Fragmen
Gundam Seed/Destiny belongs to its owner: SUNRISE, BANDAI, and its creators
No material profit taken from this.
T
Warning: OOC, Two Shots, AU, typo(s), a little dark-fic, barang (cerita?) pecah belah (?) etc
A/N: Judul di atas gak kekurangan huruf 't', kok. Udah gitu aja. #laluditimpukreader#
.
Hope you enjoy!
.
#1 Shower
"Kira! Kau sudah mandi?" Seorang pria berambut pirang keemasan berseru setelah masuk ke kamar bercat biru dengan beberapa buku yang berserakan di lantai.
"Belum selesai, Yah!" balas sang anak dari balik pintu di sebelah kiri. Terdengar suara air mengalir yang teredam.
"Kau yakin tidak perlu bantuan Ayah di dalam?" Tidak ada candaan dalam kalimat itu.
"Ayah! Aku baru ulang tahun yang ke delapan kemarin! Aku sudah besar! Aku bahkan sudah bisa mandi sendiri sejak masih lima tahun!" bantah anak bernama Kira itu panjang lebar.
"Kau yakin? Kau tidak akan terpeleset, kan?" Tak ada jawaban. Pria yang sudah mengenakan kemeja rapi dan mengalungkan nametag bertuliskan 'Ulen Hibiki' itu bisa membayangkan putranya memutar bola mata di sana. Pria itu tersenyum tipis. "Akan kusiapkan bajumu di atas kasur!"
Erangan panjang menyusul. "Ayah, tunggu saja di meja makan atau siapkan saja mobilnya! Aku baik-baik saja, sungguh!"
"Baiklah. Bila kau bersikeras."
Ulen tetap meninggalkan sepasang kaos dan celana yang terlipat rapi di atas seprei bergambar robot, lengkap dengan kaos kaki baru berwarna putih di atasnya sebelum menutup pintu.
.
#2 Fight
"Freedom!"
"Justice!"
"Freedom!"
"Oh, bagus. Di mana Athrun di saat seperti ini?" gumam Dearka. Anak itu mulai lelah mendengar perdebatan Kira dan Yzak di depan tangga gedung utama sekolah yang meributkan tipe gundam terbaru yang akan keluar minggu depan. Bahkan sebelumnya mereka meributkan tanggal sampai dirinya sendiri kena 'semprot' Yzak saat berusaha menengahi.
"Justice!"
"Freedom!"
Oh, ayolah.
"Jus—" Mata amethys Kira melebar ketika ia merasa dirinya ditarik dan sesuatu menahan bahunya dengan kokoh saat pipi kanannya menempel ke permukaan yang halus.
"Apa mereka mengganggumu, Kira?"
Anak itu mendongak dan mengerjap beberapa kali. "Apa?" Mendapati wajah ayahnya yang mengeras—dan tersadar dari keterkejutannya, anak itu cepat-cepat menambahkan, "Tidak! Kami cuma berdebat, Ayah, seperti biasa. Ya, kan, teman-teman?" Kira menoleh cepat.
"Eh ... iya," jawab Dearka dan Yzak terbata-bata, masih terkejut dan bingung.
"Kalian tidak bohong?" tanya Ulen lagi.
Mereka menggeleng.
Ulen masih menatap tajam keduanya sebelum mengambil tas ransel di punggung Kira dan berbalik. "Ayo pulang."
Kira agak kesulitan menoleh ke belakang karena ayahnya masih memegang bahunya dengan erat. "Sampai besok, Dearka-kun, Yzak-kun!" Tak lupa anak itu mengucapkan maaf tanpa suara, berharap dua teman baiknya itu menangkap isyaratnya.
.
#3 Star
"Ayah, di kelas tadi Mwu-sensei bilang kalau bintang itu bersinar sendiri. Beda dengan bulan yang memantulkan cahaya matahari, makanya terlihat bersinar. Apa itu benar?"
"Yap, benar sekali. Kau memerhatikan pelajaran dengan baik, eh?" goda Ulen. Tangan kirinya masih sibuk mengelus kepala Kira yang beralas bantal berkali-kali dengan lembut.
Kira menunjuk ke jendela di samping kasurnya yang tidak dihalau hordeng dan membuat ruangan gelap tersebut disinari cahaya biru keperakan. "Mereka benar-benar indah," ia menurunkan tangannya, "apa Ibu dan Cagalli juga melihatnya, ya?"
Ulen membeku. Ia mengangkat tangannya yang gemetaran perlahan-lahan dan meletakkannya di atas kasur, menggenggam seprei dengan kuat. "Mereka pasti melihatnya." Ia menghentikan dirinya sebelum suaranya tercekat. Ia menunduk. Jantungnya berdebar. Ingatan-ingatan yang terus menghantuinya setahun ini kembali.
"Ulen! Di depan—"
"Ayah," panggil suara kecil itu, menariknya ke dunia nyata.
Ulen mengangkat kepalanya. Kira menatapnya dengan mata bulat itu yang sangat mengingatkan dirinya akan istrinya—mendiang istrinya.
"Ayah menangis?"
Ulen tersenyum kecil—agak dipaksakan, memang. "Ayah tidak menangis," tangannya kembali mengelus kepala putranya dengan lembut, "Ayah hanya berpikir, Ibumu dan Cagalli pasti tidak ingin melewatkan pemandangan indah ini—dan Cagalli mungkin akan minta bertukar kamar jika tahu langit terlihat seindah ini dari jendela kamarmu."
Kira tersenyum lebar. "Bisa kubayangkan."
.
#4 Sick
"Ini saja yang untuk Kira!" Seorang anak perempuan berambut pirang mengangkat boneka beruang berukuran sedang tinggi-tinggi.
"Cagalli," tegur sang ayah yang berada di belakang kemudi. Seorang wanita cantik berambut cokelat sibuk terkikik di sampingnya.
Gadis kecil bernama Cagalli itu menurunkan boneka di tangannya dan menyeringai lebar. "Bercanda, Ayah. Aku juga lumayan suka dengan boneka ini, kok."
"Kau tidak lupa dengan hadiah untuk Kira, kan, Cagalli?" Wanita itu menoleh sedikit ke belakang—tersenyum lembut, menahan diri untuk tidak memanggil putrinya itu dengan 'Ca-chan'. Oh, ia tidak sedang ingin mendengar 'letusan' putri kesayangannya saat ini.
Cagalli mengangkat kotak ukuran sedang berisi gundam berwarna biru dan putih di tangan kanannya. "Di sini," ia menghela napas, "sayang banget Kira sakit. Padahal hari ini ada acara pembagian susu dan permen gratis di sekolah. Kira akan baik-baik saja, kan, Bu?"
"Tentu saja, Cagalli. Kakakmu—"
"Adik."
Ulen mendengus geli mendengar koreksi cepat tersebut.
Via—nama sang ibu—memberinya tatapan menegur pada Cagalli dan melanjutkan, "Kakakmu hanya flu. Besok dia sudah bisa bermain denganmu lagi, Cagalli, tapi jangan terlalu berat! Kakakmu masih harus istirahat."
Ulen menatap putrinya dari kaca spion dalam. "Dan di rumah nanti, kau tidak boleh masuk ke kamar Kira. Ayah tidak mau kau juga ikutan sakit."
"Yaaaaah, Ayah! Tapi, kan aku kakaknya! Aku mau melihatnya!"
Via kembali memberi tatapan menegur itu—meski ada sedikit senyum yang tertahan di bibirnya. Ulen bicara dengan sedikit menoleh ke belakang—sebentar—namun masih tak melepaskan pandangannya dari jalan, "Maaf, Cagalli. Kau yang adik. Jika kau bersikeras ingin jadi kakak, kenapa kau tidak keluar duluan dari perut Ibu waktu lahir? Ayah dan Ibu tidak sabar menunggumu, lho. Jangan-jangan Cagalli malu-malu, ya?"
Wajah Cagalli merona. "Aku tidak malu-ma—"
Ada sebuah tarikan kencang di lengan kirinya. "Ulen! Di depan—"
Ulen Hibiki terbangun satu hari kemudian dengan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Meski begitu, dadanya yang terasa paling sakit saat ia menemukan istri dan putrinya yang sangat ia cintai tertidur dengan wajah tertutupi selimut.
.
#5 Cry
Ulen sama sekali tidak menggubris perintah laki-laki berseragam yang terus menyuruhnya menunggu di mobil—tidak sudi! Bagaimana bisa ia duduk diam di mobil, menerima teh hangat yang ditawarkan salah satu personil berseragam lain, lalu membaca koran sambil menunggu polisi tadi membuka pintu mobil tempatnya duduk sambil menggandeng tangan Kira yang menyunggingkan senyum di bibir.
Itu putraku, di sana, yang sedang diculik—tidakkah kalian mengerti!?
Karenanya, ia berlari ke arah para petugas tadi masuk dan menemukan situasi yang membuat darah di tubuhnya membeku. Di ruang tengah rumah bercat krim itu, seorang pria menempelkan mulut pistolnya di pelipis putranya.
Ulen masih terpaku saat seorang polisi menariknya mundur meski hanya beberapa langkah. Ia sangat ingin merebut pistol di tangan polisi itu dan menembakkannya ke kepala pria-yang-berani-beraninya-merebut-Kira-darinya-dan-menodongkan-pistol-di-kepala-putranya saat seorang negosiator dari tim berusaha memasukkan beberapa akal sehat di kepala kosong sang pelaku.
Jantungnya hampir berhenti saat seorang polisi yang masuk dari jalan lain berhasil menyelinap dan membekuk pria itu dari belakang dan Kira langsung ditarik—diamankan—oleh personil lain tepat saat pergulatan terjadi dan sebuah peluru dilepaskan—tepat melubangi langit-langit ruangan.
Ulen tidak mengikuti kelanjutannya karena ia langsung keluar dan berlari ke tim paramedis yang menunggu setelah petugas itu menyerahkan Kira padanya. Mereka menanyai Kira beberapa hal sambil melakukan berbagai pemeriksaan dengan sibuk.
Saat salah seorang dari mereka menepuk pelan kepala Kira dan tersenyum serta mengangguk pada sang-ayah-yang-khawatir sebelum pergi, Ulen membungkuk. "Kau terluka?" tanyanya cepat. Jantungnya masih berdetak tak menentu.
Kira menggeleng.
"Kau takut?"
Kira mengangguk. Kepalanya masih tertunduk.
Pria itu memerhatikan wajah anaknya sekali lagi yang dinodai beberapa debu dan terlihat sedikit lebih tirus. Amarah kembali muncul di dadanya saat membayangkan apa yang pria itu telah lakukan selama dua hari Kira berada di tangan kotornya. Amarah itu sempat terlupa saat ia melihat wajah Kira lebih lekat.
"Kau tidak menangis?"
Kira mengangkat kepalanya dan menggeleng mantap. Seulas senyum bangga terukir di bibirnya yang pucat.
Ulenlah yang ingin menangis.
.
TBC
.
Baiklah. Ini disebut drabble lebih dari 200 words, kalo dibagi lima supaya bisa dibilang kumpulan drabble juga kayaknya lebih dari 200 words. Jadi saya gak tau ini namanya apa #absurd.
Ide ini muncul (biasa) waktu lagi di kamar mandi. Entah kenapa kamar mandi rasanya udah alih fungsi jadi gudang ide. Mungkin kalo dibayangin air yang turun dari gayung itu ibarat bunga yang di sarang Easter Bunny di Rise of The Guardian. Bunga nyemprotin cat—cusss—telor warna cantik keluar. Air gayung tumpah—byuur(?)—ide belum tentu keluar. Air bak abis. Besok pagi bingung mandi.
Oke, saya jadi curcol garing. Mungkin efek karena udah malem. Lupakan. Lanjut.
Jadi ... umm ... cerita ini ditulis mungkin lebih karena saya agak gatel pengin ikutan nulis lagi. Akhir-akhir ini FGSI lagi rame archive baru~ Saya jadi seneng~ dan termotivasi~ hohoho. #gakadayangnanya#.
Ini ada sepuluh prompt sebenernya. Waktu mikirin idenya gak kepikir bakal agak panjang, jadi mending dipisah jadi dua chapter aja (karena kengantukan saya ini juga, sebenernya, alasan utamanya #plak). Oh, dan sekedar info behind the scene (?), tadinya ini mau dibuat Athrun starring as Ayah dan Lacus starring as Ibu, lho. Mereka udah lulus casting, tapi karena saya pikir tanggung jadi sekalian Hibiki family aja. Maaf, ya, gak jadi kontraknya, Mas Athrun, Mbak Lacus. #dibejek#.
Can you imagine that family where the Father has navy blue hair, Mother's pink, Son's Brown, and Daughter's blond? There's nothing wrong with that (this is fictional after all), I just think it's kinda funny, in a neutral and no offense way.
Terima kasih untuk readers yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk nengok fic ini. Saya tahu fic ini masih banyak kekurangan, dari diksi yang kurang bervariasi dll dsb dst. Karenanya, segala kritik dan saran diterima dengan sangat terbuka!
Have a good day, readers!
