The Mortal Instruments © Cassandra Clare

The Bad Lady © hermeownie

.

.

.

Cara sedang berjalan di trotoar kala itu, ia bergegas menuju sekolahnya. Tak pernah dalam hidupnya ia telat datang ke sekolah, tidak sampai hari ini ia bangun kesiangan. Ia bahkan tak mendengar alarmnya berbunyi, padahal biasanya Cara bangun lebih dahulu sebelum alarmnya bunyi.

Ini semua karena mimpi anehnya semalam. Ia bermimpi bertemu seorang pria bermata kucing yang menurutnya sangat-sangat aneh, yang ia pikir hanya akan ia temui dalam mimpi—dan itu mimpinya tentu saja. Si Pria tersebut menyebut-nyebut sesuatu tentang ia bukan manusia biasa, bahkan Si Pria menyebutnya "cewek bodoh yang menganggap dirinya fana".

Cara bahkan berpikir, jangan-jangan pria tersebut datang dari masa depan dan mendatangi mimpinya. Jangan-jangan ia adalah superhero dan ia memiliki kekuatan yang tak pernah ia ketahui. Well, tapi itu hanya mimpi. Mimpi sialan yang membuatnya telat ke sekolah.

Cara berlari ketika ia melihat gerbang sekolahnya, ia melirik jam tangannya. Jam 06.25. Cara berlari semakin kencang. Lima menit lagi gerbang sekolah akan segera ditutup yang berarti tamatlah riwayatnya.

Cara mencapai gerbang sekolah tepat saat bel sekolah berbunyi. Ia langsung menghela napas.

"Putri Tepat Waktu akhirnya telat juga," ucap seseorang dari belakang Cara sambil tertawa.

Cara berbalik dan mendapati sahabat cowoknya, Ale. "Ale," panggil Cara. "Aku tidak telat, aku datang tepat saat bel berbunyi. Jadi aku belum telat, oke?"

"Yeah, yeah, terserah kau saja," ucap Ale sambil tertawa. "Tapi tumben sekali kau datang pada detik-detik terakhir, ada apa?"

"Tidak ada, hanya mimpi aneh yang membuatku telat bangun," jawab Cara. "Ayo kita ke kelas."

"Mimpi apa itu sampai kau telat bangun? Jangan-jangan kau bermimpi pergi ke Wonderland?"

"Ngaco, aku bukan Alice. Aku Cara, dan mimpiku lebih aneh daripada bermimpi pergi ke Wonderland," kata Cara.

Mereka sampai ke kelas mereka dan duduk di bangku mereka, mereka duduk satu bangku.

"Well, dan mimpi apa itu? Apa kau pergi ke Hogwarts dan menjadi penyihir seperti impian kita?" Cara tertawa mendengarnya. Yah, dia berharap mendapat mimpi itu dibandingkan bermimpi bertemu pria kucing sialan yang membuatnya telat.

"Aku bertemu seorang pria bermata kucing dan ia mengatakan aku bukan manusia biasa," kata Cara.

"Jangan-jangan kau superhero?!" ucap Ale penasaran.

"Ya enggaklah!" jawab Cara sambil tertawa. "Tapi aku memang superhero, semua wanita ditakdirkan menjadi pahlawan, kau tahu?"

"Tahu kok, tahu. Ibuku juga pahlawan. Yah, yang jelas tak usah dipikirkan. Itu hanya mimpi." Ale tersenyum. Cara balik tersenyum.

Kemudian obrolan mereka berakhir karena guru telah masuk ke dalam kelas. Selama di kelas Cara tidak memperhatikan sama sekali, pelajaran sejarah memang sangat membosankan. Selama dua jam pelajaran yang Cara lakukan hanya berimajinasi, atau kadang-kadang melirik sahabatnya yang sedang serius memperhatikan guru di depan kelas, maklum sejarah adalah mata pelajaran yang paling disukai Ale. Berbeda dengan Cara, ia lebih baik menghitung daripada menghafal. Maka itu, Cara sangat benci sejarah dan juga biologi karena ia harus menghafal nama-nama latin yang bahkan tak bisa diejanya.

Cara melirik ke sebelahnya lagi, Ale masih terlihat serius. Sebenarnya Cara memiliki perasaan terhadap sahabatnya yang satu ini, tak bisa dipungkiri, Ale adalah salah satu cowok tertampan di sekolahnya. Banyak cewek yang mengejarnya, salah satunya Cara, tapi ia tak bisa berharap lebih. Ale telah memiliki kekasih dan mereka telah menjalin hubungan selama tiga tahun, tak mungkin Cara menganggu hubungan mereka. Bagi Cara menjadi sahabat Ale sudah lebih dari cukup, setidaknya ia masih bisa berdekatan dengan Ale.

Cara masih memperhatikan Ale ketika guru sejarah mereka telah meninggalkan kelas. Cara sama sekali tak sadar kalau Ale sudah mendekatkan wajahnya pada wajah Cara. Ia tersenyum dan—

"HEY!" teriak Ale di depan muka Cara.

Cara mengerjapkan matanya, "Eh?"

"Kenapa kau memperhatikanku? Aku tahu aku tampan, tapi tak usah mengambil kesempatan dalam kesempitan begitu dong," kata Ale sambil tertawa.

"Cih! Dalam mimpimu! Aku ini sedang bengong, tahu?" Cara membuang mukanya, malu karena ketahuan telah memperhatikan sahabatnya itu secara diam-diam, tapi ia tak sepenuhnya berbohong. Ia memang sedang bengong, kan?

Jam pulang sekolah telah berbunyi, Cara sudah berada di depan gerbang. Ia sedang menunggu Ale yang katanya ingin menunggu kekasihnya yang sedang remedial dulu, awalnya Cara menawarkan akan menunggu bersama Ale, tapi Ale bilang tidak usah, tapi kalau Cara memang memaksa untuk pulang bersama ia bisa menunggu di depan gerbang.

Jadi di sinilah Cara berada. Menunggu sepasang kekasih di depan gerbang sendirian, sampai akhirnya seseorang datang mengahmpirinya. Seorang cowok tampan yang kelihatan seperti seumuran Cara dengan tato aneh di leher dan lengannya. Rasanya Cara ingin kabur dari sana, ia takut cowok ini adalah preman daerah sini yang mau macam-macam dengannya. Tapi daripada kabur ia lebih baik melawan saja, toh Ale masih di dalam. Kalau pun cowok ini mau macam-macam dengannya ia bisa teriak menggunakan jurus teriaknya yang bisa terdengar sampai depan komplek sekolah dan Ale akan datang menyelamatkannya.

"Caradith Gayatri?" tanya cowok bertato tersebut.

"Uh huh, ya? Kau siapa?" tanya Cara bingung. Jangan-jangan orang ini utusan seseorang yang ingin menculiknya dan ia telah mencari informasi tentang dirinya sejak lama. Cara mulai panik, dia sekarang benar-benar takut.

"Aku Airlangga." Cowok tersebut mengulurkan tangannya.

Cara membalas uluran tangan tersebut dengan takut-takut. "Uhm, bagaimana kau bisa tahu namaku?"

"Oh, itu, kami sudah mencari data tentangmu sejak lama, kami mencari orang-orang sepertimu," kata Airlangga.

Mata Cara membesar. Benar kan mereka telah mencari data tentangnya sejak lama? Bagaimana kalau mereka, cowok itu dan orang-orang yang ia sebut 'kita', itu benar-benar ingin menculiknya? Tapi Cara tiba-tiba tersadar, tadi cowok itu juga menyebut tentang "orang-orang sepertinya".

"Orang-orang sepertiku?" tanya Cara kemudian, penasaran.

"Yeah, kau bukan manusia biasa. Kau dan aku sama," kata Airlangga.

Cara mengerutan dahinya. Oke, cowok ini menurutnya benar-benar aneh. "Tentu saja kita sama! Kalau kita tidak sama berarti salah satu di antar kita adalah alien."

Airlangga menghela napas. "Bukan sama yang seperti itu, aku akan menjelaskannya padamu. Tapi kau harus ikut denganku," kata Airlangga.

Cara menatapnya curiga. "Bagaimana kalau aku tidak mau? Bagaimana kalau ternyata kau mau menculikku?"

"Ck. Hey, kau sadar diri ya, mana ada yang mau menculik cewek pendek seeprtimu," ujar Airlangga sambil menyeringai.

"Sialan kau! Aku ini termasuk tinggi, tahu?" bentak Cara. Sialan, berani-beraninya orang ini menghinanya pendek. Dasar sombong!

"Sudahlah, ikut saja denganku. Aku tidak akan menculikmu dan aku janji akan mengantarmu pulang."

"Memangnya kau tahu rumahku?"

"Kau bisa menunjukkan arahnya kan?" ucap Airlangga bosan. Cewek ini cerewet sekali, pikirnya.

"Ck, oke aku ikut. Tapi kalau kau macam-macam awas saja!"

Mereka telah sampai di sebuah kafe yang berada di dekat sekolah Cara. Airlangga melihat sekeliling hingga akhirnya menarik Cara ke sebuah meja yang sudah ada penghuninya.

"Magnus," panggil Airlangga. "Aku membawanya."

Pria yang dipanggil Magnus tersebut menengok ke arah Cara dan Airlangga. Cara menarik napas kaget. Pria tersebut adalah pria yang berada di dalam mimpinya semalam. Pria bermata kucing tersebut ternyata nyata dan ia berada di hadapan Cara sekarang. Apa yang telah terjadi? Apa maksudnya ini?