wiiiiwuuuuwiiiiwuuuuuwiiiwuuuuu~ Halo semuanyaaa~ Kembali lagi bersama author yang jarang update ini X"D Ryoko~! Yang sering banget kena author-block-hiks. Kini kembali dengan cerita fanfiksi untuk fandom Suikoden~! Sebenarnya udah mau publish ini di Luc's day tahun lalu-cuma yha tetiba ilang ide /plak/... begitulah-Baiklah daripada author makin random...silahkan dibaca cerita fanfiksi terbaru dari Author uwu)/ Let's check it out~!


Exceeding Love: The Lost Children

.

.

Disclaimer : Suikoden is Konami's.

Main Character(s) :

Luc

Sasarai

Warning : AU, OOC, OC, Random, etc.

.

.

Bagaimana jika dirimu diberi kesempatan untuk mengulang semuanya lagi? Hanya saja dalam ruang waktu dan dimensi yang berbeda? Apakah kau akan menyianyiakan kesempatan ini? Atau kau akan merasa sangat bersyukur? Mulailah mencari jalanmu lagi, Luc.

.

.

Napasnya terengah-engah, keringat dingin membasahi tubunya. Ia mencoba menenangkan diri. Pandangan mata itu membuatnya tidak bisa tidur lagi, sesosok laki-laki dengan ash-brown pendek itu terus menatapnya di dalam mimpi. Tatapan dingin dan kosong. Diselimuti penyesalan berbalut syukur. Ia menyaksikan laki-laki dingin itu perlahan hancur seperti pecahan kaca. Tepat di depannya. Namun kini suara laki-laki itu menggema di dalam kepalanya. Ia terus menutupi kedua telinganya, berharap suara itu hilang. Panik, ia pun berteriak sekencang-kencangnya. Memecah keheningan di malam itu.

"LUC! Kau tidak apa-apa?!" Tiba-tiba seorang pemuda menggenggam kedua pundaknya erat, dengan wajah khawatir berusaha menenangkan dirinya. Aneh. Seluruh kecemasan itu hilang ketika ia melihat wajah pemuda itu, ketika ia mendengar Namanya dipanggil.

"Tidak… Aku…" jawabnya terpotong, napasnya masih memburu, "Aku hanya bermimpi buruk, Kak. Sepertinya." Lanjutnya.

Pemuda yang dipanggil 'Kak' itu menghela napas lega. Senyum ramahnya mengembang dan perlahan melepaskan genggamannya itu. Kemudian duduk di tepi tempat tidur memunggunginya, "Ingat, Luc." Ucapnya, "Kau tidak sendirian."

"Aku tahu. Terima kasih, Sasarai."

.

.

Bising. Suara orang-orang yang sedang mengobrol membuat Luc tidak tahan. Suara-suara itu seakan memenuhi seisi ruangan, bahkan seperti tidak menyisakan tempat untuknya. Menghela napas panjang, sebelum beranjak dari ruangan itu. Kemudian berlari kecil menaiki anak-anak tangga yang membawa ke lantai paling atas. Dibukanya pintu di ujung tangga, langkah kakinya semakin cepat menghampiri pagar pembatas. Kedua matanya menangkap pemandangan dari atas sana. Rambut ash-brownnya terhempas angin dengan lembut. Kini rasa tidak nyaman itu hilang, membuat sang pemuda bermata olive itu mengembangkan senyum tipis.

"Sudah kuduga kau di sini, Luc." Sapa suara familiar dari arah belakang Luc.

Luc menoleh, "Sasarai." Sahutnya, "Aku baru saja menemukan ketenangan."

Sasarai tertawa kecil. Kini ia berada di samping Luc, berdiri menyandar pada pagar pembatas. "Padahal, dulu Luc selalu memanggilku dengan sebutan kakak. Ah, saat mimpi buruk semalam pun Luc memanggiku Kakak." Ejeknya.

Luc menatapnya sinis. "Diamlah!" Kesal, memalingkan wajahnya agar ia tidak melihat wajah Sasarai. "Mau apa kau datang ke sini?" tanyanya pedas. Berharap kakaknya itu cepat segera pergi dari hadapannya.

"Hmm… Hanya memastikan keadaanmu, Luc. Setelah bermimpi semalam, kau bangun dengan keadaan pucat. Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya aku sebagai kakakmu? Walau kau bilang baik-baik saja, aku tahu kau tidak begitu. Jangan lupa, kita saudara kembar, bisa memahami satu sama lain."

"Apanya?" umpat Luc, "Bahkan kau lebih sering berada di ruang OSIS itu."

"Eeeh~ kesepian, ya?"

"NGGAK! Bukan begitu. Lagipula kau dan aku itu hanya berbeda beberapa menit, jangan sok menyebutmu sebagai 'kakak'!"

Sasarai kembali tertawa kecil, sementara Luc masih menatapnya sinis. Kini, keduanya menatap langit. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Dari dulu pun seperti itu, dengan bersama seperti itu, keduanya mengisi ulang energi. Walau Luc lebih nyaman sendirian, ia tidak keberatan jika yang ada di sampingnya itu saudara kembarnya sendiri. Bagaimana pun mereka terus menerus bersama. Sedari kecil sudah seperti itu, semenjak kedua orang tua mereka meninggal. Sasarai dan Luc berpindah dari rumah kerabat yang satu dan lainnya. Hingga mereka memutuskan untuk masuk sekolah New Leaf dan tinggal di asrama.

"Aku… bermimpi melihat peperangan." Tiba-tiba Luc berbicara, "Belakangan ini seperti itu, terus berulang." Wajahnya menunduk, Sasarai hanya melihat adik kembarnya itu, menunggu ia kembali bercerita. "Dan… aku melihat sosok yang seperti diriku, membunuh, juga… tiba-tiba saja sosok itu hancur."

"Luc…"

"Entah mengapa mengingatnya saja membuat mual." Lanjut sang adik. Kini wajahnya ia sembunyikan dibalik kedua lipatan tangannya. Sasarai mengelus punggungnya, khawatir, karena wajah Luc kembali pucat, "Aku bukan anak kecil. Tidak perlu mengelus punggungku seperti itu."

"Ah." Sahut Sasarai yang kemudian tersenyum, "Luc memang seperti itu ya dari dulu. Kalau malu bilang saja malu. Dasar. Adikku ini memang sulit untuk jujur ya."

"Diam kau!" sahut Luc sembari menyikut perut saudaranya itu, namun sayangnya Sasarai berhasil menghindarinya.

Sasarai tertawa kecil sebelum wajahnya menjadi serius, "Perang ya… Di luar sana pun sedang terjadi perang. Kita belajar di sini pun, agar suatu saat bisa ikut berperang."

"Mengapa? Untuk apa kita berperang?" sahut Luc.

Sasarai tersenyum tipis, "Dominasi. Perselisihan. Perbedaan. Perluasan wilayah kekuasaan. Perampasan sumber daya alam pun bisa membuat perang." Sasarai memejamkan matanya sebelum kembali berbicara, "Sulit dimengerti memang, mengapa manusia berperang, bermusuhan seperti itu. Padahal kebanyakan setelahnya mereka tidak dapat apa-apa, hanya kesedihan dan kehilangan."

"Sasarai…"

"Walau begitu, untuk negeri kita sendiri yang harus diwaspadai adalah monster-monster. Kau ingat? Beberapa tahun yang lalu, desa tempat kita dibesarkan porak-poranda akibat diserang monster? Banyak yang bilang, monster-monster itu dipanggil oleh penyihir jahat yang dendam dengan Kerajaan." Sasarai kembali berbicara, "Tapi, Luc tenang saja. Apapun yang terjadi, aku akan selalu melindungi Luc!" lanjut Sasarai yang kini tersenyum ke arah adiknya itu. "Nah. Sekarang kita kembali ke kelas. Pelajaran sihir akan dimulai, ayo!"

.

.

Luc memandangi seisi kelas dari bangku paling belakang dekat jendela. Ia mendapati segerombolan murid-murid perempuan sedang bergosip, sesekali terdengar bahwa mereka membicarakan Luc dan Sasarai. Pemuda bermanik olive itu menghela napas. Paling-paling membandingkanku dengan Sasarai pikirnya. Kemudian, kedua matanya menangkap wajah seorang pemuda dari luar ruangan. Pemuda itu melihat ke arah Luc dan menganggukan kepalanya, bermaksud memberi hormat. Wajahnya terlihat panik. Tadinya, Luc tidak ingin menghampiri pemuda itu. Tetapi, entah ada angin apa, kakinya bergerak sendiri mendekati pemuda berambut coklat itu.

"Ada apa, Thomas?" tanyanya.

Thomas adalah adik kelas Luc yang tinggal di kamar sebelah bersama teman sekamarnya, Hugo. Thomas berasal dari negeri tidak bernama yang dengan susah payah mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di sana. Sementara itu, Hugo adalah anak kepala suku yang terkenal pemberani. Unggul dalam bela diri. Walau seperti itu, keduanya berteman dengan baik.

Pemuda bernama Thomas itu menghela napas, sebelum menjawab pertanyaan Luc, "T—Tuan Luc–"

"'Tuan'?"

"A—ah K-Kak Luc—Se—selamat siang…" ucapnya terbata-bata, "Saya—diminta Tuan Sasarai untuk membagikan angket ini."

Luc mengernyitkan dahinya, "Lalu? Takut?" sahut Luc yang melihat tubuh pemuda dihadapannya itu bergetar. Thomas berkali-kali mengangguk cepat, membuat Luc menghela napas panjang. Luc dengan cepat mengambil amplop angket yang dipeluk oleh Thomas. Kemudian kembali berjalan ke dalam kelas. Thomas hanya bisa tertegun melihatnya.

BRAK! Terdengar suara amplop angket tersebut sengaja dijatuhkan dengan keras di atas meja guru. Para siswa dan siswi yang semula sedang mengobrol pun terdiam menatap Luc. Beberapa yang sedang berdiri segera kembali duduk ke asalnya. Tatapan Luc yang dingin itu membuat para siswa dan siswi tertekan. Tidak heran di kelas itu, Luc hanya sendirian, karena… bisa dibilang tidak ada yang berani untuk menegur pemuda ash-brown itu. Lagipula, Luc seperti tidak peduli dengan seisi kelasnya, mau ada yang berteman dengannya atau tidak.

"OSIS meminta kalian mengisi angket ini dan segera dikumpulkan. Sekarang." Ucap Luc pedas, membuat Thomas kembali tertegun. Satu persatu siswa dan siswi berdatangan untuk mengambil angket yang ada di tangan Luc. Sambil menunduk. Takut untuk menatap pemuda itu.

Thomas menelan ludahnya sendiri, 'bahkan teman-teman sekelas Kak Luc tidak ada yang berani dengannya' pikir Thomas. Namun yang pemuda itu ketahui, dibalik sikap dinginnya itu, Luc seorang yang peduli dengan orang lain. Thomas bahkan beberapa kali dibantu oleh Luc, walau perkataannya sangat tajam.

Beberapa menit kemudian, Luc kembali dengan membawa angket-angket yang sudah terisi penuh. Ia memberikannya kembali pada Thomas. "Seluruhnya sudah terisi. Tenang saja, aku pun sudah mengisinya. Kau bisa kembali."

Thomas tersenyum dengan senang, "Te—terima kasih, Tuan—Kak Luc!" ucapnya sembari membungkuk, "Kalau begitu, Saya permisi dulu." Lanjutnya. Kemudian Thomas bergegas kembali ke ruang OSIS.

Luc memandangi punggung Thomas yang semakin menjauh, sebelum dirinya membalikkan badan beranjak untuk kembali memasuki kelas. Wajahnya merasa jengkel ketika mendapati seseorang yang mirip dengannya—tentu saja Sasarai—tersenyum dengan riang dengan mengayunkan tangannya. Luc menatapnya kesal, ketika anak buahnya pergi bergegas untuk menemui Sasarai di ruang OSIS, Sasarai dengan santainya berjalan ke sana dan kemari, tentu saja untuk mengganggu Luc.

"Tuh kan, sudah kubilang Luc itu baik." Puji Sasarai dengan memasang wajah kakak-bangga-padamu-dik, sudah pasti Luc hanya membalas dengan tatapan jengkel, "Sebenarnya aku sudah membuntuti Thomas karena sedikit khawatir, dia berkali-kali mengintip ke kelasmu dan tidak berani. Sesaat aku ingin membantunya, Luc sudah datang~ kita memang sehati."

"….." Luc diam tidak menanggapi.

"Lalu, bagaimana kalau kita sekarang makan siang bersama? Luc pasti kesepian karena aku tidak bisa menemanimu tiap makan malam 'kan? Mau bagaimana lagi, acara tahunan sekolah ini semakin dekat, aku semakin sibuk~"

"…Sasarai."

"Ya?"

"Kembali ke habitatmu sana. Aku tidak peduli."

"Eeeh? Ayolah. Sudah lama kita tidak makan siang bersama semenjak aku jadi ketua OSIS. Lagi pula ada café baru di ujung bukit. Katanya parfaitnya enak loh."

"Nggak. Lebih baik kau pergi sekarang. Ketika teman-temanmu sedang bersusah payah kau malah santai-santai di sini. Aku heran kenapa banyak yang memilihmu sebagai Ketua OSIS."

"Karena aku tampan dan murah senyum."

"….."

"Ayolah. Lagipula wakilku sudah mau menggantikanku untuk meng-handle semuanya untuk hari ini."

"Maksudmu Dios? Dia yang bahkan mau membuatkan teh dan membawakan barang-barangmu? Wakil apanya, itu bisa disebut pesuruh, tahu!"

"Tapi aku tidak pernah meminta hal itu, dia melakukannya secara suka rela—" Sasarai terdiam dan bertopang dagu, "Terlalu dicintai memang sebuah dosa."

"ARGH—! Baiklah, baiklah! Sebelum pembicaraan kita semakin aneh karena jawaban-jawabanmu itu… Aku akan menemanimu makan siang!"

"Luc! Kamu memang saudaraku yang paling pengertian~" ucap Sasarai senang sembari merangkul adik kembarnya itu, dan berjalan menyusuri lorong.

"Memang kau punya saudara lagi?" sahut Luc jengkel dan hanya dibalas tawa kemenangan oleh Sasarai.

.

.

Luc dan Sasarai berbincang sembari menyantap parfait yang mereka pesan, walau kebanyakan Sasarai yang bercerita dan Luc hanya mendengarkan—sesekali berbicara sendiri karena jengkel. Diam-diam Luc menikmati kebersamaan itu, di tengah café yang ramai, ia tidak merasa tertekan. Semua berkat Sasarai, mungkin? Luc tidak mau mengakui hal itu. Ada kalanya, Luc merasa iri dengan Sasarai yang nyaman dikelilingi oleh orang-orang, bahkan semua orang menyukainya. Sasarai tampan, baik hati, prestasinya sangat gemilang, namun sifatnya yang terlewat santai dan humor sarkasnya membuat dirinya tidak sempurna. Dibandingkan Luc yang senang menyendiri, bermulut tajam dan suka seenaknya, dia tidak ada apa-apanya. Tetapi, prestasi Luc pun tidak diragukan. Banyak yang menjuluki keduanya adalah kembar yang bersinar, terlebih pada bidang yang sangat mereka kuasai yaitu sihir.

Luc masih terus mendengarkan ocehan Sasarai yang membicarakan rekan-rekannya di OSIS. Dios yang tidak membiarkan Sasarai mengganti bohlam ruanganlah dan dengan sigap membawakan minum ketika Sasarai bilang dirinya haus, Thomas yang ceroboh namun dapat diandalkan dan selalu mengikuti instruksi Sasarai walau tidak jarang ia menjadi bahan ide jahil Sasarai, Chris yang selalu serius tetapi tidak mengetahui bahwa dirinya populer dikalangan para siswa, Hugo yang selalu bersemangat dan berapi-api, serta Caesar yang selalu tidur ketika rapat tetapi selalu memberikan jalan keluar yang terbaik. Sesekali Sasarai membuat rekan-rekannya itu sebagai bahan candaan. Luc hanya menghela napas, bersyukur mungkin? Sasarai dikelilingi oleh orang-orang yang dapat diandalkan.

"Paman Ace!" seru Sasarai tiba-tiba, "Aku ingin pesan kue coklat ini dan cheesecakenya." ucapnya.

"….Sasarai, kau masih mau makan?" ucap Luc sembari melihat 2 piring cake yang sudah habis dilahap Sasarai.

Sasarai tersenyum sembari mengemut sendoknya, "Aku ingin mencoba semua kue di sini." Sahutnya.

"Pesanan datang, satu slice kue coklat dan satu slice cheesecake!" seru seorang laki-laki paruhbaya yang datang membawa dua piring dengan kue-kue itu, dia Paman Ace, pelayan di café itu.

"Paman, kue-kue di sini sangat enak. Siapa yang membuatnya?" tanya Sasarai antusias.

Ace bertolak pinggang dan berkata dengan bangga, "Tentu saja kue di sini enak! Karena kue-kue itu dibuat oleh…." Ace menghela napas sejenak, Sasarai menunggu jawabannya, "Master Geddoe!"

"….Ah ternyata memang bukan Paman yang buat." Sahut Sasarai.

"Tentu saja. Kau bisa lihat wajah seperti itu mana bisa buat kue." Timpal Luc iseng, "Lihatlah wajah mesumnya." Lanjut Luc diikuti gelak tawa Sasarai.

"HEI! Dasar tidak sopan! Apa maksudmu anak muda?"

"Sudah-sudah, Ace! Tapi siswa itu benar 'kan? Kau tidak bisa membuat kue. Bahkan kau hanya bisa pelit dan bermain wanita." Sahut seorang laki-laki berambut panjang dan diikat satu, dilihat dari penampilannya pun laki-laki itu sudah berumur.

"Bilang apa kau, Joker!? Kau mau ngajak ribut, hah!?"

.

.

Luc dan Sasarai berjalan meninggalkan café bermaksud kembali ke asrama sebelum hari gelap. Sasarai kembali berbicara bagaimana hebohnya café tersebut. Bagaimana seramnya wajah sang pembuat kue, Geddoe, setelah Ace dan Joker membuat keributan, atau Queen, satu-satunya perempuan, di sana yang segera membungkam Ace dengan satu buah pukulan, dan Jacques yang tetap telihat tenang di depan meja kasir. Café itu tidak pernah sepi karena konsepnya yang unik, bahkan Joker membuat pertunjukan api di atas panggung.

"Tapi, Luc sadar tidak? Sepertinya mereka bukan hanya pekerja café biasa." Ucap Sasarai tiba-tiba, "Daripada itu… mereka seperti petarung."

Luc mengangguk tanda setuju, "Kau benar. Terlebih… rasanya aku pernah lihat yang Namanya Geddoe itu…" sahut Luc. Pikirannya melayang seperti mengingat-ingat apakah benar ia pernah bertemu Geddoe atau hanya perasaannya saja. Tahu-tahu, Sasarai sudah berlari jauh di depan dan memanggil Namanya berkali-kali.

"LUUUUC!" teriaknya, "Lihat! Di sini ada jalan menuju atas bukit!" lanjutnya.

Ck. Luc tidak bisa mengingatnya. Ia segera berlari menghampiri Sasarai yang mulai menaik tangga-tangga yang terlihat tidak berujung. Luc mengikuti kakak kembarnya itu. Berusaha melarang Sasarai karena jika mereka tidak kembali ke asrama sebelum hari gelap, mereka akan dihukum. Sasarai sama sekali tidak mendengarnya. Mau tidak mau, walaupun tidak suka, Luc mengikuti Sasarai dan berhasil menyusulnya. Saat itu, Sasarai hanya terkekeh melihat Luc yang hampir kehabisan napas karena menaiki tangga dengan sedikit berlari.

Bintang-bintang takdir kembali bergerak.

Tiba-tiba keduanya mendengar suara seorang wanita. Berbicara mengenai bintang. Keduanya saling bertatapan, tandanya bukan hanya salah satu dari mereka yang mendengar suara itu. Sepakat, Luc dan Sasarai kembali menaiki tangga-tangga itu, entahlah sudah berapa anak tangga yang mereka naiki. Ketika melihat ke arah bawah, semua seperti gelap gulita. Keduanya menjadi waspada. Mereka seperti ada di dunia lain.

Bintang-bintang itu akan kembali berkumpul di suatu titik.

Semakin terdengar dengan jelas. Luc dan Sasarai berhasil menaiki anak tangga terakhir. Kaki mereka lemas dan tidak bisa menopang tubuh mereka lagi. Keduanya terduduk dengan lemas di depan sebuah bangunan seperti kuil. Saat kembar itu baru saja masuk sekolah, mereka memang pernah mendengar kabar angina bahwa di atas bukit ada kuil yang dihuni oleh penyihir buta, namun tak ada yang dapat membuktikan kabar itu. Beberapa orang berusaha membuktikannya, namun mereka tersesat. Ada yang kembali ke anak tangga pertama atau bahkan ada yang tidak pernah kembali. Keduanya tidak menyangka bahwa anak tangga yang mereka naiki adalah tangga yang misterius itu.

"Luc, kau tidak apa-apa?" tanya sang kakak pada adik kembarnya.

Luc mengangguk, ia segera berdiri dan mengulurkan tangannya pada Sasarai. Sasarai menyambutnya dan membiarkan Luc membantunya berdiri. Namun, Sasarai tidak melepaskan genggaman tangannya dan segera berjalan di depan Luc, menariknya. "Hei, Sasarai! Aku sudah bukan anak kecil lagi!" ucap Luc kesal, namun Sasarai hanya diam. Luc mengerti jika Sasarai khawatir kalau-kalau mereka terpisah. Tapi hal itu tetap membuat Luc sedikit jengkel.

"Tamu, ya?" tiba-tiba seorang gadis muncul dihadapan mereka. Rambutnya ikal sepunggung dengan warna mint. Kedua matanya berwarna burgundy. Gadis itu tersenyum dan berkata, "Sudah lama kami tidak kedatangan tamu."

"Siapa… kau?" tanya Sasarai waspada, begitu pun Luc yang menatap gadis itu tajam. Luc segera mensejajarkan dirinya dengan Sasarai.

Gadis itu hanya tersenyum, memberi isyarat untuk mengikutinya dan segera berjalan meninggalkan pintu masuk kuil. Luc dan Sasarai semakin waspada, namun rasa kaingintahuan mereka lebih besar. Keduanya berjalan mengikuti gadis itu. Melewati lorong yang di kanan-kirinya terhampar danau, memasuki sebuah Menara yang tinggi, mereka pun kembali menaiki tangga-tangga, namun tidak sebanyak anak-anak tangga tadi. Hingga mereka tiba disebuah ruangan. Gadis itu terlihat memberi hormat pada seorang wanita berambut panjang yang sedang melihat ke arah langit berbintang.

"Nona Leknaat, saya datang membawa dua pemuda itu, Nona." Ucapnya.

"Terima kasih, Marina." Sahut wanita bernama Leknaat itu. Kemudian membalikan badannya. Paras wanita itu cantik, dengan rambut yang terurai panjang. Kedua matanya tertutup namun seperti dapat melihat kedua pemuda itu, "Selamat datang, Luc, Sasarai."

Luc terperanjat. Ia seperti… tidak ia yakin pernah mengenal sosok wanita yang ada di hadapannya itu. Tidak salah lagi. Leknaat. Ia nampak tahu siapa yang ada di hadapannya. Berkali-kali ia bermimpi melihat wanita itu bersama sosok dirinya di dalam mimpi. Tapi, hanya sebatas itu ia mengingat sosok Leknaat yang ada di hadapannya. Tidak, yang lebih penting dari itu. Bagaimana wanita itu tahu nama Luc dan Sasarai? Lalu… apa yang sebenarnya dan akan terjadi?

.

.

~To be continued~