Tribute to CLAMP


Siang ini begitu terik. Tetapi, dua cewek manis itu tetap setia menunggu seseorang yang dinanti.

"Tomoyo-chan, kamu sudah yakin?" tanya si cewek yang berambut bondol warna cokelat keemasan. Yang ditanya mengangguk yakin.

"Hai, Sakura-chan. Aku yakin sekali. Dan sekarang jantungku rasanya deg-degan sampai mau copot," jawab cewek berambut hitam panjang yang sedang dikuncir satu itu dengan mata berbinar-binar.

Hari ini menjadi hari yang penting bagi sahabat kesayangan Sakura tersebut. Tomoyo ingin mengungkapkan perasaannya kepada seorang cowok yang sudah disukainya sejak mereka baru pertama kali masuk sekolah mengengah atas. Bahkan, hingga cowok itu kini sudah berada di bangku kuliah.

Mereka memang sedang berada di sebuah kampus, Universitas Negeri Tomoeda. Padahal, mereka sendiri masih berstatus sebagai siswa kelas 3 di SMA Seijou. Kalau bukan karena permintaan sahabat baiknya ini, mungkin Sakura enggan berpanas-panas ria di tempat yang asing seperti ini.

-Flashback-

"Apa?!" Sakura setengah berteriak mendengar permintaan Tomoyo yang setengah memohon dan setengah memaksa.

"Ayolah, Sakura-chan. Aku mohon," ujar Tomoyo sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Si-siapa tadi kau bilang?" tanya Sakura hampir tidak percaya.

"Li Syaoran," jawab Tomoyo yakin. "Dia kakak kelas kita. Saat kita kelas satu, dia sudah kelas tiga. Dia sangat terkenal di kalangan siswa-siswi. Karena dia tampan, jago olah raga, pandai memainkan alat musik, kaya, dan tentu saja prestasi akademiknya sangat baik. Aku sudah menyukainya sejak dulu. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa melupakannya."

Sakura memandang wajah Tomoyo yang bersemu merah. "Kenapa kamu tidak menembaknya saat kita masih satu sekolah?"

"Kan sudah aku bilang, dia itu banyak sekali penggemarnya. Aku tidak punya kesempatan untuk mendekatinya. Kalau pun aku berani mendekatinya, pasti aku akan habis diteror kakak kelas yang juga penggemarnya. Jadi kamu mau kan menemaniku?" lanjut Tomoyo.

Sakura menganggukkan kepala mengerti. Tapi, masalahnya, kenapa dia tidak kenal orang yang bernama Li Syaoran itu? Katanya dia terkenal di kalangan siswi? 'Aku yang tidak gaul atau dia yang memang kurang terkenal?'

"Ba.. baiklah."

-Flashback end-

Sakura dan Tomoyo masih duduk di parkiran dekat sebuah mobil yang diyakini Tomoyo sebagai mobil cowok pujaannya. Tomoyo yakin sekali karena di mobil tersebut terdapat stiker berbentuk bintang dan bulatan. Seolah-olah bintang itu berada di dalam bulan purnama yang bulat penuh.

Sudah hampir tiga jam mereka menunggu seperti orang bodoh, belum lagi beberapa mahasiswa yang menatap mereka nakal, sebenarnya membuat mereka merasa risih. Tapi bagi Tomoyo, ia harus menyampaikan perasaannya, sedangkan untuk Sakura adalah ia sudah berjanji akan menemani Tomoyo sampai perasaannya tersampaikan. Makanya mereka berdua memutuskan untuk menghilangkan rasa risih itu.

Tidak berapa lama kemudian, tampak sesosok cowok tinggi dengan rambut cokelat dan mata yang juga cokelat mendekat ke arah mereka. Lebih tepatnya ke arah mobilnya sendiri yang sedang diparkir. Ia memainkan kunci mobilnya dan bersiul-siul pelan mencoba melantunkan lagu Plain White T'S yang berjudul 1234.

Tomoyo langsung menegakkan duduknya ketika melihat sosok yang diidam-idamkannya selama ini. Pelan ia menarik lengan kemeja panjang Sakura. Seakan memberi isyarat 'dia orangnya'.

'Pertama, wajahnya asing bagiku. Kedua, dia biasa saja. Ketiga, kenapa Tomoyo dan cewek-cewek –yang diceritakan Tomoyo- begitu menyukai cowok ini?'

Cowok itu membuka kunci otomatis mobilnya dari jarak dua meter sebelum ia mencapai mobil berwarna silvernya. Lalu membuka kursi bagian penumpang dan meletakkan tasnya di sana. Saat menutup pintu kursi penumpang itu dan berbalik ingin menuju kursi pemudi, Syaoran sedikit terlonjak karena ada dua orang perempuan di dekatnya.

"Ka-kak Sya-syaoran," panggil Tomoyo terputus-putus saking gugupnya. "Aa-aku adik kelas kakak di-di SMA Seijou. Nama-ku To-tomoyo. Aku ke-ke sini untuk me-mengatakan bahwa se-selama ini aku me-menyukai kak Sya-syaoran," akhirnya kalimat itu selesai juga terucap. Tomoyo menghembuskan napas lega setelah menggucapkannya.

Syaoran menaikkan alis matanya. Memperhatikan Tomoyo dari ujung kaki hingga ujung rambut. Seperti sedang memilih hewan kurban. Apakah layak atau tidak.

"Pertama, aku tidak mengenalmu. Kedua, aku tidak melihat potensi yang cukup baik darimu untuk ke depannya. Ketiga, aku tidak tertarik padamu. Permisi," jawab Syaoran santai lalu meninggalkan Tomoyo –dan Sakura- yang mematung tidak bergerak. Mesin mobil menyala. Dan sebelum benar-benar pergi, Sakura sempat memperhatikan –melototi, lebih tepatnya- Li Syaoran yang sedang memegang setir. Dan… ia sekilas tersenyum.

Sakura bergidik jijik, lalu kembali memusatkan pikirannya pada Tomoyo. Ia memegang bahu Tomoyo dan membalik badannya serta memeluk sahabatnya itu. Tomoyo pasti terluka. "Tomoyo-chan…"

Dan Tomoyo menangis di pelukan Sakura.

Kau harus merasakan akibatnya, Li Syaoran.


Sakura sudah berada di tempat yang sama seperti dua puluh jam yang lalu saat ia memeluk Tomoyo sahabat baiknya yang sedang patah hati. Mobil itu masih terparkir. Suasana parkiran cukup lengang. Mungkin karena hari ini sedikit mendung, orang-orang jadi malas menunda jam pulang mereka.

'Berarti orang itu belum pulang.' Sakura membuat kesimpulan.

Tidak berapa lama kemudian alarm kunci mocil itu berbunyi, dan sosok yang kemarin hingga kini dibenci Sakura mendekat. Sakura bersiap mengingat jurus-jurus Takwondo apa yang bisa digunakannya untuk melumpuhkan cowok tengil yang sudah menyebabkan sahabatnya itu sakit hati sampai tidak masuk sekolah hari ini.

"Kamu Sakura Kinomoto, kan?" Syaoran malah menegur duluan. Sakura sedikit terkejut. 'Kok dia kenal aku?' tanya Sakura dalam hati. Padahal jelas sekali, bahwa di sekolah Tomoyo jauh lebih terkenal dibanding dirinya.

"Hei playboy nggak punya perasaan!" Sakura memanggil seenaknya. "Kamu itu punya hati nggak sih? Kok bisa-bisanya sih ngomong hal yang kejam ke orang yang suka sama kamu? Kalau emang nggak suka, kamu bisa menolaknya dengan baik-baik. Bukan dengan ngomong hal kejam terus ngeloyor gitu aja. Kamu itu nggak punya rasa kemanusiaan tau nggak?!" hardik Sakura panjang-lebar.

Syaoran menaikkan alisnya, lalu senyum mulai terkembang di bibirnya. Bahkan beberapa detik kemudian sudah menjadi tawa yang pecah. Sakura heran apa yang lucu dari ucapannya?

"Kamu itu sekarang lagi berlaga sok jadi pahlawan buat temen kamu ya? Yang kemarin itu? Siapa namanya?" Syaoran akhirnya bisa bicara setelah tawanya reda. "Toyota ya?"

"Tomoyo!" ralat Sakura ketus.

"Ya, siapalah itu," jawab Syaoran acuh. "Begini nona pahlawan cantik. Kemarin sudah cukup jelas, aku memang tidak kenal temanmu itu, dia tidak cukup menarik, dan aku rasa dia bukan orang yang punya potensi yang cukup baik di masa depan jika kami bersama," Syaoran menjelaskan lagi alasannya kemarin.

"Tapi kan nggak usah sampe sedetail itu ngejelasin alasannya. Dia itu kemarin nangis terus sampai-sampai hari ini nggak masuk sekolah," terang Sakura.

Syaoran melangkahkan kakinya mendekati Sakura, otomatis Sakura mundur. "Aku nggak peduli, karena…"

"Karena kamu nggak punya perasaan!" potong Sakura sambil mendorong Syaoran dengan tangannya. Syaoran dengan cepat menangkap kedua tangan Sakura hanya dengan satu tangannya.

Syaoran tersenyum, wajahnya semakin dekat dengan wajah Sakura yang sedikit panik. "… karena perasaanku itu bukan buat temanmu si Tomoki itu, tapi buat kamu."

Dengan segenap tenaga Sakura mendorong Syaoran hingga tangannya terlepas dan Syaoran mundur beberpa langkah. "Sakit jiwa!" Sakura berteriak, lalu meninggalkan Syaoran. Belum berapa langkah, Sakura kembali menghadap Syaoran. "Satu lagi, sahabatku itu namanya Tomoyo. Jangan suka ganti-ganti nama orang." Lalu Sakura menghilang. Menghilang meninggalkan Syaoran yang sekarang sedang tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu.


Sakura membetulkan jepit poninya yang sudah berantakan sambil berlari menuju pintu gerbang menuju halte depan sekolah. Menghindari terik matahari siang yang bisa saja membuat orang meleleh seketika.

DEG!

'Ini kan mobil…'

"Sakura-chan!" panggil suara yang saat ini tidak ingin didengar Sakura. Tidak salah lagi, mobil silver, stiker itu, dan… Sakura berusaha cepat-cepat ingin kembali masuk ke dalam sekolah. Tapi tangannya ditahan seseorang. "Sakura-chan, kenapa kamu menghindar?" tanya Syaoran.

"Kenapa kamu ada di sini sih?" tanya Sakura risih melapaskan tangan Syaoran dari tangannya sendiri.

"Aku kan alumni sekolah ini, lagipula aku ingin bertemu temanmu yang kemarin itu, si Tomato," jelas Syaoran. Sakura menggernyitkan dahinya. 'Mau apalagi dia?'

"Aku mau minta maaf ke dia…" seakan bisa menjawab pertanyaan yang ada di otak Sakura, Syaoran berkata ringan.

Sakura menghembuskan napas pelan. 'Ternyata dia nggak seburuk yang aku duga'. Sakura baru saja akan menghubungi Tomoyo yang masih ada di dalam sekolah untuk memberi tahu perihal kedatangan Syaoran. Tapi, kemudian Syaoran melanjutkan kata-katanya yang tadi memang terdengar menggantung.

"… Soalnya aku nggak suka sama dia. Tapi sukanya sama kamu," ujar Syaoran sambil tangan kirinya menggenggam tangan kanan Sakura.

Sakura merasakan wajahnya memanas. Ia malu. Pertama, ia baru pertama kali ditembak cowok di depan banyak orang. Kedua, ya ampun, ia baru sadar beberapa pasang mata –terutama perempuan- yang sudah mulai melihaatnya dengan pandangan bertanya dan sinis. Ketiga, dia itu Li Syaoran orang yang kurang dari 2 x 24 jam lalu baru saja menyakiti hati sahabatnya sendiri.

"Kamu tuh sakit jiwa tau nggak?!" Sakura mencoba berteriak, tetapi ia menahan suaranya agar tidak lebih menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

"Aku bakal bilang kalo setelah hari itu, kamu datang lagi ke kampusku. Berusaha menjadi pahlawan, tapi sayang, si pangeran bukannya jatuh cinta sama tuan putri, malah jatuh cinta pada prajurit cantik," Syaoran tidak menggubris kepanikan di wajah Sakura, tangannya masih menggenggam tangan Sakura meskipun ada pemberontakan dari si empunya tangan.

"Jangan pernah kamu ngomong kayak gitu ke Tomoyo-chan!"

"Minta tolong-nya mana?" goda Syaoran tanpa melepaskan tangan Sakura dalam genggamannya.

"Please.." Sakura terpaksa mengucapkannya karena tidak berani membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Tomoyo-chan jika mengetahui ini.

"Yuk!" Syaoran menarik pelan tangan Sakura untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Hah?!" pekik Sakura menolak.

Syaoran memajukan wajahnya hingga hanya tinggal beberapa dua sentimeter dari wajah Sakura. "Kamu nggak mau kan kalo si Tomobil itu melihat kita seperti ini? Dia bisa salah paham lho."

Sakura melihat arah mata Syaoran. "Astaga!"

Syaoran membukakan pintu mobilnya dan menarik pelan Sakura masuk ke dalamnya. Lalu dengan senyum sumringah ia beranjak menuju kursi kemudi. 'Gotcha!'


"Berhenti di situ. Yang pagarnya warna hitam," ujar Sakura masih dengan nada ketus. Syaoran menghentikan mobil sesuai dengan instruksi Sakura.

Sakura baru saja melepaskan sabuk pengamannya. Lalu Syaoran angkat bicara. "Sakura-chan, hari Sabtu jam 10 pagi aku jemput ya."

"A-apa?" Sakura makin bingung dengan tingkah laku Syaoran.

"Ya itu juga kalo kamu mau rahasia kamu aman sih di tanganku," lanjut Syaoran menyeringai jahil. "Kencan."

Sakura memperhatikan Syaoran heran. 'Apa sih maunya orang ini? Aneh banget.'

"Diam berarti 'iya'." Syaoran mengambil kesimpulan sendiri. 1 detik 2 detik 3 detik.

"Kamu kayaknya masih betah ya berlama-lama sama aku," goda Syaoran tidak puas-puasnya. Sakura baru sadar, untuk apa dia masih di sini, sementara pintu pagar rumahnya sudah memanggil-manggil.

Sakura membuang napas kesal. "Eh, tunggu Sakura-chan," Syaoran menahan bahu Sakura yang baru saja mau keluar. "Sun terima kasihnya mana?" Syaoran memajukan pipinya yang putih mulus seperti kapas.

Tanpa berlama-lama, Sakura menyentil kencang pipi Syaoran. "You wish!" Lalu Sakura cepat-cepat keluar dari mobil Syaoran dan tanpa menengok lagi, Sakura langsung masuk ke dalam rumahnya.

Setelah Sakura menghilang dari pandangannya, Syaoran baru merasakan sedikit nyut-nyutan di pipinya. Tapi alih-alih sakit, ia malah tersenyum. Ia menyalakan mesin mobilnya dan pergi dari rumah Sakura.


Hari Sabtu pun tiba. Sakura melangkah dengan malas menuju mobil silver yang diparikir di depan pagar rumahnya. Syaoran yang bersandar di kap mobil langsung bangkit dan tersenyum. "Berangkat sekarang?" tanya Syaoran lembut.

Sakura tidak menjawab dan tidak juga menolak. Syaoran membukakan pintu kursi penumpang dan mempersilakan Sakura duduk dengan nyaman di dalamnya.

"Kita mau ke mana?" tanya Sakura memecahkan kehengingan di antara ia dan Syaoran.

"Nowhere to go," jawab Syaoran santai. "Yang penting sama kamu," lanjut Syaoran dengan senyum yang menggoda seperti biasanya.

Sakura ingin protes, tapi ia tidak jadi. Ia malah mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Sebenernya…"

-Flashback-

"AAAAAAAAAAAKKKKHHHH….?!" Sakura teriak sekancang yang ia bisa. Penguni rumah berkumpul melihat ada apa dengan Sakura.

Penghuni rumah ini bukanlah keluarga kandung Sakura. Pasangan Nadeshiko dan Fujitaka Kinomoto memang mangangkat Sakura seperti anak mereka sendiri setelah orang tua sakura –pasangan Daidouji- meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawaat saat Sakura berumur lima tahun. Pasangan Kinomoto pun memutuskan untuk mengubah nama keluarga Sakura semenjak itu.

"Kamu ngapain sih pagi-pagi gini udah teriak-teriak?" tanya Yukito sambil memakai kaca matanya, ia anak kedua Kinomoto yang berusia 13 tahun.

"Iya, ada apa Sakura-chan?" Touya, anak sulung Kinomoto yang berusia satu tahun di atas Sakura menghampiri Sakura yang terduduk lemas sambil melihat beberapa potongan kayu yang berserakan di hadapannya.

Sakura berusaha menahan air matanya. "Rumah-rumahan pemberian ayah-ibuku. Itu… aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Sakura terbata-bata.

Nadeshiko menghampiri Sakura dan membelai lembut rambut putri angkatnya. Ia susah payah ikut duduk karena ia sendiri sedang hamil anak ketiganya yang sudah berumur lima bulan. "Sakura, biarkan rumah-rumahan itu hancur. Mungkin sudah saatnya kamu merelakan kepergian mereka. Lagipula, kamu bisa tetap menyimpan kenangan itu di sini," Nadeshiko menunjuk ke dada Sakura.

Sakura mengangguk pelan. Ibu angkatnya benar, ini sudah saatnya.

"Dan yang terpenting, kamu sudah punya rumah. Di sini," ujar Touya sambil memeluk Sakura dan membelai lembut rambut Sakura.

Sakura semakin mengerti. Ia mengangguk pelan lagi.

-Flashback end-

"Jadi, kita akan mencari tempat yang mungkin bisa membetulkan rumah-rumahan ini?" tanya Syaoran setelah mendengar cerita Sakura. Ia jadi sedikit iba pada Sakura, bukan hanya karena rumah-rumahan yang bagian atapnya rusak itu, tapi juga kenyataan bahwa orang tua Sakura sudah tidak ada lagi.

"Itu juga kalo nggak ngerepotin sih," Sakura berkata pelan karena sedikit malu.

"My pleasure, princess."


"Haah…" Sakura menghempaskan tubuhnya ke sebuah ayunan di taman. Lalu menggerakkannya pelan. Syaoran ikut-ikutan di sebelahnya. "Aku putus asa. Kayaknya nggak bakalan ada deh tempat yang bisa betulin rumah-rumahan yang udah kayak kena gempa 9 SR gini," Sakura mulai mengeluh.

Syaoran hanya mendengarkan keluhan cewek manis bermata cokelat seperti dirinya itu.

"Emang udah saatnya kali ya rumah-rumahan ini dibuang. Toh, kenangan dari rumah ini nggak akan pernah ilang," ujar Sakura mengulang ucapan ibu angkatnya. "Aku jadi merepotkanmu, Li-kun."

"Tidak apa-apa. Kita masih bisa cari di tempat lain, mungkin masih ada tempat barang antik yang bisa membetulkannya," Syaoran berkata dengan tulus.

Kriuukk..

Suara itu berasal dari cacing-cacing yang demo di perutnya. Sakura menggaruk pelan rambutnya yang tidak gatal karena malu. "Ya ampun, kita belum makan dari tadi siang. Gimana kalo kita makan? Waduh, udah hampir jam enam sore, ini sih sekalian makan malam. Ehm, bagaimana kalo kita makan ramen di kedai situ. Aku yang traktir," usul Sakura.

"Di kedai? Kenapa kita nggak cari kafe atau restoran aja? Aku belum pernah makan di kedai pinggir jalan gitu," jawab Syaoran jujur.

'Bener juga, orang tajir kayak dia pasti belum pernah makan di pinggir jalan ya'.

"Tenang aja, aku jamin tempatnya bersih dan rasanya enak deh. Kamu pasti ketagihan. Ayo, Li-kun," Sakura menarik tangan Syaoran dan dengan setengah berlari menuju kedai ramen yang tidak jauh dari taman.


"Hoaamm…" Sakura membuka matanya. 'Di mana aku?'

Ia baru sadar beberapa detik kemudian. Ia masih ada di dalam mobil Li Syaoran, pemuda yang seharian ini menemaninya. Posisi kursinya sudah sedikit membujur. Pantas saja posisinya jadi nyaman.

"Pantesan badan kamu tumbuhnya ke samping, nggak ke atas. Abis makan ramen tiga mangkok besar langsung tidur. Mana lama banget lagi," ujar Syaoran dengan nada yang sulit ditebak Sakura. Menyindir, jengkel, atau… perhatian? Lho, kok perhatian? Ya jelas, kalo emang Sakura sudah tertidur lama di dalam mobilnya, kenapa tidak dibangunkan saja? Kenapa malah membuat tidur Sakura jadi lebih nyaman?

"Sembarangan kamu! Maksud kamu aku bantet gitu?" Sakura mencibir kesal. Sakura turun dari mobil Syaoran dan menghampiri tempat pembakaran sampah yang berada tidak jauh dari rumahnya. Syaoran hanya mengikutinya.

Sakura berjongkok di depan pembakaran itu dan memutuskan untuk membakar rumah-rumahan yang ada di tangannya. Semantara Syaoran dengan sabar mengikutinya.

"Li-kun, makasih ya untuk hari ini," ujar Sakura setelah memastikan rumah-rumahan penuh kenangan itu menjadi abu. Sakura baru saja mau bangun dari jongkoknya. Tetapi tangan Syaoran menahannya hingga Sakura kembali jongkok. Menghadap Syaoran.

Wajah Syaoran yang begitu dekat dengan wajahnya membuat jantung Sakura begitu berdebar. Semburat merah terlihat di mata cokelat keduanya. Mereka saling menatap. Syaoran membelai pipi Sakura yang sedikit keabuan karena abu dari pembakaran. Pelan tapi pasti Syaoran memajukan wajahnya mendekati wajah Sakura.

Sakura memundurkan sedikit kepalanya. Ia yakin wajahnya sudah sangat panas dan memerah, untung saja tertutupi pembakaran yang ada di dekat mereka. Sehingga tidak akan terlihat terlalu jelas.

'Aku harus bagaimana? Mau apa dia? Apa dia mau menciumku?' batin Sakura bertanya-tanya.

Detik kemudian adalah jawabannya. Sakura tidak bisa lagi menghindar. Syaoran memiringkan wajahnya, dan bibirnya membelai lembut bibir Sakura. Sementara Sakura hanya bisa memejamkan mata. Ia bingung sampai tidak tahu harus membuka mulutnya sebagai izin, atau tetap menutup mulutnya.

Syaoran tidak memaksa Sakura untuk memberinya jalan mengeksplorasi bagian dalam mulutnya. Syaoran tetap bersabar mengecup bibir Sakura dengan lembut dari bagian luar. Tanpa paksaan sedikit pun.

Sakura hampir kehabisan napas, ia sadar saking gugupnya ia menahan napasnya sendiri. Belum lagi ia dekat dengan kobaran api –msekipun sudah mulai mengecil apinya-. Cukup lama dalam posisi itu, akhirnya Syaoran melepaskan ciumannya.

Syaoran tersenyum, tepat di saat itu Sakura membuka mata. "Terima kasih untuk ramennya. Sebaiknya kamu masuk, ini sudah malam," Syaoran bangkit lalu membatu Sakura yang tertegun dalam posisi jongkoknya. Sebelum meninggalkan Sakura, Syaoran kembali berujar, "Mulai sekarang, bersiaplah, dan panggil aku Syaoran, Sakura-chan."

Syaoran sekilas mencium bibir Sakura sekali lagi. Membuat Sakura bergidik ngeri. 'Astaga! Apa yang dia lakukan?'


TBC