MY SHELTER

Warn(s) : self-harm, cutting, thoughts of suicide, homophobic, and etc

Banyak kerabatku yang bilang kalau aku ini depresi. Dan mungkin itu memang benar. Namun, kedua orangtuaku tidak pernah mempercayainya. Mereka selalu memaksakan fakta kalau aku ini remaja normal seperti yang lainnya. Padahal, nyatanya aku bukan.

Ketika, seseorang tanpa sengaja menabrak bahuku dan berkata maaf. Mereka tidak melihat wajahku atau bahkan terlihat perduli. Mereka kembali berjalan bersama teman mereka dan aku tidak bisa menyalahkan mereka karena itu. Aku memang anak yang invisible, loner atau anti-sosial. Aku tidak pernah punya teman. Itu bukan karena aku menginginkannya atau sengaja karena ingin menciptakan kesan misterius – bukan, bukan karena itu. Pada dasarnya aku memang anak yang pendiam, terlalu canggung dan tidak pernah bisa beradaptasi dengan lingkungan.

Awalnya, kekuranganku itu tidak pernah menggangguku dan aku merasa nyaman dengan kesendirianku. Namun, semakin beranjak usiaku dan tiba masanya pubertas. Aku mulai merasakan yang namanya rasa kesepian serta depresi karena tidak memiliki teman. Aku mencoba untuk berteman dan mengobrol dengan teman sekelasku. Namun, mereka malah menganggapku aneh dan seolah memintaku untuk kembali 'bisu' saja.

"Baekhyun-ah." Ibuku berlari mengejarku keluar dari rumah. Lalu, menyerahkan sekotak bekal untukku. "Hari ini ada acara tukar bekal kan di sekolahmu? Ibu sudah menyiapkan bekal untuk temanmu nanti. Ibu harap mereka suka." Dia mengelus rambutku dan menepuk pipiku pelan. Senyum lebarnya membuatku tidak berani menatapnya. Tapi, aku tidak punya teman, Eomma. Apa ada yang mau menukarkan bekalnya dengan anak bisu sepertiku?

"Bus-mu datang tuh." Ujar ibu membuatku berbalik menatap bus sekolah yang berhenti di depan rumahku. Aku tersenyum tipis kepadanya lalu berlari menuju pintu bus. Ketika, aku berdiri di tangga bus otomatis pintu bus langsung terbuka. Aku beranjak masuk dan seperti biasa seisi bus sudah dipenuhi oleh murid lainnya. Rumahku memang paling dekat dengan sekolah jadi aku dijemput terakhir.

Aku berjalan menuju tempat favoritku yang seolah sengaja dikosongkan hanya untukku. Ketika, aku sampai di sana. Aku langsung bersandar pada kaca bus sambil mendengarkan lagu yang melantun dari earphone ditelingaku.

Kadang aku suka berpikir kenapa aku tidak mati saja?

Orangtuaku tidak begitu tua untuk mempunyai anak lagi. Selain itu, aku juga bukan anak yang spesial sehingga akan mudah bagi mereka untuk merelakanku. Dan soal teman atau lingkungan sekitarku, siapa yang akan perduli? Mereka hanya akan menganggapku sebagai remaja yang meninggal karena bunuh diri dan.. that's it. Perhatian mereka lebih mengarah ke simpati dan sejujurnya orangtuaku-lah yang lebih membutuhkan perhatian semacam itu. Aku, yang sudah mati, tidak membutuhkan apapun selain kedamaian di atas sana.

Aku belum pernah melukai diriku sendiri karena aku berpikir.. belum saatnya. Rasa sakit serta kecewa yang kurasakan sekarang belum sampai tahap dimana aku puas melihatku terluka atau berdarah. Meski, aku menginginkan kematian sekarang. Tetapi, tetap saja.. aku masih menyimpan masa dimana aku membutuhkan pisau itu.

Ketika, bus memasuki area sekolah dan berhenti tepat di depan pintu sekolah. Seluruh murid berbondong-bondong keluar dari bus. Biasanya, aku duduk terdiam menunggu bus benar-benar sepi. Namun, kali ini aku tidak bisa berlama-lama melihat mereka semua tertawa serta bertukar lelucon bersama teman mereka. Rasanya begitu memuakkan dan aku tidak suka.

Aku menerobos kerumunan, tidak perduli dengan rutukan mereka. Aku harus cepat-cepat keluar dari sini. Ketika, aku akan menuruni tangga. Kakiku tanpa sengaja tergelincir dan aku tahu kalau sebentar lagi wajahku akan menghantam tanah. Mungkin, ini karmaku karena bertindak terlalu sensitif.

Namun, seseorang menahan tubuhku membuatku wajahku bersandar pada dadanya. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa orang yang menolongku. Aku harap orang itu guru sehingga aku tidak perlu merasa terlalu berutang budi padanya. Namun, orang itu ternyata bukan seorang guru seperti harapanku dia..

"Kau Baekhyun, kan?" Aku mengangguk.

"Kau baik-baik saja?" Lagi-lagi, aku mengangguk.

"Kau bisu atau apa, huh?" Dia menyeringai membuatku menggeleng pelan dengan wajah memerah. Damn, what's wrong with me? Seharusnya, aku tidak memerah dan bertingkah seperti ini karena seseorang yang berjenis kelamin sama denganku! Oh God, aku bukan gay kan?

Aku langsung mendorong dirinya, tidak bermaksud kasar, namun kenyataannya aku mendorongnya cukup keras dan kesannya menjadi sedikit kasar dan tidak tahu terima kasih. "Terima kasih." Lalu aku berjalan pergi dengan kepala tertunduk. Aku tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan kepadaku dan aku tahu kalau mata serta bisikan mereka mengikutiku terus sampai aku masuk ke dalam area sekolah.

Ketika, aku hendak membuka lokerku dan memasukkan bekalku. Seseorang mendorongku hingga tubuh dan wajahku menghantam deretan loker. "GAY! DASAR GAY! Aku lihat bagaimana kau menatap Chanyeol tadi!" lagi-lagi, aku tidak berani mengangkat kepalaku dan membantah kalau aku ini bukan gay atau aku ini menyukai Chanyeol yang jelas-jelas berjenis kelamin sama sepertiku! Responku yang diluar keinginanku ini membuat mereka berasumsi kalau aku memang gay dan aku tidak berani membantah mereka karena itu memang kenyataannya.

"Jangan pernah mendekati Chanyeol atau kami! Atau.. seluruh siswa di sekolah ini! Kami tidak mau terjangkit virus gay-mu!" teriak salah satu dari mereka, lalu meninju wajahku keras hingga keseimbanganku oleng dan aku terjatuh ke lantai. Sebelum mataku tertutup, yang dapat kurasa hanya darah yang mengalir dari hidungku lalu yang dapat kulihat hanya beberapa pasang kaki yang berdiri diam, tidak datang menghampiriku.

Bahkan, sampai diriku terluka seperti ini.. tidak ada pun juga yang perduli.

.

.

Rin's note :

I'M BACK WITH AN ANGST STORY

This story will be full of angst and discussed about self-harm in teenager life.

Kalian pasti udah nggak asing lagi kan sama yang namanya Self-Harm, Suicide and Cutting? Nah, aku mau bahas semua unsur depresi itu dalam fanfic ku kali ini. Awalnya, aku memang udah dari lama pengen buat fanfic bertema kayak gini karena I was a self-harmed person and hal kayak gini memang nge-tren banget dikalangan para remaja yang suka depresi dengan kehidupan sosial atau keluarga mereka. Tapi, keinginanku itu semakin kuat setelah baca novel gay Changing Will di wattpad. I swear it was the best book or novel ever! Aku banjir air mata baca novel itu karena everything seems realistic!

Anyways, aku pengen banget sharing soal Self-harm dengan kalian. So, kalau ada yang pernah mengelakuin Self-harm atau tertarik dengan topik ini. Ayo, ask aku di ( ferineee). I'm not someone that can give a best advice. But, well, I'm sure I can understand about your problem. Because I did self-harm a few years ago.

P.S ada yg bisa suggest playlist lagu sedih, mellow or whatever for this fic?