengan dulu sebelum mereka berpisah.
"Aku sudah bukan anak-anak lagi," ucap Zuikaku setengah berbisik lesu.
Pun begitu ia sama sekali tidak terlihat akan menghentikan Shoukaku.
"Jadi?" Shoukaku bertanya seraya mendekatkan wajah mereka agar bisa bertemu pandang.
Zuikaku jelas merasakan degupan keras sekali itu, namun ia tidak berupaya menjauh jua. Ia hanya sekilas membuang pandangannya ke lantai, lalu kembali menatap iris lavendel yang tak sampai sejengkal dari wajahnya itu.
"Perlakukan aku selayaknya kau memperlakukan semua pria beristri di luar sana," ucapnya lirih.
Ya, Zuikaku mengucapkannya secara sadar. Ia sadar betul dengan setiap kata yang ia keluarkan dan sama sekali tidak menyesalinya. Toh tanpa menunggu jawaban Shoukaku ia segera bangkit dan melangkah menuju dapur. Sayangnya Shoukaku bergerak lebih gesit dari yang diperkirakannya dan kini ia sudah dipojokkan ke tembok.
"Kak Shoukaku, aku harus menc—"
Belum Zuikaku menyelesaikan kalimatnya, Shoukaku sudah lebih dulu mengunci bibir yang jahat itu dengan bibirnya. Bibir-bibir itu saling mengadu sampai keduanya benar-benar kehabisan napas. Tanpa kata, Shoukaku menyeret Zuikaku dan melemparnya ke atas kasur. Setelah melepas sweter dan kemejanya, Shoukaku merunduk di atas Zuikaku.
"K, Kak Shoukaku?" Zuikaku memanggil nama sang kakak sambil menahan panas di wajahnya akibat melihat tubuh putih sang kakak yang kini terekspos secara langsung.
Tidak ada jawaban di sana.
Zuikaku berusaha mencari iris lavendel milik Shoukaku yang tertutup putih rambutnya namun betapa ia sangat terkejut kala merasakan rintik basah di pipi-pipinya. Ia meraih wajah sang kakak dan meraba pipinya. Basah. Shoukaku menangis.
"Aku memilih untuk meninggalkanmu dan hanya diam setiap kali kau menghakimiku karena aku tidak mau menjadi lemah," ucapnya terisak.
"Kak Shoukaku..."
"Setiap saat... Setiap kali aku melayani mereka, hanya bayang-bayangmu yang selalu melintas di pikiranku. Saat aku tersadar, aku terus memanggil namamu."
Zuikaku jelas tercengang mendengar pengakuan Shoukaku yang tiba-tiba itu. Ingin ia meyakini hal itu sebagai sebuah dusta manis lainnya, namun tak ada sanggup ia berupaya demikian kala jelas terlihat paras Shoukaku yang sudah kacau itu. Remuk hati Zuikaku. Itu cinta yang ada di sana. Zuikaku tidak sebegitu bodohnya untuk menyadari bahwa memang ia sesungguhnya telah jatuh cinta pada Shoukaku sejak dahulu kala. Ia pun tahu bahwa Shoukaku yang saat ini pun juga mencintainya. Jika tidak, untuk apa Shoukaku menunjukkan air matanya?
"Maaf..."
Shoukaku membelalak mendengar jawaban Zuikaku.
"Maaf karena aku telah bersikap egois selama ini, Kak Shoukaku!"
Zuikaku mendekap Shoukaku erat. Kini keduanya sama-sama menangis. Sama-sama memeluk. Di antara isakannya, keduanya saling berbisik, "Aku mencintaimu."
CAHAYA rembulan menelusuk masuk lewat jendela dan jatuh di lantai kamar apartemen yang sunyi. Di atas kasur, Shoukaku melumat bibir Zuikaku dengan penuh nafsu. Tangan-tangannya dengan bebas menggerayangi tubuh sang adik, membuat si lawan main kalah telak dan hanya bisa mendesah dan mengerang. Keduanya sudah telanjang. Jiwa dan raga. Zuikaku memutar tubuhnya menelungkup, kedua tangannya erat meremas seprai, menahan nikmat yang sungguh terlalu banyak untuk ditahannya. Dari belakang Shoukaku meraba kedua payudaranya dengan lembut. Zuikaku jelas tersentak dengan sentuhan yang tiba-tiba itu. Belum ia sempat protes, Shoukaku sudah lebih dulu membungkam mulutnya dengan gerakan meraba, menekan, dan mencubit putingnya yang sudah mengeras. Terlebih, napas berat sang kakak kini jelas terasa tepat di samping telinganya. Zuikaku hanya bisa pasrah dan tenggelam dalam kenikmatan yang tiada taranya itu. Kemudian Shoukaku memutar balik tubuh besar Zuikaku dan menyudutkannya ke ujung kasur yang bertemu langsung dengan sudut siku-siku tembok kamar. Dalam posisi setengah terduduk, Zuikaku kembali diserang; kini Shoukaku turun mencium dan menjilati daerah kewanitaannya. Zuikaku mengerang keras. Ini adalah kali pertamanya merasakan sensasi luar biasa dari persetubuhan manusia. Harus ia akui bahwa memang terkadang ia bermasturbasi sambil membayangkan sang kakak, namun sensasi saat menyentuh kemaluannya sendiri dengan sekarang, ia merasa sangat jalang. Bahkan saat Shoukaku memasukkan jemarinya ke dalam kemaluannya, Zuikaku tak sempat merasakan sakit persetubuhan pertamanya. Hanya ada kenikmatan. Hanya ada rindu. Dan sepanjang malam ia hanya bisa mencengkam bahu Shoukaku sambil terus menyebut-nyebut namanya sambil terus mendesah dan mengerang. Ia tak lagi peduli mana itu dosa.
"ZUIKAKU, bangun, aku sudah menyiapkan sarapan."
Zuikaku membuka kedua matanya dan mendapati sang kakak sudah merunduk berjarak sejengkal dari wajahnya. Tanpa berpikir panjang ia langsung mengecup bibir Shoukaku dan bangkit dari tempat tidurnya. Ia memungut pakaiannya semalam dan segera mengenakannya dan duduk di meja makan, mengambil sepotong roti bakar di meja dan menyalakan televisi.
Tok tok tok! Pintu diketuk dari luar.
"Mungkin itu pemilik apartemen. Biar aku yang membuka pintunya," ucap Shoukaku seraya bangkit menuju pintu depan.
Zuikaku masih setengah tersadar dan hanya mengekor Shoukaku lewat pandangannya. Baru ia menelan gigitan pertamanya, ia merasa ada yang janggal. Shoukaku bergeming di tempatnya berpijak, namun genggamannya pada pintu terlepas dan pintu terbuka. Kemudian Shoukaku ambruk dan terlihat seorang pria berdiri menatapnya tajam dengan sebuah pisau di tangannya.
"Kak Shoukaku!" pekik Zuikaku seraya berlari ke arah kakaknya yang kini merosot di depan kamar apartemen mereka.
"BERENGSEK! JANGAN LARI KAU!" bentaknya pada pria yang keburu melompat dari balkon mereka.
Zuikaku melupakan pria itu dan segera kembali pada Shoukaku. Dengan panik ia segera memanggil ambulans. Ia berteriak meminta tolong namun tak satu pun manusia memunculkan batang hidungnya. Nampaknya mereka sudah tahu duduk perkaranya dan tak ingin terlibat. Bagaimana tidak? Wajah Shoukaku tak pernah absen dari daftar pencarian orang—atau lebih tepatnya kriminal—di setiap berita.
"Kak Shoukaku, bertahanlah!" seru Zuikaku seraya menggenggam erat tangan kakaknya.
Shoukaku yang sudah kehilangan banyak darah hanya menatapnya dengan sisa tenaga yang ia miliki, lalu tersenyum.
"Zuikaku... anak yang... baik..." bisiknya seraya meraba sebelah pipi adiknya.
"Kak Shoukaku, jangan bicara lagi! Bertahanlah! Ambulans akan segera datang!"
Shoukaku hanya tersenyum dan menyeka air mata yang banjir mengalir di kedua pipi Zuikaku, terpatah-patah.
"Aku... sangat ber... syukur... masih sempat... menemui... mu..."
"Mereka... memang memburuku..."
"Kurasa... memang... tidak ada artinya... melarikan diri..."
Pagi itu, ketika nyaring sirine ambulans terdengar, ketika para petugas medis menghampirinya, semua sudah terlambat. Shoukaku telah meninggalkan dunianya yang gelap, kini menghadap Tuhan. Entah akan dijebloskan ke neraka yang mana.
...Andaikan saja kau bisa terbang dengan kedua sayapmu...
Dunia yang kau hadapi pastilah lebih cerah dan berwarna
Adakah kau lihat bintang-bintang yang membentang luas di atas sana?
...Ingatlah jalan setapak bersalju yang dulu kita lalui bersama...
KAKINYA terus melangkah menapaki kompleks pemakaman di sudut kota yang terasing. Ia berhenti melangkah di depan tiga makam yang berjejer dengan kanji 'kaku'—burung bangau—terukir di setiap makamnya. Zuikaku hanya berjongkok di depan salah satunya. Di sana terukir jelas nama Shoukaku. Semua terasa terlalu cepat baginya. Ketika ia dibuat kosong sampai benar-benar kerontang, Tuhan mengembalikan satu-satunya bunga kehidupannya, membuatnya menyadari setiap fungsi dari kekosongan di setiap bagian tubuhnya. Kemudian dalam sekejap itu juga Tuhan merebut bunga kehidupannya. Untuk selamanya. Zuikaku tak lagi tahu mesti merasa bagaimana dan harus menyalahkan siapa. Ia melangkah mendekati ukiran kanji nama kakak sekaligus wanita yang sangat ia cintai, mendaratkan sebuah kecupan dalam di sana. Kasar. Keras. Tak ada lagi bibir Shoukaku yang lembut, yang akan balas melumat saat mereka berciuman.
"Hei, Kak Shoukaku," bisiknya.
"Apa di neraka salju juga menumpuk seperti di jalan setapak yang biasa kita lalui?" tanyanya dengan nada bergetar. Air matanya kembali deras mengalir.
...Musim dingin telah kembali...
Kata-kata puitisnya cuma terjemahan saya dari lagu berjudul sama. Asli nerjemahin Jepang-Indonesia kalau lagunya bukan lagu yang mainstream di pasaran bikin sakit pantat juga. Untung di album unduhannya disertai video berlirik. (haha)
Snow Promenade merupakan lagu ciptaan Yuu-P yang dirilis pertama kali pada tahun 2008, dinyanyikan oleh Hatsune Miku, dan di tahun yang sama pula mendapat aransemen ulang dari P∴Rhythmatiq, dirilis ke dalam album bertajuk "P∴Rhythmatiq EXTRA". Penjelasan lebih lanjutnya sila dicari sendiri, atau mungkin nanti pagi saya perbarui. *ngantuk parah*
Snow Promenade ini kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia menurut saya pribadi kurang puitis, karena saya enggak berhasil menemukan frasa yang lebih baik dari "jalan bersalju", sedang menurut saya penyebutannya dalam bahasa Jepang sangatlah romantis, yakni "yuki no sanpomichi". Artinya? Ya sama. (haha)
Hubungannya sama Kancolle? ENGGAK ADA. (haha)
Sebenarnya ini sudah kelar sejak beberapa hari lalu, tapi apalah daya saya gatal utak-atik sana-sini, jadilah baru selesai sekarang.
Dengan ini saya nyatakan perihal utang-piutang sudah lunas.
Dah, saya mau mempersiapkan pernikahan saya dengan Houshou tanggal 7 nanti. Ini serius btw. (haha)
