Yumi ...
Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku bisa menebak kalau gagak-gagak yang melintasi langit sore tadi adalah pertanda akan kejadian buruk. Seharusnya kami bisa mematikan menara lebih cepat. Kini aku hanya bisa terduduk di koridor rumah sakit yang dingin ini, memeluk kakiku yang gemetar, berharap agar Yumi segera sadar. Aku tidak percaya kalau X.A.N.A berhasil mengutak-atik rem mobil ayah Yumi dan mencelakakan sahabatku sampai koma seperti ini. Terlebih, semua anggota keluarga Ishiyama sudah sadar kecuali dia!
Sadarlah, Yumi ...
Aku menyukaimu ...
Euforia, Elegi, Memori, dan Bangau Kertas
Warning and Disclaimer:
Code Lyoko © Moonscope, France 3, and Canal J
All the words flow—all my OCs—and nearly the whole idea © Hikari Tenshiro
OOC, one-shot, Indonesian, AR, angst failed, pre-season 3, rated T for safety, double-center, third-person-POV, confusing plot, chara-death, Ulrich/Yumi, typo, gaje, lebay, Romance/Hurt/Comfort/Tragedy/Drama/Friendship/Angst (?) RnR, also DON'T LIKE DON'T READ
A fic from Hikari Tenshiro for FFC: Your Own Ending
Theme song: (berdasarkan Aoihoshi-1412) Garnet Crow - Tsumetai Kage. Dimohon untuk dimengerti liriknya, dan menggalaulah #plak
.
.
(Jangan sampai jatuh. Jangan sampai jatuh. Jangan sampai jatuh.)
Ulrich Stern mengulang kalimat itu berulang-ulang seakan dia sedang membaca mantra yang bisa mencegahnya terjatuh dari tangga besi yang dipinjamnya tanpa izin dari gudang peralatan. Memiliki vertigo bukanlah hal yang menyenangkan, dan inilah salah satu alasan mengapa kadang pemuda itu takut dengan ketinggian. Apalagi dengan posisinya sekarang yang cukup membuatnya ketakutan; kedua kaki menginjak anak tangga besi lipat, tangan kanan meraih pinggiran besi tangga, tangan kiri menggenggam tiga untai bangau kertas, dan kepala hanya sejengkal dari dahan pohon cemara yang dia tuju. Setelah yakin kalau semuanya aman, pemilik rambut coklat itu akhirnya menggantung bangau-bangau kertas itu di pohon dengan tali kasur. Satu untai terdiri dari lima bangau, jadi dia sudah membuat lima belas bangau baru.
Untunglah, mantra yang dari tadi diucapkan berulang-ulang dalam hati sepertinya bekerja. Dengan hati-hati Ulrich menuruni tangga, sampai akhirnya di anak tangga terakhir dia terpeleset dan jatuh ke tanah dengan cukup menyakitkan.
BRUK.
"Aduh!"
Refleks, tangannya langsung mengusap pantatnya yang sakit setelah mencium rumput. Di hutan kecil di kompleks Akademi Kadic yang sangat luas ini, tidak akan ada yang berniat berkeliaran di tempat ini selain Ulrich dan 630 bangau kertas yang dia buat sejak delapan bulan lalu. Sepertinya tidak akan ada tulang ekor yang patah. Setidaknya rasa sakitnya lumayan parah.
Setelah rasa sakitnya mereda, pemuda bermata zamrud itu menyandarkan diri ke pohon cemara yang memiliki ukiran 'Ulrich+Yumi' di batangnya dan 630 bangau kertas tergantung di dahan-dahannya. Batang pohon itu memiliki sebuah lubang kecil tempat dia menaruh buku catatan untuk mencatat jumlah bangau kertas yang tergantung di sana. Setelah mencatat, dia mengambil kertas-kertas origami yang selalu dia bawa ke mana-mana dalam misi rahasia membuat seribu bangau kertas.
Yumi pernah bercerita tentang salah satu kebudayaan negaranya, yaitu origami—seni melipat kertas. Dia berkata kalau seseorang berhasil membuat seribu bangau kertas, maka ada satu permohonan yang akan terkabul. Setelah bercerita, gadis Jepang itu mengajarkan Ulrich cara membuat bangau kertas yang selalu dia ingat. Kali ini dia memiliki satu permohonan khusus yang mungkin bisa terkabul jika dia berhasil membuat seribu bangau kertas seperti Sadako Sasaki, gadis penderita leukemia dalam cerita Yumi.
Namun tepat saat tangan-tangan itu baru saja menyelesaikan satu bangau, sebuah panggilan telepon berhasil memecahkan ketenangan di hutan kecil itu. Di layar ponselnya terpampang nama temannya yang membuatnya paham seketika, ini adalah urusan penting tingkat internasional. Jeremie Belpois.
"Halo? Ada apa?"
/ "X.A.N.A menyerang Yumi! Cepat ke sana! Odd dan Aelita sedang menuju pabrik!" /
Lagi-lagi program komputer itu menyerang anggota dengan kondisi paling lemah dari antara mereka semua. Mata zamrud itu menunjukkan sebuah tekad untuk melindungi orang yang dia sayangi. Sebelum sempat mematikan panggilan, pita suaranya menggetarkan satu persetujuan.
"Pasti."
.
.
Selama Yumi koma, gadis itu dirawat di rumahnya sendiri—orangtuanya memutuskan untuk lebih dekat dengan anaknya. Walaupun serangan ada di dalam rumah Yumi sendiri, tidak ada yang tahu soal serangan-serangan yang menimpa Yumi. X.A.N.A mencegah mereka mendekati pintu kamar tidurnya, sementara teman-temannya biasanya menyelinap dengan memanjat talang air menuju jendela kamarnya yang menghadap halaman belakang. Setelah menyadari kalau kebanyakan serangan X.A.N.A mengarah ke Yumi, Jeremie memutuskan untuk membuat sensor yang mendeteksi serangan X.A.N.A di kamar Yumi yang sangat efektif jika terjadi sesuatu seperti ini.
Walaupun sebenarnya vertigo yang dialami Ulrich adalah salah satu alasan mengapa dia benci apapun yang mengharuskannya memanjat, namun dalam kondisi terjepit seperti ini dia tidak segan untuk memanjat talang air dan membuka jendela kamar Yumi yang tidak pernah terkunci. Wajah sang gadis yang sangat damai selalu sanggup membuat Ulrich lebih tenang dalam menjalankan misinya. Namun kali ini, kamar itu tidak hanya diisi oleh satu orang dan satu pengintip dari balik jendela.
"Saya akan meninggalkan semuanya kepada Anda," Akiko Ishiyama mengangguk dan mempersilakan dokter itu masuk ke kamar Yumi untuk melakukan pengecekan.
"Baik, Nyonya Ishiyama."
Namun saat pintu kamar ditutup dari luar, bukannya melakukan pengecekan yang benar, dokter itu malah menunjukkan tanda-tanda akan melakukan perusakan alat-alat yang selama ini menopang hidup Yumi.
"Apa yang akan kau lakukan, X.A.N.A?"
Ulrich hanya tersenyum sinis melihat lambang program komputer terkutuk itu di mata sang dokter. "Apa kau sudah berganti profesi sebagai malaikat pencabut nyawa?"
"Tidak juga," dokter itu membuka mulutnya. Jarang sekali ada serangan X.A.N.A berupa orang-orang yang dikuasai X.A.N.A dan menyampaikan pikiran sang pengontrol! "Tadinya aku berniat untuk menghilangkan gadis ini dari muka bumi. Namun karena kau sudah ada di sini, aku akan menawarkan sesuatu untukmu. Aku yakin, kau tidak akan berani menolaknya."
Pemuda Jerman itu masih mempertahankan senyuman sinisnya. "Sesuatu seperti apa, tepatnya? Beritahukan hal itu padaku."
"Yah, kau pasti ingin menyelamatkan nyawa temanmu ini, bukan? Lelah untuk bolak-balik ke kamarnya untuk menghentikan apapun yang bisa mematikannya? Selama ini, kau membuat bangau-bangau kertas itu dengan harapan agar dia bisa terbangun," X.A.N.A tertawa sinis. "Sangat menyedihkan untuk mempercayai mitos seperti itu, hanya karena kau sangat menyayangi dia. Cinta memang membuat seseorang menjadi lemah."
"Dari mana kau tahu kalau aku sedang membuat senbazuru—seribu bangau kertas?"
"Oh ayolah, aku harus bisa melihat peluang-peluang untuk menghancurkan kalian. Tidak kusangka, ternyata seorang Ulrich Stern yang kuat seperti ini bergantung kepada mitos seribu bangau kertas!"
Tangan kiri Ulrich dengan tanggap merogoh pisau lipat yang ada di saku celananya. "Cukup semua basa-basinya, X.A.N.A, aku muak dengan semua itu."
"Oh, jadi kau takut jika kelemahanmu terungkap?" program komputer itu merasa memiliki kesempatan untuk meledek musuhnya satu ini. "Menyedihkan. Tapi kalau kau ingat, aku yang membuat dia tertidur lelap seperti ini. Apa kau percaya kalau aku juga bisa membangunkannya kembali?"
"Yang aku tahu adalah," rahang pemuda itu mengeras sementara tangan kanannya mengarahkan pisau lipatnya ke arah sang dokter, "kau nyaris tidak pernah menawarkan sesuatu yang baik kepada kami—kami yang harus mengusahakannya dan kau hanya bisa membantu kami mengulangnya kembali dari awal."
"Yah, sepertinya aku harus sedikit mengubah taktikku, Stern," dokter itu tidak melepaskan pegangannya dari jarum infus yang menusuk tangan Yumi, seakan-akan jika Ulrich benar-benar menyerangnya, dia tidak akan segan-segan melepasnya sebagai peringatan awal. "Lagipula, jangan berpikir kau bisa mengulur waktu dengan berbicara seperti ini, kita bisa bersantai sedikit sekarang! Aku sudah mengirimkan cukup banyak asistenku untuk menghambat teman-temanmu. Mungkin saja si jabrik itu sudah dipaksa keluar dari Lyoko."
(Oke, itu kabar yang cukup buruk.)
"Jadi niatmu datang ke sini adalah untuk membuat penawaran? Kau membangunkan Yumi dan aku akan memberimu sesuatu yang kau inginkan? Memangnya apa yang kau mau, aku dikuasai olehmu dan menjadi pelayanmu?"
"Aku tidak terlalu membutuhkan hal-hal sepele seperti itu, asal kau tahu saja. Namun mungkin bisa kucoba suatu hari nanti. Yang kubutuhkan selama ini adalah kekuatan untuk membuat serangan-serangan yang lebih besar lagi. Hal-hal yang bisa menambah kekuatanku bukan hanya pilihan kembali ke masa lalu, itu hanya salah satu contoh."
Mata zamrud itu menunjukkan amarah yang semakin memuncak. "Tolong jelaskan padaku apa maumu sekarang juga, X.A.N.A."
"Baiklah, kau perlu tahu kalau memori manusia adalah salah satu sumber kekuatan yang sangat besar. Dan aku bisa mengambil memori itu dengan bantuan asistenku, Scypozhoa. Kau, Ulrich Stern, bisa memberiku memori itu dan aku akan membangunkan gadis yang kau sayangi ini sebagai bayarannya."
"Kau ingin membuatku amnesia? Enak saja! Itu berarti musuhmu akan berkurang satu juga! Mana mungkin aku bisa bertempur melawanmu seoptimal mungkin jika aku tidak ingat kemampuan-kemampuanku?"
Sang penawar malah tertawa keras, "Hahaha, tentu saja tidak seperti itu, Stern! Aku hanya akan menghilangkan sedikit memorimu yang tidak berguna. Yumi Ishiyama adalah orang yang sangat penting dalam hidupmu, benar bukan? Aku akan menghilangkan hanya memorimu tentang gadis ini. Bagaimana?"
Memori tentang Yumi akan menghilang, namun Yumi akan sehat sedia kala.
Ulrich Stern membeku di tempat.
"Pilihan yang sulit, ya?" sang dokter tertawa sinis. "Ah, elf kecil kita sudah memasuki menara. Besok, aku akan berkunjung ke sini. Kuharap kita bisa bicara empat mata lagi dan pada saat itu, keputusan sudah harus kuterima. Sampai jumpa, Stern."
/ Aelita. Code Lyoko. /
Perlahan gas hitam menguap keluar dari tubuh dokter itu, dan membiarkan tubuh yang ditinggalkan terjatuh ke lantai. Refleks, pemuda Jerman itu menangkapnya dan mendudukkan tubuhnya di dekat jendela, menepuk-nepuk bahunya agar bisa segera terbangun. Saat dokter itu mulai membuka mata, Ulrich langsung melesat pergi. Tidak ada yang boleh tahu kalau anggota Pejuang Lyoko sangat sering menyelinap ke kamar Yumi.
.
.
Sembari menuruni talang air dan berjalan pulang menuju Akademi Kadic, pemuda itu meremas rambut coklatnya erat-erat sampai merontokkan beberapa helai yang terjatuh tak berharga diterpa angin musim gugur ala Paris. Saat kedua kakinya berhenti di depan sebuah butik, Ulrich menatap dirinya sendiri di depan cermin. Bukan, bukan alasan-alasan narsisme itu. Dia hanya ingin melihat fakta perubahannya selama delapan bulan ini, yang bukan hanya terdiri dari suaranya yang semakin berat dan tubuhnya yang bertumbuh tinggi semakin cepat—mungkin sekarang sudah lebih tinggi dari Yumi.
Setahun lebih mengenal Yumi dan berjuang bersamanya di Lyoko, sampai jatuh cinta kepada gadis itu, membuat sifat Ulrich berubah menjadi lebih terbuka dan bersahabat.
Delapan bulan kehilangan senyum pemilik rambut hitam itu merubah Ulrich pula, menjadi seseorang yang cukup depresi untuk mempercayai mitos senbazuru, berharap agar gadis yang dia sukai bisa tertawa lagi seperti dulu dan mengayunkan kipasnya ke arah Krankelat atau Blok menyebalkan itu.
Angin musim gugur menggelitik kulitnya dan mengajaknya tersenyum. Sekarang dia sudah memiliki cara untuk merebut kembali semua senyuman dan tawa dari gadisnya, namun ada harga yang harus dibayar. Semua yang dimiliki Yumi Ishimaya dan hal-hal yang memiliki hubungan dengannya adalah sesuatu yang sangat berharga di mata Ulrich Stern. Termasuk memori tentang Yumi.
Karena jika kehadiran Yumi bisa membuatnya jatuh cinta, maka memori tentang Yumi bisa membuatnya tetap mencintai Yumi. Jika Yumi kembali hadir secara utuh dalam kehidupannya, namun tidak dengan memori-memori itu, apa perasaan cinta yang dia miliki akan tetap terasa sama? Ulrich takkan pernah tahu.
Terdengar egois memang, namun Ulrich membutuhkan semua memori itu.
.
.
Odd Della Robbia sangat mencintai makanan, apalagi jika menu yang tersedia di kafetaria Akademi Kadic adalah sesuatu yang sangat spesial seperti malam ini. Dan apalagi jika ada orang yang tidak menyentuh makanannya sama sekali seperti manusia berambut emo di hadapannya ini.
"Hei, Ulrich, makananmu untukku ya? Sepertinya kau sama sekali tidak lapar."
"Ambil saja, Odd," yang ditanya hanya menyodorkan piringnya ke arah nampan Odd. "Aku tidak lapar."
"Hei, Ulrich, ini kan spageti dan bola daging?" temannya yang menggunakan kacamata mengerutkan kening. "Jarang-jarang Kadic menyediakan makanan yang cukup enak seperti ini."
"Jeremie benar," pemilik rambut sewarna permen karetdi samping pengguna kacamata itu mengiyakan. "Pasti ada masalah yang sangat besar sampai kau tidak bernafsu makan seperti ini. Bisa kau ceritakan pada kami?"
Yang ditanya—diinterogasi—hanya menggelengkan kepalanya perlahan, lalu bangkit dari kursi kafetaria. "Aku ingin pergi ke kamarku."
Melihat tanggapan lesu temannya sang samurai, Odd hanya dapat menghela napas panjang. "Di saat seperti ini, hanya Yumi yang bisa membongkar masalahnya. Sayangnya dia belum mau bangun juga."
.
.
Tangan-tangan sang samurai yang dari tadi dibahas oleh Odd, Jeremie, dan Aelita, sebenarnya sedang membentuk origami bangau-bangau kertas baru aneka warna di kamarnya (dan Odd) sambil memikirkan orang yang menjadi tujuan utamanya membuat bangau-bangau kertas ini.
"Jeremie, kau tahu ini jam berapa dan hari apa, kan? Jam tujuh pagi di hari Minggu!"
/ "Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan, Ulrich! X.A.N.A mengaktifkan satu menara di Sektor Kutub! Aku tidak tahu serangan apa yang dilakukannya, tapi Yumi sedang berjalan-jalan dengan keluarganya. Aku butuh kau dan Odd di pabrik, sekarang!"
"Oke, Enstein, aku akan segera ke sana."
Kertas berwarna jingga itu mulai dilipat dalam berbagai arah. Lipat menjadi segitiga, buka lipatannya, lipat lagi menjadi segitiga ke arah yang lain. Lipat menjadi persegi panjang, buka, lipat lagi menjadi persegi panjang ke arah yang lain. Buat sebuah belah ketupat. Terus menerus dilipat menjadi sebuah bangau kertas yang cantik.
Satu bangau kertas sudah selesai. Masih ada lebih dari tiga ratus bangau yang harus dibuat dan harapannya akan terkabul—itu pun jika mitos Jepang ini benar-benar bisa terjadi kepada seorang pemuda empat belas tahun dengan kewarganegaraan Jerman.
Jeremie Belpois bersandar penuh kelegaan ke kursinya dan meletakkan headphone di atas keyboard komputer."Fyuh."
Seorang pemuda bermata zamrud melangkah keluar dari lift. "Aku bisa mendengar desah napasmu, Jeremie. Kelelahan?"
"Tapi harus kuakui, Ulrich," pemuda maniak ungu itu menepuk pundak sang samurai cukup keras untuk membuatnya meringis kecil, "pertempuran kali ini cukup berat. Dua Tarantula dan tiga Blok. Jangan lupa satu Scypozhoa spesial untuk Tuan Putri. Sepertinya serangan X.A.N.A yang satu ini sangat penting."
Lima bangau kertas baru sudah siap untuk diikat. Ulrich mengeluarkan satu gulung benang kasur dan sebuah gunting, lalu mulai mengikatkan kelima bangau kertas aneka warna itu menjadi satu untaian. Sempurna, siap digantungkan kapan saja ke 'Pohon Permohonan' khusus Ulrich Stern.
Hari ini adalah hari Sabtu pukul delapan malam. Waktunya untuk mengabaikan semua tugas untuk seminggu ke depan, bersenang-senang, dan tidur di larut malam untuk akhirnya menghabiskan sarapan pukul dua belas siang. Apalagi kalau tidak ada tugas seperti hari ini. Jadi Ulrich memutuskan untuk terus mengerjakan bangau-bangau kertas itu sampai dia lelah.
"JIM! Ke sini, sekarang!"
Ini adalah Minggu sore yang tenang, namun suara Kepala Sekolah Delmas membuat Odd dan Ulrich yang kebetulan sedang melintas langsung bersembunyi di balik tembok untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Langkah-langkah kaki Jim Morales yang berat semakin mendekat dan akhirnya ada jawaban atas panggilan tadi.
"Ya, Pak Delmas, ada apa?"
"Salah satu murid kita, Yumi Ishiyama, mengalami kecelakaan sekitar pukul tujuh pagi dan sekarang masih koma di rumah sakit dekat sini."
Delapan bulan terakhir ini, Ulrich memiliki kebiasaan baru untuk menghabiskan malam Minggunya: membuat bangau-bangau kertas sambil memikirkan Yumi, yang kadang-kadang berakhir dengan menyelinap ke kamar gadis itu sambil berusaha menghindar dari mesin-mesin aneh yang menopang hidup orang yang dia sayangi, memegangi tangannya sepanjang malam sampai mengantuk—untung dia tidak pernah tertidur di kamar Yumi.
Mengingat kebiasaannya untuk memikirkan Yumi membuat memori-memori itu semakin berharga—sangat sayang untuk membuangnya melalui Scypozhoa sialan itu dan berakhir sebagai qubit-qubit untuk memperkuat X.A.N.A, sesuatu yang sangat tidak berharga. Sama saja seperti mengalungkan emas ke leher babi.
"Pantas saja tadi sore ada banyak gagak di langit ..."
Ulrich bergumam di balik posisi tubuhnya yang sedang meringkuk seperti bola, tangan memeluk kedua kaki, merosot ke lantai rumah sakit yang dingin dan berbau kimia menyengat, berusaha mencari kehangatan dari diri sendiri.
"Yumi akan cepat sembuh, Ulrich," Aelita tersenyum sedih sambil menepuk bahunya perlahan, "kita semua membutuhkannya di sini sekarang."
"Aku tidak yakin Aelita, firasatku berkata dia akan koma dalam waktu yang lama. Seharusnya kita bisa menonaktifkan menara itu lebih cepat!"
Mata zamrud itu kembali menyusuri setiap helai kertas persegi warna-warni yang sudah dia lipat menjadi bangau-bangau kertas. Ini untuk Yumi, dia berlelah-lelah melakukan ini semua hanya untuk Yumi, menghabiskan setiap waktu luangnya hanya untuk Yumi ... atau hanya untuk sebuah kebodohan belaka?
Maka dalam depresinya, kaki-kaki yang biasanya menendang bola sepak di lapangan Kadic memiliki tugas baru untuk menyeret pemiliknya menuju kediaman keluarga Ishiyama yang sudah dihafalnya luar kepala.
"Kau tahu tidak, Yumi?" Ulrich berbisik pada angin malam yang asyik memainkan poni coklatnya, seakan di sampingnya ada sahabat akrabnya itu. "Semua ini membuatku semakin gila saja, hanya kau yang bisa membenarkannya."
.
.
Hal terakhir yang Ulrich ingat adalah dirinya memegang erat tangan Yumi, mulai merasa mengantuk, masih menceritakan apa yang terjadi sepanjang minggu ini, namun tetap bertahan di kamar gadis itu. Biasanya dalam kondisi seperti itu dia akan segera keluar, namun entah mengapa dia tetap ada di sana.
Saat dia membuka mata, yang dia rasakan adalah sinar matahari musim gugur yang tidak terlalu menyengat, menandakan sebuah hari baru telah datang. Selain itu, sepertinya tangan kanannya masih menggenggam sesuatu sepanjang malam. Kedua telinganya juga disambut oleh bunyi 'bip' yang konstan, seperti berasal dari mesin pembaca detak jantung. Biasanya, dia disambut oleh bunyi 'grok' konstan dari bibir Odd yang masih tertidur lelap di hari Minggu seperti ini.
Tunggu. Semua ini menandakan kalau dia baru saja menghabiskan Sabtu malamnya di kamar Yumi. Wajah tenang gadis itu tertangkap di mata zamrudnya saat dia sudah sadar sepenuhnya.
Ulrich tidak pernah tertidur di kamar Yumi, sampai hari ini. Dia pasti semakin depresi.
.
.
"Hei, Odd, boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?"
Yang ditanya hanya berbalik badan dan membiarkan matanya mengikuti pergerakan teman sekamarnya dari posisi berdiri di belakangnya sampai duduk tegap di kafetaria Kadic. "Seharusnya aku yang bertanya lebih dulu, Ulrich, kau ke mana saja tadi malam? Jim nyaris mengetahui kalau kau tidak kembali ke asrama, kalau aku tidak menyamarkan tempat tidurmu dan beralasan kalau kau sempat pilek tadi."
"Aku tertidur di kamar Yumi."
"Kau, tadi malam, tidur di kamar Yumi?" giliran gadis hasil virtualisasi yang membuka mulutnya. "Apa kau gila? Kita hanya menyelinap ke kamarnya kalau X.A.N.A menyerangnya! Apa kau tidak memikirkan apa yang akan terjadi kalau orangtua Yumi sampai tahu soal ini?"
"Aku tahu, Aelita, Odd, aku tahu risiko itu!" Ulrich mencelupkan roti croissant ke dalam mangkuk susunya penuh kekesalan. "Toh aku melakukannya hampir setiap Sabtu malam, dan tidak pernah tertangkap."
Mendengar jawaban seperti itu, Jeremie menggelengkan kepalanya berulang kali. "Kita menemukan jalan itu untuk menolong Yumi, Ulrich Stern, bukan untuk membiarkanmu memiliki kencan pasif dengannya."
"Aku mungkin sering menyelinap ke kamar Yumi, tapi baru kali ini aku tertidur di kamarnya. Sungguh! Kau juga menyadari hal itu, benar bukan, Odd?"
Merasa ikut dituduh, Odd hanya mengangkat bahu dan cepat-cepat menelan makanan di mulutnya. "Aku tidak tahu juga, sih, sebenarnya. Aku sering tidur cepat, kau tahu itu, kan?"
Ulrich mendengus, merasa tidak tertolong. "Ya, ya, ya. Aku minta maaf atas apa yang terjadi tadi malam, dan tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh."
Hari ini hari Minggu. Seharusnya, X.A.N.A akan melancarkan serangan ke kamar Yumi lagi, dan akan berusaha menghalangi Ulrich untuk pergi ke Lyoko. Saat serangan itu tiba, dia harus ada di sana dan memberikan jawaban. Namun sampai sekarang, dia masih tidak tahu harus menjawab apa.
Yumi memulai kegilaan ini. Memori tentangnya mempertahankan semuanya. Ulrich tidak tahu mana yang harus dilepaskan—keduanya sama-sama penting baginya.
"Aku ingin menanyakan pendapat kalian. Mana yang kalian pilih; kehadiran seseorang atau memori tentang seseorang?"
Odd memberi tatapan menyelidik. "Seseorang yang kau maksud di sini adalah Yumi, bukan? Kau cukup mudah dibaca, tahu."
"Terserah kau, Odd," Ulrich memilih untuk tidak menanggapi pertanyaan itu dan menatap teman-temannya yang lain. "Katakanlah, aku sedang mengisi kuis kepribadian. Hei, mana yang kalian pilih?"
.
.
/ Jangan bersikap egois, Stern. /
Kalimat dalam Bahasa Jerman itu menghantui pikirannya sepanjang hari ini, mungkin berasal dari salah satu tumpukan memorinya yang ada. Tapi apa ini? Tidak mungkin dia pernah mendengarnya di Kadic—atau mungkin ini memang dalam Bahasa Prancis, hanya saja dia selalu mengingatnya dalam Bahasa Jerman.
/ Jangan bersikap egois, Stern. Kau tidak bisa memilikinya terus-menerus. Kalau kau ingin menang, biarkan temanmu yang kau percayai mengambilnya darimu. /
Oh, dia baru ingat sekarang. Itu adalah kata-kata pelatih klub sepakbolanya di Jerman dulu, waktu dia baru bergabung dengan mereka. Saat itu masih latihan, dan tim Ulrich kalah karena striker kecil itu tidak mau mengoper bola kepada yang lain karena takut kalah—dan malah membuahkan kekalahan pertamanya.
Lalu apa hubungannya dengan apa yang sedang dia alami?
Sejenak, pemuda itu berpikir keras, dan akhirnya menyadari sesuatu.
Pejuang Lyoko sejak awal berjumlah lima orang. Satu operator, satu pemegang kunci, tiga pejuang penjaga. Kini dengan berkurangnya satu pejuang, mereka cukup kesulitan untuk melawan musuh mereka, dan kehadirannya sangat dibutuhkan oleh semua. Kekurangan satu orang sanggup membuat mereka nyaris timpang.
Mengapa selama ini, Ulrich bersikap begitu egois dengan mempertahankan memori tentang Yumi—padahal teman-temannya, termasuk dirinya juga, sebenarnya membutuhkan kehadiran Yumi sebagai seorang pejuang, bukan sosok yang perlu dilindungi?
Orang-orang berkata kalau perasaan tidak ada hubungannya dengan memori. Jika benar, maka Ulrich akan bisa jatuh cinta lagi dengan Yumi walaupun memori tentangnya sudah menghilang. Tidak akan bedanya. Saat ini, ada banyak orang yang ingin Yumi kembali sadar dan beraktivitas secara normal, dan inilah prioritasnya. Kalau dia beruntung, mungkin dia bisa merebut kembali semua memori itu.
Hari Minggu sedang dia jalani, dan jam berapa pun X.A.N.A akan menyerang hari ini, Ulrich sudah memiliki satu jawaban pasti.
.
.
"Kejutan yang menyenangkan, X.A.N.A," pemuda itu membetulkan rompi coklatnya sambil melemparkan pandangan sinis. "Tidak kusangka, kau akan menyamar sebagai ibunya Yumi. Kalau anak yang melawan ibunya sendiri, pasti lebih menyenangkan."
Akiko Ishiyama yang sedang dikuasai X.A.N.A balas tertawa sinis. "Tidak ada orang yang ingin terlihat buruk di depan calon mertua, Stern, itulah yang kuketahui. Begitu juga dengan kau."
"Yah, terserah padamu. Kau hanya berkunjung untuk mendengarkan jawabanku, itu yang kutahu. Bukan untuk menyerang Yumi."
Ibu itu masih menggenggam erat kabel-kabel pemacu jantung yang siap untuk dicabut, seakan-akan menegaskan kepada lawannya bahwa dialah yang berkuasa di dalam kondisi seperti ini. "Aku tidak berkata apa-apa soal menyerang gadis ini. Aku hanya berkata kalau aku akan mengunjungimu untuk mendengarkan jawabanmu. Jadi, jawab aku. Mana yang kau pilih, melihat Ishimaya kembali sehat, atau mempertahankan memorimu?"
Yang ditanya melirik sekilas ke arah sahabatnya yang masih terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Sebentar lagi, dia akan terbangun setelah tertidur selama delapan bulan. Ulrich menatap mata Ibu Akiko dengan mantap. "Aku akan menyerahkan memoriku padamu, jika saat ini juga, kau membangunkan Yumi."
X.A.N.A membuat kepala Akiko mengangguk cepat dan menggetarkan pita suaranya. "Baik, aku akan langsung membangunkannya, lalu pergi. Kau memiliki waktu tiga hari sebelum aku melakukan serangan lagi. Saat itu, kau harus ada di Lyoko. Asistenku, Scypozhoa, tetap akan mengincar Aelita sampai dia masuk ke dalam menara yang kuaktifkan, setelah itu kau yang akan mendatanginya."
Pemuda itu mengerutkan kening. "Aku yang nanti menyerahkan diriku sendiri kepada Scypozhoa? Bukankah seharusnya monstermu itu yang mengincarku?"
"Aku tidak mau memaksamu, Stern, aku ingin melihat tanggung jawabmu," X.A.N.A menjawab santai, namun tetap memberi aura mencekam. "Kalau sampai kau lupa dengan perjanjian ini, kau tahu apa yang bisa aku perbuat. Setuju?"
Tanpa keraguan sedikit pun, sambil membayangkan hal baik yang akan terjadi dalam hitungan menit, Ulrich Stern menerima uluran tangan X.A.N.A—Akiko—dan menjabatnya erat sambil tersenyum. "Kita harus saling menepati janji kali ini."
Akiko berjalan keluar dari ruangan itu, lalu perlahan gas kehitaman melayang-layang di udara, menyusup ke dalam mesin-mesin yang selama ini menopang kehidupan Yumi. Seakan-akan X.A.N.A sedang berusaha merusaknya, walau sebenarnya program komputer itu sedang melakukan hal yang benar.
(Tolong, selamatkan Yumi.)
Perlahan, saat gas-gas hitam itu terangkat seluruhnya ke udara, gadis yang telah merebut hati sang bintang sepak bola Kadic itu membuka matanya, membuat Ulrich mengukir sebuah senyum kebahagiaan di wajahnya. Tangannya menggenggam erat tangan Yumi dan bibirnya membisikkan sesuatu ke telinganya, sebelum akhirnya kembali menuruni talang air tepat saat pemilik rambut hitam itu sadar seutuhnya.
"Selamat pagi, Yumi."
.
.
Harus dia akui, Yumi benci dengan kenyataan bahwa dia harus mengulang kelas 9. Memang ini normal, karena dia sudah tertidur selama delapan bulan dan tidak bisa mengikuti ujian kenaikan kelas, namun rasanya sangat tidak menyenangkan untuk menghabiskan satu tahun lebih lama dari orang-orang lain di Akademi Kadic, di mana menu kafetarianya sangat membuat mual dan guru-gurunya mengajar dengan cara yang sangat tidak menarik.
Setidaknya, masih ada sisi positif dari tinggal kelas—dia bisa ikut dalam kelas yang sama dengan teman-temannya sesama Pejuang Lyoko, dan tidak apa-apa jika dia tertinggal satu bulan, toh dia sudah pernah mempelajarinya.
Langkah-langkah kaki Yumi yang tadinya lesu karena sudah harus masuk ke sekolah—sebenarnya dia bisa beristirahat lebih lama, tetapi setelah dipikir-pikir, mungkin Lyoko akan membutuhkan bantuannya jika ada serangan X.A.N.A lagi—mendadak menjadi lebih cepat saat melihat teman-temannya sudah menunggunya di dekat mesin penjaja minuman. Ah, senang rasanya bisa menjalani hari bersama sahabat sendiri.
"Selamat datang kembali, Yumi," sesosok anak berambut merah muda melambaikan tangannya dengan ceria. "Akhirnya, setelah delapan bulan, kau kembali!"
Jeremie tetap melekat dengan laptop kesayangannya, sementara Odd ikut tersenyum ceria dan melambaikan tangan. "Akhirnya, aku tidak perlu menjaga Aelita sendirian!"
Merasa tersindir, Aelita memasang wajah cemberut dan menyilangkan kedua tangan di dada. "Oh, ayolah, Odd, aku kan sudah memiliki senjata medan energi sekarang! Aku sudah bisa melindungi diriku sendiri!"
"Jadi sekarang kau memiliki kemampuan untuk membela diri, Aelita?" mata hitam itu berbinar-binar. "Akhirnya kau tidak terlalu lemah lagi sekarang."
Jeremie beralih dari monitor laptop. "Ya, sejak lima bulan lalu, tepatnya. Kupikir dengan absennya kau untuk waktu yang tidak bisa diperkirakan, Aelita akan butuh sesuatu untuk membantunya melindungi diri."
Yumi memang senang untuk kembali bersekolah—dengan alasan untuk bertemu teman-temannya—namun ada satu hal yang kurang. Di antara keempat sahabatnya, masih ada satu orang lagi yang tidak bereaksi apa-apa; satu orang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan sepertinya merupakan sumber suara yang mengucapkan 'selamat pagi' dan menjadi hal pertama yang dia dengar hari itu.
"Hei, Ulrich, kau tidak merasa kehilangan aku sama sekali, ya?"
Entah apa yang telah terjadi pada samurai Lyoko itu selama delapan bulan terakhir ini, Ulrich tersentak seperti baru bangun tidur saat Yumi berdiri tepat lima puluh sentimeter di depan batang hidungnya, berkacak pinggang dan memasang ekspresi tidak senang. "Oh, eh, h-hai, Yumi. Kau sudah bersekolah lagi?"
Mendengar reaksi terbata-bata seperti itu, Yumi memutar matanya. "Aku sudah ada di antara kalian sejak sepuluh menit yang lalu, mendengarkan teriakan selamat datang setelah koma selama delapan bulan, dan kau bahkan tidak menyadarinya? Bangun, Ulrich, bel akan berbunyi sebentar lagi!"
KRIING.
"Ah, kau benar, Yumi, sudah waktunya masuk kelas! Maaf, aku tidak bisa absen terus dalam pelajaran Bu Hertz!"
Yumi nyaris melangkah ke arah yang berlainan dengan keempat sahabatnya saat dia teringat kalau dia sudah tinggal kelas. Berjalan cepat sampai sejajar dengan Ulrich, gadis itu tertawa kecil saat sahabat Jermannya kaget melihatnya mengikuti kelas yang sama dengan mereka. "Hei, untuk apa mengikuti pelajaran kelas 9 lagi? Kau itu kakak kelasku."
"Kau lupa, ya? Aku tinggal kelas karena tidak mengikuti ujian kenaikan kelas! Jadi, mulai sekarang, aku akan sekelas dengan kalian semua."
Ulrich tersenyum senang. "Benarkah? Hmm ... kalau begitu, apa kau mau duduk di sebelahku di kelas Bu Hertz nanti? Mungkin kau bisa membantuku menjauhkan Sissi dari hadapanku."
Sebuah anggukan cepat dan senyum tulus menjadi pengganti jawaban 'ya'.
Selama melangkahkan kakinya di samping Ulrich menuju kelas Bu Hertz yang sangat tidak menarik itu, Yumi menyadari perubahan yang terjadi selama delapan bulan ini. Dia tidak lagi menunduk untuk bicara dengan Ulrich, justru dia yang harus mengangkat kepala. Pemuda itu tidak hanya bertumbuh melebihi tingginya kini, suaranya juga menjadi lebih berat dan dewasa. Rasanya agak aneh untuk menerima kenyataan kalau Ulrich sekarang lebih tinggi darinya, dan bahwa dia akan memasuki kelas yang sama dengannya, namun dia percaya dia akan segera terbiasa dengan semua ini.
.
.
/ Tiga hari, Ulrich Stern. /
Kata-kata itu menggema di dalam sel otaknya, menyebabkan dirinya nyaris tidak dapat berkonsentrasi selama jam pelajaran Fisika. Nyaris saja dia terkena omelan Bu Hertz yang memuakkan, kalau Yumi tidak menyikutnya di waktu yang tepat. Semua perintah dari X.A.N.A yang terucap di hari Minggu itu terus-menerus menempel di otaknya, membuatnya tidak bisa menghindar dari utang yang harus dia lunasi.
Hari ini hari Selasa. Dua hari digunakan Yumi untuk beristirahat dan membiasakan diri setelah koma selama delapan bulan. Hasil pemeriksaan dokter juga menyatakan kondisi tubuh Yumi normal, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepertinya X.A.N.A bukanlah rentenir yang akan mencurangi orang-orang—berharap saja nanti si Scypozhoa tidak menyerap memorinya lebih dari perjanjian antara dia dan X.A.N.A.
Mungkin nanti sore, program komputer sialan itu akan benar-benar menyerang mereka lagi—entah dengan cara yang bagaimana, tidak ada yang tahu. Semua informasi ini membuat Ulrich mulai kehilangan akal sehat, namun dia tidak bisa memberitahukan yang lain—bahkan tidak kepada Yumi.
Yumi Ishiyama. Menarik, terlihat agak misterius tapi bukan karena dia selalu memakai baju hitam. Kuat, sanggup mengalahkannya di ekskul Pencak Silat saat mereka pertama kali bertemu. Setia kawan, sigap melawan jika teman-temannya diusik oleh X.A.N.A. Cantik dengan caranya sendiri, seperti matanya yang agak sipit khas orang Asia Timur, atau rambut hitam sebahunya yang berkilauan diterpa sinar mentari. Manis, terutama saat dia sedang tertawa mendengar salah satu lelucon Odd.
Ulrich akan melakukan apa saja demi keselamatan gadis ini—seperti apa yang sedang dia lakukan dengan perjanjian sinting ini. Demi kebahagiaan Yumi, tak peduli kondisinya.
"Hei, Ulrich, ada masalah apa? Dari tadi kerjaanmu hanya melamun saja. Ceritakan saja padaku, aku bisa menjaga rahasia."
Pemuda itu (lagi-lagi) tersentak—dia ketahuan sedang memandangi Yumi! "Oh, iya, maaf Yumi, aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Dia mengangkat dua jari tangan kanannya membentuk huruf V. "Sumpah!"
"Kau tidak terlihat baik-baik saja. Ini sudah ke-sekian kalinya aku melihatmu tidak fokus seperti itu, pasti ada masalah."
Yang menjadi tertuduh hanya menghela napas panjang, lalu menatap sahabatnya dalam. "Dengarkan aku baik-baik, Yumi. Apapun yang terjadi, aku benar-benar senang, akhirnya kita berlima bisa berkumpul seperti biasa. Oke?"
Ragu-ragu, akhirnya gadis di hadapannya itu mengangguk perlahan. "O-oke, Ulrich."
(Percayalah, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk tetap mencintaimu, Yumi.)
.
.
Walaupun tubuh secara fisik bisa berubah, namun penampilan virtual sepertinya agak sulit diubah. Ulrich sepertinya akan selalu lebih pendek daripada Yumi dalam wujud Lyoko masing-masing, bukan masalah besar.
"Yumi!" sang samurai mencabut katana dari seekor Krankelat yang segera meledak karena kehabisan poin nyawa. "Bantu Aelita menjauh dari Scypozhoa, aku akan mengurus monster-monster lainnya!"
Tanpa banyak bantahan, sang ninja perempuanmengangguk dan mengajak teman elf mereka untuk meninggalkan Ulrich sendirian. Odd dan Jeremie pasti kewalahan menangani perilaku mesin-mesin di dalam pabrik yang mulai beraksi seenaknya—dan ada di bawah kontrol X.A.N.A, sebenarnya.
Pemuda itu bisa melihat si monster merah muda yang sedikit mengingatkannya dengan ubur-ubur itu, bersembunyi di tempat yang hanya bisa diketahui oleh X.A.N.A, scanner di komputer, dan dirinya sendiri, menanti utang yang harus ditepati. X.A.N.A boleh bertambah kuat dengan mengambil memorinya, namun dia harus ingat kalau salah satu kekuatan mereka juga sudah kembali.
Setelah memastikan bahwa Aelita sudah memasuki menara, Ulrich dengan mantap berjalan menuju sang Scypozhoa. Setiap langkahnya diiringi oleh potongan memorinya dengan Yumi yang tidak mau berhenti, seakan semuanya ingin berteriak memintanya berhenti dan kembali.
/ "Hei, Ulrich, apa yang kau lakukan?" /
Samurai itu tertawa kecil mendengar teriakan Jeremie yang memiliki nada kebingungan di dalamnya. Sebentar lagi, kalau dia bisa melihat apa yang akan terjadi, anak berkacamata itu pasti berteriak dan menyuruhnya berhenti. "Hanya ingin melakukan sesuatu, Jeremie, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
/ "Kau serius, Ulrich? Biasanya kau menunggu untuk ... astaga, jangan bilang kau sedang berjalan ke arah Scypozhoa! Hentikan ini semua! Cukup Aelita yang pernah berurusan dengan monster itu!" /
Ping, pong. Tebakannya benar, Jeremie pasti akan berteriak seperti itu. "Hei, sudah kubilang padamu, jangan khawatir! Aku akan baik-baik saja, hanya harus mengurus sesuatu."
/ "Tepatnya sesuatu seperti apa? Mengapa kau tidak menceritakan tentang hal ini? /
Yang ditanya hanya tersenyum kecil dengan mata sedih. "Sudah delapan bulan aku menunggu, Jeremie. Delapan bulan, dan hanya ini jalan terbaik yang kutemukan. Aku tidak tahan lagi dengan semua ini, aku tahu kita semua memerlukannya."
/ "Hei, jangan bilang kau membuat perjanjian dengan X.A.N.A untuk—" /
"Oh, halo, Odd!" sang samurai melambaikan tangan ke atas dan memotong kata-kata temannya. "Kau ada di dekat Jeremie, ya? Oke, harus kujawab, ya. Dan berdasarkan perjanjian, aku akan melakukan sesuatu yang tidak akan membahayakan diriku dan lainnya."
/ "Astaga, menurutku apapun yang akan kau lakukan saat ini, tetap saja memiliki unsur ba-ha-ya!" /
/ "Yumi? Yumi, kau mendengarkanku? Cepat hentikan Ulrich! SEKARANG!" /
"Oh, Jeremie, tidak perlu repot-repot!" Ulrich menatap ke belakangnya dan tersenyum jahil melihat dua Tarantula menghalangi jalan, lalu kembali berjalan mendekati si ubur-ubur merah muda aneh khusus untuknya. "Sepertinya X.A.N.A sudah mengirimkan monster peliharaannya untuk membantuku. Lagipula, janji harus ditepati, bukan?"
/ "Kau sudah gila, Ulrich." /
"Sepertinya 'gila' sudah menjadi nama tengahku."
Kedua iris zamrud itu menutup, membiarkan tubuhnya diangkat dari tanah dan dibelit oleh tentakel-tentakel transparan Scypozhoa, cukup kencang untuk memastikan sang tawanan tak akan bisa melarikan diri—memangnya dia berniat untuk melakukan itu?—bagaimanapun caranya. Tiga tentakel yang bertugas untuk menghisap memori menancap di kepala si samurai dan melakukan tugasnya.
Setelah itu, semuanya mati rasa, hanya ada kenangan-kenangan yang terulang secara acak seperti menonton film. Begitu jelas, begitu nyata, begitu menunjukkan seberapa besar rasa cintanya untuk sang gadis kebangsaan Jepang.
Saat Ulrich dan Yumi pertama kali bertemu dengan cara yang tidak menyenangkan—laki-laki dikalahkan oleh seorang perempuan di ekskul silat!
Saat mereka berdua melawan beberapa Krankelat yang dimaterialisasikan oleh X.A.N.A ke halaman Kadic ("Sepertinya kau tidak bisa bertahan tanpaku, Ulrich.").
Saat hari Valentine, di mana William memberi buket mawar untuk Yumi dan Sissi memberinya tiket konser Subdigital—betapa dia terbakar cemburu saat itu!
Saat Yumi terperangkap dalam penjara X.A.N.A dan digantikan oleh Yumi yang lain, dengan perilaku yang sangat aneh—senangnya bisa menghadapi Yumi yang sebenarnya.
Saat ayah Yumi kehilangan pekerjaan dan nyaris harus pindah kembali ke Jepang, dan dia dengan bodohnya menggunakan mesin waktu untuk membeli lotre dan membuatnya dikeluarkan sementara dari kelompok.
Saat Yumi terjatuh di laut digital di Sektor Hutan—seribu umpatan langsung diarahkan kepada kakinya yang tidak bisa berlari lebih cepat untuk menyelamatkannya.
Saat bibir mereka nyaris saling menyentuh di Sektor Gurun—pilihan kembali ke masa lalu benar-benar sukses mengganggu acara mereka yang sangat jarang terjadi itu.
Saat dia mengetahui kalau Yumi koma setelah mengalami kecelakaan yang melibatkan X.A.N.A—tidak ada yang mengerti betapa hancur dirinya untuk mendengar kabar itu.
Saat dia melakukan perjanjian dengan X.A.N.A, lalu menatap wajah Yumi yang begitu tenang, seakan ada semacam kekuatan berlebih untuk menghadapi ini semua.
Dalam waktu singkat, semua potongan kenangan berharga itu menghilang, berubah menjadi qubit-qubit tidak berguna yang hanya akan memperkuat musuh besarnya, tidak meninggalkan satu pun untuk membuatnya ingat betapa seorang Ulrich Stern mencintai Yumi Ishiyama. Tidak akan ada lagi.
(Aku mencintaimu, Yumi! Aku sangat mencintaimu!)
Kemudian, film itu dimatikan dan semuanya berubah menjadi kehampaan gelap.
.
.
"Ulrich Stern! Apa yang kau lakukan?"
Satu ekor Tarantula dan satu ekor Scypozhoa menghalangi dirinya dan tubuh lemas Ulrich yang tidak bisa melepaskan diri dari jerat tentakel-tentakel transparan itu. Apa yang X.A.N.A lakukan terhadap sahabatnya? Ingin menghapus ingatannya atau menguasai pikirannya? Tidak boleh!
SRET. BUM. PRANG.
Tangan sang ninja dengan sigap menangkap kembali kipasnya yang sudah berhasil menghancurkan satu Tarantula. Yang perlu dia lakukan hanya memutuskan tentakel-tentakel transparan itu dan ...
sepertinya gadis itu terlambat, karena tubuh Ulrich sudah diturunkan dari Scypozhoa, terbaring tak berdaya di atas rerumputan virtual, membuatnya secara refleks meneriakkan nama pemuda itu keras-keras dengan penuh rasa khawatir.
.
.
Saat Ulrich membuka matanya setelah jatuh terduduk dalam scanner, dia nyaris tidak bisa mengingat apa yang terjadi—yang dia tahu, ada urusan yang mereka lakukan di Lyoko. Kakinya begitu lemas seperti terbuat dari jeli, dan teman-temannya sudah mengerumuninya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Yang pertama kali menggetarkan pita suaranya adalah Jeremie. "Hei, Ulrich, kau tidak apa-apa, kan?" Penggila komputer itu mengacungkan tiga jari. "Jariku menunjukkan angka berapa?"
Dengan wajah yang terlihat agak lelah dan pucat, bibirnya menggerakkan sebuah kalimat. "Enam ratus empat puluh lima, Jeremie, masing-masing punya warna yang berbeda."
"Ini bukan waktunya untuk bercanda, Ulrich. Tapi syukurlah, ternyata kau baik-baik saja. Boleh aku melakukan pemeriksaan sedikit?"
Dengan sorot kebingungan, mata zamrud itu menatap teman-temannya. "Memangnya apa yang terjadi? Jeremie? Aelita? Odd? Walau aku tidak bisa mengingat apa yang baru saja terjadi, aku pasti hanya terdevirtualisasi, tidak lebih! Benar, kan?"
Odd hanya menggelengkan kepala dengan keras sampai ikut menggoyangkan rambut jabriknya. "Kau tidak hanya terdevirtualisasi, Ulrich. Kalau memang benar itu yang terjadi, seharusnya kau tidak akan pingsan selama nyaris lima belas menit. Sepertinya sesuatu yang aneh terjadi padamu di Lyoko sampai kondisimu seperti ini."
"Lima belas menit? Kau tidak sedang bercanda, kan?"
"Tentu saja tidak," Jeremie menarik napas panjang. "Jadi, tidak apa-apa kan, kalau aku melakukan pemeriksaan terhadapmu?"
Pemuda Jerman itu menghela napas, lalu berdiri tegak di dalam scanner. Jeremie, Odd, dan Aelita masuk ke dalam lift yang akan membawa mereka menuju superkomputer, di mana Yumi sudah menunggu mereka di sana.
.
.
WUSH.
"Aku tidak mengerti," gadis berambut kelam itu langsung membuka mulut tepat saat elevator terbuka sepenuhnya, "mengapa hanya aku yang disuruh tinggal di sini? Aku juga temannya Ulrich, tahu!"
"Aku tahu, Yumi," Jeremie berusaha menenangkannya, "aku akan menceritakannya nanti setelah mengetahui hasil pemeriksaan. Scan Ulrich!"
Sementara scanner dijalankan, Aelita berbicara dengan Yumi. "Lagipula, apa kau sadar kalau Ulrich tidak bertanya di mana kau tadi?"
Gadis itu terdiam. Benar juga kata-kata si pecinta merah muda itu, sedari tadi Ulrich tidak mempertanyakan absennya dirinya. Kalau dia menjadi Ulrich, dia pasti menanyakan hal itu. Apa mungkin pemuda itu hanya sekedar lupa, atau sesuatu memang terjadi saat dia dibelit oleh Scypozhoa? Setelah terlepas dari monster itu, Ulrich tidak sadarkan diri dan tidak terdevirtualisasi seketika, harus Jeremie yang melakukannya. Sepertinya memang ada memori yang terhapus.
"Hasilnya sudah keluar!" Jeremie berseru, membuat semua yang ada di ruangan itu mendekati layar komputer. "Ulrich, kau boleh bergabung dengan kami sekarang."
WUSH.
"Jadi, bagaimana hasilnya?" pemuda itu menatap teman-temannya, dan menyadari satu wajah yang tidak ada di dalam ingatannya. "Hei, kau, yang pakai baju hitam! Siapa kau? Aku baru pertama kali melihatmu di sini."
.
.
Demi mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari bibir orang yang dia sukai sejak setahun yang lalu, Yumi ingin membuka mata dan sadar kalau ini hanya mimpi buruk. Sangat, sangat buruk.
"Kau ... kau tidak ingat siapa aku, Ulrich? Ini bukan tanggal 1 April!" gadis itu mengerjapkan matanya berulang kali. "Ini aku, Yumi! Dan kita sudah saling mengenal sejak pertama kali kita menginjakkan kaki di Lyoko!"
Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya, bingung dengan apa yang terjadi. "Namamu Yumi? Aku ... aku sama sekali tidak bisa mengingatmu. Aku mengenal semua di sini, tapi tidak pernah ada kau!"
"Tidak mungkin, Ulrich, kau tidak bisa melupakanku! Coba ingat-ingat lagi!"
Biasanya, orang yang terkena amnesia akan merasa kesakitan saat dia harus mengingat masa lalunya yang terkubur di otaknya. Mungkin karena ini perbuatan X.A.N.A, Ulrich tidak merasakan sakit itu—yang dia tunjukkan hanya kebingungan. "Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya. Kau juga sesama Pejuang Lyoko?"
"Sepertinya aku mengerti apa yang terjadi," Jeremie angkat bicara. "Ulrich, sebaiknya kau pergi ke kamarmu dan beristirahat. Aku akan menjelaskan apa yang terjadi saat makan malam. Semuanya, aku janji."
Setelah sedikit desakan, akhirnya pemuda berambut coklat itu mengangguk dan berbalik meninggalkan pabrik serta teman-temannya.
Jeremie memulai kata-katanya. "Ehm," dehamnya, "sesuai dengan perkiraanku, X.A.N.A sudah menghapus sebagian memorinya dengan Scypozhoa. Kali ini, kita terlambat untuk menghentikannya, sehingga sepertinya memori-memori itu sudah menghilang sepenuhnya."
Odd yang pertama kali membuka mulut untuk bertanya. "Maksudmu, kita tidak bisa membuatnya ingat lagi, seperti orang yang lupa ingatan?"
"Amnesia dan penghapusan memori, sayangnya, adalah dua hal yang berbeda, Odd," pemakai kacamata itu mulai mengelap kacamatanya sambil tetap berbicara. "Amnesia hanya mengubur sebagian atau seluruh memori sehingga bisa diingatkan kembali, walau agak sulit. Penghapusan memori benar-benar menghapus," dia menekankan kata yang terakhir, "memori yang ada di dalam otak sehingga kita tidak bisa mengembalikannya bagaimanapun caranya."
Giliran Aelita yang bertanya. "Lalu, apa benar memori yang dihapus X.A.N.A hanyalah memori tentang Yumi? Sepertinya dia masih ingat tentang kita. Tapi untuk apa?"
"Sepertinya begitu, Aelita. Aku menemukan fakta bahwa kembali ke masa lalu bukan hanya cara untuk memperkuat X.A.N.A. Menyerap memori orang lain juga merupakan cara untuk menambah qubit. Tambahan kekuatan inilah yang diincar oleh musuh kita. Apalagi tadi Ulrich menyerahkan dirinya sendiri kepada Scypozhoa itu, pasti ada semacam perjanjian di antara mereka."
"Yah, sesuai tebakanku tadi," Odd mengiyakan. "Hei, Enstein, menurutmu perjanjian macam apa yang mereka buat?"
"Aku tidak bisa menebak secara pasti, tapi berdasarkan kata-kata Ulrich padaku dan apa yang terjadi akhir-akhir ini," Jeremie memakai kacamatanya dan menatap dalam satu orang yang dari tadi terdiam seribu bahasa, diikuti dengan yang lainnya, "aku yakin perjanjian yang mereka lakukan berkaitan dengan seseorang yang sudah membuat Ulrich menunggu selama delapan bulan."
Merasa ditetapkan sebagai tersangka, Yumi akhirnya mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap balik ketiga temannya. "Kau membicarakan aku?"
"Yumi," pemuda berambut pirang polos itu menarik napas panjang, "kau terbangun dari tidur panjangmu itu tepat saat X.A.N.A menyerangmu. Jujur saja, Odd dan Ulrich—terutama Ulrich—sering menyelinap ke dalam kamarmu untuk menghentikan serangan X.A.N.A yang mengancam keselamatan jiwamu selama kau koma. Kami memasang semacam alarm, agar kami saat kamarmu diserang. Saat kau terbangun, X.A.N.A baru saja menyerangmu dan orang yang ada di kamarmu adalah Ulrich."
"Tunggu sebentar," Yumi berusaha mencerna apa yang baru saja dia terima, "kau bilang Ulrich ada di kamarku? Jadi suara yang pertama kali kudengar itu ... memang suara Ulrich! Dia mengucapkan selamat pagi saat aku masih setengah sadar!"
"Tidak salah lagi, mereka pasti melakukan perjanjian itu di kamarmu. Aku baru saja mengetahui bahwa apa yang membuatmu selama ini tertidur adalah ulah X.A.N.A, walau aku tidak tahu pasti apa yang dia perbuat terhadapmu. Itulah sebabnya dia menawarkan diri untuk membangunkanmu, karena dia tahu caranya."
"Dan sebagai bayarannya, dia memberikan memorinya tentangmu kepada X.A.N.A," Aelita membantu membuat kesimpulan. "Menurutku, keputusan yang dia buat ini sangat berisiko. Bisa saja memori yang terhapus lebih dari sekedar memori tentang Yumi, atau yang lebih parah lagi, Ulrich sepenuhnya dikuasai oleh X.A.N.A. Dia pasti bisa melakukan hal itu."
Odd angkat bicara. "Jeremie, apa menurutmu kita bisa mengembalikan memori Ulrich? Dia pasti sangat kebingungan dengan semua ini."
"Aku tidak tahu, Odd," Jeremie balas menatap temannya dengan sorot kesedihan, "semoga saja X.A.N.A masih menyimpannya di Carthage. Apapun kemungkinan yang akan kita hadapi, kita harus mulai mencari potongan memori Ulrich sambil tetap fokus mencari cara untuk mengalahkan X.A.N.A."
Semuanya menyetujui perkataan Jeremie, namun sepertinya Yumi tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aelita mendekati sahabat perempuannya itu dan mengajaknya bicara. "Apa kau baik-baik saja, Yumi?"
"Tentu saja aku tidak baik-baik saja," gadis itu menjawab tanpa sedikit pun melirik ke arah sang penanya. "Aku baru tahu sekarang, dilupakan seseorang yang sangat berarti dalam hidup ... rasanya sakit sekali."
Aura kesedihan yang dipancarkan Yumi menyebar kepada ketiga sahabatnya yang langsung menepuk bahunya perlahan. "Kami semua mengerti perasaanmu, Yumi," Aelita berusaha mewakili yang lain, "karena itu, kita harus berusaha untuk mendapatkan memori Ulrich kembali."
Odd menambahkan sedikit, "Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Percayalah, Yumi."
Gadis itu tidak (bisa) tersenyum. Perlahan, lidahnya mengecap satu bulir cairan yang terasa asin—setetes air mata mengalir bebas dari konjungtiva yang jarang sekali mengalami kebocoran.
.
.
"Bagaimana caranya kau bisa tinggal kelas, Yumi?"
Ulrich dan Yumi memulai persahabatan mereka dari awal secara baik-baik, dimulai dari Yumi yang memperkenalkan identitas dirinya di tengah pelajaran sejarah yang membosankan. Mereka berdua duduk di barisan paling belakang, sehingga tidak akan ketahuan kalau mereka tidak memperhatikan sama sekali.
"Oh, itu? Yah, kesibukan di Lyoko membuatku kesulitan belajar. Bukan hanya masalah-masalah di Lyoko saja, tapi pertengkaran antara ayah dan ibuku membuatku stres. Sulit sekali untuk berpikir kalau di rumah ada dua orang yang sedang marah-marah tanpa bisa dihentikan. Semoga saja dengan aku yang tinggal kelas, mereka bisa sadar dan berhenti bertengkar."
Sebisa mungkin, Yumi berusaha menghindari topik-topik yang akan sulit dijelaskan seperti masa-masa dia koma dan berbagai hal lainnya yang ingin dia lupakan. Mau tidak mau, dia harus berbohong untuk menjawab pertanyaan seperti ini.
"Aku turut prihatin dengan kondisi keluargamu," sorot iris klorofil itu tidak berbohong. "Hal yang bisa membuatku depresi mungkin hanya telepon ayahku yang memprotes nilai-nilaiku, dan akan hilang saat aku berlatih sepak bola atau bertarung di Lyoko. Mengapa tidak masuk asrama saja? Dengan begitu, kau tidak perlu pusing dengan kondisi di rumahmu."
"Orangtuaku tidak akan mengizinkan aku masuk asrama. Selain itu, jika pertengkaran di antara mereka berjalan terlalu parah, aku tidak yakin kalau adikku, Hiroki, bisa menghentikan mereka. Keduanya sama-sama keras kepala."
Hari itu, mereka nyaris tidak memperhatikan pelajaran, hanya mengobrol berdua tanpa kehabisan topik untuk dibicarakan, mulai dari hal-hal dasar seperti warna kesukaan, sampai yang tidak biasa seperti mitos Atlantis. Setiap bel berdering tanda berganti pelajaran, mereka akan tetap mengobrol sepanjang jalan menuju kelas selanjutnya, lalu duduk bersama lagi. Obrolan panjang itu terpaksa harus berhenti saat bel berdering tanda sekolah berakhir.
"Kau tahu, Yumi?" Ulrich menyeletuk sembari merapikan buku-bukunya. "Kita sudah mengobrol sepanjang hari tanpa berhenti. Tapi rasanya ada terlalu banyak yang belum kita bicarakan. Hari ini sangat menyenangkan!"
"Ya, harus kuakui, kau benar," Yumi tersenyum manis, "apalagi tidak ada serangan dari X.A.N.A, hari ini cukup damai. Terima kasih, Ulrich, untuk pembicaraan yang super panjang dan super seru!"
Pemuda itu tertawa renyah. "Terima kasih kembali. Kau ternyata orang yang sangat menyenangkan. Maaf ya, Yumi, tapi aku masih tidak bisa mengingatmu sama sekali."
Manik hijau itu bersumpah sempat menangkap sorot kesedihan di iris kelam milik gadis Jepang di hadapannya itu, yang langsung berganti menjadi senyum yang dipalsukan. "Ah, tidak apa-apa, Ulrich! Apapun yang terjadi, kita kan selalu berteman. Benar, kan?"
Seiring dengan anggukan kepala yang menyetujui getaran suara yang baru saja ditangkap telinga, sang pemuda berkebangsaan Jerman menyimpan penyesalannya dalam hati.
.
.
/ Aku masih tidak bisa mengingatmu sama sekali. /
Yumi berjalan dengan lesu menuju hutan kecil dalam kompleks Akademi Kadic untuk menenangkan diri sebelum kembali ke rumah. Tidak peduli betapa seru pembicaraan antara dirinya dan pemuda itu di sekolah, tetap saja sebagian besar isinya adalah pengenalan Ulrich tentang dia dari awal lagi. Bohong kalau dia tadi berkata bahwa dia tidak apa-apa.
Tepat saat gadis serba hitam itu sibuk mencari pohon yang tepat untuk bersandar, manik hitam gagaknya menangkap sebuah pohon cemara yang memiliki banyak sekali origami bangau kertas tergantung di dahannya. Ada berapa semuanya?
Pohon itu memiliki sebuah lubang kecil yang berisi sebuah buku catatan kecil yang mencatat jumlah bangau kertas yang tergantung di pohon ini. Semuanya ada 645 buah. Orang ini pasti sedang mencoba untuk memenuhi mitos seribu bangau kertas yang bisa mengabulkan satu permohonan.
Dan di batang pohon itu, tepat di atas lubang kecil tadi, ada ukiran yang membentuk kata 'Ulrich+Yumi'. Tidak salah lagi, ini diukir oleh Ulrich sendiri, dan semua bangau kertas ini adalah buatannya. Kalau dia tidak salah, seharusnya permohonan yang tersemat dalam bangau-bangau kertas ini adalah harapan agar dia cepat sembuh dan mereka bisa bersama.
Yumi tersentuh. Pemuda itu memang memiliki perasaan yang sama dengannya dan membutuhkan dirinya sama sepertinya. Seharusnya dia tidak perlu meragukan ini semua!
Menyandarkan punggung ke pohon cemara, gadis dengan iris kelam itu berjanji pada dirinya sendiri untuk meneruskan proyek senbazuru yang pasti sudah dilupakan oleh Ulrich. Harapan, hasrat, segenap isi hati, dia bisikkan dengan lirih dalam bahasa Jepang yang tidak akan dimengerti siapa pun yang melewatinya saat ini kecuali dia sendiri. Ingin dia meneriakkannya tepat di telinga si Jerman itu keras-keras, namun setiap kepedihan yang muncul dengan kejadian ini menahannya.
"Ulrich-kun ... wasurenai yo, onegai—jangan lupa, kumohon."
.
.
"Hei, teman-teman, sudah waktunya aku pulang."
Yumi mulai memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Hari ini para Pejuang Lyoko sedang berkumpul untuk melaksanakan misi penting: belajar untuk menghadapi ujian Fisika besok dan membuat strategi menyontek sebagai rencana utama—yang satu ini Jeremie tidak pernah mau ikut campur.
Ulrich menjadi orang pertama yang menunjukkan reaksi. "Oh, mau aku temani?"
Sahabatnya itu langsung mengangguk cepat, lalu menatap pemuda dengan rambut melawan prinsip Newton di hadapannya. "Kalau besok kau sampai lupa dengan materi yang harus kau pelajari itu, kau akan sangat menyesal."
"Tenang saja," Odd mengacungkan tanda oke dengan tangan kanannya, "aku janji akan belajar dengan baik malam ini. Tapi kalian semua jangan sampai lupa juga, ya!"
Sepanjang jalan pulang, Ulrich dan Yumi terdiam. Bukan diam karena canggung, hanya diam karena menikmati suasana. Musim dingin belum sepenuhnya tiba, namun termometer mulai menunjukkan penurunan suhu udara yang cukup konstan.
"Ah, sebentar lagi musim dingin," Yumi memulai pembicaraan. "Liburan Natal kali ini, apa kau akan pulang ke Jerman?"
"Sepertinya begitu," Ulrich menjawab sambil memandang ke depan. Pohon-pohon sudah mulai merontokkan daun-daunnya yang berubah warna menjadi oranye dan merah, menambah beban kerja para penyapu jalan yang malang. "Hei," tangannya meraih sesuatu dari rambut Yumi dan menunjukkannya pada temannya itu, "ada daun yang menempel di rambutmu. Banyak sekali."
"Oh ya?" Yumi mulai meraba-raba kepalanya. "Tidak ada kok ... Ulrich!"
Pemuda itu hanya tertawa terbahak-bahak melihat hasil keisengannya. Dia mengambil lebih banyak dedaunan dari tumpukan sampah daun kering di bawah salah satu pohon, lalu mulai menyebarkan semuanya ke arah Yumi lagi. "Hahaha! Sudah kubilang, banyak sekali dedaunan di kepalamu!"
"Itu kan karena kau yang menyebarkannya!" gadis itu mulai bersiap-siap balas dendam. Dia mengambil daun-daun kering dari tumpukan sampah yang sama, lalu menyebarkannya ke Ulrich. "Bukan hanya rambutmu yang terkena daun, Ulrich, tapi juga bajumu! Hahaha!"
Entah mengapa, bukannya berjalan pulang, mereka berdua malah melakukan perang dengan sampah-sampah daun sampai tumpukannya habis. Mereka bahkan sama sekali tidak peduli untuk merapikannya kembali, langsung meninggalkannya dan kembali berjalan menuju rumah Yumi. "Mungkin saat sudah sampai ke asrama, aku akan langsung pergi ke kamar mandi. Daun yang kau tebarkan itu lebih banyak dariku!"
Yumi menengadah ke atas, mengingat Ulrich sekarang lebih tinggi darinya. "Itu kan salahmu sendiri! Siapa yang memulai?"
"Ya, ya, ya, aku yang memulainya," pemuda itu mulai membantu sahabatnya membersihkan semua dedaunan yang menempel di rambutnya. "Rambutmu sepertinya bukan berwarna hitam lagi, Yumi, tapi coklat kemerahan! Banyak sekali daun yang menempel di kepalamu!"
"Dan itu salahmu untuk melakukannya," gadis itu mengibaskan rambutnya berulang-ulang sampai bebas dari daun, lalu membantu Ulrich membersihkan kepalanya juga. "Tapi tadi itu seru juga. Seperti melempar bola salju, tapi lebih sulit."
Tangan sang kapten tim sepak bola sekolah itu mengibaskan rambut emo-nya berulang-ulang, sama seperti yang tadi dilakukan Yumi. "Yah, setidaknya kita bisa bersenang-senang sebelum ujian Fisika. Aku benci dengan semua materinya!"
"Hei, Ulrich, masih ada sehelai daun lagi di rambutmu, tahu," Yumi berjinjit sedikit untuk meraihnya. "Huh, kau ini tumbuh tinggi sekali akhir-akhir ini, padahal dulu kau lebih pendek dariku! Benar, kan?"
Iris klorofil itu menyorotkan kebingungan. "Aku memang tumbuh tinggi sangat cepat akhir-akhir ini. Tunggu, kau bilang aku dulu lebih pendek darimu? Benarkah?"
Yumi sedikit tersentak, mungkin lupa kalau Ulrich tidak ingat sama sekali tentang hal ini. Untungnya tak lama kemudian, mereka mencapai tujuan mereka. Yumi membuka pintu gerbang rumahnya. "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menemaniku pulang, Ulrich. Yang tadi itu benar-benar menyenangkan."
Ulrich balas tersenyum lembut. "Sama-sama, Yumi."
Pemuda itu berani bersumpah kalau di matanya, Yumi terlihat begitu cantik dan lucu seperti malaikat. Tawa, senyum, bahkan sinar matahari sore yang menerpa rambutnya semakin mempercantik gadis itu. Perlahan, dia menyadari sesuatu yang membuatnya terpaku di depan pintu gerbang rumah Yumi.
Ulrich telah jatuh cinta.
.
.
Jeremie menatap Ulrich yang langsung mengambil tempat duduk di sampingnya dengan sorot mata kebingungan. Mungkin ingin menyontek jawaban ulangan Matematika. Iseng, dia bertanya. "Hei, ada apa?"
Yang ditanya hanya berbisik lirih dekat telinganya. "Jeremie, apa ingatanku bisa dikembalikan?"
Tanpa sadar, mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut temannya, pemuda berkacamata itu nyaris berteriak. "HAH?—mph!"
"Berisik!" Ulrich melepaskan tangannya dari mulut Jeremie, mengabaikan tatapan aneh dari murid lain di sekitarnya. "Aku serius. Apa ingatanku yang hilang bisa dikembalikan? Kau bilang X.A.N.A yang mengambilnya kan, dengan Scypozhoa?"
Rambut pirang bergoyang cepat seiring dengan anggukan kepalanya. "Kami pernah membicarakan hal itu saat kau pertama kali tidak mengenal Yumi. Ingat tidak, saat itu aku menyuruhmu pergi ke kamar untuk istirahat. Aku tidak menyangka kalau kau akan meminta untuk ikut serta."
"Memangnya sudah sejauh apa perkembangannya?"
"Jujur saja, aku dan Aelita masih mencari keberadaan ingatanmu di Carthage. Tapi yang pasti, ingatanmu ada di sana, utuh. Kita hanya perlu mengambilnya saja."
"Hanya perlu dicari datanya?" Ulrich berbinar-binar. "Baiklah, kapan pun kau mau, aku siap membantu kalian. Aku benar-benar tidak sabar, Jeremie!"
Sang Enstein mengerutkan kening melihat reaksi ceria seperti itu. "Sejak kapan kau menginginkan memorimu sampai seperti itu, Ulrich?"
Sorot yang terpancar dari iris klorofil yang tadinya ceria itu berubah menjadi sendu. "Aku hanya tidak ingin melihat ekspresi itu di wajah Yumi. Ekspresi tersakiti, senyum palsu ... aku tidak mau melihatnya bersedih lagi karena aku tidak bisa mengingatnya. Suatu hari nanti, aku harus bisa mengingat semuanya."
Jeremie menepuk pundak sang samurai Lyoko pelan. "Kami semua akan membantumu, Ulrich. Kau pasti bisa."
.
.
Ada empat orang yang sedang berkumpul di dekat mesin penjual minuman, sedang mendiskusikan sebuah rahasia yang bahkan tidak boleh diketahui oleh orang kelima yang merupakan anggota geng mereka sendiri.
"Jadi, kira-kira kapan kau akan siap untuk melakukannya, Ulrich?"
Pemuda itu merenung sebentar, lalu menjawab lirih dengan tatapan terkunci ke bawah. "Kalau kalian ingat, besok itu hari ulang tahun Yumi, benar kan?" Semuanya mengangguk, lalu dia mengangkat kepala dan melanjutkan kembali kata-katanya. "Aku sudah memiliki kado untuknya, tapi jika aku bisa mengingat semuanya, itu akan lebih baik lagi. Mungkin besok aku bisa melakukannya."
Pemilik rambut fuschia membuka mulut. "Kalau masih ada waktu hari ini, mengapa tidak melakukannya sekarang? Atau mungkin setelah makan malam. Besoknya, kau bisa langsung mengejutkan Yumi."
"Ide Aelita bagus juga," si jabrik keunguan yang ada di sebelahnya membuang gelas kartonnya ke tempat sampah. "Asal tidak akan ada masalah selama transfer data berjalan dengan lancar. Jeremie, kau yakin program itu akan berjalan lancar?"
"Sangat yakin," yang ditanya membetulkan kacamatanya. "Hanya saja, jika program itu diaktifkan, kau tidak akan bisa termaterialisasi dengan cara apapun jika poin nyawamu kurang dari sepuluh, itu saja. Aelita dan Odd akan ada di sekitar menara untuk berjaga-jaga dan melindungimu dari serangan monster-monster X.A.N.A, jika mereka muncul."
"Seberapa besar kemungkinan aku tidak akan selamat dalam proses ini?" semuanya langsung melempar pandangan tersinggung pada Ulrich karena merasa diragukan. "Hei, aku hanya menanyakan risiko terburuk! Aku hanya sedikit teringat dengan kejadian Marabounta dan percobaan-percobaan gagal Jeremie lainnya, apa salah?"
"Risikonya akan sangat kecil kalau kita semua serius, Ulrich," ada sebuah tatapan meyakinkan di balik lensa kacamata bening itu, disertai dengan perasaan tersinggung yang cukup besar. "Membuat program ini nyaris sama menegangkannya dengan membuat program materialisasi Aelita, kalau kau ingin tahu."
"Baik, aku percaya pada kalian semua," pemuda itu mengangguk mantap, menebarkan aura kebahagiaan kepada semua sahabatnya. "Bisa kita lakukan malam ini?"
.
.
GROOK.
"Kau seharusnya memakan bagianku, Odd," teman sekamar si playboy bergumam dari dalam scanner tempat dia berdiri, "dan tidak hanya memakan satu porsi saja. Kau tahu jelas berapa banyak porsi yang harus kau makan setiap hari, kan?"
"Aku terlalu tegang untuk perjalanan kali ini, kawan," sang tertuduh dan sumber suara perut keroncongan itu hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menghancurkan sedikit lapisan gel di rambutnya. "Kau akhirnya akan bisa mengingat semuanya! Keren!"
"Dan kuharap kau tidak akan bermain-main dengan monster X.A.N.A jika mereka ingin datang dalam perayaan kita. Aku tidak mau mati konyol, khususnya untuk menghadapi ulang tahun Yumi."
"Tenang saja, Ulrich," ada suara menenangkan dari seorang gadis yang memiliki warna mata sama dengan si pemuda Jerman. "Aku dan Odd ingin melihat kau memberikan kadomu kepada Yumi. Memangnya mengapa kau harus membawanya ke sini?"
Ulrich menatap sekali lagi ke arah kotak kado hitam kecil dengan pita putih lebar yang dia bawa ke dalam scanner. "Aku hanya merasa benda ini tidak akan aman kalau kusimpan saja di dalam kamar, dengan Kiwi masih ada di sana. Hei, Aelita, bungkusan seperti ini tidak buruk, kan?"
"Tidak juga, kelihatannya manis untuk ukuran Yumi," Aelita mengangguk. "Omong-omong, isi kotak itu apa? Aku tidak akan membocorkannya."
"Hanya sebuah kartu ucapan motif bunga sakura, lipatan bangau kertas merah muda, dan charm bracelet. Kuharap dia akan sangat menyukainya."
/ "Hei, apa kalian semua siap untuk virtualisasi? Aku akan memulainya sekarang." /
Pintu scanner menutup sementara Jeremie mengucapkan perintah dengan cepat melalui headset. Di dalam lautan warna kuning yang cukup menyilaukan mata, Ulrich perlahan-lahan menutup matanya dan tetap memegang erat kotak kado untuk Yumi. Entah mengapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk membawa benda itu ke sini.
.
.
Sekarang waktu di layar superkomputer sudah menunjukkan pukul 10 malam. Jeremie memperkirakan proses pemasukan data akan memakan waktu lebih dari satu jam—mengingat data memorinya tentang Yumi sebenarnya sangat besar, memberi kekuatan yang sangat besar untuk X.A.N.A—baru mereka bisa menyusun rencana untuk menyelinap kembali ke asrama.
/ "Hei, kalian dengar aku? Menara terdekat ada di arah jam sepuluh. Kalian semua melihatnya, kan?" /
"Untungnya mata kami sehat, tidak seperti kau, Jeremie," Odd menaruh tangan kanannya menutupi mata, seakan-akan matahari virtual di sektor Hutan benar-benar menyilaukan. Dia berdiri di sana, seperti seorang kapten kapal yang menemukan daratan, ekor kucingnya bergoyang-goyang ceria. "Kita sebaiknya bergegas, Romeo pasti ingin segera menemui kekasihnya."
"Yumi bukan kekasihku, Odd," sang samurai agak tersinggung. "Setidaknya belum."
"Oh, jadi kau berniat menyatakan perasaanmu sambil memberi kado untuk Yumi?" si kucing ungu mengangkat alisnya. "Wah, akhirnya kau melakukannya juga! Pantas saja kau ingin sekali mengingat semuanya."
/ "Aku harus menyiapkan program untuk transfer data, jadi tidak akan ada kendaraan untuk kalian. Sejauh ini X.A.N.A sepertinya belum menyadari kehadiran kalian, sebaiknya cepat ke menara." /
Ketiga remaja pembela kebenaran itu segera berlari menuju menara terdekat yang tidak diaktifkan. Sementara Aelita dan Odd berjaga-jaga di luar, Ulrich mengangguk dan memasuki menara secara perlahan.
"Aku sudah memasuki menara, Jeremie," katanya di dalam. "Rasanya aneh, aku hanya masuk ke dalam menara untuk berpindah sektor."
/ "Bagus. Sejauh ini kondisinya aman. Dengarkan aku, Ulrich. Saat program dijalankan, ingat kalau kau tidak memiliki kemampuan materialisasi jika poin nyawamu kurang dari 10. Kalau kau sampai kehabisan poin nyawa, efeknya akan sama seperti jatuh ke dalam laut digital." /
"Maksudmu, aku bisa mati?" pemuda itu bergidik sedikit, lalu kembali tenang. "Baik, aku menyerahkan semuanya pada kalian. Lalu seperti apa prosesnya?"
/ "Sama seperti saat Scypozhoa menyerap ingatan, hanya fungsinya berbeda. Kau akan mati rasa, dan mungkin akan ada banyak kilasan ingatanmu yang mulai dikembalikan ke dalam otak. Aku sudah memeriksanya berulang-ulang, program ini bekerja dengan baik. Namun jika ada sesuatu yang salah, itu semua di luar perkiraanku." /
"Tidak apa-apa, Jeremie. Kalau ada sesuatu yang terjadi dalam proses ini, aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Toh aku yang memintanya padamu. Ingat itu."
/ "Baik, Ulrich Stern, kita mulai. Aktifkan program transfer data. Sandi: Memori." /
Perlahan tubuh Ulrich terangkat, kedua tangan terentang lebar, dan kedua indra yang dia miliki seakan sudah dinonaktifkan. Matanya terpejam rapat dan mulai menikmati apa yang akan terjadi—kilasan-kilasan memori mulai dari saat pertama kali dia bertemu dengan Yumi di ekskul Pencak Silat sampai sebelum dia tidak sadarkan diri setelah memorinya diambil oleh Scypozhoa. Sang serigala penyendiri mengukir sebuah senyum lembut di bibirnya, yang tidak berubah dari awal hingga akhir, merasa puas setelah akhirnya bisa merebut kembali miliknya yang sangat berharga. Mulai saat ini, dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menyakiti Yumi lagi, apapun yang terjadi.
.
.
BIP. BIP. BIP.
"Tidak mungkin ... ini tidak mungkin terjadi!"
Jeremie Belpois tidak percaya dengan fakta di depan matanya bahwa ada sebuah tanda seru berwarna merah di depan layarnya, berkedip-kedip menunjukkan sebuah kesalahan dalam proses. X.A.N.A telah melewatinya selangkah tanpa dia sadari—seharusnya dia bisa menebaknya!
/ "Jeremie? Kau tidak apa-apa?" /
Suara lembut peri kecilnya tidak akan bisa menenangkannya—masalah ini terlalu besar untuk dia perbaiki secepat mungkin. "Aku tidak percaya, Aelita, program komputer sialan itu sudah mendahului kita semua!" Pemuda itu melepas kacamatanya, lalu meremas rambutnya di depan layar. "Aku seharusnya bisa menebak hal ini akan terjadi!"
/ "Maksudmu apa, Enstein? Apa ada yang salah?" /
Dengan getir, dia menjawab pertanyaan Odd. "X.A.N.A telah menyusupkan bagian dari sistemnya ke dalam memori Ulrich, sehingga kalau sesuatu mengancam kelangsungan hidup salah satu dari mereka, yang lain juga akan terkena imbasnya ... kasus yang dulu terjadi pada Aelita terulang kembali!"
"Astaga, jangan bercanda, Jeremie!" Odd tidak sengaja berteriak keras-keras. "Ini hanya ilusi, atau masalah ini akan berdampak besar pada Ulrich?"
/ "Harus kuakui, ada masalah yang sama besarnya sekarang ini. Tubuh Ulrich sepertinya tidak bisa menerima terlalu banyak data dalam waktu bersamaan, padahal kalau aku menghentikan program ini, semua memori yang sudah masuk akan segera menghilang." /
"Masalah dengan tubuh Ulrich?" Aelita melontarkan komentarnya. "Memangnya apa efeknya bagi Ulrich? Apa kau tidak bisa menghentikan program ini? Mungkin kalau kau menghentikannya, hubungan antara Ulrich dan X.A.N.A bisa menghilang."
/ "Aku juga berharap seperti itu, Aelita. Tapi potongan sistem X.A.N.A berhasil menyerang program sehingga tidak bisa dihentikan. Lebih parah lagi, sebagai efek dari tubuh Ulrich yang tidak kuat menerima data, poin nyawanya terus berkurang." /
.
.
"Ini semua tidak masuk akal ... gila ... sialan!"
Teriakan yang dilanjutkan dengan terlontarnya semua simpanan umpatan sang operator itu begitu keras, sampai-sampai Odd dan Aelita harus menutup telinganya, walau Ulrich sama sekali tidak terganggu karena masih tenggelam dalam memori-memori yang baru dia peroleh tanpa sadar apa yang sedang terjadi. Dia masih tidak—belum, tepatnya—mengetahui kalau kado spesialnya untuk Yumi telah berubah menjadi malapetaka baru bagi semuanya.
/ "Apa kau yakin, poin nyawa Ulrich masih cukup? Apa kau benar-benar tidak bisa menghentikan program itu?" /
Semua kalimat yang bergetar dari pita suara Jeremie dipenuhi dengan aura pasrah dan kesedihan. "Kalau kau mau tahu jawabannya, Odd, yang aku bisa lakukan hanya mematikan superkomputer. Bagaimana? Kalian bertiga mau terjebak di Lyoko, saat ulang tahun Yumi hanya kurang dari satu jam lagi? Tidak, kan?"
/ "Jeremie ..." /
"Aku sudah mengeluarkan semua kemampuanku, tapi kenyataannya aku memang tidak bisa menghentikan ini semua! Aku memang orang yang tidak berguna!"
/ "Jeremie, kau sudah berusaha semampumu! Kami menghargai itu semua! Apapun yang terjadi, kau adalah orang yang sangat hebat. Yang harus kita lakukan sekarang adalah berdoa dan berharap semoga keajaiban akan terjadi untuk Ulrich, itu saja!" /
Ada secercah sinar mentari yang menyusup ke dalam kegelapan suasana hati Jeremie saat gendang telinganya menangkap getaran suara Aelita. "Terima kasih, Aelita."
Dan mengikuti sinar terang yang semakin bercahaya, ada satu ide yang melintas di pikiran sang pemrogram komputer muda. "Hei, apa menurutmu kita perlu memanggil Yumi ke sini, untuk memberi semangat?"
.
.
Gadis yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan keempat sahabatnya sedang menyusun pecahan kaca di lantai kamarnya. Entah ada apa, pigura yang berisi foto mereka berlima itu tiba-tiba saja terjatuh dan pecah, membangunkan Yumi yang kemudian tidak bisa tidur lagi.
Jam 11.13 malam. Hanya kurang dari satu jam sebelum hari ulang tahunnya, yang harus dia lewati tanpa Ulrich yang bisa mengingat apapun tentang masa lalu mereka berdua, kecuali membayangkan apa yang pernah ia dengar. Tetap saja, mengalami lalu mengingat akan lebih baik daripada diceritakan lalu membayangkan.
Merasa tidak bisa tidur, Yumi mengambil satu pak kertas origami dan mulai melipatnya menjadi bangau-bangau kertas. Sedikit lagi, dan jumlahnya akan mencapai seribu. Melihat kemajuannya selama beberapa bulan ini, gadis Jepang itu semakin bersemangat untuk menyelesaikan semua bangau kertas yang diperlukan dan mengucapkan harapannya.
Bangau kertas ke-sembilan ratus sembilan puluh sembilan sudah selesai. Satu lagi ...
KRIING.
"Halo, Jeremie? Untuk apa menelepon selarut ini? Apa? Baik, aku segera ke sana."
.
.
"Bisa jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Yumi berjalan keluar dari lift dan mendekati layar superkomputer. Tangannya masih menggenggam bangau kertas terakhir yang dia buat, entah mengapa. "Mana yang lainnya? Dan apa yang berkedip-kedip di sana? Kau sedang mencoba program baru?"
"Jangan menyerbuku dengan pertanyaan sebanyak itu, Yumi, aku harus menjelaskanmu sekarang juga. Jadi begini—"
BIP. BIP. BIP.
"Ah, maaf Yumi, prosesnya ternyata sudah selesai! Sebentar, aku akan menjelaskan semuanya setelah mengurus ini!"
Gadis itu hanya bisa mempertahankan kerutan di kening melihat perilaku Jeremie yang agak aneh. Terlihat sekali kalau dia sangat terburu-buru dalam mengerjakan proyeknya. "Sebenarnya apa yang kau kerjakan, Jeremie?"
"Lihat saja di layar!" sorot mata di balik lensa itu berbinar-binar. Di layar superkomputer, ada tampilan seperti video chat yang dulu dilakukan saat Aelita masih tinggal di Lyoko. Namun kali ini yang ada di sana adalah Ulrich, dalam balutan kostum Lyoko-nya.
/ "Hei, Jeremie, program ini benar-benar sukses! Terima kasih banyak!" /
"Ya, sama-sama. Lihat, aku membawa seseorang ke sini." Jeremie mengibaskan tangannya. "Yumi, kemarilah!"
/ "Hei, kita semua sudah berniat merahasiakan ini dari Yumi sampai besok pagi, kan? Jeremie! Kau ini bagaimana sih?" /
"Maaf kalau kehadiranku tidak diinginkan di sini, Ulrich," Yumi sudah berdiri di depan layar, kedua tangan ada di pinggang, sorot matanya menunjukkan amarah. "Sebenarnya apa yang kalian kerjakan di malam hari seperti ini, tanpa memberitahukan apapun padaku?"
/ "Haha, sabar dulu, Yumi. Kami berempat berhasil menemukan semua memoriku yang diambil X.A.N.A di Sektor 5! Dan tadi, Jeremie baru saja menjalankan program untuk memasukkan semuanya ke dalam otakku. Odd dan Aelita sedang berjaga di luar menara." /
"Tunggu sebentar," Yumi mulai berpikir sejenak. "Jangan bilang kalau kau ..."
/ "Ya, Yumi. Aku sudah ingat semuanya tentang dirimu. Tidak kusangka, aku pernah dikalahkan dalam Pencak Silat oleh seorang wanita!" /
Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan Yumi saat itu. Akhirnya, pemuda yang merupakan sahabatnya, orang yang dia sukai, yang dulu melupakannya sama sekali, bisa mengingat semuanya. Ada sedikit kekesalan karena tidak mengetahui hal ini, namun ada juga kebahagiaan yang meluap-luap. Tanpa sadar, dia mendekap bangau kertasnya ke dada. "Ini adalah salah satu hal terbaik yang pernah kudengar."
Di layar, pemuda itu tersenyum bahagia melihat reaksi gadis yang dia sukai. Mereka semua berhasil malam ini.
/ "Aku suka melihat wajahmu yang seperti itu, Yumi. Kau terlihat ingin mengamuk padaku, tapi juga senang. Seharusnya aku memberitahukan ini besok pagi, tapi kau sudah tahu sekarang. Tidak apa-apa." /
"Ya, ya, ya, cukup basa-basinya. Yumi, kau kira-kira sudah mengerti apa yang terjadi? Merasa senang? Aku akan memberikan kabar buruknya sekarang."
.
.
/ "Kabar buruk apa, Jeremie? Poin nyawaku masih cukup untuk materialisasi, tidak?" /
"Sepertinya masih cukup, Ulrich, namun ada satu hal yang harus kuberitahukan padamu. Maaf, tapi kasus yang terjadi pada Aelita terulang kembali padamu. X.A.N.A sudah menyusupkan potongan sistemnya ke dalam memori yang kutransfer. Jadi kalau salah satu dari kalian terancam kelangsungan hidupnya, yang lain juga akan merasakan itu."
"APA?" Bukan Ulrich yang bereaksi lebih dulu, melainkan Yumi. "Tidak mungkin! Jadi maksudmu ... kita harus segera menyingkirkan potongan sistem itu? Mengapa tadi kau tidak menghentikan prosesnya saja?"
"Aku sudah mencobanya, Yumi, tapi tidak bisa! Potongan sistem itu membuat program tidak bisa dihentikan! Tidak mungkin kalau saat itu aku mematikan superkomputer dan menjebak semuanya di dalam!"
/ "Hei, Jeremie, apa kabar buruknya sudah selesai?" /
"Belum. Tubuhmu sepertinya tidak cukup kuat untuk menerima data sebanyak itu secara langsung, jadi poin nyawamu terus menurun. Untungnya sekarang masih cukup. Ulrich, sebaiknya kau keluar dari menara agar aku dapat mematerialisasikan—"
/ "Jeremie, X.A.N.A sudah menyadari kehadiran kita! Kami dikepung sekelompok Krab dan Krankelat!" /
"Aku sudah melihat mereka semua," Jeremie menanggapi kata-kata Aelita dengan tatapan tajam ke arah layar superkomputer. "Aelita! Odd! Tolong, tangani mereka semua, atau lakukan sesuatu! Kalian harus menahan semua serangan sampai Ulrich dimaterialisasikan!"
/ "UWAAKH!" /
/ "Kau lihat, Jeremie? Odd terdevirtualisasi dari Lyoko!" /
.
.
"Ini gila. Semua ini gila. Benar-benar gila. Dan sepertinya aku juga akan menjadi gila."
Jeremie terus-menerus merutuki kejadian malam ini yang berjalan di luar bayangannya. Hubungan baru antara X.A.N.A dan Ulrich, poin nyawa Ulrich yang terus menurun, dan ditambah dengan kepungan monster yang harus ditangani sendiri oleh Aelita. Malam ini tidak bisa menjadi lebih buruk lagi—namun bahkan Nabi Ayub yang sudah kehilangan semua harta benda dan anak-anaknya, masih harus mengalami pencobaan berupa penyakit kulit menjijikkan. Segala kemungkinan bisa terjadi di malam seperti ini.
Scanner menunjukkan ada cukup banyak hewan peliharaan si program setan yang baru saja dengan senang hati mendevirtualisasi Odd—yang masih ingin beristirahat sejenak—dari Lyoko. Karena itu, dia sudah menyuruh Ulrich untuk tetap diam di menara—berharap saja tidak ada hal parah yang terjadi.
/ "Aku tidak bisa diam begitu saja di sini, Jeremie, aku harus melakukan sesuatu!" /
"Apa kau sudah tidak waras juga, Ulrich? Kau tidak bisa keluar begitu saja dari menara! Kalau kau terkena serangan para monster, poin nyawamu tidak akan cukup untuk melakukan materialisasi nantinya! Kau juga sudah bilang tadi sebelum proses virtualisasi, bukan? Kau tidak mau mati konyol malam ini!"
/ "Oke, aku mengerti. Tapi kalau aku berdiam diri saja di sini, poin nyawaku juga terus berkurang. Sama saja, bukan?" /
"Setidaknya poin nyawamu akan bertahan selama beberapa menit," sang operator stres itu menyentakkan punggungnya ke kursi. "Sudahlah, diam di dalam menara dan jangan banyak membantah."
.
.
Hanya bisa menanti di balik menara untuk bisa kembali ke bumi, Ulrich merasa tidak berguna sama sekali. Aelita sedang kesulitan melawan semua monster itu, dan dia hanya duduk dengan santai di tengah lautan angka 0 dan 1 bernuansa biru. Sebenarnya sebuah ide gila sudah terlahir di benaknya sejak awal dia mendengar semua kabar buruk ini, namun pikirannya menganggap masih ada cara lain yang lebih baik. Sekarang dengan apa yang sudah terjadi malam ini, mau tidak mau, ide itu harus dilaksanakan.
"Baik, kalau begitu," Ulrich membuka mulut, "aku punya ide yang lebih baik. Jeremie, apa benar kalau X.A.N.A mati, aku juga akan mati?"
/ "Astaga, Ulrich, tolong jangan pikirkan hal seperti itu! Sebelum X.A.N.A dimatikan, aku akan menemukan cara untuk melepaskan potongan sistem itu dari tubuhmu. Benar kan, Yumi, Odd?" /
Ah, Yumi dan Odd sudah ada bersama Jeremie rupanya. Pemuda itu melanjutkan kata-katanya. "Satu hal lagi. Kalau X.A.N.A mati, aku mati. Kalau aku mati, X.A.N.A akan mati, bukan? Dengan banyaknya monster di luar menara, hal itu pasti bisa terjadi!"
Tidak ada reaksi yang terdengar, Jeremie sepertinya membeku di depan layar. Odd langsung menyingkirkannya dari kursi dan mengambil alih headset, kemudian melampiaskan emosinya dengan berteriak penuh amarah di hadapan mikrofon.
/ "Bodoh! Kau tidak sayang nyawa, ya? Aku sudah berusaha keras agar kau selamat sesuai permintaanmu ... dan sekarang kau ingin mengakhirinya? Kau itu ... kau itu orang brengsek!" /
Odd, teman sekamarnya yang baik dan konyol, berani melanggar peraturan sekolah sejak awal demi seekor anjing yang sama sekali tidak terlihat manis dari sudut manapun. Ulrich membuat sebuah senyum bersalah di bibirnya. "Maaf Odd, aku memang orang brengsek. Tapi hanya ini jalan yang aku tahu."
/ "Kalau begitu, biarkan Jeremie mencari cara untuk melepaskan potongan sistem itu dari kepala kosongmu itu, dan kita akan mematikan X.A.N.A bersama-sama! Jangan bersikap egois seperti ini, cewek keparat!" /
Semakin Odd berteriak padanya, Ulrich semakin merasa bersalah dan mengiyakan setiap umpatan yang terlontar untuk menjelek-jelekkan dirinya. Namun rencana di kepalanya tetap harus dijalankan, demi kebaikan semua orang.
.
.
Sementara Odd berteriak di depan layar untuk memarahi Ulrich, Yumi hanya bisa mendekap bangau kertasnya di dada erat-erat. Bangau kertas ke-999. Seharusnya diperlukan satu bangau kertas lagi agar permohonannya dikabulkan, namun sepertinya permohonannya semula sudah dikabulkan.
Dulu, Ulrich-lah yang memulai proyek senbazuru agar Yumi bisa terbangun dari komanya. Sebuah pohon cemara digunakan untuk menggantungkan semua bangau itu, dengan ukiran 'Ulrich+Yumi' di batangnya. Di tengah perjalanan, X.A.N.A menawarkan diri untuk menukar kesadaran Yumi dengan sebagian memori Ulrich mengenai gadis itu.
Setelah pertukaran sukses dilakukan, giliran Yumi yang ingin memori Ulrich kembali seutuhnya, dan meneruskan proyek senbazuru. Saat bangau kertasnya sudah mencapai 999 buah, memori Ulrich memang kembali, namun dengan bayaran mahal—adanya koneksi spesial antara pemuda itu dan X.A.N.A.
Sepertinya permintaan mereka berdua sudah dikabulkan, padahal bangau kertas yang ada belum cukup. Melihat apa yang sudah terjadi, setiap pengabulan permintaan selalu memiliki bayaran yang sangat mahal—padahal seharusnya menghabiskan waktu dan uang untuk membuat senbazuru sudah cukup.
Apa mungkin itu bukanlah permintaan mereka yang sesungguhnya? Karena mungkin, yang mereka berdua minta bukanlah agar kesadaran Yumi kembali atau agar memori Ulrich kembali. Mungkin yang mereka minta sebenarnya adalah hal penting yang sama, yang sudah diwakili oleh ukiran di pohon cemara itu.
Ulrich dan Yumi sama-sama membuat senbazuru dengan sebuah harapan agar mereka bisa bersama-sama sebagai sepasang kekasih, dan bukan hanya sebagai sahabat.
Memeluk si origami bangau kertas kecil berwarna merah muda lebih erat lagi di dada, sangat dekat dengan jantung hatinya, Yumi membisikkan satu kalimat permohonan seperti membaca mantra dengan lirih, satu kalimat yang mewakili isi hati mereka berdua saat ini.
"Kami-sama, aku tahu ini belum cukup, tapi biarkan kami bersatu ..."
.
.
Odd melepaskan headset, lalu bangkit dari kursi dan memberikannya pada Yumi. "Ulrich ingin bicara padamu."
Diiringi dengan anggukan lemah, kedua kaki sang gadis Jepang membawanya duduk di hadapan layar superkomputer, di mana Ulrich sudah menantikan dirinya dengan senyum lembut di bibir.
/ "Kau tahu, Yumi? Aku benar-benar bahagia sudah bisa mengingat semuanya. Semua memori itu ... benar-benar menyenangkan. Semua usaha untuk mendapatkannya ternyata tidak sia-sia." /
"Menurutku itu sia-sia, Ulrich," Yumi berbicara dengan nada datar. "Dengan semua yang telah dan akan terjadi, aku tidak percaya hari ulang tahunku bisa membawa bencana yang sebesar ini. Kau gila, Ulrich, kau tahu itu."
/ "Ya, sangat tahu. Tapi hanya ini yang bisa aku lakukan agar semuanya membaik." /
"Semua membaik, katamu?" gadis itu menaikkan alisnya sebelah. "Apa kau pernah tahu definisi kata 'membaik' dalam kamusku? Membaik adalah jika hal-hal berjalan sesuai dengan keinginan tanpa halangan apapun. Dan ini, adalah halangan dalam kamusku."
/ "Maafkan aku, Yumi. Aku hanya ingin membuatmu bahagia di hari ulang tahunmu. Jujur saja, aku benci melihat wajahmu saat kau sadar aku tidak ingat sama sekali tentangmu, sebelum ingatanku diambil oleh Scypozhoa. Aku tidak tahan, Yumi, kau seperti ingin menangis dan itu semua salahku!" /
"Dan memangnya kau memikirkan akibat dari semua yang kau lakukan? Dari awal, kau bilang kau ingin membuatku senang, tapi yang kau lakukan hanya memperparah keadaan! Kau ingin aku sadar dari koma, dan kau menyerahkan ingatanmu pada X.A.N.A! Apa kau tahu, seberapa besar ketakutanku saat kau dibelit oleh ubur-ubur brengsek itu? Kau bisa saja nyaris kehilangan nyawamu seperti Aelita dulu!"
/ "Yumi, aku—" /
"Dan apa kau sadar akibat dari apa yang sudah kau rencanakan ini? Sadarlah, cowok brengsek! Kau hanya akan menghancurkan hari ulang tahunku saja! Tolong, hentikan semua rencana gilamu ini!"
/ "Maafkan aku, Yumi, tapi aku harus melakukannya. Tidak bisa diubah lagi." /
Tangan-tangan itu hanya bisa mendekap sang bangau kertas, bahkan nyaris meremas sampai hancur, seakan dalam benda itulah tersimpan semua miliknya yang paling berharga yang tidak ingin terbawa pergi saat pemuda itu meninggalkannya.
"Jangan pergi, Ulrich, jangan tinggalkan aku sendirian ..."
.
.
Apa tubuh virtual bisa menangis dan benar-benar mengeluarkan air mata?
Pertanyaan itu muncul dalam benak Ulrich saat dia mulai berusaha mengucapkan selamat tinggal pada Yumi. Setelah mendengar kalimat terakhir yang dibisikkan gadis itu untuknya, perasaan bersalah yang mendesaknya untuk menghentikan aksinya ini semakin menjadi-jadi, namun harapannya akan dunia tanpa bahaya membuatnya tidak bisa mengubah keputusannya.
Dia harus menjadi lelaki pemberani saat ini. Jadi, dia melekatkan jari telunjuk kanannya ke depan layar virtualnya, tepat di hadapan bibir Yumi. Seandainya mereka bisa bersentuhan dengan cara ini, mungkin jarinya akan benar-benar bisa merasakan selembut apa rasanya. "Ssh, jangan banyak protes, Yumi."
Jari Ulrich ada di layar, mengarah pada Yumi, bergumam lembut seakan ingin menyentuh bibirnya agar diam dan menenangkannya. Gadis itu ikut menempelkan jarinya di layar superkomputer, tepat 'menempel' dengan jari pemuda Jerman di hadapannya.
Andaikan mereka tidak terpisahkan oleh layar dan dunia maya, mungkin Yumi tidak hanya ingin sekedar menyentuhkan jari telunjuknya, namun juga menyentuhkan bibirnya dengan bibir pemuda itu—sesuatu yang mungkin takkan pernah bisa mereka lakukan kecuali dalam mimpi.
BIP. BIP.
Jam tangan Yumi dan jam di superkomputer menunjukkan pukul 12 tepat. Sebuah hari baru telah berganti. Ada satu kalimat terbata-bata yang ditangkap oleh gendang telinga Yumi, membuat tubuhnya bergetar lebih hebat karena sedikit kebahagiaan yang bercampur dengan terlalu banyak pedih dalam getaran pita suara yang mulai memberat itu.
.
.
Mengingat Ulrich bukanlah orang Jepang—namun masih ingin mempesona Yumi—dia harus melatih ucapan ini berkali-kali. Tadinya dia berniat mengucapkannya sembari memberi kado untuk gadis itu, namun sepertinya semua rencananya untuk besok sudah musnah.
BIP. BIP.
Itu suara jam tangan Yumi, dia tahu itu. Sekarang pasti sudah pukul 12 malam, hari sudah berganti menjadi hari ulang tahun Yumi, dan waktunya sudah tepat untuk menunjukkan hasil latihannya.
"O-tan-jou-bi ..." Astaga, mengucapkan kalimat dalam Bahasa Jepang memang benar-benar sulit! "O-me-de-t-to. Ha! Selamat ulang tahun, Yumi!"
Sudah waktunya untuk pergi. Ulrich bangkit berdiri, lalu berjalan keluar dari menara. Aelita mungkin sudah terdevirtualisasi dari Lyoko saat ini.
.
.
Jeremie langsung tanggap dengan mengambil alih headset dan memaksa Yumi bangkit dari kursi. Tangan-tangannya langsung dengan cepat menari di atas papan tombol dengan mata serius. "Ulrich harus dimaterialisasikan secepat mungkin!"
Dari layar, terlihat bahwa Aelita baru saja terdevirtualisasi dari Lyoko, tepat saat Ulrich keluar dari menara. Tidak akan ada yang bisa menghalangi pemuda gila itu sekarang—kecuali jika dia bisa mematerialisasikan Ulrich tepat waktu.
.
.
Di luar menara, ada begitu banyak monster peliharaan X.A.N.A yang berkeliaran dan langsung bersiap-siap menembaki Ulrich saat dia menembus keluar dari menara. Sebut saja Krankelat kecil biasa sampai Tarantula yang berdiri tegak di atas kedua kakinya. Namun entah mengapa, semua tembakan itu meleset, belum ada poin nyawa yang berkurang.
Dengan langkah tegap dan mantap, sang samurai Jerman bergerak menuju salah satu Blok, monster kesukaannya, dan mengelus kepalanya lembut. Jika makhluk kotak itu bisa menunjukkan perasaannya—atau setidaknya memiliki perasaan—mungkin dia akan merasa bingung dengan perilaku musuhnya itu.
"Tembak aku, Blok kecil."
.
.
Lipatan origami bangau kertas merah muda di dekapan Yumi semakin tidak karuan bentuknya setelah digenggam erat-erat dan nyaris diremas. Bibirnya terus membisikkan kalimat permohonan walau kenyataannya bangau-bangau kertas yang ada tidak akan cukup. Kadang dia sendiri berimajinasi kalau bangau kertas itu bisa berubah menjadi Ulrich Stern, inti dari permohonannya, sehingga dia bisa mendekapnya.
Namun tetap saja, kenyataannya sebuah origami bangau kertas tidak bisa mewakili perasaan dan harapan yang tidak sempat terucapkan.
Jeremie masih berkonsentrasi di depan superkomputer, sementara Odd dan Aelita memberi semangat di belakangnya. Yumi sendiri hanya berdiri membelakangi mereka sambil terus berharap dan berdoa, menyebut nama pemuda yang sangat dia cintai berulang kali.
"Kami-sama ... aku mohon biarkan aku dan Ulrich bersama ... aku minta Ulrich ..."
.
.
Sang Blok, setelah dielus kepalanya dengan lembut, akhirnya mulai bersiap-siap mengeluarkan tembakan kematiannya. Iris zamrud itu mulai mengatup dan potongan ingatan tentang kehidupannya selama 14 tahun ini, terutama sejak Lyoko dan semua kesibukannya mulai mengisi hidupnya yang datar.
Dan terutama, semua memori yang baru ia dapatkan sejam yang lalu. Satu kalimat, dia bisikkan lirih, sebuah kalimat yang seharusnya dia ucapkan dari awal. Ulrich Stern memang cowok brengsek tak berguna—setidaknya biarkan pemuda bodoh ini merasa berguna sedikit.
"Je t'aime, Yumi."
.
.
TIK. TIK. TIK.
Jari-jari itu terus menari dengan tempo sangat cepat di atas papan tombol, sementara pengendalinya mulai berkeringat dingin karena takut. Jika dia terlambat, nyawa yang menjadi taruhannya. Dan nyawa yang dipertaruhkan adalah Ulrich Stern, orang yang pertama kali mengetahui tentang Lyoko dari mulutnya sendiri.
Ah, semua kode yang diperlukan sudah selesai. Dengan lantang, pita suaranya bergetar hebat. "Materialisasi Ulrich, sekarang!"
.
.
Tangan Ulrich masih ada di atas sang Blok yang menembakkan laser pembunuhnya dengan permintaan khusus. Kali ini, dia akan menyingkirkan untuk selama-lamanya makhluk yang dikutuk oleh X.A.N.A—tuannya pasti akan bangga padanya.
BUM.
Perlahan, tubuh sang samurai kehilangan warnanya, setiap qubit yang membangun sosok virtualnya berubah menjadi keping-keping perak yang melayang di udara, frame yang membentuk rangka tubuhnya memudar di udara.
.
.
Odd mengambil saputangannya dan mulai membantu mengelap keringat sahabatnya yang sudah bekerja keras malam ini. "Apa kita berhasil, Enstein? Semuanya akan baik-baik saja, bukan?"
Di layar, ada tampilan yang menunjukkan sebuah fakta yang sanggup membuat suasana hati mereka berada di antara kebahagiaan dan kekecewaan. Perlahan, Aelita mulai menitikkan air mata. "Aku tidak menyangka niat awal kita untuk mengembalikan ingatan Ulrich bisa berubah menjadi seperti ini."
Ada satu orang di ruang superkomputer yang baru saja sadar setelah tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Apa yang terjadi? Ulrich ... dia ada di mana?"
Odd hanya memandangnya dengan mata berkaca-kaca. "X.A.N.A sedang memusnahkan dirinya sendiri, Yumi. Sebentar lagi prosesnya selesai."
Tanpa air mata, raut wajah sang gadis serba hitam itu tetap stabil dan normal—satu-satunya hal yang bisa menunjukkan kekacauan perasaan yang dia alami adalah bangau kertas yang terjatuh dari genggamannya. "Apa Ulrich sudah ada di ruang scanner, Jeremie?"
Yang ditanya menjawabnya dengan suara penuh getaran. "Maaf, Yumi, aku terlambat."
Sepertinya jawaban yang tadi itu tidak terdengar oleh Yumi yang masih memberikan perintah dengan nada dingin. Kalimat yang dia ucapkan sesaat kemudian sanggup menunjukkan kepada orang-orang yang mengenalnya dengan sangat baik betapa hancur dirinya saat ini. "Materialisasikan Ulrich, Jeremie. Sekarang juga."
.
.
Jeremie cukup tahu diri untuk tidak membantah perkataan Yumi. Lagipula, kalau dia tidak mematerialisasikan tubuh sahabat mereka itu, bagaimana cara mereka menjelaskan hilangnya si Jerman dari muka bumi? Setidaknya Ulrich Stern harus dihormati dengan adanya sebuah makam yang masih bisa mengingatkan orang-orang akan kehidupan seorang pemuda pemberani yang telah mengorbankan nyawanya demi terciptanya dunia tanpa bahaya—walau yang mengetahui hal ini hanyalah lima anak, termasuk sang almarhum sendiri.
Dan keempat murid kelas 9 Akademi Kadic itu sudah turun ke ruang scanner untuk menantikan terbukanya salah satu scanner yang akan memunculkan jasad sahabat mereka yang sangat berharga.
WUUSH.
Pintu sudah terbuka, dan di dalamnya terbaring seorang pemuda berkebangsaan Jerman yang sedang meringkuk hangat, memeluk erat sebuah kotak kado hitam dengan pita putih. Wajahnya begitu tenang, seakan-akan dia masih tertidur lelap—yang menjadi harapan maya setiap orang yang berdiri di hadapannya.
Dari empat remaja yang berdiri di sana, hanya ada seorang gadis yang sampai sekarang belum menitikkan air matanya, masih tidak percaya kalau sahabatnya tersayang sudah pergi meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya. Kakinya menyeret tubuhnya menuju sosok lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta selama setahun lebih, tangannya bergerak untuk mengelus lembut pipi tirusnya.
"Bangun, Ulrich. Kita sudah mengalahkan X.A.N.A hari ini. Mungkin kita bisa mengadakan pesta kecil untuk merayakan hari ulang tahunku dan perginya X.A.N.A dari dunia ini. Ulrich, buka matamu."
Yumi Ishiyama terlihat begitu kuat jika dibandingkan dengan sahabat-sahabatnya yang lain. Dia tidak meneriakkan nama Ulrich Stern keras-keras, tidak menangis sejak pemuda itu menutup matanya sebelum ditembak mati dengan laser Blok, tidak bergetar hebat saat harus berjalan untuk menghadapi kenyataan. Namun suasana hatinya yang membeku dan perilaku robotiknya yang kehilangan emosi sudah cukup membuktikan bahwa kepergian pemuda dengan iris klorofil itu telah membawa serta semua perasaan gadis itu—bisa dibilang inilah hal terparah yang bisa terjadi kepada seseorang yang baru saja ditinggalkan.
Selama beberapa saat, keempat sahabat itu berkabung dengan caranya sendiri. Odd memukul dinding berulang kali sampai tangannya berdarah, Aelita menangis tanpa bisa dihentikan, Jeremie meremas rambut pirangnya sampai rontok sambil merutuki diri sendiri karena kalah cepat dengan monster X.A.N.A, dan Yumi memeluk erat tubuh lemas Ulrich yang tidak bernyawa sambil berharap dia akan membuka matanya dan membisikkan ucapan otanjoubi omedetto di telinganya sekali lagi.
.
.
Aelita melangkah di samping Yumi saat mereka berdua berjalan melintasi jembatan. Odd dan Jeremie sedang mengusahakan agar jasad Ulrich bisa ditemukan jauh dari pabrik. "Ini kado ulang tahun untukmu, dari Ulrich," katanya sambil menyodorkan kotak kado hitam berpita putih. "Kalau kau bisa mengambil kotak itu dari tangannya dan membukanya di depan matanya, mungkin dia akan sangat senang."
"Itu pasti, Aelita," tangan itu menerima kotak dengan senang hati. "Kira-kira, apa dia akan setuju kalau kau mewakilinya?"
"Pasti boleh, Yumi. Aku juga sudah tahu apa isi kotak itu, Ulrich memberitahukan kami sebelum proses virtualisasi. Apa kau akan membukanya sekarang, atau di rumah saja?"
"Aku akan membukanya di sini," gadis itu tersenyum bahagia—dengan sorot kesedihan masih ada di manik gelapnya. Saat tangannya berhasil membuka pita putih dan membuka kotak itu, warna keperakan dari charm bracelet memantulkan cahaya bulan dengan cantik.
"Ini cantik sekali! Ulrich benar-benar tahu apa yang aku suka!" Dia menatap sahabat perempuannya. "Aelita, tolong bantu aku memakainya, ya."
Charm bracelet yang sekarang melingkari pergelangan tangannya memiliki banyak hiasan lucu, seperti boneka beruang dan bintang. Namun yang paling banyak adalah lambang hati yang ada di mana-mana.
"Aelita, kau pergi saja. Aku akan menyusul sebentar lagi, ada urusan yang harus kulakukan di sini."
Dengan pandangan bingung, gadis dengan rambut sewarna permen karet itu berjalan pergi melintasi jembatan, meninggalkan sahabatnya yang baru saja menambahkan satu tahun perjalanan hidupnya. Dalam kotak kado hitam yang baru dia terima, ada sebuah origami bangau kertas berwarna merah muda. Yumi bersandar di pegangan jembatan dan mulai mengamati bangau itu.
Ini bangau kertas ke-1000. Selama ini, bangau kertas yang mereka buat sudah cukup—permohonan mereka hanya tidak dikabulkan oleh Tuhan. Entah mengapa, Yumi merasa dia tidak akan mau percaya lagi dengan mitos apapun. Senbazuru tidak mengabulkan keinginan Sadako Sasaki untuk sembuh dari leukemia yang diderita, senbazuru juga tidak mengabulkan keinginan Ulrich Stern dan Yumi Ishiyama untuk bisa bersama sebagai sepasang kekasih.
Bangau kertas melambangkan harapan. Merah muda melambangkan cinta. Imajinasi Yumi mulai membayangkan apa yang Ulrich maksud dengan bangau kertas ini.
/ Aku menyukaimu, aku harap kau juga menyukaiku. /
Satu benda lagi yang tersimpan dalam kotak adalah secarik kertas ucapan bermotif bunga sakura. Di atas kertas itu, ada sebuah kalimat yang ditulis dengan pena biasa, dengan tulisan acak-acakan yang biasa dimiliki seorang laki-laki. Satu kalimat, yang seharusnya akan diulangi oleh sang pemberi kado dengan nada penuh kejujuran dan kemanisan yang bisa membuat seorang perempuan seperti dia semakin tergila-gila. Satu kalimat, yang seharusnya dia juga ucapkan sejak dulu saat dia masih memiliki kesempatan, bukannya menantikan 'waktu yang tepat' sampai terlambat seperti ini. Satu kalimat, yang mewakili perasaan mereka berdua selama ini dan sanggup menimbulkan hasrat untuk mengembalikan waktu yang terbuang sia-sia.
Titik-titik putih ringan mulai jatuh ke bumi yang sebenarnya sedang bersiap menyambut keceriaan musim semi, seakan-akan ingin ikut dalam suasana kesedihan di antara para Pejuang Lyoko dengan caranya sendiri. Salju membaringkan diri dengan nyaman di antara untaian charm bracelet baru milik seorang gadis Jepang, sensasi dingin yang ditebarkannya tidak membuat dia terusir dari sana. Keping-keping salju lain mulai menutupi pakaian serba hitamnya, mempercantik penampilan sang gadis di hari kelahirannya sebagai hadiah dari alam untuk dia yang akan memulai perkabungannya sebentar lagi.
Yumi mengulangi satu kalimat itu dengan lirih namun penuh perasaan, dengan kaki yang bergetar hebat sampai tubuhnya bersimpuh di atas salju yang menumpuk di jembatan, diikuti dengan konjungtiva yang akhirnya mencair dan memproduksi cairan asin bernama air mata tanpa bisa dihentikan. Sikap yang menunjukkan kebekuan dan setiap potongan imaji yang menekankan kalau fakta yang sebenarnya bukanlah fakta yang terjadi, semua telah hancur lebur saat kalimat yang menunjukkan kejujuran perasaan mereka berdua dilantunkan dengan lembut di udara, bersamaan dengan salju yang turun di akhir musim dingin, euforia imaji maya yang musnah, dan elegi pedih akibat kesalahan fatal tak tertolong lagi.
"Je t'aime, Ulrich."
*TAMAT!*
.
.
A/N: Yosh, selesai! Senangnya :D Maaf kalo mata kalian mendadak capek atau gimana, yang penting ideku udah keluar semua! Huahahaha. Aku lagi mencoba bikin cerita Ulrich/Yumi dalam Bahasa Indonesia, dan kebetulan jadinya segini, padahal tadinya niatnya cuma 7k! Tapi gapapa, yang penting udah selesai ceritanya dan challengenya juga. Harus kuakui, aku merasa Fight to the Finish itu masih kurang keren, dan aku mencoba membuat ending yang lebih romantis-gabisa dibilang manis sih, soalnya kalo ending kayak gini ... hahaha! Whatever. Yang penting udah berhasil fangirling, dan rekor oneshot terpanjangku udah pecah! Makasih banyak udah mau baca, dan selamat mereview!
P.S: Terima kasih banyak untuk Private2Kowalski untuk editing soal 'scypozhoa' dan terutama ... COVERNYA! I like it so much :D untuk full version, cek tag foto FB-ku aja :)
Dream out Loud! =)
