Luhan ada yang ingin kau sampaikan di hari peringatan kematian kedua orang tuamu?
Tidak ada
Yifan? Bagaimana denganmu?
Aku hanya akan mengucapkan terimakasih pada tamu yang sudah hadir ke upacara peringatan kematian orang tua kami
Baiklah, Lakukan nak.
Lu? Kau yakin tidak ingin ikut memberi salam dengan kakakmu?
Tidak paman, terimakasih.
Namaku Luhan, Wu Luhan, aku bungsu dari dua bersaudara. Dan pria tinggi yang sedang memberi kata sambutan didepan sana, dia kakakku, Wu Yifan, pria yang sangat aku hormati dan aku sayangi bahkan melebihi rasa hormat dan sayangku kepada mendiang kedua orang tua kami.
Kenapa seperti itu?
Jawabannya sederhana, karena sejak kecil hanya Yifan dan paman Lee yang menjagaku, singkatnya aku ini anak kakakku, bukan anak Mama dan Papaku, ah, mungkin bagi mereka hanya Yifan putra mereka.
Lalu bagaimana denganku? Mereka menyayangiku tentu saja, hanya saja cara mereka menyayangiku dan kakakku berbeda dari orang tua pada umumnya. Mereka mendefenisikan kasih sayang dan keberadaan mereka dengan uang, uang dan uang.
Mungkin ada sedikit kasih sayang, tapi hanya sedikit, karena selama delapan belas tahun hidupku, aku hanya tiga kali merayakan natal bersama Mama dan Papa.
Sisanya?
Entahlah, mereka benar-benar sangat sibuk dengan bisnis software game yang dikembangkan di beberapa perusahaan besar dengan keuntungan per tahun mencapai tiga ratus persen.
"Paman…"
Aku berbisik, dan paman Lee yang memiliki tinggi sama dengan Yifan Ge menoleh, dia bertanya "Ada apa?" lalu kusambut dengan seringai jahil "Ini jadwalku bermain, aku pergi ya."
"yang benar saja Lu! Kita sedang memperingati hari kematian kedua orang tuamu."
"Tidak peduli! Katakan pada Gege aku ke sekolah, dah paman."
Aku melihat paman sekaligus mantan manager Mamaku itu menggertak gigi, namun ini kesempatan bagus karena Gege sedang memberi ucapan terimakasih pada tamu dan aku bisa melarikan diri karena jujur, aku tidak peduli dengan upacara membosankan seperti upacara kematian ini.
Bukan aku tidak peduli pada kematian Mama dan Papa, aku menangis banyak saat Gege memberitahu kabar mengerikan tentang kedua orang tua kami, itu seperti mematikan harapanku untuk bisa memiliki kehidupan normal layaknya keluarga.
Dulu sekali Yifan gege bilang mungkin suatu saat nanti Mama dan Papa akan bosan berkeliling dunia, mungkin suatu saat nanti Mama dan Papa akan bosan menjadi sibuk dan hanya menginginkan kita dalam hidup mereka.
Jadi yang perlu kulakukan hanya berharap dan berdoa agar hal itu terjadi, tapi sepertinya Tuhan punya rencana lain tentang bagaimana aku bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga, aku juga memiliki mimpi untuk merayakan natal dengan kedua orang tuaku, dengan kakakku dan Paman Lee, tapi lagi-lagi itu hanya mimpi yang tidak akan menjadi nyata.
Tuhan sudah mengambil kedua orang tuaku, bohong jika aku tidak terluka dan menangis, terkadang aku hanya ingin menjadi anak biasa yang dimanaja oleh kedua orang tuanya, merengek banyak hal, bisa makan malam setiap hari dengan orang tuaku, tapi sudahlah, semua sudah berlalu.
Mereka sudah pergi seperti biasanya, yang membedakan kali ini selamanya, aku tidak bisa melihat Mamaku yang cantik dan Papaku yang ketampanannya sama persis dengan Yifan ge lagi, semua sudah menjadi kenangan dan aku tidak mau berlarut dalam kesedihanku.
Lagipula aku juga memiliki hidup yang menyenangkan bersama teman-teman dan kekasihku di sekolah, kehidupan yang tidak pernah diketahui keluargaku bahkan Yifan gege karena aku menyembunyikannya dengan baik.
Setidaknya, sampai hari ini.
.
.
.
.
.
.
A Fanfiction to celebrate Our beloved Hun-Han Month
Its called
.
Been Through
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Yifan, adikmu pergi dengan teman-temannya lagi."
Yang sedang melayani tamu penting dari perusahaan ayahnya hanya tersenyum kecil, dia tahu adiknya tidak akan suka berada di keramaian tamu yang dipenuhi kepalsuan dan mengatasnamakan bela sungkawa.
Dia juga tahu seluruh petinggi perusahaan dan rekan bisnis mendiang ayahnya datang hanya untuk membujuknya bergabung dan paling buruk menyerahkan setengah saham dari perusahaan software game yang dibuat mendiang ayahnya.
Yifan bisa membaca situasi dan rasanya wajar jika adik kecilnya tidak tahan berada lebih lama dikelilingi wajah-wajah licik yang ingin mengambil keuntungan dari perusahaan yang ditinggalkan mendiang ayah mereka.
Dia bisa memaklumi posisi adiknya yang sedang berduka namun tak bisa menunjukkan dengan benar caranya bersedih, karena daripada menangis, Luhan cenderung mencari perhatian dengan cara yang salah, hal itu pula yang membuat Yifan merasa gagal melindungi adiknya dan hanya memberi jawaban "Tidak apa paman, biarkan dia bermain." Sebagai rasa bersalah pada adik kecilnya.
"Bagaimana jika dia membuat keributan lagi di sekolahnya?"
Namun berbeda dengan Lee Kwangsoo, pengasuh sekaligus ayah angkat dari Yifan dan Luhan sangat hafal dengan kelakuan nakal Luhan di sekolahnya. Si bungsu kerap membuat keributan di sekolah, hobinya berkelahi mengatasnamakan keadilan jika teman dekatnya diganggu, dia juga sudah menjadi pelanggan tetap keluar masuk dari ruang komite disiplin di sekolahnya.
Terakhir Luhan dipanggil ke ruang komite disiplin karena membuat salah satu putra ketua yayasan tempatnya bersekolah harus kehilangan gigi depan saat mereka berkelahi hanya karena bola basket.
Hukumannya adalah skorsing satu bulan saat itu, beruntung Luhan memiliki Yifan yang begitu pandai mengambil hati banyak orang, karena sekalipun Luhan meminta maaf dengan tulus, tidak ada satu orang pun yang mempercayainya, termasuk Kwangsoo, berbeda saat Yifan yang mengatakan maaf tanpa harus mengiba, seluruh orang mempercayai tutur kata dan ketulusannya terlebih dengan kalimat bijak serta perawakan meyakinkan dari sulung dua bersaudara itu.
Hal itu pula yang membuat para pemegang saham dan petinggi yayasan setuju untuk membatalkan skorsing Luhan dan mengganti hukuman dengan mengikutsertakan Luhan di berbagai kegiatan sosial sekolah.
GE! LEBIH BAIK AKU DI SKORSING, AKU BENCI MELAKUKAN KEGIATAN SOSIAL!
Terserahmu saja Lu, tapi jika kau tetap keras kepala seperti ini, tidak ada game, tidak ada uang jajan
Ge….!
Satu lagi, tidak ada mobil yang bisa kau bawa ke sekolah
GEGE!
Saat itu Luhan tentu saja kesal, dia dipaksa melakukan kegiatan sosial yang begitu dibencinya, terlebih karena kakaknya mengancam akan menghentikan seluruh pemasukannya membuat Luhan mau tak mau dan dengan berat hati harus rela dibakar teriknya matahari ketika memberikan penyuluhan pada anak-anak dan orang tua usia lanjut.
Entahlah, Luhan memang sangat berbeda dengan kakaknya, jika Yifan sangat bijak dan berwibawa maka adik kecil Yifan itu adalah kebalikan dari semua sifat baik kakaknya, dia selalu mencari perhatian dengan cara yang salah dan cenderung membahayakan dirinya sendiri.
Hal itu pula yang membuat Kwangsoo cemas namun dipatahkan Yifan yang bisa melihat adiknya pergi dengan mobil miliknya "Aku percaya adikku." Timpalnya yakin sampai suara seseorang terdengar menghampiri dirinya dan Kwangsoo.
"Direktur Wu?"
Adalah Mr. Wang, Komisaris sekaligus pemilik saham di perusahaan mendiang sang ayah yang sedang menyapanya. Dan dilihat dari caranya tersenyum dan mengamati, Yifan bisa menebak jika perbincangan mereka tidak akan jauh dari pertanyaan siapa yang akan menggantikan posisi ayahnya.
"Ya, Mr. Wang."
"Bagaimana? Apa kau sudah memutuskan kerjasama yang cocok antar perusahaan kita? Apa kau sudah memikirkan untuk menggabungkan perusahaan ayahmu dengan perusahaanku?"
Dan tepat seperti dugaannya, pembicaraan mereka hanya akan berputar-putar tentang siapa yang akan memimpin perusahaan dan bagaimana perubahan kerjasama yang akan dilakukan Yifan sebagai pengganti ayahnya.
"Terimakasih untuk tawaran anda Mr. Wang, tapi jawabanku tetap tidak, aku akan menjalankan perusahaan ayahku sendiri."
"Ayolah nak, kau terlalu arogan. Jika kau bersedia menggabungkan perusahaanmu dengan perusahaanku, aku akan tetap menjadikanmu Direktur utama sementara adikmu akan menjadi creative design untuk karakter game terbaru, aku dengar dia ahli menciptakan karakter."
"Tidak terimakasih, tapi adikku masih sekolah dan aku tidak berniat untuk mempekerjakan dia di perusahaan ayah kami."
"Kenapa seperti itu? Adikmu seorang creative design berbakat."
"Dia masih sekolah, itu alasanku."
"Kita bisa menunggunya hingga lulus sekolah. Aku dengar adikmu akan berada di tingkat akhir sekolah menengah atas bulan depan."
"Ya anda benar, tapi sayangnya adikku akan melanjutkan sekolahnya di Seoul,"
Reaksi Kwangsoo jelas terkejut, namun Yifan memberikan tatapan kode pada sang paman hingga refleks Kwangsoo berdiri tepat di depan Yifan dan membungkuk kepada komisaris tertinggi Pinyin cooperation, yang merupakan pesaing dari art and games corp, perusahaan milik mendiang ayahnya dan Luhan.
"Maafkan saya memotong percakapan anda dengan Presdir Wu, tapi akan lebih baik jika kita membicarakan bisnis di Perusahaan Mr. Wang."
Yang terlihat licik dan berperawakan tua menatap gusar pada Yifan lalu mendengus kesal pada Kwangsoo "Baiklah, tapi jangan menyesal karena menolak penawaran dariku, kau tahu kondisi keuangan art dan games corp sedang dalam grafik penurunan karena hutang ayahmu bukan?"
Dengan santai Yifan hanya tersenyum untuk menjawab "Aku tahu, terimakasih sudah memperingatkan Mr. Wang, saya permisi lebih dulu."
Lalu dia berjalan meninggalkan Mr. Wang dengan Kwangsoo mengikuti sebelum sang komisaris berteriak "Direktur Wu!"
"Ya Mr. Wang."
Satu kali terakhir Yifan menoleh namun rasanya dia menyesal karena sang komisaris kini menyerangnya dengan "Aku dengar hubungan adikmu dan putraku berjalan baik dan harmonis, aku tidak sabar menunggu mereka besar dan menikahkan mereka lalu menjadikan adikmu sebagai creative design di perusahaanku."
Tiba-tiba Yifan merasakan kram di wajah dan tubuhnya, dia tidak bisa tersenyum tidak pula bisa menggerakan tubuhnya saat nama adik kecilnya disebut dan diketahui masih menjalin hubungan dengan putra dari si komisaris licik.
Hal itu membuat senyum keji ditunjukkan Mr. Wang sementara wajah Yifan kaku sekedar hanya untuk membalas senyum keji milik perusahaan pesaing yang mulai hari ini harus ditanganinya seorang diri.
"Paman."
"y-Ya tuan muda?"
Dan lihatlah wajah cemas Kwangsoo saat ini, sang paman jelas mengetahui hubungan adiknya dan putra tunggal dari komisaris yang memiliki Pinyin Coorp, membuat tatapan Yifan benar-benar terlihat sangat menakutkan hanya untuk bertanya "Apa Luhan masih berhubungan dengan bajingan kecil itu?"
"tidak, mereka sudah-….."
"JANGAN BOHONG PAMAN!"
Bahkan Yifan tidak peduli jika para tamu kini menoleh dan berbisik banyak hal padanya, persetan dengan para tamu, dia hanya mengkhawatirkan Luhan dan kabar bahwa adiknya "Ya, mereka masih berkencan dan berhubungan." Membuat kemarahan Yifan menjadi dua kali lebih banyak daripada saat terakhir dirinya meminta Luhan mengakhiri hubungan dengan remaja bernama Wang Jackson, putra dari komisaris licik yang begitu bernafsu mendapatkan adiknya di perusahaan mereka.
Kwangsoo tahu ini akan terjadi, Luhan seribu kali memintanya untuk menyembunyikan hal ini pada sang kakak, tapi ayolah, Yifan memiliki insting kuat jika menyangkut adiknya, dan karena hal itu pula dia terlihat sangat marah dan memberi perintah satu pihak tanpa memikirkan perasaan adiknya sendiri.
"Hubungi paman Oh."
"nde?"
"Aku bilang hubungi Paman Oh dan katakan padanya bahwa aku menerima tawarannya tentang Luhan."
"tidak tuan muda, Kau tidak bisa mengirim Luhan ke Seoul, anak itu hanya akan semakin menderita karena berjauhan dengan kakaknya."
"Lalu aku harus mengatakan dengan cara apa lagi jika dia tidak bisa berhubungan dengan putra Mr. Wang? Demi Tuhan anak itu pasti mendekati adikku dengan maksud dan tujuan yang disembunyikan!"
"Pikiranmu terlalu arogan nak, mereka bahkan baru berusia tujuh belas tahun! Tega sekali kau mengaitkan hubungan mereka dengan bisnis! Lagipula Jackson sangat menyayangi Luhan, aku bisa melihatnya dengan kedua mataku sendiri."
"Dia akan berubah menjadi monster menyerupai ayahnya saat besar nanti."
"Yifan! Jaga bicaramu!"
"Aku tahu apa yang aku katakan dan keputusanku bulat untuk menitipkan Luhan pada paman Oh. Lagipula aku akan sering berpergian mencari kerjasama dengan beberapa perusahaan besar di Tokyo dan Bangkok, aku tidak ingin adikku merasa kesepian."
"Dia akan lebih kesepian jika kau mengirimnya ke Seoul, percayalah pada paman."
"Setidaknya aku lebih mempercayai Paman Oh, lagipula ada Yunho disana, aku akan memintanya untuk menjaga Luhan, dan dua adik Yunho, aku rasa mereka akan menjadi teman baik Luhan karena mereka akan berada di satu sekolah yang sama."
"Kau benar-benar keras kepala!"
"Segera hubungi paman Oh." katanya lagi, dibalas pertanyaan kesal dari Kwangsoo "Kapan kau akan menjadwalkan keberangkatan Luhan?"
Terlihat yakin dengan keputusannya, Yifan menjawab "Lusa." Dibalas dengusan tak rela dari Kwangsoo yang tetap menghubungi keluarga Oh walau hatinya tak rela harus berpisah dengan Luhan "Baiklah!"
.
.
.
.
.
Siang hari, Seoul
.
.
Tring~
Pintu kedai yang memiliki ukuran sederhana terbuka, menampilkan satu remaja tampan yang masih lengkap menggunakan seragam sekolah lengkap dengan tas yang dijinjingnya di lengan bahu kanan.
"Sehun, disini nak!"
Yang berteriak tentu saja ayahnya, disambut tatapan malas dari Sehun, si putra nomor dua, yang terlihat kesal karena tiba-tiba mengajaknya makan malam diluar, koreksi, bukan mengajak tapi memaksanya datang ke kedai favorit sang ayah sementara dirinya sedang asyik bermain bersama teman-temannya.
"Mama juga disini?"
"Wae? Tidak suka melihat Mama disini?"
Si wanita cantik menggerutu kesal dibalas tawa renyah dari putra tampannya yang terlihat malas menjawab "Memangnya aku bisa tidak suka pada Mama?"
"Tepat sekali nak, ah ya, bagaimana sekolahmu? Apa hari pertama berjalan dengan baik?"
"oh ayolah Ma, aku hanya naik ke tingkat akhir, bukan pindah sekolah."
Jihyo, sang mama, mencibir kesal dan menatap putranya dengan kesal "Mama kan hanya bertanya!"
"Baiklah, baiklah. Aku ada di kelas 3-B, dan seperti biasa satu kelasku berisi dengan anak-anak pembuat onar." Katanya asal namun sukses membuat sang mama tertawa tanda terhibur "Apa Myungie mama juga ada dikelas yang sama denganmu?"
"Tentu saja, dia bahkan menjadi wakilku di kelas."
"daebak! Kau harus sering mengajak Myungsoo main kerumah."
"ssshh…." Sehun mendesis kesal sementara Mamanya merona bak remaja yang sedang membicarakan sang oppa dibalas tatapan jengah dari ayahnya "Ma, ingat usia."
"Memang kenapa usiaku? Myungsoo masih cocok menjadi suami keduaku."
Dengan santai, pemilik salah satu perusahan broadcast ternama di Seoul itu hanya tersenyum geli mendengar penuturan istrinya "Tidak cocok!"
"yeobo kau jahat sekali. Aku benci dan-…."
EKHEM!
Terlihat wajah gusar menghiasi seluruh raut di wajah tampan putra mereka, membuat sepasang suami istri itu terkekeh gemas sebelum bergantian mengacak rambut dan memegang dagu si nomor dua yang mana kedua hal itu, mengacak rambut dan memegang dagu lancipnya, adalah hal terlarang yang tidak pernah diijinkan Sehun pada siapapun untuk menyentuhnya termasuk kedua orang tuanya sekalipun.
Karena jika seseorang mengacak rambut dan menyentuh dagunya, dia akan selalu refleks membuat gerakan mengelak dengan kasar diiringi teriakan "Jangan sentuh dagu dan rambutku!"
Selalu seperti itu, sejak dia kecil hingga usianya akan menginjak delapan belas tahun tiga bulan kedepan. Hal itu selalu menjadi hiburan tersendiri untuk Jiho dan Jihyoo mengingat putra kedua mereka sepertinya terlahir untuk menjadi dingin melebihi bekunya es di musim dingin sekalipun.
"araseo…araseo…Maafkan papa dan Mama nak."
Sehun hanya mengangkat asal bahunya, dia kemudian mengambil soju yang tersedia lalu mengarahkannya pada sang ayah "Biar aku tuangkan untukmu, ini adalah kejadian langka papa bisa meluangkan waktu di siang hari."
Lalu ayahnya tersenyum dan mengangkat gelas, membiarkan putranya menuangkan soju digelas diiringi pujian "hahaha, maafkan papa nak. Lagipula diantara Yunho dan Jaehyun, hanya kau yang paling sulit mengerti kesibukan papa."
"Itu karena Jaehyun dan Yunho hyung tidak peduli padamu, hanya aku yang peduli pada tua bangka sepertimu!"
"Sehun jaga bicaramu nak."
"Sudah, sudah tidak apa ma. Lagipula ada yang ingin papa sampaikan padamu nak." Katanya menatap Sehun dibalas kerutan di dahi putranya "Ada apa?"
"Jadi papa ingin meminta bantuanmu untuk menjemput putra dari mendiang sahabat papa di bandara, lusa dia akan mulai tinggal bersama kita, di rumah."
"tsk! Siapa yang papa bicarakan? Kenapa putra teman papa harus tinggal bersama kita?"
"Maaf nak, ini sudah keputusan mama dan papa, suka atau tidak , kau akan tetap menjemputnya di bandara lusa nanti."
"PA!"
"Sehun tidak sopan berteriak pada papa." Jihyo memperingatkan dibalas tepukan lembut sang ayah di pundaknya "Percayalah pada papa kau akan menyukainya."
"Tapi tidak perlu tinggal bersama kita."
"Sayangnya dia akan tinggal bersama kita."
"Tapi kenapa?"
"Karena selain kakaknya, kita adalah keluarga untuknya."
"mwo?"
"Sudahlah nak turuti papa kali ini, sebagai imbalan papa akan memberikan semua keinginanmu, bagaimana?"
Sehun tergoda, lalu tiba-tibat sifat kekanakannya muncul karena satu-satunya yang terlintas di kepalanya adalah "Zoro and Goro."
"nde?"
"Aku ingin Zoro and Goro, mereka meng-update versi baru dari Zoro aku mau memilikinya."
"Tapi Zoro dan Goro itu mahluk apa? Mereka tinggal dimana?"
Kesal, Sehun mendesis tak sabar pada sang ayah "ssshh…."
"Kenapa ssshh?"
"Pa!"
"Wae? Papa salah apa?"
Tak percaya, Jiho membuka mulutnya lebar-lebar diiringi tawa renyah dari sang istri "Hanya itu?" katanya takjub dan Sehun melahap rakus makanannya untuk mengulang "Zoro dan Goro." Katanya yakin dibalas jabatan tangan sang ibu "Deal!"
"Oke."
"Ma, kau tahu si Zoro dan Go—apa?"
"Itu nama karakter di sebuah game, kenapa kau tidak mencoba memahami putamu?"
"Aku bahkan tidak tahu Sehun menyukai mahluk dalam sebuah game." Katanya berbisik dibalas delikan tajam Jihyo sebelum beralih pada Sehun yang nyaris tak peduli pada apa yang mereka bicarakan.
"Sehun, anak tampan mama."
"Apa?"
"Kita sudah membuat kesepakatan dan lusa kau harus menjemput putra mendiang sahabat papa, namanya Luhan, paham?"
Sial! Kenapa pula orang asing harus tinggal bersama denganku.
Dia menggerutu di dalam hati walau tetap menunjukkan senyum palsu tak rela untuk mengangguk, merespon pertanyaan wanita cantik yang akan berubah menjadi nenek sihir jika keingannya tidak dituruti "Baiklah, aku paham."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beijing, malam hari
.
Lalu latar berpindah lagi ke negara yang cukup ramai dan padat penduduknya. Semua sedang berlomba-lomba memenuhi jalan raya hanya untuk sampai dan beristirahat di rumah dan bertemu dengan keluarga tercinta.
Hal yang sama juga terjadi pada remaja tujuh belas tahun yang sedang memarkirkan mobil hitam milik sang kakak, kepulangannya pun disambut beberapa maid yang masing-masing membungkuk menyapa sementara dirinya berjalan mengendap masuk kedalam rumah karena takut kakaknya akan marah mengingat dia melarikan diri dari peringatan satu bulan kematian orang tua mereka.
Klik….
"Luhan, akhirnya kau kembali nak."
Adalah Bibi Yin yang menyapa, wanita berusia lebih dari setengah abad itu adalah yang terbaik yang pernah dimiliki keluarga Wu. Karena selain mahir mengurus rumah sebesar milik keluarganya, sang bibi juga cenderung paling mengerti keinginan Luhan disaat bad mood menyerangnya.
"Ada apa bi? Apa gege marah padaku?"
"Tentu saja tidak, tapi perintah tuan muda adalah menyambut kepulanganmu, memastikan kau membersihkan diri dan makan malam sebelum masuk ke ruang kerjanya, dia ingin berbicara denganmu nak."
"Ada apa? Kenapa tidak langsung bicara padaku?"
"entahlah nak, ayo cepat bersiap."
"Baik bi, jangan dorong aku nanti bibi jatuh cinta padaku." Katanya tertawa menggoda sang bibi tanpa mengetahui bahwa ada sepasang mata yang sedang menatap sendu ke arahnya, mata yang biasanya menatap tegas pada sang adik, kini dipenuhi air mata bersalah untuk menguatkan hati akan keputusannya "Maafkan aku Lu, tapi aku tahu ini adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan sebagai seorang kakak."
.
.
Dan tak lama setelah ritual yang dilakukannya seperti membersihkan diri dan makan makanan super lezat buatan bibi Ying, si bungsu dua bersaudara itu sedang berjalan mendekati ruang kerja kakaknya, dia sudah mengenakan piama tidur motif rusa favoritnya sebelum mengetuk ruang kerja sang kakak diiringi balasan "Masuk." Sebagai tanda dia bisa memasuki ruang kerja Yifan malam ini.
"Ge ini aku."
"Aku tahu Lu, masuklah."
Luhan membuat gesture O bulat menggemaskan dengan bibirnya sebelum menutup pintu kerja sang kakak dan duduk di sofa favorit tempat dia menemani Yifan jika sang kakak sedang lembur dan sibuk dengan tugas-tugasnya.
"Ada apa Ge? bibi Ying bilang kau ingin bicara denganku?" tanyanya, sampai kedua dari mereka menoleh saat Kwangsoo datang dan ikut masuk ke ruang kerja Yifan "Halo paman!"
"Hay Lu."
Mata sembab dan suara serak pengasuhnya sejak kecil hanya membuat Luhan bertanya-tanya, paman Kwangsoo juga menolak untuk melihat matanya dan hanya berjalan lurus mendekati sang kakak dengan beberapa dokumen yang ada di tangannya.
"Semua sudah siap."
"Terimakasih paman."
Senyum getir juga ditunjukkan Yifan dan itu membuat Luhan kesal karena sepertinya dua orang dewasa di depannya sedang menyembunyikan sesuatu "Ada apa ge?"
Yifan berdiri dari kursinya, berniat mendekati Luhan sampai tangan Kwangsoo mencengkram kuat lengannya "Apa kau yakin dengan keputusanmu?" tanyanya serak, dibalas tatapan sendu Yifan yang membalas "Kita sudah membicarakan ini paman." Balasnya, lalu melepas tangan sang paman dan duduk tepat disamping adiknya.
"Ge, apa paman menangis?" Luhan berbisik dan Yifan tersenyum kecil seraya mengusap gemas surai satu-satunya adik yang akan sangat dirindukannya "Sepertinya begitu."
"Kenapa?"
Lalu Yifan menyerahkan dokumen yang dibawa oleh Kwangsoo pada Luhan "Bacalah Lu." katanya memberitahu dibalas rasa penasaran Luhan yang mulai membuka dokumen dari sang kakak dan membcanya seksama "Ini apa?" awalnya dia tidak mengerti, lalu semakin dia pahami maka semakin mengerti pula bahwa dokumen yang sedang dibacanya adalah visa dan keterangan izin menetap di Seoul yang entah mengapa tertera namanya disana.
"Ini apa?" tanyanya, dan Yifan mulai mengeluarkan lagi sesuatu dari dalam dokumen, Luhan tahu itu hold paspport case miliknya, entah darimana sang kakak mendapatkan passport miliknya lengkap dengan sebuah tiket penerbangan "Ge! sebenarnya ada apa?"
Dan benar saja Luhan semakin panik saat namanya juga tercantum di dalam tiket tujuan bandara Incheon, membuatnya sangat gusar terlebih saat paman Kwangsoo membuang wajah dan sang kakak kembali mengusap pundaknya.
"Luhan kau pasti tahu kita mengalami masalah keuangan sejak kepergian mama dan papa."
"y-Ya lalu ada apa?"
Luhan cemas, tangannya mulai gemetar dan hampir menangis terlebih saat kakaknya mengatakan "Maaf harus mengatakan ini, tapi lusa kau akan meninggalkan Beijing untuk berangkat ke Seoul."
"a-Apa yang gege katakan?"
"Mulai lusa kau akan menetap di Seoul bersama Paman Oh dan keluarganya, dia teman dekat Papa Lu."
Luhan kesal, dia mencengkram passport miliknya untuk bertanya penuh amarah pada sang kakak "Keputusan apa yang kau buat Ge? Apa kau ingin membuangku?"
"Luhan…."
"aku-….AKU MENOLAKNYA GE, AKU TIDAK MAU PERGI KE SEOUL!"
"Maaf, tapi kau akan tetap berangkat dan menetap bersama Paman Oh dan keluarga-…."
"GE!"
Untuk tujuh belas tahun selama hidupnya, ini adalah kali pertama Luhan bertengkar dan berteriak pada sang kakak, hatinya sakit melihat bagaimana Yifan menatapnya kecewa, dia juga terlihat menyesal namun tak bisa menyembunyikan isak tangis yang begitu menyiksa hatinya.
"Maaf Lu, tapi ini semua demi kebaikanmu, Gege mohon." Lirihnya dibalas tundukan Luhan yang pasrah dan kini menangis hebat di depan kakaknya "kenapa? Kenapa aku harus pindah ke Seoul? Aku bisa membantumu ge…."
"Ini juga keputusan sulit untuk gege, kau adikku, satu-satunya keluarga yang aku miliki, aku juga tidak ingin berpisah denganmu, tapi ini sementara Lu, gege janji padamu."
Yifan terisak tak rela, tangannya juga menggenggam erat tangan sang adik dan berjanji "Gege akan menjemputmu setelah keadaan kita lebih baik, percayalah Lu."
Tak ada apapun didunia ini yang sangat berharga untuknya selain sang kakak, Luhan bahkan pernah berjanji pada Tuhan akan mendengarkan apapun yang Yifan minta padanya saat sang kakak terbaring lemas di rumah sakit, namun lucunya Yifan tidak pernah meminta apapun kecuali satu, dirinya harus selalu bahagia.
Berbeda dengan malam ini,
Ini adalah permintaan pertama sang kakak padanya, dia menolak tapi kakaknya kemudian terlihat sangat menderita dan Luhan membencinya. Jadilah dia mencoba untuk bujukan terakhir dengan mengajukan pertanyaan "Tapi bagaimana dengan hidupku disini? Aku juga memiliki kehidupan dan teman-teman yang aku sayangi ge?"
"Kau tidak perlu khawatir Lu, beruntung paman Oh memiliki putra seusia dirimu, kalian akan berada di satu sekolah dan gege janji kalian akan menjadi teman dekat."
Luhan tertunduk lagi, diam-diam menangis sampai sang kakak kembali membujuknya "Gege mohon Lu, gege janji akan segera menjemputmu pulang, hmm?"
Dengan segala ketidakrelaan hatinya Luhan mengangguk, mengiyakan permintaan sang kakak diiringi pertanyaan "Kapan aku berangkat?"
"Lusa." Mata Luhan terpejam erat mendengarnya, tangannya bahkan mencakar kuat tangan sang kakak diiringi suara menguatkan dari Yifan "Gege dan paman sudah menyiapkan semuanya untukmu, kau akan baik-baik saja Lu."
"Bagaimana jika aku merindukanmu? Merindukan paman? Merindukan bibi? Bagaimana jika aku-….."
Buru-buru Yifan menarik lengan adiknya, memeluknya erat diiringi tangisan sama kuat yang membayangkan kerinduan itu, dia sengaja memeluk Luhan sangat erat agar adiknya tahu bahwa dirinya merasakan ketakutan yang sama dengannya, kerinduan yang juga menyiksa
"ssstt….Gege juga akan merindukanmu Lu, gege juga akan-…."
Tak bisa berkata lagi, Yifan juga berakhir terisak menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir dia melihat kenakalan adiknya, dia akan merindukan semua tentang Luhan, tawa Luhan, rengekan khas sang adik, namun tetap pada pendirian dan keputusan yang tak hanya menyakiti Luhan dan dirinya tapi sang paman yang kini ikut terisak melihat dua saudara yang tak pernah berpisah sebelumnya.
Sejak kehadiran Luhan disaat usia Yifan menginjak angka sepuluh tahun hingga hari ini saat mereka berpelukan keduanya tak pernah terpisahkan. Jika kau melihat Luhan di suatu tempat, maka tak lama kau juga akan melihat Yifan yang menjaganya dibelakang, begitupula sebaliknya.
Kedua saudara ini saling menjaga penuh kasih sayang hingga membuatwangsoo merasa begitu tak berguna karena harus membuat kedua pria yang sudah dianggap putranya sendiri berpisah.
"Bertahanlah disana anak nakal, paman akan segera menjemputmu pulang."
.
.
.
.
.
.
.
Incheon airport, Seoul
.
Walau ini bukan kali pertama dirinya tiba di Seoul, Luhan tetap merasa asing jika menginjakan kaki dengan sebutan negeri gingseng yang terkenal hampir di seluruh belahan dunia.
Entahlah,
Dia terbilang sering datang ke Seoul, hanya saja dia tidak pernah datang sendiri ke tempat kelahiran ibunya, biasanya dia selalu ditemani Yifan atau paman Kwangsoo untuk sekedar berlibur atau mengunjugi nenek Lee yang merupakan ibu dari ibu mereka, tapi intensitas kunjungan mereka menjadi tidak beraturan semenjak Yifan masuk ke perguruan tinggi dan diharuskan tinggal di asrama Beijing University.
Drrtt…drrrtt..
Dan tepat setelah dia melakukan serangkaian pemeriksaanterakhir di bandara, ponselnya bergetar dengan nama Yifan Ge tertera, dia mengambil dalam nafasnya lalu mencari tempat untuk duduk agar bisa membaca pesan dari sang kakak.
Lu, kau sudah tiba?
Buru-buru Luhan mengetik pesan balasan dan menjawab Ya Ge, aku mendarat dengan selamat
Luhan mengirim pesan balasan dan tak perlu waktu lama notifikasi ponselnya berbunyi lagi dengan balasan pesan Yifan yang bertanya "Syukurlah, lalu apa Sehun sudah datang menjemputmu?"
Tak mengerti, Luhan membalas "Sehun?"
"Ya, Lu, putra Paman Jiho yang menjemputmu namanya Sehun."
Luhan membuat gerakan bibir O lalu membalas "Belum ada yang datang."
Sambil menunggu balasan pesan dari kakaknya, Luhan melihat ke sekeliling bandara, mengingat terakhir kali mereka datang ke Seoul saat usianya lima belas tahun, tepatnya dua tahun lalu saat kerabat ibu mereka mengatakan bahwa nenek Kwon sakit keras, hari itu Luhan terpaksa pergi tanpa Yifan yang berada di asrama untuk menemani ibunya.
Namun sayang, hanya tiga hari mereka di Seoul neneknya meninggal dunia dan itu adalah pertama kali Luhan melihat ibunya menangis disertai isakan yang tak kunjung berhenti selama mereka berada di Seoul
"haah~ Aku rasa sekarang Mama sudah bersama nenek." Katanya sendu dan tak lama Yifan membalas pesannya lagi
Tunggulah sebentar lagi, Sehun segera tiba
Kedua jarinya baru saja ingin membalas pesan sang kakak sampai suara terlampau berat khas dengan nada dingin bertanya padanya "Apa kau Luhan?" membuat secara refleks Luhan mendongak untuk menemukan seorang pria tinggi berkulit putih dengan tubuh atletis yang mengenakan topi dan jaket hitam sedang menatapnya tak sabar.
"Aku tanya apa kau Luhan?" katanya mengulang dibalas kedipan lucu Luhan yang menjawab "y-Ya aku Luhan. Dan kau adalah?"
"Tidak perlu tahu namaku, hanya cepat ikut aku karena ayahku sudah menunggu."
"Paman Jiho?"
"Ya, aku putranya."
"Sehun?"
"Jika kau tahu namaku tidak perlu bertanya! Cepat ikuti aku."
Jika dia bukan putra dari sahabat mendiang ayahnya mungkin Luhan tidak akan sudi mengikuti pria arogan yang wajah dan hatinya sama-sama dingin seperti salju es, atau kemungkinan kedua mereka sudah bertengkar dan saling memukul karena pada dasarnya Luhan tidak bisa dibentak oleh siapapun kecuali oleh kakaknya.
Jadi saat pria tinggi dengan tanda lahir di lehernya begitu dingin dan kasar, Luhan benar-benar tergoda untuk memberi satu pukulan peringatan namun dia urungkan kuat-kuat mengingat mulai hari ini dirinya akan tinggal satu rumah dengan pria yang dibanggakan kakaknya.
Kau bilang Sehun baik? tsk, dia bahkan membuat kepalaku sakit di hari pertama kami bertemu! Menyebalkan!
Luhan mendesah kesal lalu terdengar suara tegas lagi dari pria yang memakain topi dan kaos serba hitam namun terlihat seperti model saat berjalan didepannya "Cepatlah!"
"ya ya baiklah….Kau tidak perlu berteriak padaku."
Lalu dengan berat hati dan tanpa bantuan dari pria arogan bernama Sehun didepannya, Luhan harus bersusah payah mengikuti langkah cepat si pria tinggi sementara dirinya harus repot-repot mendorong koper besar miliknya.
"Hey tunggu aku."
Luhan memukul kepalanya saat menggunakan bahasa mandarin pada si arogan didepannya, dia pun segera membenarkan ucapannya menggunakan bahasa dan aksen Korea yang benar walau dibalas dingin oleh Sehun.
"Masuk ke dalam mobil."
Setidaknya penderitaan Luhan berakhir disini saat dia melihat Sehun membukakan pintu mobil dan memintanya masuk dengan tatapan mengerikan setengah menyebalkan "Kau benar-benar membuang waktuku jika terus berdiri disana."
Sekilas Luhan memutar dua bola matanya sebelum bersusah payah mendorong kopernya dan masuk kedalam mobil yang dibukakan Sehun untuknya.
"haaah~ / menyebalkan."
Keduanya menggerutu dalam bahasa yang berbeda, jika Luhan terlihat bosan dan tak betah dihari pertamanya tinggal di Seoul, maka sepertinya Sehun lebih bosan dan lebih tidak suka menyadari bahwa dia harus berbagi rumah dengan pria asing yang baru saja dikenalnya.
.
.
Dan seperti yang sudah diramalkan, keduanya pun menghabiskan waktu dengan kecanggungan dan rasa kesal di hati masing-masing. Tidak ada yang bersuara di antara mereka, Luhan mematikan bosan dengan melihat ke luar jendela sementara Sehun fokus menyetir seraya mendengarkan lagu favorit yang dinyalakan di dalam mobil.
Jemari yang menunjukkan urat-urat ditangannya itu bergerak sesuai irama lagu sampai tak sengaja matanya melirik ke samping dan menemukan Luhan tersenyum hanya karena satu bdaut yang sedang membantu anak-anak sekolah dasar menyebrang jalan.
Manis…
Sesaat Sehun dikuasai oleh dirinya yang lain, yang terpana serta mengakui untuk ukuran seorang pria, Luhan sangat sempurna karena bisa terlihat cantik dan tampan bersamaan, ya, walau harus diakui perbandingan tampan dan cantik pria disampingnya saat ini berkisar 20% vs 80% untuknya.
Hal itu membuat Sehun beberapa kali mencuri pandang pria cantik disampingnya, dia enggan mengakui tapi memang semakin dilihat Luhan akan terlihat semakin mempesona bahkan hanya saat dirinya mengedipkan kedua matanya yang cantik.
Cantik?
Ish! Apa yang sedang kupikirkan?
Hanya Jongie yang cantik dan aku akan menikahinya kelak.
Dan kemudian Sehun yang lain mendapatkan kesadarannya, dia menggelengkan kuat kepala dengan gerakan berlebihan hingga mengundang rasa penasaran Luhan yang diam-diam juga menoleh padanya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya dibalas diam Sehun yang sungguh menjengkelkan "Lupakan, anggap aku tidak bertanya." Kesalnya, lalu Luhan lebih memilih melihat pemandangan sekitar daripada harus mengumpat kesal karena sikap menjengkelkan pria disampingnya.
Hening lagi,
Sehun mati-matian berusaha tidak melirik pada Luhan namun gagal, membuatnya kesal dan lebih memilih bertengkar daripada harus mencuri pandang seperti ini "Namamu Luhan? Aku benar?"
"hmm….Ada apa?"
Luhan sedikit berekspresi, mengira dia akan bisa berteman dengan Sehun namun dugaannya meleset karena pria disampingnya justru semakin menyebalkan baik sikap maupun caranya berbicara.
"Aku hanya tidak ingin kau salah paham, alasan mengapa aku menjemputmu adalah karena ayahku memaksa, dan jika boleh berkata jujur aku tidak suka menjemputmu di bandara dan aku tidak suka dengan kenyataan bahwa kau akan tinggal dirumahku, bersamaku!"
Refleks, bibir Luhan yang terbuka karena bersemangat menutup penuh geraman, dia pun kembali bersandar di kursi mobil untuk melihat lagi pemandangan Seoul di siang hari "Aku juga." Katanya singkat membuat Sehun menoleh dan bertanya karena Luhan merubah raut wajahnya menjadi sendu "Apa?"
"Aku juga tidak suka dengan kenyataan bahwa aku harus meninggalkan teman-temanku di Beijing dan tinggal di Seoul, bersamamu."
Setelahnya tak ada lagi percakapan, tapi Sehun bersumpah melihat sebulir air mata menetes dari mata cantik Luhan, entah apa yang sedang dirasakan pria cantik disampingnya tapi meninggalkan Beijing dan kehidupannya disana pastilah sangat berat untuk dijalani.
Ya, jika posisi berbalik mungkin Sehun juga akan mengucapkan hal yang sama, merasa marah namun tak bisa melakukan apapun karena dia tak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, jadilah dia mencoba untuk mengerti walau jauh dilubuk hatinya dia masih merasa terganggu dengan kehadiran Luhan di rumah atau dihidupnya kelak, nanti.
.
.
Lalu tak lama mobil Sehun masuk kedalam pekarangan rumah besar dengan dua maid yang membukakan pagar utama, kedua maid itu membungkuk menyapa Sehun dibalas rumah oleh remaja yang dipanggil Tuan muda oleh kedua maid yang terlihat menutup lagi pagar utama.
Dan sementara Sehun fokus memarkirkan mobilnya ke garasi rumahnya yang mewah, Luhan masih menatap takjub dengan design khas vintage yang menjadi tema dari rumah bertingkat tiga di kawasan mewah kota Seoul.
Bukan karena bentuk rumahnya yang besar, bisa dikatakan rumahnya juga sebesar rumah Sehun, yang membedakan rumahnya terlihat dan terasa sangat sepi sementara rumah Sehun dipenuhi banyak maid yang ramah, pekarangan rumah yang terlihat segar karena banyak bunga dan tanaman subur yang menghiasi ditambah dengan bunyi suara air mancur yang Luhan tebak pastilah tempat untuk berbagai macam ikan hias yang cantik dan berwarna.
"Kita sampai, cepat keluar."
Sehun lebih dulu keluar, diikuti Luhan yang juga membuka pintu untuk melihat seekor anjing putih kecil menggemaskan berlari mendekati Sehun dan seketika disambut hangat oleh si pemilik.
Guk…guk…
"Viviyaaa….Papa pulang."
Demi Tuhan Luhan nyaris tertawa meremehkan mendengar Sehun menyebut dirinya Papa untuk seorang anjing, membuat Sehun mendelik kearahnya namun Luhan memalingkan wajah dan sengaja mendecak kagum memandang bagaimana hangat dan sempurna design serta ramai rumah Sehun yang tak pernah dimiliki rumahnya.
"Nak, kau sudah pulang?"
Luhan mencari darimana asal suara yang datang, lalu tak lama terlihat pria seusia mendiang ayahnya datang mendekati Sehun, bertanya padanya dan memeluk Sehun penuh kasih hingga membuat hati Luhan mencubit sakit menyadari bahwa hampir delapan belas tahun hidupnya dia hanya beberapa kali merasakan pelukan hangat mendiang ayahnya.
Keduanya bahkan terlihat sangat dekat, pria yang ditebaknya adalah Paman Jiho sedang berbicara dengan putrany dan tak lama matanya mencari untuk menatap dirinya yang kini bersikap salah tingkah.
"Dan kau pasti Luhan?" tebaknya mendekati Luhan, membuat tubuh Luhan membungkuk untuk memberi hormat seraya memperkenalkan diri "anyeonghaseyo Paman Oh, aku Luhan."
"Tidak perlu sungkan nak, sebentar—….Ma! Luhan sudah datang."
Lalu segera terlihat wanita yang menggunakan dress putih selutut datang menghampiri, rambutnya hitamnya tergurai sepundak dipenuhi senyum tak sabar saat berjalan mendekati Luhan dan memeluk putra mendiang sahabatnya sangat erat.
"Luhan….!"
Wanita itu memeluk erat Luhan, sangat erat, hingga membuat Luhan merasa hangat, tangannya juga mengusap punggung Luhan seraya berbisik "Bibi turut berduka untuk kematian kedua orang tuamu nak."
Luhan bahkan tidak ingat jika dirinya sudah tidak memiliki orang tua, dia terlalu biasa tanpa kehadiran dua orang tuanya hingga tersenyum pahit adalah yang dilakukannya untuk sekedar menjawab "Terimakasih bibi Oh, tapi aku baik-baik saja." gumamnya, dibalas tatapan hangat Jihyo yang kini mengusap lembut kepala Luhan "Kau memang akan baik-baik saja nak, bibi janji."
Terakhir ibunya tersenyum lembut seperti ibu Sehun adalah beberapa tahun lalu saat mereka merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh, setelahnya senyum mendiang mamanya hanya dipenuhi rasa bersalah karena melewati ulang tahun Luhan di tahun-tahun setelahnya.
Hal itu membuat Luhan rindu tapi hanya sekedar rindu di hati karena dia tahu merindukan ibunya atau menangis berlebihan sekalipun tidak akan membuatnya bisa bertemu lagi dengan wanita cantik yang kini sudah bersama ayahnya di sisi Tuhan.
"hmmm…Terimakasih bibi."
"eoh? Apa itu Luhan?"
Terlihat pria tampan yang mengenakan kemeja putih keluar dari dalam rumah, dilihat dari tampilannya pasti dia ingin berangkat ke suatu tempat dan melakukan pekerjaan atau semacamnya seperti yang dilakukan kakaknya.
"Bagaimana kabar Yifan?"
"huh?"
"Yunho, kenalkan dirimu dulu nak."
Ibunya memperingatkan disambut tawa kecil Yunho yang kemudian memperkenalkan diri bersama pria cantik yang mengikutinya dibelakang.
"Aku Yunho, dan ini sahabatku Jaejoong."
Yang dikenalkan pada Luhan tersenyum sangat cantik, membuat Luhan mengangguk sedikit terpesona untuk melihat lagi pada Yunho "Aku Luhan."
"Aku tahu anak kecil," katanya gemas seraya mengusap rambut Luhan "Lalu bagaimana Yifan? Dia baik?"
"ah, Yifan ge banyak bercerita tentangmu hyung, ya, Gege baik dan sibuk, seperti biasa."
Sontak semua tertawa karena jawaban Luhan, semua, kecuali Sehun yang entah mengapa terus menatap tak berkedip pria cantik disamping Yunho, wajahnya bahkan merona seperti malu hingga membuat Luhan terkekeh kecil menyadari bahwa Sehun menyukai teman kakaknya.
Si idiot ini bahkan tidak berniat menyembunyikan rasa sukanya pada teman kakaknya.
Luhan tertawa kecil, mencoba untuk tidak mempedulikan tatapan Sehun pada Jaejoong dan ikut tertawa bersama keluarga yang nyatanya begitu hangat, dia juga terus bercerita banyak hal yang entah mengapa membuat keluarga Oh tertawa.
Pada dasarnya Luhan adalah tipe yang mudah bergaul dan berbaur dengan catatan orang-orang itu tulus padanya, dan catatan itu berlaku untuk keluarga Oh karena kecuali Sehun sepertinya mereka semua hangat dan begitu menerima kehadiran dirinya.
BRRMMM!
Lalu suara motor balap terdengar memasuki garasi rumah, Sehun mendecak kesal sementara pria yang sedang membuka helm nya terlihat lebih muda dari Sehun dan Yunho, Luhan menebak itu adalah bungsu Oh dan benar saja Bibi Jihyo berbisik "Dia Jaehyun." Disambut anggukan mengerti Luhan yang bersahutan dengan teriakan semangat Jaehyun.
"KAU PASTI LUGE?"
"nde?'
Lalu Jaehyun meletakkan asal helmetnya, dan setelah memarkirkan motor balapnya disamping mobil Sehun dia menghampiri Luhan dan mulai menawarkan tangan untuk berjabatan dengan Luhan "Aku Jaehyun Lu-Ge."
"ah, Kau memanggilku Gege." Luhan baru mengerti maksud Jaehyun karena aksen mandarinnya terdengar sangat berantakan, membuatnya tertawa kecil diiringi bisikan Yunho "Dia sangat terobsesi pada sesuatu berbau chinese, jadi bersiaplah untuk diganggunya tiap malam."
"Hyung…..!"
Luhan seperti melihat dirinya dan Yifan saat Jaehyun dan Yunho bertengkar kecil, yang membedakan Yunho banyak tertawa sementara kakaknya hanya tertawa jika dirasa perlu, hal itu pula yang membuat Luhan memiliki cita-cita untuk membuat kakaknya banyak tertawa tanpa harus memikirkan banyak hal seperti pekerjaan atau bahkan bagaimana mereka hidup jika keuangan mereka tidak mencukupi.
huh?
Namun saat dia sedang menikmati rasa irinya pada interaksi Jaehyun dan Yunho, sesuatu mengganggu penglihatannya. Hal yang rasanya konyol tapi terjadi ketika melihat Jaejoong, pria cantik yang disukai Sehun, hanya menatap pada satu orang dan Luhan begitu menyadari bahwa tatapan yang diberikan Jaejoong pada satu orang yang sedang dilihatnya sama persis seperti tatapan yang diberikan Sehun untuk Jaejoong
Oh ayolah!
Luhan miris melihat kenyataan bahwa yang sedang ditatap Jaejoong adalah Yunho sementara Sehun hanya tersenyum lirih seperti mengetahui bahwa pria yang dikenalkan sebagai sahabat oleh Yunho menyimpan perasaan pada kakaknya.
Jangan katakan aku sedang melihat cinta segitiga antara mereka?
Lucunya sepenuhnya tatapan Luhan diberikan untuk Sehun, dia seperti bisa merasakan sesuatu dalam hatinya mengganggu melihat Sehun yang begitu dingin padanya di bandara menjadi Sehun yang tidak berkutik didepan pria yang disukainya.
Dia tak lagi merasakan kesal pada Sehun, setidaknya untuk saat ini, karena dia tahu menyukai seseorang yang tidak membalas perasaanmu adalah hal menyebalkan namun sialnya diinginkan hatimu.
Sshh, kenapa kau hanya diam? Lakukan sesuatu idiot!
Luhan kesal melihat Sehun sepertinya terluka, jadilah dia terus menatap Sehun dan hal itu menarik perhatian Jihyo yang diam-diam menyenggol bahu suaminya untuk berbisik "Sepertinya aku akan memiliki menantu cantik."
"Apa yang kau katakan sayang?" Jiho bertanya dibalas kerlingan sang istri "Luhan sedang memperhatikan Sehun."
"Kau terlalu banyak melihat drama televisi sayang."
"ish! Aku mempunyai perasaan bagus tentang ini."
"Sudah, sudah…" Jiho menyela lalu mulai menatap sekumpulan anak muda didepannya "Luhan masuklah ke dalam, kami sudah menyiapkan kamar untukmu, Sehun-….."
"hmh?"
Sehun terlihat salah tingkah karena Jaejoong sempat melihatnya, membuat dia segera memalingkan wajah dan bertanya lagi pada ayahnya "Papa bicara apa?"
"Antar Luhan kekamarnya, papa akan mendaftarkan Luhan disekolah yang sama denganmu dan Jaehyun."
"YEY / Oh ayolah!"
Reaksi berbeda pun ditunjukkan Jaehyun dan Sehun, jika si bungsu memekik senang maka kakaknya terlihat geram karena sepertinya tak hanya dirumah tapi dia juga harus melihat Luhan di sekolah, setiap hari, CATAT! SETIAP HARI! Dan itu membuatnya sangat kesal.
"Kau keberatan?"
Sehun tak berkutik jika ayahnya mulai berbicara tegas, membuat dia mendelik pada Luhan lalu merampas kasar koper yang sedari tadi digenggam oleh si pendatang asing "Aku tidak berbicara apa-apa! Ayo masuk!" katanya kesal lalu berjalan lebih dulu memasuki rumah diikuti Luhan yang mulai membungkuk berpamitan "Aku masuk dulu."
"Luhan…"
Yunho memanggilnya dibalas tanya oleh Luhan "Ya hyung?"
"Jangan masukkan hati ucapan kasar bocah itu."
"ah," Luhan tertawa kecil, dirinya menatap Jaejoong sekilas lalu kembali lagi menatap Luhan "Jangan khawatir hyung, aku sudah terbiasa dengan kata-kata kasar." Katanya lirih mengingat sebenarnya dia tidak memiliki banyak teman di Beijing.
Lebih tepatnya hanya Lay dan Jackson yang bisa berkomunikasi dengannya, sisanya dia tidak memiliki teman lain dan hanya bergantung pada kekasih dan sahabatnya yang bahkan belum mengetahui tentang kepindahannya ke Seoul.
.
.
Dalam diam, Luhan mengikuti Sehun menaiki lantai dua rumah mewah yang di-design begitu unik lengkap dengan banyak lukisan dan foto keluarga Oh yang terpajang hampir di seluruh sudut rumah.
Semuanya terlihat sempurna untuk Luhan, mewah namun hangat, hal yang tak pernah ada dirumahnya, hatinya bahkan bersiul senang menyadari sepertinya dia akan menyesuaikan diri dengan mudah.
"Ini kamarmu."
Sampai dia lupa jika ada satu pria dingin yang tidak menyukai kehadirannya, sosok tampan yang sepertinya memendam perasaan pada sahabat kakaknya namun tak berani dia ungkapkan.
"Cepat masuk!"
"ish! Berhentilah berteriak, aku tidak tuli."
"Kau terlihat tuli untukku."
Luhan terpancing lagi emosinya, dia mengambil kasar koper dari tangan Sehun untuk mendelik sangat kesal melihat pria arogan disampingnya "Setidaknya aku bukan pengecut sepertimu!" katanya menyindir lalu melewati Sehun untuk berada di kamar yang di-design "Manly" dengan warna serba merah persis seperti kamarnya di Beijing.
Pasti Gege yang meminta kamar ini di design seperti milikku
Luhan menebak, berniat untuk melihat cartoon figure Iron Man yang ada dikamarnya sampai tak sengaja dia memekik saat tangan kasar seseorang mencengkram lengannya dan memojokannya ke dinding kamar.
"Lepas,"
Luhan memperingatkan pria yang kini berdiri nyaris tanpa jarak didekatnya, bertanya-tanya apa yang dilakukan Sehun hingga menghimpit tubuhnya dan terlihat sangat marah "Apa yang kau katakan? Kenapa aku seorang pengecut?"
Ah, karena itu?
Barulah Luhan mengerti, dia bahkan semakin tergoda untuk menantang Sehun walau seluruh jantungnya berdegup hebat saat nafas Sehun menerpa hangat wajahnya "Karena jika kau bukan seorang pengecut kau tidak akan mencengkram lenganku seperti ini!"
"Jawab aku dengan benar!"
"Aku sudah menjawabnya!"
Luhan menantang, keduanya bertatapan sengit dengan perasaan berdegup yang lucunya mengganggu kemarahan mereka. Mereka bisa saja saling memukul saat ini, tapi sepertinya sesuatu didalam diri Sehun kalah dengan tatapan kedua mata Luhan yang begitu cantik, belum lagi bibir mungil Luhan yang menurutnya sangat lucu saat memberikan kalimat tantangan untuknya.
Hal yang sama juga dirasakan Luhan, dia merasa sekasar apapun Sehun padanya saat berbicara, pria yang memiliki segudang kesempurnaan di tubuh dan wajahnya tidak akan pernah bersikap kasar seperti memukul atau melakukan sesuatu yang menyakiti fisiknya.
Dia memiliki kepercayaan itu dan benar saja, daripada terus menghimpitnya Sehun kini melepas himpitannya pada Luhan untuk menatap gusar si pria cantik "Jangan berbicara padaku lagi, kau dengar?"
"Dengan senang hati, kau dengar?" Luhan membalasnya dan Sehun mulai tidak fokus karena sepertinya hati dan otaknya tidak bekerjasama dengan baik "Dan jangan katakan aku pengecut!"
"Sayangnya aku memiliki alasan untuk mengatakan kau pengecut, pe-nge-cut!"
"KAU-….."
"HYUUUNG CEPAT TURUN, JAEJOONG HYUNG INGIN BICARA DENGANMU!"
Dan sepertinya Sehun baru saja terkena sihir saat nama Jaejoong disebut, konyol memang, tapi lihatlah Sehun saat ini, raut wajahnya tiba-tiba cerah saat adiknya memanggil, terlebih dia tak lagi membentak Luhan dan hanya berlari meninggalkan kamar secepat yang dia bisa.
"AKU TURUN!"
Hingga membuat Luhan mencibir setengah terkekeh menyadari bahwa pria besar yang nyaris menghajarnya beberapa detik yang lalu benar-benar menyukai sahabat kakaknya.
"tsk, kau sangat memalukan."
Luhan berusaha tak peduli, dia kemudian melihat lagi kamar yang di-design untuknya dan segera menuju bagian favoritnya di setiap kamar, jendela.
Membuka terburu-buru tirai kamarnya untuk menemukan Sehun sedang merangkul sahabat Yunho yang sepertinya sedang menangis.
Sebenarnya Luhan tidak peduli apa yang dilakukan mereka berdua, kemana mereka pergi, tapi sepertinya Luhan sangat tidak menyukai setiap ekspresi terluka yang dibuat Sehun saat berdekatan dengan pria yang sempat dia kagumi untuk beberapa saat.
Hal itu membutanya kesal tanpa alasan kesal lalu Luhan sengaja menutup kasar tirainya, membukanya lagi lalu menutupnya lagi untuk melihat mobil Sehun melaju perlahan hingga senyum sarkas ditunjukkan Luhan untuknya.
"Seperti kataku, kau benar-benar pengecut."
.
.
.
Malam harinya mereka menyantap makan malam bersama, semua termasuk Luhan sedang berbincang layaknya mereka telah mengenal satu sama lain untuk waktu yang lama. Beruntung Luhan memang memiliki sifat ibunya, mudah berbaur dan bergaul, membuatnya mudah untuk menerima segala percakapan yang terkesan konyol atau mungkin lelucon yang sebenarnya tidak lucu tapi dengan mudah Luhan tertawa alami tanpa dibuat canggung.
"Sehun kau baik-baik saja?"
Pengecualian untuk satu nama, tentu saja, pria yang dipanggil Sehun itu sedari awal kedatangannya sudah menatapnya benci dan tidak suka, mereka bahkan bertengkar serius beberapa jam yang lalu, membuat Luhan sedikit malas untuk bertatap wajah dengannya namun bohong jika dia tidak cemas menyadari wajah Sehun terlihat sedih dan murung sepulangnya dia pergi dengan Jaejoong siang tadi.
"Aku kenapa?" tanyanya berbalik, terkesan dingin dan mulai jengah berada di meja makan bersama dengan orang asing "Kau tidak tertawa disaat semua orang tertawa nak." Ayahnya menjelaskan dibalas cibiran dingin dari si nomor dua "Tidak lucu untuk apa tertawa?"
"haaah~"
Nyaris semua menghela nafas mendengar jawaban Sehun, tak terkecuali Luhan yang hanya tersenyum kecut tanda dia sangat tidak menyukai Sehun dan sifat arogannya.
"Hyung sedang patah hati Pa."
"JAEHYUN!"
"Wae? Kau yang bilang." Si bungsu menjulurkan lidah dibalas tatapan dingin dari kakaknya "Kupastikan Myungsoo tidak merestuimu dengan Taeyong!"
"ha ha ha…. Setidaknya Taeyong sudah jadi kekasihku."
Luhan bahkan bisa melihat perubahan kesal wajah Sehun, awalnya dia marah tapi saat adiknya menyebut kata kekasih lagi-lagi dia terlihat sedih dan Luhan sangat membenci orang-orang yang terluka karena cinta dan semacamnya.
"wajar aku bilang kau pengecut." kesalnya, dan tak lama suara bijak Tuan Oh terdengar memberi pengumuman "Sudahlah jangan bertengkar, Papa ingin memberitahu mulai besok Luhan akan berada di satu sekolah dengan kalian." Katanya melihat Jaehyun, Sehun dan Luhan bergantian dengan berbagai ekspresi terlihat di wajah ketiga remaja yang sepertinya memiliki perasaan berbeda.
"Hyung aku tidak sabar membawamu berkeliling sekolah."
"Kau siswa tingkat satu jadi jangan banyak bertingkah!"
Sehun mencibir lalu mendelik pada Luhan "Dan sebaiknya kau jaga sikap, jangan bicara padaku di sekolah!"
Luhan membalas tatapan dingin Sehun, tidak peduli jika kedua orang tua Sehun melihat sampai suara Tuan Oh menegur putranya "Bagaimana mungkin Luhan tidak bicara denganmu jika kalian berada di dalam satu kelas."
"Mwo? Ayolah Pa, cukup menyiksaku!"
"Tidak ada yang menyiksamu, papa sengaja meminta Luhan untuk berada di satu kelas yang sama denganmu, papa ingin kau menjaga dan mengawasi Luhan, lagipula kau-….."
"Sehun!"
Belum selesai berbicara Sehun sudah berdiri dari tempat duduknya, membuat suara ibunya menegur sementara matanya mengunci pada Luhan "Aku tetap melarangmu bicara denganku, kau dengar?"
Membalas tatapan kesal Sehun, Luhan tanpa ragu menjawab "Baiklah, aku dengar." Disambut senyum puas Sehun yang menggumam "Bagus!"
"Sehun minta maaf pada Luhan, kau bicara terlalu kasar padanya."
Lalu Luhan ikut berdiri dari kursinya, membungkuk sebagai tanda hormatnya sebelum tersenyum memastikan "Aku baik-baik saja, lagipula wajar jika Sehun membenciku, aku akan melakukan hal yang sama jika aku menjadi dirinya." Katanya menjelaskan dan tak lama menaiki satu persatu anak tangga seraya membayangkan betapa berat esok hari saat dia datang ke sekolah sebagai siswa baru untuk pertama kalinya.
"haah~ Aku harus menguatkan diri jika ingin bertahan." Gumamnya pasrah, sedikit tertunduk lalu langkahnya terhenti melihat Sehun berdiri dengan kedua tangan terlipat tepat didepan pintu kamarnya.
"Apa lagi? Kau ingin mengancamku lagi?"
Sehun mendelik tajam lalu mengeluarkan sesuatu dari belakang tangannya "Pakai ini saat besok kau datang ke sekolah."
Tak mengerti, Luhan hanya menerima seragam dan jas sekolah berwarna dongker yang diberikan Sehun, dia bahkan belum sempat berterimakasih tapi Sehun sudah memotong kalimat dengannya "Itu milikku dua tahun lalu, sudah kecil dan Mama bilang dia belum sempat membelikanmu yang baru."
"Kenapa kau memberikannya padaku?"
Sehun berjalan menjauh dari kamar Luhan, membuka pintu kamarnya yang berhadapan dengan kamar Luhan untuk bergumam "Aku terpaksa melakukannya, kau tahu? Sepertinya mama sangat menyukaimu, dia berharap kita bisa berteman baik dan aku sangat membencinya."
Lalu pintu kamarnya ditutup kencang hingga membuat Luhan tersentak, menahan umpatan yang sudah ada di ujung bibirnya untuk membalas kebencian Sehun "Percayalah, aku juga tidak ingin berteman denganmu, idiot!"
.
.
.
.
.
.
.
tobecontinued
.
.
.
.
.
First of All, Happy bday bapake Oh Sehun, bahagia selalu dan langgeng sama pujaan hati setengah jiwanya, Luhan,
.
Terus untuk Been Through chap satu kusudahi sampai disini, lanjutannya ada di tanggal 20 pas ultah ibu negara, double up sama JTV.
