Desclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.

x

x

x

"Maaf!" ujar Sakura sambil membungkukkan badan sejauh 45 derajat di depan seorang pemuda dengan rambut pirang.

Angin gugur mengibarkan rambut merah jambunya yang mencapai pinggang. Rambut yang indah itu membuat pemuda di depannya masih terpana dan bengong di saat bersamaan. Baru saja, gadis itu menolaknya, tapi ia tetap tersenyum meski merasa sedih.

"Tak apa, Sakura-chan. Jangan seperti ini! Tegakkan badanmu!" kata Deidara, pemuda itu.

Sakura pun menuruti perkataan Deidara sebelum ia berpamitan untuk kembali ke kelas. Setengah mati siswi kelas 2 sekolah menengah atas itu menahan air matanya sampai ke kelas yang sepi. Hanya ada Hinata di sana, satu-satunya sahabat yang ia punya.

Gadis berambut hitam panjang itu memeluknya sampai ia merasa lebih tenang. Hari itu adalah hari paling menyedihkan bagi Sakura, di mana ia harus terpaksa menolak ajakan untuk berpacaran dari Deidara, sang kakak kelas yang menawan hatinya sejak awal. Cinta pertamanya.

"Sakura-chan, menurutku kau tak harus menolaknya. Kalau dia memang pemuda yang baik, ia akan menerima dirimu apa adanya. Siapa pun kau," ujar Hinata lembut.

Gadis berambut merah jambu itu menggeleng lemah. Ia merasa tak bisa untuk melakukan hal itu sebab ia yakin, cepat atau lambat Deidara akan meninggalkannya begitu pemuda itu tahu siapa dia sebenarnya.

"Kalau boleh memilih siapa yang akan menjadi orang tuaku, aku ingin menjadi anak seorang petani atau pegawai kantoran biasa. Aku tak harus berhubungan dengan dunia gelap seperti ini, Hinata-chan," ujarnya.

x

x

x

EVERY WOMAN'S (HONEST) DREAM

o

o

o

o

o

Chapter 1: Endless Misfortune; Obliviate, Disapparate!

"Selamat ulang tahun!" seru beberapa orang dengan serempak.

Kejutan pesta ulang tahun sederhana ala teman-teman kantor menyambut Sakura sepagi ini begitu ia masuk ke ruangannya. Mereka terdiri dari beberapa pimpinan dan karyawan dari masing-masing divisi di kantor tempat Sakura bekerja. Tentu saja yang paling meramaikan suasana adalah kru dan orang-orang dari divisi yang ia pimpin sebagai manajer proyek.

Betapa terharunya ia mendapati semua temannya yang sangat perhatian itu, terlebih Hinata, sahabat sekaligus pimpinan humas di perusahaan wedding organizer yang dirintis oleh pemiliknya sejak lima tahun lalu. Hinata sendirilah yang memegang sebuah kue tar berdiameter besar dan repot-repot mempersiapkan pesta kecil ini di tengah kehamilannya yang sudah memasuki bulan kedelapan.

Setelah menyanyikan dua lagu ulang tahun dengan suara yang tidak kompak, mereka berseru bersahut-sahutan, memintanya untuk meniup lilin. Tak cukup, salah seorang kru menyuruhnya untuk menyebutkan permintaan dalam hati sebelum lilin itu ditiup.

Sakura memejamkan mata beberapa saat. Entah apa yang ia doakan, namun setelahnya ia membuka mata dan memandang lilin angka 2 dan 9 itu dengan perasaan agak miris. Dua puluh sembilan. Angka yang cukup fantastis bagi seorang wanita untuk belum memutuskan kapan ia akan menikah, sementara teman-teman sebayanya rata-rata sudah membangun rumah tangga.

Untungnya, pada zaman di mana wanita telah tereuforia dengan ajaran feminisme dan modernisme, wanita yang belum menikah di umur sematang itu sudah bukan lagi hal tabu seperti di generasi orang tuanya. Namun, gerakan feminisme rupanya belum cukup kuat untuk mengikis sesuatu yang secara kodrati dan alami dirasakan oleh para wanita itu sendiri. Memiliki pasangan hidup.

Bukannya ia tak pernah menjalin hubungan dengan pria, tapi terakhir kali ia berpacaran -dan itu juga yang pertama kali- dengan lelaki dari Suna bernama Sasori dua tahun lalu, hubungan mereka harus kandas begitu Sasori mengetahui latar belakang sesungguhnya dari Sakura. Sejak saat itu, ketakutannya untuk menikah jadi semakin besar.

"Senpai, apakah kau berdoa agar kau secepatnya menikah?" tanya salah seorang bawahannya.

Dengan senyum masam, Sakura menjawab, "Apa yang kudoakan itu rahasia."

Gelak tawa memenuhi ruang yang luas itu. Mereka tidak tahu bahwa di dalam hati Sakura, ada perasaan sakit yang ia coba tutupi di balik tawa riangnya. Ini menyedihkan. Mereka hampir menebak dengan tepat. Hampir, karena yang ia doakan adalah bertemu dengan seseorang yang bisa mengakhiri penderitaan seumur hidupnya.

Pesta itu pun usai dan mereka kembali bekerja di ruangan masing-masing. Tahun ini adalah tahun yang sibuk. Begitu banyak pasangan yang akan menikah sampai-sampai Every Woman's Dream Inc. terpaksa menolak beberapa klien dikarenakan jumlah kapasitas klien yang sudah penuh.

"Sakura-chan, sepertinya bulan ini aku harus melimpahkan beberapa tanggung jawabku padamu. Naruto memintaku untuk lebih banyak istirahat," ujar Hinata.

"Aku mengerti. Jadi, apa yang harus kulakukan untukmu?" tanya Sakura.

Hinata menyerahkan selembar kertas dan sebuah dokumen berisi daftar pekerjaannya. Dalam agenda itu tertulis bahwa Hinata harus bertemu dengan seorang klien di sebuah kedai kopi di dekat kantor. Klien mereka adalah seorang wanita; calon pengantin wanita.

"Baiklah, aku akan datang sebelum pukul dua," jawab Sakura.

XxX

Tepat sepuluh menit sebelum jam perjanjiannya dengan klien, Sakura sudah duduk manis di salah satu meja di Konoha Bean Coffee Work, tempat di mana mereka akan mengadakan rapat kecil. Saat itu, suasananya sedang sangat indah dengan bunga-bunga sakura bermekaran di sepanjang trotoar dan udaranya hangat. Cocok untuk dinikmati dengan segelas coco moon. Selain dingin, kopi itu mengandung cafein yang lebih banyak sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk di jam-jam itu.

Dibolak-baliknya lembaran-lembaran dokumen berisi permintaan si calon mempelai wanita. Sudah bukan hal aneh jika wanita menginginkan berbagai macam tema untuk pernikahannya. Sakura sudah terbiasa.

Setelah sepuluh menit berlalu, seorang wanita yang kira-kira usianya lebih muda dari Sakura datang. Wanita itu tidak terlalu cantik, tetapi memancarkan aura yang menyenangkan. Tipikal wanita ceria dan optimis dengan rambut hitam pendek.

"Haruno-san?" tanyanya dan Sakura pun berdiri.

"Selamat siang, Kurotsuchi-san! Saya Haruno Sakura dari Every Woman's Dream Inc." balas Sakura sambil membungkukkan badan.

Sang calon mempelai wanita tersebut duduk bersamaan dengan Sakura. Perbincangan basa-basi pun dimulai sambil menunggu pesanan Kurotsuchi datang. Dari sana, Sakura tahu bahwa wanita itu bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Pantas saja ia begitu ramah.

Dalam benak Sakura, ia agak heran mengapa wanita dengan pekerjaan sederhana itu dapat membayar sejumlah biaya yang harus dibayar untuk konsep pernikahan yang terbilang mewah. Setidaknya perlu menjadi seorang manajer untuk bisa mengeluarkan biaya sekian, atau mungkin calon suaminya yang bisa menanggung semua biaya.

Ia buru-buru mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya bukanlah urusannya. Kewajibannya hanyalah memberikan penjelasan dan pelayanan terbaik.

"Jadi, Harry Potter, ya?" tanya Sakura.

Kurotsuchi mengangguk. "Kami sangat menyukai Harry Potter."

Jawaban itu sekilas mengingatkan Sakura akan seseorang yang pernah ia kenal. Orang itu juga sangat tergila-gila tentang semua yang berkaitan dengan Harry Potter. Entah di mana ia sekarang, Sakura tak tahu. Ia cuma bisa mengingat dan bergumul dengan pengandaian-pengandaian; andai orang itu menikah, ia mungkin akan menggunakan konsep ini. Itu pun jika ia memiliki pekerjaan dengan gaji yang cukup besar.

Pengandaian itu sayangnya bukan lagi angan-angan. Ia dikejutkan dengan kehadiran orang itu, tepat di depannya. Jantungnya berdebar sampai terasa lumayan nyeri. Cinta pertamanya ada di sana.

"Sakura-chan?" Pria itu tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Halo! Jadi, Deidara-senpai calon mempelai prianya?" balas Sakura.

Dialog standar seperti Kurotsuchi yang bertanya apa mereka saling mengenal dan Deidara yang berkata bahwa mereka satu sekolah pun berlangsung. Sakura tak suka dengan situasi ini, bukan karena ia masih menyukai pria itu. Hanya saja, ini terasa seperti bekas gigitan serangga yang meninggalkan bentol di kulit. Tidak terasa gatal, namun masih ada sesuatu yang tertinggal. Tidak sakit, tapi masih ada sesuatu yang tersisa. Seperti itulah.

Maka, semua menjadi masuk akal jika konsep yang diminta sang klien adalah tema Harry Potter. Mereka berdua memang pasangan serasi, jodoh yang pas. Keduanya suka akan hal yang sama. Berbeda dengan Sakura yang menyukai tema perpustakaan yang dihias bunga-bunga juntai atau ... .

Ia harus segera menghentikan angan-angan gilanya. Itu hanya mimpi di siang bolong. Bahkan kekasih ia tak punya, apalagi menikah. Memangnya mau menikah dengan siapa? Pria yang sedang dekat dengannya saat ini pun masih belum pasti.

Lamunannya buyar saat sang calon mempelai wanita pamit ke toilet. Wanita itu meninggalkan mereka berdua dan situasi menjadi aneh. Keduanya sama-sama terdiam beberapa saat sebelum Deidara membuka pembicaraan.

"Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kau lihat; aku luar biasa," jawab Sakura asal-asalan.

"Bukan itu maksudku. Apa kau sudah menikah?"

Bagai disambar petir, Sakura duduk dengan tubuh kaku sekaligus merasa panas. Hatinya yang panas, tapi ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

"Sendiri masih terasa mengasyikkan," jawabnya.

"Aku sempat mencari tahu tentang keberadaanmu dan semua tentangmu sebelum aku bertemu dengan Kurotsuchi," kata Deidara.

Alis rapi Sakura terangkat. Ia baru tahu kalau pria itu mencoba mencari tahu di mana dia selama ini. Pria itu pasti membutuhkan usaha keras untuk menemukannya sebab setelah lulus SMA, Sakura memutuskan untuk mengambil jurusan design interior di Cambridge School of Art. Jangan lupakan bahwa ia anak seorang pengusaha.

Ia tak tahu apakah ia harus bersyukur atau merasa benci dengan kenyataan itu. Di lain sisi, berkat usaha ayahnya yang sangat maju dan terkenal di berbagai belahan dunia itulah ia mampu membayar berapa pun biaya untuk berkuliah di sana. Di sisi lain lagi, ia benci jika ayahnya menjalankan usahanya yang sekarang.

"Bagaimana kabar Gaara?" tanya Deidara.

Pertanyaan itu tak ayal membuat Sakura terasa seperti terjun bebas ke jurang. Jantungnya mungkin anjlok ke mata kaki.

"Saudara kembarmu," lanjut Deidara.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Sudah kubilang aku pernah mencari tahu semua tentangmu, Sakura. Aku tahu kau memiliki saudara kembar bernama Haruno Gaara karena kami berkuliah di jurusan yang sama. Teknik Kimia."

Helaan napas terdengar dari bibir wanita itu. Ini benar-benar tidak baik.

"Dia bekerja di kemiliteran sebagai penjinak bom. Divisi Anti Teroris," jawab Sakura.

"Aku tahu karena akulah teroris itu," balas Deidara.

"Apa?!"

Lelaki yang sekarang memanjangkan rambutnya itu tergelak setelah melihat reaksi Sakura.

"Aku yang membuat bom untuk kepentingan militer," jawabnya.

Oh, betapa sempitnya dunia ini dan kepala Sakura mendadak pening. Mungkin beginilah rasanya vertigo. Bukan tidak mungkin Deidara juga sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pengusaha sukses.

Deidara tersenyum sambil menggeleng. Senyuman itu dapat diartikan sebagai senyuman sedih.

"Aku kecewa kau menolakku karena alasan 'itu', Sakura. Sejujurnya, Gaara memilih pekerjaan yang sekarang karena ingin memutus rantai sebagai salah satu pewaris. Sama seperti alasanmu," jelas Deidara.

Dengan kedua tangan yang sikunya tertumpu di atas meja, Sakura menopang kening lebarnya. Jelas Deidara sudah mengetahui semuanya. Tak usah diragukan lagi.

"Tapi, yang aku sayangkan kenapa karena alasan itu kau tidak menerimaku dulu. Aku menyukaimu sebagai dirimu sendiri. Aku tak peduli dengan latar belakangmu," lanjutnya.

"Hmm ... Kurasa ini bukan pembicaraan utama kita," Sakura mencoba menahan rasa kesalnya di balik nada bicara yang ia buat-buat agar terdengar ringan.

Pria itu tak tahu, Sakura membenci apa yang dibangun oleh ayahnya. Ia malu jika sampai orang-orang tahu bahwa ia adalah seorang anak dari pengusaha yang memroduksi film-film dewasa. Film panas. Lebih jelasnya lagi, film porno!

"Ngomong-ngomong, rambut pendekmu cocok untukmu. Kupikir kau hanya akan terlihat bagus dengan rambut panjang," kata pria itu sambil menunjuk rambut seleher Sakura yang sejak setelah lulus kuliah dimodel agak bergelombang.

"Ya, aku tak harus berlama-lama menata rambutku," jawab Sakura sedikit berbohong.

"Dan aku tahu kau memotong rambutmu sehari setelah kau menolakku."

Sakura butuh Harry Potter karena ia ingin amnesia lokal.

XxX

"Jelaskan siapa wanita ini!" desis seorang wanita berambut pirang dengan mata coklat yang memicing tajam ke arah Gaara.

Sakura yang duduk di depan kedua orang itu memijit-mijit batang hidungnya. Wanita yang ia sinyalir sebagai kekasih saudara kembarnya itu langsung marah dengan melarikan diri begitu Sakura memeluk Gaara dari belakang sambil meneriakkan 'Master Shifu!' saat di stasiun tadi.

Ketiganya duduk di sebuah rumah makan sederhana di seputar stasiun setelah mereka berhasil mengejar Suiren, wanita itu. Sakura paling malas menghadapi orang pecemburu, baik pria maupun wanita. Apalagi wanita. Wanita pecemburu itu merepotkan. Suiren bahkan tidak menunggu Gaara untuk menjelaskan tentang apa hubungannya dengan pria berambut merah itu.

"Ini Sakura, kakak kembarku," jawab Gaara dengan nada tenang.

Semburat merah di pipi Suiren langsung muncul. Wanita itu sudah jelas merasa malu karena prasangka buruknya dan takut kalau ia akan mendapatkan penilaian buruk dari saudari kembar Gaara. Ia pun langsung meminta maaf sambil memperkenalkan diri dengan formal.

Meski sempat sebal, Sakura tetap menyambut perkenalan itu dengan baik. Ia harus menghormati pilihan adik kembarnya itu.

"Sekali lagi, aku minta maaf telah bersikap kekanakan di depanmu, Sakura-san," ujar Suiren.

"Sudahlah, lupakan saja!" balas Sakura sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan. "Jadi, kau sedang bebas dinas selama empat hari?" tanyanya pada Gaara.

Si rambut merah mengangguk. Walaupun mereka kembar, mereka memiliki beberapa perbedaan yang cukup mencolok. Bukan hanya warna rambutnya saja, tapi juga kepribadian mereka. Gaara sangat pendiam dan tenang. Saking tenangnya, Sakura sering mengejeknya terkena masalah syaraf. Ini berbanding terbalik dengan sifatnya yang mudah diajak ngobrol. Sakura lebih ramah dan ekspresif.

Ya, kecuali saat menghadapi para pria yang berusaha mendekatinya.

Bukan tanpa alasan ia bersikap demikian. Ia harus berusaha untuk tidak dengan mudah jatuh cinta lagi setelah dua kali patah hati. Pertama adalah Deidara, lalu Sasori. Semua karena alasan yang sama; ia anak penghasil film-film porno terbesar di negaranya.

Apa kata dunia jika orang-orang yang ia kenal mengetahui hal itu? Bahkan Hinata yang sudah bersahabat karib saja sempat syok bukan main ketika pertama kali mendengar pengakuan Sakura, apalagi orang lain. Wajahnya sampai lebih merah daripada saat Naruto menyatakan cinta padanya.

"Apa Sakura-san sudah menikah?" Suiren bertanya tiba-tiba.

PRANG!

Laksana kacah terpecah-pecah, demikianlah hati Sakura saat mendengar pertanyaan itu. Sungguh tajam mulut Suiren.

Dengan senyum kecut, Sakura menjawab, "Ah, itu ... Pekerjaan menyita waktuku, tapi aku sedang dekat sengan seseorang. Dia juga akan datang ke sini karena kami memiliki janji."

Tidak sepenuhnya bohong. Kenyataannya, pekerjaan Sakura membuatnya tidak sempat memikirkan hal lain, namun ia memang sengaja melakukannya. Itu semua ia lakukan agar pemikiran-pemikiran menyedihkannya terhempas. Lagipula, ia memang sedang dekat dengan seorang fotografer yang bermitra dengan perusahaan tempatnya bekerja.

"Aku mengerti. Sakura-san memang terlihat seperti wanita karir yang kuat. Aku jadi kagum padamu," puji Suiren.

Sakura bisa merasa agak bangga sekarang. Tapi, senyum bangganya memudar saat ia melihat Gaara mengulum senyum. Kembarannya itu juga langsung kembali berwajah datar saat melihat Sakura memicing licik.

"Ah, maaf, aku harus menerima telepon dari ibuku. Permisi," kata Suiren.

Ketika wanita itu menjauh, Sakura menendang tulang kering saudara kembarnya sampai pria itu mendesis menahan sakit. Sudah dari tadi ia ingin melakukan hal ini.

"Apa-apaan kau ini?" protes Gaara.

"Apa-apaan juga senyummu itu? Kau mengejek? Dengar, ya! Aku memang sedang dekat dengan seseorang dan dia tampan, dewasa, menggoda. Memangnya dirimu?"

Gaara menghela napas dalam mendengar Sakura mengomel tak karuan. Mungkin inilah sindrom perawan tua. Semakin tua seorang wanita sendiri, ia semakin sensitif. Itu yang ia tahu dari artikel-artikel serta kesaksian beberapa orang.

"Baiklah, baiklah. Aku tidak tampan dan kau tidak cantik. Kita ini kembar. Kalau kau mengejekku, kau juga menghina dirimu sendiri," ujar Gaara sambil bersedekap.

Mulai lagi mulut pedasnya itu!

"Ah, ngomong-ngomong, apa Suirenmu itu sudah tahu tentang apa pekerjaan ayah kita?" goda Sakura.

Tak ayal, Gaara pun terbelalak dan nampak kelabakan. Sakura menang telak. Sudah jelas kalau Gaara belum memberitahu kekasihnya itu. Bagaimanapun, cuma Sakura yang tahu titik kelemahan sang adik kembar.

"Kau jangan berbuat yang tidak-tidak! Biar aku yang menjelaskannya," balas Gaara agak berang.

Sebelum Sakura mengejeknya lebih lanjut, seorang pria datang, lalu menepuk pundak Sakura. Wajah cantik rupawannya langsung sumringah dan tentu saja setengahnya raut itu ia buat-buat untuk membuat Gaara keki.

"Ah, Hatake-san!" sapanya.

"Apa aku membuatmu menunggu lama?" tanya pria yang tujuh tahun lebih tua darinya itu.

Mata Gaara yang terbingkai lingkaran hitam itu menyipit, membuat Sakura ikut memicing. Apanya yang menggoda? Wajahnya saja ditutupi masker hitam. Apa rambut putihnya itu yang menggoda Sakura untuk menjambaknya?

Seperti telepati, Sakura memandang adik kembarnya seolah ia berkata 'Kau laki-laki dan tak paham apa itu menggoda bagi wanita'. Dari kecil, mereka memang memiliki kemampuan berkomunikasi tanpa kata-kata, apalagi jika itu saling mengejek. Begitulah katanya hubungan saudara kembar.

"Perkenalkan, dia adalah Gaara, saudara kembarku," kata Sakura.

Kedua pria itu pun berdiri berhadapan, kemudian saling membungkuk sambil memperkenalkan diri dengan sopan. Perkenalan mereka bertepatan dengan kembalinya Suiren. Keempatnya duduk dan terlibat dengan pembicaraan-pembicaraan ringan. Melihat adik kembarnya menanggapi ucapan Hatake Kakashi dengan baik, Sakura menjadi lega.

Tinggal satu saja PR-nya; memberitahu Kakashi tentang siapa ayahnya. Itu pun kalau mereka memang mau menikah. Bahkan menjalin hubungan saja belum. Terlampau jauh pikiran Sakura.

Belum habis dengan bayangan menakutkan yang ada di kepalanya, Sakura kini merasakan ketakutan yang lebih nyata. Hal itu terjadi saat ia melihat seorang pria yang sebenarnya sangat tampan masuk ke rumah makan itu. Dengan santai lelaki itu berjalan dengan kamera manual yang ia kalungkan di leher.

Rambut panjang dan hitam itu ... Mata elang yang sehitam arang itu ... Tubuh tinggi dan mungkin agak berotot itu ... Wajah dinginnya ... Ia jelas-jelas Uchiha Itachi!

Sakura menegang. Otaknya mencari segala cara supaya pria itu tak melihat mereka, sementara pria itu berjalan semakin dekat meski sepertinya belum menyadari bahwa ia dan saudara kembarnya ada di sana. Gaara rupanya menyadari kedatangan pria itu dan tatapan licik ia lempar pada kakak kembarnya. Ia merasa tak perlu panik karena dengan sifat tenangnya, ia akan dapat menemukan cara untuk membuat Sumire tidak bertanya apa pun. Inilah satu lagi perbedaannya dengan Sakura.

Sakura sudah terlalu frustrasi untuk menanggapi sifat usil tersembunyi Gaara. Ia lebih mementingkan bagaimana agar ia bisa keluar dari sana.

Ini buruk. Sangat buruk. Alasan ke toilet juga tidak mungkin karena letak toilet berada di belakang Uchiha Itachi. Artinya, ia harus berhadapan dengan si pria gondrong yang sebenarnya tampan itu, sedangkan ia juga tak mungkin mengatakan di depan Kakashi bahwa ia sedang menghindari pria itu. Bisa-bisa ia malah akan bertanya siapa Uchiha Itachi dan semakin penasaran mengapa ia berusaha melarikan diri.

Oh, Tuhan! Sakura ingin menghilang.

o

o

o

o

o

Bersambung...

A/N: Senang rasanya menulis cerita ini karena temanya gak seberat A Way. Semoga readers pada suka dan jangan lupa review, ya! Sampai jumpa di chapter selanjutnyaaa #kissukissu