YAHOOO~! XD

Selesai juga 1st chap dari fanfict gaje saya yang satu ini. Oke, jangan tatap saya seperti itu. Iya, saya tahu STR belum kelar. Tapi saya udah kejedot tembok di situ! Damn writer's block! Daripada gak nulis apa-apa, yasud saya kelarkan saja chap pertama Sirens of The Valkyrie ini.

Fict ini adalah honor fict untuk proofreader saya tersayang, Sorarin, by the way. Steampunk universe, airpirate, UKUS, itu semua dia yang request. Sini, saya peluk-peluk dulu dirimu, Sorarin~ #dibanting

Betewe, judul yg absurd, eh? Ahaha. Saya juga nyadar. Tapi ada rahasia di balik semua judul, bukan? Daripada readers-terhormat-sekalian penasaran, sumonggo:

Read and review, ya?

Disclaimer :

Yang Mulia Hidekazu Himaruya, saya boleh minta Indonesia dijadiian official chara sekaligus official pairnya Netherland gak? #salah

Summary :

Ia ingin mempercayai pemuda ini. Ia ingin melindungi bocah ini. – Sebuah kisah fantasi tentang pembajak angkasa dan para penjelajah dunia- UKchibi!US, later USUK, or UKUS, well, it depends on my proofreader's will~ :3

Warning :

UKchibi!US, later USUK, sho-ai, adegan penganiayaan secara implisit, dan karena ini fantasi, well, just enjoy your journey, my dear readers!

SIRENS OF THE VALKYRIE

First Flight

The Boy And The Angel Of The Death

Pernahkah sejenak kau sadari

kebahagiaan hanya sesaat menghampiri?

New Columbia, Bumi. 3213 PA (Post-Apocalypse)

Bocah berambut pirang itu meringkuk dalam bilik berjeruji metal di sudut kereta pengangkut. Kepalanya tertunduk, dahinya menyentuh lututnya yang telanjang. Satu-satunya helaian yang menutupi tubuhnya hanyalah kemeja lusuh yang kebesaran. Kakinya terkekang belenggu baja dan bandul besi.

.

Bocah berambut pirang berlari mengelilingi ruang tamu kediamannya yang luas. Di tangannya yang terangkat tinggi ke udara, tergenggam erat hasil kerja kerasnya sepanjang hari. Sebuah model sederhana kapal terbang yang dibuat dari potongan ranting pohon oak yang tumbuh rindang di halaman belakang, lembar-lembar kertas dari kamar kerja sang ayah, juga gelang karet millik pelayan yang ia ambil diam-diam.

.

Tadi, ia lega saat akhirnya bisa keluar dari rumah itu. Entah sudah berapa lama ia terjebak di situ. Entah sudah berapa hari, berapa minggu, ia tidak tahu. Ia tidak bisa menghitung berapa hari telah berganti. Penanda berlalunya siang dan malam hanyalah cahaya samar dari celah teralis di sudut atas dinding bilik mungilnya. Orang-orang dewasa itu hanya datang untuk mengantarkan sedikit makanan: roti basi, sup dengan potongan kubis yang rasanya memuakkan, dan segelas air sehari tiga kali. Juga datang berganti-ganti untuk menggerayangi tubuhnya tiap malam. Meraba, menyentuh, menjamah bahkan di tempat-tempat yang tidak ia duga, tempat yang paling rahasia. Mereka menyakitinya. Memaksanya mengulum, euh, benda menjijikkan yang tergantung di antara kaki mereka, menderanya dengan cambuk dan kepalan tangan, menerobos bagian tubuhnya yang paling tersembunyi.

Keluar, masuk. Keluar, masuk.

Membuat badannya kotor. Berlumuran cairan kental menjijikkan itu. Lengket. Sakit. Lemah. Menjijikkan.

Ia benci. Benci.

Karenanya, ia lega. Ia lega sudah keluar dari sana.

Tapi ia akan dibawa ke mana? Tidak ke neraka yang lebih menyiksa kan?

.

Sungguh, sebenarnya ia ingin menerbangkan kapalnya tinggi-tinggi. Untuk membuktikan bahwa kapal miliknya itu bisa terbang. Layaknya kapal para valkyrie, pembajak angkasa, yang terkadang melintas di sekeliling kotanya yang mengambang di atas langit. Namun, sang Ibunda yang merupakan Countess of New Columbia pasti akan mengomelinya habis-habisan jika kapalnya sampai menyenggol kandelabra kristal peninggalan neneknya yang menggantung di atas sana, atau patung-patung porselen indah kesayangan sang Ayah. Sudah cukup dia diomeli seminggu ini. Iya, dia memang bersalah karena sudah melepas kuda dari istalnya Senin lalu, tanpa sengaja menumpahkan sebotol madu ke kolam renang di hari Selasa, meledakkan pemanggang daging di hari Rabu juga menumpahkan tinta ke gaun governess-nya hari Kamis kemarin. Tapi itu terjadi kan karena dia berjiwa pahlawan. Mendiang nenek juga bilang dia sangat ksatria, dan itu sangat bagus. Dia hanya ingin membantu sais-nya membersihkan istal, membawakan madu kesukaan ibunya untuk sarapan, membantu kokinya memanggangkan daging favorit ayahnya, juga mengambilkan botol tinta untuk sang governess yang kelelahan. Bukan salahnya jika semua terjadi di luar kendali kan?

.

Ah, ia merindukan langit. Langit biru yang berlukis awan putih. Kapal terbang yang berlalu lalang menghiasi langit. Rumahnya yang hangat dan nyaman. Susu madu yang hangat dan roti lembut yang baru matang dari pemanggang buatan koki rumahnya. Pelayan-pelayannya yang asyik dikerjai. Pelukan ibunya yang cantik. Adiknya yang manis, pendiam dan penurut. Belai lembut ayahnya mengacak-acak rambutnya.

Ia merindukan mereka. Sangat rindu.

Andai saja rumahnya tidak terbakar, andai saja orang-orang bertato aneh itu tidak datang menikam leher ibunya, andai saja orang-orang bertopeng hitam itu tidak menusuk jantung ayahnya, andai saja dia dan adiknya tidak sempat lari dari sana, andai saja ia memilih dilalap api.

Tentu semua takkan jadi begini.

Tentu dia takkan dipisahkan paksa dari adiknya oleh orang yang menemukan dan semena-mena menjual mereka ke pasar budak, tentu dia takkan berada di gudang suram, kotor, terkutuk itu, tentu dia takkan dibelenggu, tentu dia takkan berada dalam bilik sempit, kotor, gelap itu sepanjang hari, tentu dia tak harus menerima dera ketika malam berganti.

Andai saja...

.

"Alfie... ayo, tidur. Ini sudah malam, dear. Lihat, Mattie sudah tertidur," suara merdu ibunya yang menggendong sang adik, yang sudah pulas dengan boneka beruang di pelukan, mengembalikan Alfred ke dunia nyata.

Alfred F. Jones merengut. Tidur? Dia kan baru saja mendaratkan kapalnya ke Britain, ke pulau tak bertuan penuh harta yang diimpikan para valkyrie . Dia baru saja akan menahbiskan diri menjadi valkyrie terhebat di dunia. Dia tidak mau tidur!

Lagipula ayahnya belum pulang. Ayahnya belum pulang dari konferensi di istana sana. Hari ini hari pertama dari konferensi-lima-hari yang konon katanya akan mengubah masa depan kerajaan ini selamanya. Dan tampaknya sang ayah yang punya peranan penting di House of Common akan pulang larut hari ini karena hal itu.

.

Ah, kelopak mata itu terbuka perlahan, perlahan tapi pasti. Menampakkan mata biru seindah lazuardi di penghujung musim semi. Yang kini tampak tersaput kabut dan habis ditelan bayang-bayang musim dingin yang membekukan jemari.

Mata biru seindah angkasa tanpa awan berarak itu kini tanpa nyawa. Padam pelita.

Tiba-tiba, hidungnya mengendus sesuatu.

Aroma. Aroma minyak yang segar dan tajam menusuk hidung. Tak seperti minyak sayur di dapur rumahnya dulu. Juga tak seperti minyak aroma yang dipakai ibunya tiap hari. Ia tahu aroma itu. Ia pernah mengendusnya sekali dulu. Itu minyak bara. Bahan bakar kapal terbang yang dulu sering melintas di langit atas rumahnya.

Sang bocah memfokuskan indranya ke telinga.

Suara. Ia mendengar banyak suara. Dentang logam beradu. Derit kayu menanggung beban. Kaok samar burung camar, sang burung penghujung pulau. Komando kasar yang rasa-rasanya belum pernah mencapai telinganya. Celoteh beragam bahasa: bahasanya, juga banyak bahasa yang tak pernah ia dengar.

Pemahaman menghantamnya.

Ia ada di pelabuhan angkasa.

.

"Tapi aku belum mengantuk, Mom. Dan, lihat! Kapal terbangku! Bagus kan, Mom? Waktu sarapan tadi pagi Dad berjanji akan melihat kapalku hari ini juga DAN jika kapalku bagus kami akan menerbangkannya hari Minggu nanti. Dad belum pulang, Mom. Aku ingin menunggu Dad pulang! "

Penyangkalan, yang amat panjang lebar. Sungguh, tampaknya sang putra sulung mewarisi kemampuan berbicara sang ayah. Sang ibunda tersenyum, sudah amat terbiasa dengan segala macam sangkalan putra sulungnya, yang tipikal dengan suaminya, yang kelewat aktif dan imajinatif itu.

Sang Countess tersenyum, "Besok pesta ulang tahunmu, my dearie. Kau tidak mau tertidur karena mengantuk di pesta ulang tahunmu bukan?"

Alfred merengut.

Ah, benar. Besok ulang tahunnya yang ke-delapan. Ibunya akan mengadakan pesta besar untuknya. Ibunya akan mengundang anak-anak bangsawan dari seluruh penjuru kota. Pasti akan sangat menyenangkan bisa bertemu anak-anak sebayanya. Yah,meski tujuan pesta itu sekalian untuk memamerkan paviliun besar yang baru dibangun di taman belakang, dia tak peduli. Yang penting dia akan punya teman bermain besok. Adiknya tidak asyik diajak bermain menjadi valkyrie. Jangan salah, ia menyayangi Matthew. Hanya saja Matthew terlalu pendiam. Itu tidak asyik.

"Tidur, ya, Alfie?"

Cemberut, Alfred menurut. Lagipula, besok dia masih bisa bermain dengan kapal terbangnya kan?

"Baik, aku tidur. Tapi Mom harus berjanji, aku boleh membawa kapalku ke pesta ulang tahunku besok! Semuanya pasti akan iri karena aku sangat jago membuat kapal. Dan mereka akan mengakui bahwa aku adalah valkyrie terhebat di New Columbia!"

Oh. Alfred dan kekagumannya akan para valkyrie, pembajak angkasa yang seharusnya suka mengacau tapi entah kenapa malah terlihat bak pahlawan di mata biru langit polosnya. Salahkan saja sang ayah yang menggebu-gebu menceritakan tentang Sirens, kru valkyrie legendaris, sebagai materi dongeng pengantar tidur Alfred dan Matthew. Diketuai oleh seorang valkyrie muda, tak menjadikan kru Sirens sebagai bajak angkasa pecundang. Mereka valkyrie hebat yang telah berkeliling dunia. Brittania, Nassau, Nihon, Gallia, Ottoman, hingga New Columbia, semua sudah pernah mereka singgahi. Memerangi valkyrie yang bengis, membebaskan putri Lily of Liechtenstein dari cengkeraman Jenderal Winter yang kejam, menemukan harta karun di pulau-pulau angkasa maupun pulau-pulau di bawah-sana, dan masih banyak lagi.

Ibunya mendesah, "Baiklah. Mom berjanji."

Tanpa tahu janji itu takkan pernah bisa ditepati.

.

Apa ia akan dibawa pergi keluar pulau? Apa ia akan dibawa jauh dari tanah kelahirannya?

Ia hanya bisa menduga. Ia hanya bisa berharap. Berdoa. Agar tidak dibawa pergi dari sini, tidak sampai ia mempunyai kekuatan yang cukup untuk melawan mereka, sampai ia bisa menemukan Matthew lagi.

Hah. Doa.

Memang benar ada Tuhan di atas sana yang akan mendengar doanya? Jika Ia memang ada, apakah mungkin Ia bisa mendengarnya? Jika benar Ia mendengar, bolehkah dia meminta dikirimkan malaikat penolong? Malaikat yang akan menyelamatkannya dari sini? Dari kegelapan yang lagi-lagi datang menyelimuti?

Padahal tadi sesaat dia bisa melihat seberkas cahaya. Kenapa harus gelap lagi? Dan di mana ini? Dia masih bisa mencium aroma menyengat minyak bara. Berarti dia seharusnya ada di sekitar pelabuhan angkasa.

Tuhan, jika Kau memang benar ada, jika keberadaan-Mu memang bukan omong kosong luar biasa semata, jika Kau memang bisa mendengar doa di setiap sanubari manusia, tolong kirimkan malaikat-Mu sekarang juga...

.

Beberapa sosok bertopeng mengendap-endap di luar pagar kediaman keluarga Jones. Mereka melewati pagar setinggi sepuluh hasta dengan satu lompatan dan mendarat ringan hampir tanpa suara. Hampir. Derap pelan langkah mereka disadari penjaga rumah. Namun sayang, pedang mereka bisa bertindak lebih cepat daripada gerak bibir sang penjaga meneriakkan pertolongan.

Tiga dari tujuh di antara mereka mulai menyalakan api. Sementara yang lain mulai menyusup ke dalam rumah megah itu, dengan pedang di kedua tangan teracung mengancam. Perintah telah diberikan dan mereka, pasukan terpilih yang terlatih, akan mematuhinya.

Satu perintah langsung dari petinggi mereka :

Habisi keluarga Jones.

.

Apa itu?

"Apa yang-? GUAGH! Uhuk!"

Teriakan? Suara tersedak? Dan, eh, sesuatu yang tersembur?

"Kapten! Ada sesuatu di dalam kereta!"

"Pasti harta! Yuhuu~! Kita kaya!"

Ada orang yang datang ke sini? Siapa? Dia tak pernah mendengar suara mereka sebelumnya. Apa yang akan mereka lakukan padanya?

"Sial! Gemboknya terlalu- Eh, Kapten, apa yang-?"

"Valkyrie harus bisa bertindak cepat, you git."

Derak keras kayu dihantam logam. Dan berkas cahaya yang menyilaukan menghantam matanya.

"Anak-anak?"

Ah, silau. Siapa itu? Dia tak bisa melihat dengan jelas sosok di depannya. Dia hanya bisa melihat jubah merah gelap berkibar, bak sayap malaikat yang terhujani darah, terbentang di balik punggungnya.

Sosok itu mendekat dan, refleks, dia beringsut mundur.

"Mereka memperlakukanmu dengan sangat buruk, ya?"

Suara sosok itu berbeda. Meski tidak lembut, nada suara itu terdengar hangat di telinganya. Tidak seperti bentakan, pekikan, dan teriakan mereka. Juga terasa begitu familiar, layaknya ia pernah mendengarnya di masa silam. Karenanya ia berani melirik sosok itu. Ia berani menatap rupa orang itu.

Yang pertama mencapai retinanya adalah kilasan kuning yang memantulkan berkas sinar mentari. Ah, rupanya rambut. Rambut orang itu pirang, tidak seterang rambut pirang emasnya namun lebih ke warna jerami yang bertumpuk di istalnya dulu. Matanya, mata itu hijau menawan seindah pucuk dedaunan oak yang tersiram hujan, dan dinaungi alis paling tebal yang pernah ia lihat. Dia berani bersumpah alis itu lebih tebal enam kali lipat daripada alis orang normal.

"Aku tidak akan menyakitimu."

Pemuda itu tidak tersenyum. Pemuda dengan jubah merah gelap itu tidak tersenyum, tidak juga menunjukkan ekspresi berarti. Dia hanya berjalan dengan perlahan ke arahnya dan dengan amat perlahan pula, merendahkan dirinya. Berlutut di hadapannya yang gemetar.

Alfred mengerti. Dalam hati dia tahu, dia mengerti bahwa orang ini mungkin tidak akan menyakitinya. Tidak akan melukainya. Sayang tubuhnya tidak bereaksi sesuai kehendak hatinya. Tanpa sadar trauma sudah terukir ke dalam tiap sel tubuhnya. Tiap sel tubuhnya meneriakkan bahaya pada eksistensi bernama 'orang dewasa'.

"Tidak akan ada yang melukaimu."

Aneh. Padahal dia mengucapkannya dengan nada suara yang seharusnya datar. Tapi kenapa di telinganya nada suara itu terdengar lembut dan hangat?

Tanpa Alfred sadari, pemuda itu sudah menarik pedang dari sarungnya dan menghantam rantai yang membelenggu kakinya. Rantai besi itu terputus hanya dengan sekali tebas dalam dentang suara logam beradu yang amat keras. Mata biru Alfred membulat lebar. Ia tercekat.

Kuat. Pemuda di hadapannya itu sangat kuat.

Sang pemuda melepas jubah dari bahunya dan menyelimutkannya ke tubuh mungil yang gemetaran itu. Perlahan, hati-hati untuk tidak menyentuh tubuh ringkih si bocah secara langsung.

"Tidak akan ada yang melukaimu lagi. Aku berjanji."

Mendadak, tanpa disadarinya, setetes bening mengalir dari balik safir bocah itu. Air mata. Alfred menangis. Tersedu, karena haru dan lega. Terisak, karena kebebasan, kata yang sebelumnya tidak ia tahu benar artinya, kini ia pahami maknanya hingga ujung kaki.

Ah, sepertinya Kau memang ada, Tuhan.

-00-000-00-

Sosok pemuda berkemeja putih pudar itu menoleh sekali lagi ke arah bocah yang meringkuk di ujung ranjang dalam kabinnya. Bocah itu jatuh tertidur setelah tersedan habis-habisan ketika ia membebaskannya tadi. Benar-benar pulas hingga ia sama sekali tak terbangun meski sang pemuda sudah memindahkannya ke kapal terbangnya.

Bocah itu kotor, dekil, dan tampak amat rapuh. Lemah. Tabib kapalnya, seorang pria bernama Wang Yao dari kepulauan-di-bawah-sana, sudah memeriksanya. Parah. Kondisi bocah itu sangat parah. Dan sang pemuda langsung tahu itu hanya dari ekspresi berang sang tabib. Tak hanya kekurangan gizi, sekujur tubuh bocah itu juga penuh lebam dan lecet. Namun yang lebih mengiris hati, Yao berhasil mendeteksi eksistensi sekelumit air mani di bagian tubuh tak terduga dari bocah itu.

Sang pemuda menghela nafas. Dia sama sekali tak menduga ini yang akan terjadi saat ia memutuskan untuk menyerang gudang penyimpanan milik perompak asal Ottoman itu. Oh, dia dan krunya tentu sudah menduga mereka akan bisa mendapatkan sesuatu, selain honor dari pemerintah New Columbia. Kesediaan mereka membantu menghancurkan satu dari sekian gudang penyimpanan milik valkyrie itu sungguh berharga. Tak ada yang berani menyerang armada Shah Meran. Mereka terlalu digdaya. Dan saking berkuasanya di langit bebas, tak ada pemerintah pulau angkasa manapun yang berani menyentuh mereka. Tak ada. Kecuali kru kapalnya yang bersaing ketat dengan armada Shah Meran dalam hal merajai angkasa. Tapi tentu saja, sesuatu yang ia, lebih-lebih krunya, bayangkan sebagai rampasan perang itu adalah benda mati berkilau bernama emas dan permata, bukannya anak kecil yang lebam di sekujur tubuh dengan kaki terikat bandul besi.

Lagipula, ada banyak keanehan. Kenapa bocah ini dipisahkan dari budak lainnya? Kenapa tidak ditempatkan dalam gerobak yang biasa digunakan para valkyrie Shah Meran untuk mengangkut budak yang mereka perjualbelikan? Apa yang membuat bocah ini... begitu istimewa?

Pemuda pemilik kabin itu perlahan naik ke atas ranjangnya. Mendekati bocah yang menggelung tubuh rapat itu tanpa suara.

Bergerak. Bocah itu bergerak dalam tidurnya, beringsut gelisah. Mimpi? Dengan keringat bercucuran, dahi berkerut dan tubuh gemetaran? Apakah bocah itu bermimpi buruk?

.

Gelap.

Langit yang seharusnya penuh bintang kini bergelora oleh asap yang membumbung tinggi. Merah. Layaknya fajar yang datang terlampau cepat.

Panas.

Api di mana-mana. Menjilati kakinya, menghabisi kamarnya, memporakporandakan seisi rumahnya.

Berisik.

Berdenging di telinganya. Teriakan pelayan-pelayannya yang terhanguskan api, ringkikan kuda-kudanya di istal yang minta diselamatkan, serak isak tangis Matthew, ciprat darah yang tersembur dari tusukan di jantung yang merenggut nyawa ayahnya dan gorokan di leher yang mencabut jiwa sang bunda.

Gelap.

Gelita kembali menelannya. Tak ada yang bisa ia lihat. Tidak pemandangan di depannya, bahkan tidak jemari tangannya.

Sakit.

Ada yang menggerayangi tubuhnya. Meraba tiap jengkal tubuhnya, menyentuh tempat-tempat yang teramat rahasia. Membuat sekujur tubuhnya sakit. Perih. Jengah. Lelah. Lengket. Kotor. Jijik.

Jangan. Please, jangan.

Berisik.

Teriakan kasar, bentakan dari mulut beraroma alkohol, hardikan saat ia memberontak, umpatan yang ia dapatkan saat memberanikan diri melawan, tawa puas mereka setelah selesai menyiksanya. Muak. Dia muak.

Cukup. Semua sudah cukup!

.

Sang bocah tergeragap bangun bahkan sebelum jemari si empunya kabin, yang hendak membangunkannya, sempat menyentuh sepucuk rambutnya. Keringat membasahi tiap jengkal wajah si bocah yang bisa dilihat si pemuda. Dan mata itu, mata biru yang indah namun mati itu, membulat sempurna. Menatapnya ketakutan.

Pemilik alis tebal itu menghela nafas.

Trauma. Bocah itu pasti trauma. Dilecehkan begitui rupa dalam usia amat belia. Dia bisa mengerti. Itu... mirip kisahnya dulu. Dia juga pernah mengalaminya. Dulu, dulu sekali sebelum Kapten terdahulu memungutnya. Membawanya ke kapal ini, mengajarinya segala hal tentang penerbangan, tentang bagaimana menjadi seorang valkyrie terhormat, tentang bertahan hidup di langit bebas, tentang berhubungan dengan orang lain, tentang kehangatan keluarga…

TOKTOKTOK.

Tiga ketukan keras di pintu membuat mata zamrud sang pemuda beralih ke pintu kabinnya.

"Masuk."

Sesosok jangkung dengan rambut pirang jabrik layaknya kuncup tulip membuka pintu. Tanpa menghormat, dengan ekspresi sedatar lantai kapal, pria bermanik mata hijau itu bicara.

"Kapten, kita dikejar."

Seperti biasa, laporan yang amat singkat.

Pemuda itu menghela nafas. Bukan, bukan karena tingkah awak kapal asal Nassau-nya yang satu itu. Akan tetapi, karena ia sudah bisa menduga apa yang akan Sadiq Adnan, sang kapten Shah Meran, lakukan. Valkyrie satu itu takkan tinggal diam saat benda miliknya, apapun itu, disentuh orang lain. Lebih-lebih bila ia, musuh besar sang Kapten Shah Meran di delapan penjuru angkasa, yang melakukannya.

Beranjak turun dari tempat tidurnya, sang kapten berujar, "Angkat sauh. Menjauh dari New Columbia. Aku tidak mau kita dilarang berlabuh di sini."

Pemerintah New Columbia menghargai para valkyrie. Sangat. Mereka tahu bagaimana cara paling efektif memanfaatkan para pembajak angkasa. Dengan berkantong-kantong emas dan ransum yang dapat memberi makan 100 orang dalam tiga bulan, pemerintah New Columbia mengiming-imingi para bajak angkasa untuk, katakanlah, bekerjasama dengan mereka. Kerjasama yang dimaksud, tentu saja yang bersifat meringankan pekerjaan armada angkatan udara New Columbia. Oh, tidak. Armada New Columbia sama sekali tidaklah lemah. Armada New Columbia adalah salah satu armada angkasa terkuat di dunia. Namun, jika bisa menyimpan tenaga, kenapa tidak? Dan, oh, tidak ada valkyrie yang bisa menolak hal yang sedemikian menggiurkan. Namun, untuk bisa mendapatkan hal itu pemerintah New Columbia mengajukan satu syarat.

Tidak boleh ada pertempuran antar armada valkyrie di angkasa New Columbia.

Tidak, kecuali jika memang pemerintah New Columbia yang menginginkannya. Dengan alasan penumpasan sebagian armada valkyrie yang melanggar perjanjian, misalnya.

"Aye, Kapten," terucap dengan ekspresi yang masih sama datar.

Sang kapten, yang sudah terlampau terbiasa dengan wajah tanpa ekspresi sang bawahan, menyambar jubah merah gelapnya, menyampirkannya di bahu kiri dan meraih sabuk pedang di atas meja.

.

Mata Alfred tak lepas memandang pedang yang sarungnya terkait dengan sederet paku metal ke sabuk kulit itu. Pedang itu. Rasa-rasanya ia pernah membayangkannya. Ia pernah membayangkan menggenggamnya saat ayahnya menceritakan kepahlawanan pemiliknya dalam rangkaian dongeng sebelum tidur untuk ia dan adiknya. Ia tahu jelas pedang itu.

Pedang berwarna perak berkilau dengan ukiran sayap melingkar yang saling lilit dengan sulur anggur nan anggun di gagangnya. Pedang yang konon bisa memenggal sekian leher sekaligus dalam sekali tebas. Pedang milik kapten valkyrie terhebat di delapan penjuru angkasa. Pedang yang menurut kabar telah diwariskan sang valkyrie legendaris pada seorang pemuda yang kini juga mewarisi jabatannya sebagai kapten kapal yang namanya akan sanggup mendiamkan bayi yang menangis.

Angel of The Death.

Pedang milik Kapten bajak angkasa Sirens.

Pemuda bermata hijau dengan jubah merah gelap di hadapannya itu, pemuda yang menyelamatkannya dari neraka itu adalah Arthur Kirkland. Kapten Sirens. Pahlawannya sepanjang masa.

Mata sewarna angkasa bocah itu melebar. Rasa takut yang menyergapnya saat pemuda itu hendak mendekatinya tadi mendadak sirna, beralih menjadi antusiasme. Rasa ingin tahu. Penasaran.

Detik itu pula, tanpa sang bocah sadari, setitik dirinya sebelum ia mencecap dera, telah kembali.

.

Arthur menoleh pada bocah di atas ranjangnya. Kondisi bocah itu masih labil. Dan pertempuran jelas bukan salah satu bentuk terapi yang tepat untuk trauma yang bocah itu alami. Entah apa saja yang terjadi pada bocah itu, Arthur mungkin belum banyak tahu. Namun ia bisa merasakan sesuatu.

Bahwa bocah itu bukan bocah sembarangan. Bahwa bocah itu bukan sekedar budak belian. Bahwa bocah itu cukup berharga bagi seorang Sadiq Adnan hingga ia tak buang waktu untuk segera mengejar kapalnya hanya beberapa jam setelah krunya menyerang.

.

Alfred mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya erat. Tatapan mata hijau itu, kenapa rasanya ia seperti dihakimi? Tatapan mata itu persis tatapan mata governess-nya ketika ia bilang tidak sempat mengerjakan tugas hariannya. Bukan jenis tatapan menyalahkan. Itu tatapan menyelidik.

Memberanikan diri, Alfred menatap balik tatap zamrud itu.

.

Tahukah kau bagaimana angin yang menggetarkan dedaunan berhembus?

Ia berawal dari tatap pertama hutan dengan angkasa.

Dari sanalah segala pergerakan dunia bermula...

.

Arthur memutus tatap mata mereka begitu saja sebelum berpaling kembali menatap bawahannya.

Heran. Bagaimana bisa tatap mata sebiru angkasa itu memerangkapnya begitu rupa? Apa karena kini ada secercah kehidupan di mata yang tadinya mati itu?

Entah. Entah.

"Suruh Oxenstierna berjaga di depan kabinku. Jangan sampai ada yang masuk ke sini."

Sang bawahan mengangguk. Dan tanpa disuruh segera beranjak pergi keluar kabin sang Kapten.

Arthur, yang sudah bersiap dengan jubah merah gelap menjuntai hingga lutut dan pedang tersarungkan di sabuk, melangkah perlahan mendekati bocah bermata biru yang terbalut selimut rapat. Untuk sesaat, sang bocah menunjukkan gestur ingin mundur, takut. Namun sedetik kemudian tampak jelas bahwa bahwa ekspresi bocah itu mengeras. Seolah ia sedang mensugesti dirinya sendiri bahwa Arthur takkan menyakitinya.

Bahwa ia harus mempercayai Arthur.

Senyum tipis melintas sesaat di bibir Kapten Sirens itu.

Sosok di depannya itu…

Polos. Naif. Murni.

Bocah.

Kemurnian yang jika saatnya tiba akan dinodai fakta oleh dunia. Dan tidak, ia tidak ingin merusak kemurnian bocah ini lebih jauh lagi.

Ia ingin melindungi bocah ini.

.

Tangan Arthur terjulur perlahan, ragu sesaat, sebelum mendarat di kepala si bocah yang tertutup selimut.

"Jangan takut."

Alfred mendongak, sekali lagi tatap mata mereka bertemu.

"Tidak ada yang akan melukaimu lagi. Takkan kubiarkan seorang pun menyakitimu."

.

Hanya sesaat. Hanya sesaat tangan yang besar itu menepuk kepalanya. Dan di waktu yang sesaat itu pula kehangatan, yang lama tak dirasakannya, kembali melingkupinya. Ia…

Ia ingin mempercayai pemuda ini.

-00-000-00-

Tersebutlah sebuah kisah

Atas suratan seorang bocah

Bermata dikecup lazuardi indah.

.

Engkau kuperingatkan sudah

Cerita ini bukanlah hikayat mudah

Melainkan warita berlinang air mata darah.

.

Jika kau berhati lemah, mundurlah.

Namun jika kau berkalbu tabah, maka teruslah.

Biarkan tutur membuaimu hingga akhir kisah.

To be continued…

Gimana? Mumet?

Ahaha, saya jelasin sedikit, ya?

Fict ini bersetting di masa jauh setelah kehancuran bumi. Setelah kiamat kedua, bumi menjadi sebuah planet yang tak lagi sama. Tak hanya peradaban harus dimulai dari awal, namun pulau kini tak hanya dikelilingi lautan. Ada sebagian permukaan bumi yang tertarik ke angkasa dan terus melayang di sana. Ada pula yang masih terikat di lithosfer dan tak hanya dikelilingi samudra namun juga lautan lava.

Di bumi yang seperti inilah, terdapat valkyrie. Para pembajak angkasa yang mengarungi langit dengan kapal terbang mereka. Yap, ini versi fantasized-and-upgraded dari masa penjelajahan samudra, Kawan.

Sedikit tambahan wawasan, nih :

Siren : makhluk dalam mitologi Yunani yang digambarkan sebagai wanita penggoda yang menarik para pelaut dengan musik dan suara merdu mereka untuk mengkaramkan kapal mereka di pesisir berbatu pulau yang mereka diami.

Shah Meran : Raja Ular legendaris dalam mitologi Turki.

Oke, cukup sudah cuap-cuap saya. Saya tunggu tiap saran, komentar, kritikan, hujatan, dan kecaman ada sekalian. Review, ya~! 8D

Luv,

sherry