XUE LIAN
BTS fanfiction
Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit
.
.
XUE LIAN
.
.
Pada mulanya di antara mereka hanya ada kediaman. Pertemuan pertama itu tak berarti apa-apa jika keduanya tak saling bicara. Tapi memang, tiada yang memulai. Mungkin sudah berjam-jam. Padahal, mereka hanya berbatas meja bundar dan setumpuk buku. Perpustakaan yang sepi seolah-olah menjadi alasan bahwa hadap-hadapan muka itu tak mesti jadi sesuatu.
Yoongi kira semua orang sama. Di perpustakaan itu, tak akan ada yang punya pikiran untuk membuat ribut dengan perbincangan atau cekikikan tentang humor lucu yang dikutip dari badut kampung. Sepi sekali. Semua memegang buku, semua membaca. Tadinya. Ketika dia sengaja meninggalkan matanya dari buku dan melirik sekitar, dia menemukan setatap mata berwarna biru cerah.
"Oh, hai." Sebuah sapaan yang kikuk.
Yoongi ikut-ikutan, ketika mau menjawab dia jadi gagu. Tak tahu mesti katakan apa. Rasa heran yang banyak kuasai pikirannya. Adalah suatu kelangkaan menemukan mata secerah itu di negerinya. Yang dia tahu, hanya orang-orang asing yang miliki. Tapi lelaki di hadapannya, punya warna bening biru laut. Padahal wajah lelaki itu tak ada beda dengan dirinya atau semua warga di kota.
"Ada apa?"
"Ah, tidak. Maaf," kata Yoongi, kembali pada bukunya segera (padahal lupa sampai kalimat mana dia membaca). Harusnya lelaki itu juga kembali pada buku yang dipegangnya, tapi tidak. Yoongi melirik lagi dan untuk kedua kali mendapatkan mata biru itu. "Maaf?" Ucapan Yoongi jadi pertanyaan.
Si lelaki bermata biru tersenyum, agak geli. Ujung-ujungnya dia tertawa meski ditahan dengan kepalan tangan di depan mulut. Lantas dia celingak-celinguk takut ada yang terganggu dengan suara berisik (yang sebenarnya tak seberapa) itu. "Aku yang maaf. Harusnya sejak lama aku sadar kalau yang duduk di hadapanku ternyata seorang makhluk khayangan."
"Maaf?" Itu maaf bernada tanya yang kedua. Yoongi menaruh bukunya di meja. Yang janggal dari lelaki itu selain matanya, adalah kalimatnya barusan.
"Sepertinya aku sudah lancang, maaf. Aku hanya kagum. Wajahmu begitu bersinar. Lain ketika melihat buku-buku di rak. Mereka berdebu dan tua," ujarnya, sembari melempar senyum.
Yoongi dibuat heran karena lelaki itu melulu melengkungkan bibir. Ucapannya terdengar seperti ucapan seseorang yang habis mabuk-mabukan semalaman. Suka-suka, tidak jelas juntrungannya. Tapi kalau dipikir-pikir tak mungkin juga dia mabuk. Bajunya bersih dan penampilannya tidak seperti orang yang habis bermalam di rumah minum. Lelaki itu lebih seperti seorang bangsawan muda; orang kaya; akademisi; atau juga seorang turis dari dunia yang entah apa. Matanya betul-betul menyedot perhatian. Yoongi yakin ketika lelaki itu lewat di jalan, orang-orang akan menoleh dua sampai tiga kali demi memastikan apakah birunya nyata atau tidak.
"Apa ada yang mengganggumu?" Kepala lelaki itu sedikit meneleng. Ketika bertanya, wajahnya polos seperti anak-anak. Bukunya di atas meja, sama seperti milik Yoongi.
"..." Yoongi tak berkata apa-apa.
"Oh, aaa... ini?" Tanpa kata lelaki itu langsung tahu apa yang Yoongi siratkan dari sorotan matanya. Dia langsung saja menunjuk matanya sendiri. "Entah mengapa aku terlahir seperti ini. Dukun-dukun bilang aku memiliki terlalu banyak unsur air—dan mereka menyangkut-pautkannya dengan dewa air, aku sebagai titisannya. Tapi apa hubungannya? Kupikir tak ada. Mata kita warnanya berasal dari gen orangtua. Benar, tidak?"
Perkataan lelaki itu membuat Yoongi berkedip-kedip. Separuh mengerti, separuh tidak. Tidaknya karena lelaki itu bicara tentang ilmu pasti. Hanya orang-orang yang sekolah tinggi yang mengerti akan hal itu. Yoongi sendiri selama ini tak pernah pergi ke sekolah karena dilarang Ayah. Dia tak tahu banyak tentang dunia. Lelaki itu kemudian punya nilai lebih karena terlihat pintar (dan tak begitu memercayai takhayul atau yang dituduhkan oleh dukun).
"Sial," Si mata biru meringis. "Apa aku sudah bicara terlalu banyak? Maaf. Seharusnya kubiarkan kau membaca bukumu."
Ketika lelaki itu kembali memegang bukunya, Yoongi membaca apa yang tertera di sampul. Itu buku medis. Yoongi jadi merasa terbanting, sadar bahwa yang dia pegang bukan apa-apa. Dia hanya memegang sebuah buku kumpulan cerpen yang kakaknya bilang isinya sama sekali tak bermutu—tapi dia suka. "Apa kau seorang tabib? Atau mahasiswa kesehatan?"
Wajah lelaki itu nampak menunjukkan rasa terkejut. Matanya membesar dan alisnya naik. "Hm? Sedikit lagi sampai benar. Aku hanya seorang tabib magang, asisten tabib di kerajaan."
Psssst!
Suara itu seperti sebuah peringatan bagi mereka yang memecah keheningan perpustakaan. Si mata biru membungkukkan badan dan menyembunyikan muka di balik buku, sedang Yoongi hanya menunduk malu dan diam-diam mencuri pandang pada lelaki di depan yang (entah pura-pura atau tidak) membuka-buka lembaran buku medisnya.
Yoongi melirik penjaga perpustakaan yang sedang duduk mengangkat kaki dan bersandar punggung di rak. Seharusnya dengan bisikan pelan, Pak tua itu tak akan dengar apa yang hendak Yoongi katakan. Lantas dia pun bicara lagi gara-gara lidahnya yang gatal ingin bertanya. "Aku sering ke sini, tapi tak pernah melihatmu." Tapi dia hanya ucapkan segitu saja tanpa kata kenapa.
"Aku baru pertama kalinya kemari. Ini pun karena aku sedang menghindari sesuatu."
"Sesuatu? Seseorang?"
"Aku bisa dimarahi kalau mereka tahu aku di sini. Mereka itu orang-orang yang kolot—"
Psssst!
Itu adalah peringatan yang kedua. Yoongi tak tahu asalnya dari mana. Penjaga perpustakaan kepalanya terantuk-antuk, Pak tua itu pasti tidur nyenyak di bangkunya! Yoongi mendengus. Mau tak mau dia akui kalau dia ingin bercengkrama lama dengan lelaki di depannya. Hanya, tempat di mana dirinya dan lelaki itu berada rasanya kurang tepat. Situasinya. Inginnya ada orang lain yang ribut, atau para gadis yang bergosip hingga ia tak perlu merasa bersalah telah memperpanjang percakapan.
"Kenapa kau melihatku sambil memicingkan mata?"
Bisikan itu kasar. Yoongi seperti maling yang kepergok mencuri. Dia membuang wajah ke samping. Ingin bicara, tapi tak bisa. Dia tak mau ada psst yang ketiga.
"Maaf. Seharusnya aku tak bicara apa-apa lagi. Akan kukunci mulutku." Lelaki itu mengatupkan bibir.
Yoongi menoleh, mau menimpali, tapi baru saja membuka mulut, seseorang memanggil.
"Kakak."
Yang datang adalah lelaki bertubuh tinggi. Adik Yoongi, namanya Jungkook. Dia mengulurkan tangan, minta Yoongi berdiri. "Aku mencarimu kemana-mana. Sudah lelah. Ayo pulang. Ibu mengkhawatirkanmu."
"Jungkook, aku—"
Yoongi tak menyelesaikan kalimatnya sebab saat menoleh pada si lelaki bermata biru, yang dia dapati hanya ekspresi lurus dan buku yang dipegang dengan kedua tangan. Lelaki itu seolah-olah tak pernah bicara dengan dirinya. Yoongi merengut.
"Mau alasan apa lagi? Kalau kau keliaran lebih lama, Ayah akan marah."
Dia tak bisa apa-apa ketika tangannya ditarik. Kakinya secara otomatis mengikuti langkah yang menuntun. Jungkook tak menoleh ke belakang, meski Yoongi melulu melakukannya (untuk melihat si mata biru). Jungkook hanya berterimakasih pada penjaga perpustakaan dan membungkuk cepat sembari jalan. Terakhir kali menoleh, Yoongi dilempar senyum dari kejauhan. Sesuatu bergelenyar di dadanya, entah mengapa. Padahal itu hanya seulas senyum biasa—tapi asalnya yang tak biasa; dari seorang lelaki misterius bermata biru. Lalu tempat penuh buku itu ditinggalkan.
Yang tak Yoongi bawa pulang adalah jawaban dari sebuah pertanyaan. Siapa nama lelaki itu? Dia belum tahu. Bahkan sampai malam, dia masih memikirkannya. Padahal dia sudah mandi dan sudah siap tidur, tapi isi kepalanya tak juga berubah. Seperti ada lubang, kalau belum ditutup akan terus menganga. Jungkook sedikit kesal melihat ini. Yoongi layaknya orang yang baru kehilangan separuh nyawa (atau yang habis bangun tidur tapi masih ingin tidur lagi). Tak jelas. Diam melulu.
"Apa yang terjadi padamu? Kau terlihat aneh. Gelagatmu itu. Kalau kau sakit, katakan," pinta Jungkook. Sisirnya dia taruh di lantai. Rambut Yoongi digenggam sebentar, lalu dibiarkan tergerai lagi.
Yoongi membalik badan, sembari mengelus helai-helai rambut hitamnya sendiri. "Aku tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa bagaimana? Mukamu kacau begitu. Kau banyak melamun setelah pulang dari perpustakaan."
"Jungkook..."
"Apa?"
Yoongi teringat si mata biru. Dalam satu waktu banyak hal yang terjadi, sebetulnya. Hanya saja dia tak mau katakan apa-apa pada adiknya itu. Dia hanya mau utarakan sedikit rasa yang mengganggu sekaligus buat candu.
"Air, kalau jadi ombak menakutkan, ya?"
Jungkook mengernyit tak paham. "Maksudmu apa?"
.
.
XUE LIAN
.
.
CONTINUED
Note: fanfic ini direduce dari fanfic yang pernah saya tulis sebelumnya (dengan pairing dan fandom yang berbeda) dan publish bulan maret 2015. Udah lama banget kan? Dulu postingnya cuman di catetan facebook doang, maklum belum punya akun dimana-mana. Btw, fanfic ini settingnya di negeri dagelan di jaman kaisar masih berkuasa. Jadi bayangkan saja tokoh-tokohnya dandan ala-ala drama kerajaan ehehe.
