Cinta itu suci.

Tapi nyatanya Cinta itu egois.

Dan egois akan mengotori kesucian Cinta, tak sedikit cara yang akan dilakukan demi mendapatkan Cinta. Tak jarang juga Cinta dapat dibeli, seperti air yang suci yang dapat dicemari dan dibeli, itu lah cinta pada saat ini. Uang dan tahta segala sesuatunya dapat dengan mudah dimiliki, tapi bagaimana dengan ketulusan?, tak semudah mendapatkan mobil mewah yang bisa dibeli, tak seperti membeli cinta dengan segala kekayaan, terkadang saat seseorang berada diatas kejayaannya, orang disekitar seperti peran didalam layar, berakting dan penuh dengan kepalsuan, lalu bagaimana dirinya mendapatkan ketulusan?, haruskah dirinya berada dibawah?, meninggalkan segala kekayaan yang dia miliki?, haruskah itu?.

Namanya Naruto, Namikaze Naruto. Terdengar sangat glamour bahkan hanya saat mendegar namanya, kepribadian yang angkuh karena tak ingin mudah dimanfaatkan dengan mereka yang bermuka dua. Rahangnya tegas, terlihat sangat manly, tak sedikit yang menyukai dirinya. Namun bukan berarti mereka tulus mencintai, jika dia adalah gembel jalanan mungkin tak akan ada yang menyukainya, really jaman sekarang wajah tidak akan berpengaruh, dompet lah yang berpengaruh.

Tetapi bukan berarti dia tak memiliki seorang kekasih, dia punya. Meski hanya sekedar sebagai teman berbicara dan pergi.

Tetapi ini bukanlah sebuah kisah cinta tetapi ini adalah subuah pembuktian.

Bruk!!

Kemeja mahalnya basah karena terkena tumpahan espresso panas. Rahangnya mengeras menahan marah.

"Are you stupid?, tidak bisa lihat?, tidak punya mata?. "

Cacian dan makian terlontar dari bibir mungil berpoles gincu merah, matanya mendelik marah.

"Harga kemeja ini sangat mahal!, bahkan dengan gajimu dua bulan saja tidak akan mungkin bisa membeli baju itu!."

Gadis pelayan itu, hanya bisa menunduk dan tak mampu melihat yang mencaci maki dirinya. Espresso itu tumpah dan mengenai kemeja mahal punya lelaki bermata elang itu, lalu kenapa wanita bergincu merah yang marah-marah?, dia menunduk bukan berarti ketakutan. Tetapi karena dia cukup tahu diri untuk tidak melawan.

"Maaf. "

Hanya itu yang bisa dia katakan saat ini, meski ingin membalas cacian si wanita bergincu.

"Sudahlah, ini tak perlu dipermasalahkan, dan kau!, perhatikan langkahmu saat berajalan!. "

Setidaknya gadis pelayan itu seperti mendapatkan angin segar, saat mendengar perkataan pria bermata elang itu, Naruto.

"Sekali lagi aku minta maaf. "

Naruto menganggukan kepalanya, berjalan melewati gadis pelayan itu, sedangkan wanita bergincu itu mengikutinya dibelakang, sedikit menyenggolkan bahunya ke gadis pelayan saat berjalan. Dan..

Grep!

Lengan wanita bergincu itu ditahan oleh gadis pelayan.

"Minta maaflah, dengan begitu rasa tak akan menghantui. "

Wanita bergincu itu hanya bisa terdiam saat mendengar perkataan si gadis pelayan. Sedangkan yang mengatakannya sudah pergi ke dapur untuk mengambil pesanan lainnya.

"Hinata?, ayo, kenapa diam saja?. "

Wanita bergincu yang diketahui namanya adalah Hinata itu tersadar, kemudian tersenyum manis.

"Ah iya. "

Keduanya pergi dari cafe itu, tanpa menyadari sepasang mata yang memandangnya lurus.

"Kenapa lagi kali ini Sas?."

Gadis pelayan yang dipanggil Sas oleh rekan kerjanya sendiri itu menggeleng pelan lalu tersenyum.

"Tidak, tidak ada apa-apa kok. "

Rekannya hanya bisa mengangguk mengerti.

"Oh ya, hari ini bagaimana kalau kita pulang bersama?. "

Dia hanya tersenyum sebagai jawaban, dan kembali melakukan pekerjaannya kembali.

Namanya Sasuke. Tidak ada nama keluarga dibelakangnya karena memang dia tidak memiliki keluarga selain dari panti asuhan yang dulu menampungnya, pendiam dan terkesan introvert. Tak peduli dengan sekitarnya dan terkesan anti sosial, tetapi bukan berarti dia tak memiliki satupun sahabat, dia punya. Hanya terlalu sibuk meski sekedar bercengkrama. Kulitnya putih dan terlihat lembut meski tak menyentuhnya, meski tak pernah tersenyum dirinya tetap terlihat ramah.

Tak seperti Naruto yang hidup diantara kepalsuan, dirinya hidup dilingkungan jujur, bahkan terlalu jujur. Ibu kos pemarah yang selalu memperlihatkan kejelekan sifatnya dihadapannya, bahkan sampai kebibir yang sering berkata manis nyatanya busuk. Bertolak belakang memang, dan terkesan menyedihkan.Tetapi dengan begitu, dirinya tak perlu melihat berbagai macam kepalsuan dunia.

Sasuke, dia kuliah disalah satu kampus ternama. Karena dia pintar, dirinya mendapatkan beasiswa.

Tak seperti cerita dalam drama, dimana seorang yang mendapat beasiswa akan dikucilkan, dirinya tidak dikucilkan. Banyak yang menyukai dirinya, meski dia tidak kaya seperti yang lainnya. Hanya saja dia terlalu malas untuk memiliki hubungan seperti itu.

Matanya bergerak kekanan dan kekiri, melihat deretan huruf yang tertulis dibukunya. Oh tidak-tidak, jika kalian berfikir dia tipikal introvert dan nerd maka salah besar, dia tidak seperti orang-orang nerd yang membaca ensiklopedia atau artikel kemanapun dia pergi, dia suka dengan cerita fiksi yang masuk logika dan sedikit sulit untuk dinyatakan nyata.

"kau yang kemarin itukan?. "

Sedikit terusik dengan pertanyaan yang terkesan to the point itu, kepalanya mengadah keatas guna melihat siapa yang bertanya dengannya.

Sedikit terkejut, tetapi bukan berarti mata dan wajahnya menggambarkan keterkejutannya, wajahnya datar sedatar papan. Menatap dengan berani seseorang yang memanggilnya.

"apa maksud dari meminta maaf?. "

Tak menjawab pertanyaan yang terkesan to the point dan memaksa, dia justru kembali membaca novelnya. Hal itu membuat Hinata sedikit jengkel dengan perilaku Sasuke.

"kau dungu?, atau gagu?, punya mulutkan?, jawab!. "

Sasuke menutup bukunya dan menatap Hinata dengan malas. Hinata itu gadis kayaraya, yang berarti segala sesuatunya harus dipenuhi.

"kenapa bertanya?, bukannya begitu jelas?, tak mungkin kurang jelas kalau nyatanya datang dan bertanya."

Setelahnya Sasuke pergi meninggalkan Hinata yang geram akan sikapnya.

Grep.

Kali ini Hinata yang menahan Sasuke.

"Jangan sentuh!, dan minta maaflah!, dengan begitu rasa bersalahmu akan menghilang. "

Dan kali ini Sasuke benar-benar pergi dari situ, Hinata mengigit bibir bawahnya, matanya berair saat memikirkan kata-kata Sasuke. Tak menyadari sepasang mata yang melihatnya. Tangannya terangkat untuk menghapus airmatanya yang jatuh tanpa pertahanan.

"Anata wa... Dare?. "

"Chotto!. "

Langkahnya terhenti saat mendengar teriakan itu. Sasuke membalikkan tubuhnya dan menatap kearah pria dihadapannya, Naruto.

"Ada apa?, maaf kalau kemarin kemejamu kotor. "

Naruto menaikan sebelah alisnya saat mendengar jawaban Sasuke, ternyata gadis dihadapannya salah paham.

"lupakan itu, sekarang katakan!, apa yang kau katakan pada Hinata sehingga dia menangis seperti itu?. "

Kali ini giliran Sasuke yang menaikkan sebelah alisnya, ternyata itu pokok permasalahannya. Sasuke tersenyum sangat manis, membuat jantung Naruto berdegup lebih kencang dari biasanya.

"bukan apa-apa, hanya rasa bersalah yang begitu mendalam."

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sasuke mau menyentuh orang yang baru dia kenal.

"hidup didalam kepalsuan eh?, lihatlah sekitarmu dan jangan memikirkan masalalu. "

Naruto merasa ada yang salah disini, perkataan Sasuke seolah-olah dia tahu segalanya. Disaat Naruto kalut dalam pikirannya, Sasuke pergi meninggalkan Naruto.

Masih memikirkan perkataan dari gadis cafe yang baru-baru ini ia ketahui namanya adalah Sasuke. Matanya menerawang, tubuhnya berbaring dikasur king size-nya. Dia menghembuskan nafasnya, lalu bangkit.

"Aku harus menemuinya. "

Senyap dan hening, itulah penggambaran suasana kali ini. Taman kota yang biasanya ramai kali ini terlihat sepi, tak ada pengunjung. Hanya ada beberapa pengunjung, yang menghabiskan petangnya ditaman kota.

Hinata, gadis cantik yang memiliki sejuta pesona. Dirinya termenung memikirkan perkataan yang mungkin menurut orang sekitarnya aneh tetapi tidak dengannya. Perkataan Sasuke beberapa waktu yang lalu terus terngiang dibenaknya. Kilasan memori bebrapa tahun yang lalu berputar bagaikan kaset rusak, membuat air mata jatuh tanpa perlindungan.

"Maaf.. Hiks, kumohon... Maafkan aku... Hiks... Ini semua bukan salahku ..hiks. "

Naruto, matanya menatap miris ke sekeliling nya. Tetapi senyumnya mengembang saat melihat anak kecil yang bermain bersama-sama, panti asuhan. Bangunan yang bertuliskan panti asuhan itu tak lebih dari sekedar bangunan tua yang diperindah dengan berbagai macam kertas warna-warni.

Dirinya tersentak saat seseorang menepuknya pundaknya.

"Kenapa disini?."

Tersenyum singkat saat orang yang dia cari dan menjadi penyebab utama dirinya datang kemari, kini ada dihadapannya.

"ada yang harus kau jelaskan. "

Sasuke menaikan sebelah alisnya saat mendengar permintaan yang terkesan memaksa itu.

"tidak ada yang perlu dijelaskan, sebaiknya anda pulang, maaf jam kunjung panti sudah berakhir. "

Formal seperti biasanya, jawaban formal yang terkesan menghindari dirinya itu membuat Naruto tidak puas mendengarnya.

"tidak ada yang ingin berkunjung disini, aku hanya ingin bertanya maksud perkataanmu. "

"bukankah sudah jelas?, bahkan terlalu jelas... Sudahlah pulang saja tuan muda sepertimu tak pantas berada ditempat ini. "

Naruto memutar bola matanya, jawaban itu bukanlah jawaban yang dia inginkan.

"oh ya?, aku rasa tempat ini yang tak layak huni. "

Sasuke memicingkan matanya saat mendengar hinaan itu.

"Berada diatas membuat semua yang terlihat buruk tidak layak, tak perlu berkomentar jika nyatanya tak membantu. Tempat ini layak, sangat layak bahkan. Tak ada kepalsuan disini semuanya tulus dan murni tak ada yang bermain peran dan tersenyum hanya demi uang. Pulang dan lihatlah disekitar istanamu itu, lebih layak tempat ini atau istanamu?."

Kalimat panjang yang terkesan dingin itu menyadarkan Naruto akan segala kepalsuan disekitarnya.

Itu benar, disini semua orang tertawa dan menangis sesuai dengan keadaan hati. Tak seperti di sekitarnya yang tersenyum dengan tujuan lain.

Rahangnya mengeras karena sudah kalah telak, dirinya tak bisa mengelak dari kenyataan pahit itu.

"jawab apa yang kau ketahui tentang masa lalu ku?, dan setelahnya aku akan pergi. "

Sasuke tersenyum berusaha untuk sabar akan situasi ini.

"lebih baik anda pulang. "

Naruto menarik nafasnya dalam-dalam, geram dengan jawaba Sasuke, terutama saat Sasuke akan masuk kedalam panti asuhan.

"Tunggu!, sudah cukup!, kau past reader kan?, bicara seenaknya tentang masa lalu ku, dan sekarang dengan seenaknya kau menyuruhku pulang?. kau pasti tau sesuatu tentang masa lalu ku 'kan?, jawab!, apa yang kau lihat dari masalalu ku?. "

Langkah Sasuke terhenti.

"Maaf, tapi memang sebaiknya anda pulang... Dan lupakanlah masa lalu. "

Sasuke melanjutkan langkahnya, memasuki panti. Senyumnya mengembang saat melihat gadis kecil berlari mendekatinya.

"Sasuke-nee!, ayo kita makan malam...!"

Sasuke tersenyum dan mengangguk, dia berjalan mendekati gadis kecil itu. Sedangkan gadis kecil itu sendiri menatap Naruto yang tepat dibelakang Sasuke.

"are?!, Onii-chan yang itu teman Sasu-nee?. "

Sasuke menengok saat melihat tangan mungil gadis kecil dihadapannya menunjuk kearah Naruto, kemudian ia menggeleng.

"bukan, Sasu-nee bahkan tidak mengenalnya."

Ketus, jawaban yang terlampau ketus.

Sirine ambulance dan mobil polisi terdengar begitu keras, warga sekitar yang awalnya berada ditengah jalan itu diusir oleh polisi. Tabrak lari, seorang wanita paruh baya tergeletak di dekat zebra cross karena tabrak lari. Tak ada saksi mata pada saat tabrak lari itu terjadi, karena pada saat itu hujan lebat. Ada satu diantara pejalan kaki yang nekat melewati garis polisi. Langkahnya terkesan tergesa-gesa seperti sedang khawatir akan sesuatu. Matanya membelalak saat melihat wanita paruh baya yang tergeletak.

Kakinya seperti jelly yang tak mampu menahan beban tubuhnya, matanya memerah. Dirinya tak mampu berkata-kata, kejadian-kejadian sepuluh menit yang lalu berputar. Dimana ia menyuruh wanita paruh baya berjalan ke sebrang jalan untuk menunggunya. Rahangnya mengeras, tangannya ia kepal sekuat-kuatnya.

"Haaahhhh... Itu ... Mimpi itu lagi... "

Peluh bercucuran dari wajahnya. Kejadian kelam tiga tahun yang lalu kembali menghantuinya, nafasnya tak teratur karena seperti habis lari berkilo-kilo meter. Jantungnya terpacu.

Mimpi itu nyata, senyata kehidupannya. Wanita paruh baya yang tergeletak itu adalah ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkannya. Korban tabrak lari yang saat ini pelakunya belum diketahui, minimnya bukti dan tak ada saksi membuat kasusnya ditutup begitu saja. Tetapi bukan berarti dirinya menyerah dalam mencari pelakunya, berbagai cara telah dia lakukan namun tak ada hasil.

Dirinya nyaris menyerah dalam pencarian tak ada hasil itu, namun saat mendengar perkataan gadis cafe yang ternyata satu kampus dengannya membuat dirinya kembali berharap. Dirinya berharap bahwa pelakunya akan ditemukan, dengan begitu pelakunya akan mendapatkan hukuman yang setimpal.

Udara malam yang dingin tak mengusik Hinata, gadis cantik itu menatap indahnya danau buatan dari bangku taman.

Wajahnya datar, kulit wajah halus yang selalu terpoles riasan wajah kini tampak polos. Tak ada riasan diwajahnya, berkali-kali air mata jatuh tanpa pertahanan. Dirinya kalut, matanya memandang lurus danau buatan tetapi pikirannya melayang jauh.

23:00

Sudah jam segitu, hanya ada beberapa pengunjung. Terlalu larut untuk berada ditaman kota.

"Hinata?. "

Tanpa menolehkan kepalanya dia tahu siapa yang memanggilnya, dengan gerakan yang cepat Hinata menghapus jejak air mata yang ada di pipinya, berusaha tersenyum meski sulit.

"sedang apa?, malam-malam seperti ini... kau habis menangis?."

Hinata menggeleng pelan, meski memang benar tetapi dia berusaha untuk menutupinya sebaik mungkin.

"jangan bohong!, aku tahu kalau kau berbohong!, kenapa kau menangis, dan seang apa disini malam-malam?"

Kepalanya menunduk, lelaki dihadapannya ini terlalu sulit untuk dikelabuhi. Sudah lama mereka bersama ada sebuah ikatan yang kuat diantara mereka dan membuat mereka saling memahami.

Dengan langkah pelan namun pasti Hinata mendekati pria dihadapannya, airmatanya sudah tumpah tak terbendung. Pria dihadapannya sendiri hanya bias diam tak berkutik.

Grep!!

Hinata memeluk pria itu secara tiba-tiba membuat pria itu yang tidak siap sedikit terhuyung kebelakang, tangannya diam saja tak berniat membalas pelukan Hinata. Hinata menangis sangat keras, bahkan isak tangisnya terdengar jelas dikuping pria itu, membuat pria itu yang mendengarnya langsung membalas pelukan Hinata, berniat untuk menenangkannya.

Lima menit berlalu, isak tangis Hinata mereda. Terdengar deru nafas yang teratur, pria itu tahu Hinata tertidur, terbukti dari tubuhnya yang terasa memberat, karena kakinya sudah tidak mampu menyanggah lagi, dengan satu gerakan pasti pria itu mengangkat tubuh Hinata, dan membawanya pergi dari taman.

Dan tak menyadari sepasang mata yang melihat kearah mereka.

Kaki jenjang itu melangkah keluar dari sebuah bangunan bertuliskan Library, kacamata yang tadinya bertengger manis dihidung mancung yang terkesan mungil itu dilepas oleh sang empunya. Langkahnya begitu cepat, dan terkesan terburu-buru.

Hal itu membuat dirinya tak sengaja menabrak bahu seseorang, dan membuatnya terjatuh.

"maaf."

Meski tahu dia tak bersalah orang yang tertabrak bahunya itu meminta maaf, karena melihat si penabrak terjatuh, tangannya terulur untuk membantunya berdiri.

Dengan senang hati uluran tangan wanita itu dibalas, namun ada sesuatu yang membuatnya diam tak bergeming, membuat wanita yang mengulurkan tangannya mengernyit heran.

"ah, maaf tapi aku tak bisa lama-lama."

Dengan cepat wanita itu membantu gadis dihadapannya berdiri, dan berlari begitu cepat. Sedangkan gadis yang dibantu berdiri itu seakan kehilangan sesuatu.

"tunggu!!!."

Sasuke, dia melihat sesuatu dari uluran tangan itu. Ya, Gadis yang terjatuh itu adalah Sasuke, di berlari sekuat tenaga untuk mengejar wanita itu, dia yakin kalau wanita itu adalah orang yang selama ini diacari.

Langkahnya semakin besar, Sasuke berlari sekuat tenaga mengejar wanita itu. Airmatanya telah membendung, tak ada yang terlalu memperhatikannya karena mereka terlalu sibuk dengan dunianya. Berkali-kali dia menabrak bahu pejalan kaki lainnya, langkahnya ia percepat saat melihat wanita yang dia kejar sudah didepan mata.

Sedikit lagi...

Sedikit lagi...

Hanya berjarak lima langkah maka

Sasuke bisa meraih wanita itu. Dan...

Bruk!!

Sepertinya nasib buruk sedang menimpanya kali ini, bahu kecilnya menabrak bahu lebar nan kokoh milik seorang lelaki tampan dihadapannya, Naruto.

"tunggu!!!. "

Sasuke berteriak saat melihat wanita yang dia kejar tadi pergi menaiki sebuah taksi.

Airmata jatuh tanpa pertahanan, membuat Naruto yang ada dihadapannya merasa heran.

"Sasuke?, ada apa?, hei?."

Naruto berjongkok untuk mensejajarkan dirinya dengan Sasuke yang terduduk di trotoar, tangan hangatnya terulur untuk mengangkat dagu Sasuke guna dapat melihat wajah Sasuke. Mata nya memerah dan terus-menerus mengeluarkan air mata, hidung mancungnya yang terkesan mungil itu memerah, dan bibir mungil merah alami itu bergetar. Seriously dihadapan Naruto saat ini wajah Sasuke nampak menggemaskan, katakanlah dia bodoh tetapi dia tidak akan pernah berbohong dengan apa yang dia lihat.

"Ada apa?, kenapa menangis?. "

Sasuke menggeleng pelan, matanya menatap lurus mata Naruto. Isak tangisnya terdengar, membuat Naruto kebingungan. Mereka masih berada di trotoar jika kalian lupa, dan dengan keadaan Sasuke yang terisak pelan membuat mereka menjadi bahan tontonan publik.

Karena tak ingin menjadi tontonan publik, Naruto berusaha untuk memindahkan Sasuke ketempat yang sedikit jauh dari pandangan publik.

Sasuke sudah tidak lagi terisak, jejak air matanya juga sudah dihapus. Matanya memandang lurus kearah Naruto, sedangkan Naruto balik menatapnya.

"Menyedihkan..., selalu melihat masalalu semua orang hanya dengan sentuhan... Nyatanya, hanya untuk melihat masa lalunya dirinya tidak bisa. "

Naruto hanya diam saat mendengar Sasuke berbicara entah kepada siapa, Sasuke menunduk sedangkan Naruto terus menatapnya.

"meminta semua orang melupakan masalalu... Nyatanya dia selalu ingin melihat masa lalunya. "

Sasuke tersenyum miris, Naruto yang melihat itu hanya bisa menatapnya tanpa berbicara. Sekarang ini Sasuke dihadapannya terlihat begitu rapuh, meski wajahnya datar namun dia tahu kalau sasuke sedang hancur.

"bukankah itu lebih baik?,dari pada harus mengalami sulitnya melupakan?."

Kali ini giliran Sasuke yang menatap Naruto.

"tak semua yang kau pikirkan itu benar, nyatanya tak semudah membuang sampah dijalanan. Melupakan sesuatu yang begitu penting ataupun menyakitkan itu tidak mudah…… lebih baik tidak tahu sama sekali daripada harus melupakannya."

Mata Sasuke berkaca-kaca, dirinya memikirkan perkataan Naruto. Memang benar, tak semudah itu untuk melupakan masalalu. Tetapi, bagaimana jika dia hanya mengetahuinya sebagian?, haruskah dilupakan?, dia hanya ingin tahu kebenarannya.

Sasuke, nama itu diberikan oleh pemilik panti asuhan. Sejak kecil dirinya sudah dapat melihat masa lalu seseorang hanya dengan sentuhan saja, lebih tepatnya saat dirinya dinyatakan pulih dari komanya, hal itu membuat dirinya jarang ingin berinteraksi dengan seseorang. Tak jarang mereka yang bersentuhan dengan Sasuke berfikir bahwa Sasuke sakit jiwa. Bagaimana tidak?, saat kecil sudah jadi kebiasaannya mengatakan apa yang telah dia lihat, baik itu penglihatan buruk ataupun baik. Tetapi hanya beberapa orang yang dengan jelas ingin memperlihatkan masalalunya saja yang bisa dilihat oleh Sasuke, kalau mereka menutup masa lalunya rapat-rapat Sasuke tidak akan bisa melihatnya.

Saat itu, hari dimana dirinya melihat kebenaran tentang dirinya yang tak pernah dia ketahui. Tentang kenapa dirinya bisa berada di panti asuhan, dia melihat masalalu itu dengan jelas saat terakhir kali dirinya menyentuh ibu panti. Hal yang selalu ditutupi oleh ibu panti, kebenaran tentang dirinya yang dibuang bukan ditinggal mati. Dirinya melihat masa lalu dimana dirinya ditemukan, dirinya ditemukan didepan pintu panti asuhan dengan seutas kain yang melindunginya dari dingin.

Saat itu, dia pikir memang orang tuanya tidak ingin merawatnya, namun saat dia menyentuh tangan wanita paruh baya itu semuanya seperti sebuah puzzle yang tersusun. Dia melihatnya, wanita itu berada didepan gerbang panti, dan ada ibu panti yang menggendongnya disana.

"kau benar, melupakan masa lalu itu sangat sulit……..tapi hanya sebagian potongan masa lalu yang aku ketahui, dan kurasa itu tidak adil."

Naruto tersenyum lalu kemudian menatap Sasuke dengan serius.

"yeah hidup memang tidak adil, ibuku meninggal dengan tidak wajar dan tidak ada satupun orang yang bertanggung jawab atas kematiannya. Tidak ada keadilan didunia ini, mau berbagi cerita?."

Sasuke tersenyum atas pertanyaan Naruto, dirinya selalu menjadi pendengar yang baik meski tak satupun orang yang meminta, kali ini ada seseorang yang di yakini tulus untuk menjadi pendengarnya.

"ku rasa ini memang sudah terlambat, tapi…..namaku Naruto, Namikaze Naruto."

Sasuke tersenyum saat melihat uluran tangan Naruto, namun dirinya tak berniat untuk membalas uluran tangannya.

"Sasuke."

Tahu uluran tangannya tak dibalas Naruto menarik kembali uluran tangannya, dan menggunakannya untuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Dua jam sudah mereka berbicara bersama, hal itu membuat mereka sedikit lebih akrab meski masih sedikit canggung. Banyak hal yang diketahui Naruto dari Sasuke, tentang dirinya yang bisa mendengar masalalu seseorang meski tak bersentuhan. Kebiasaan Sasuke yang selalu menggunakan pakaian panjang dan sarung tangan untuk melindunginya dari sentuhan yang tidak diinginkan meski itu tidak begitu membantu, dan Sasuke yang selalu memakai earphone agar tidak mendengar masa lalu seseorang.

"pasti menyusahkan sekali."

Sasuke tersenyum saat mendengar perkataan Naruto, kemudian menghela nafasnya.

"itu benar, semua ini sangat menyusahkan…. Menggunakan earphone sepanjang hari, selalu menggunakan pakaian panjang untuk melindungi sentuhan itu…..masalalu mereka terlalu kelam untukku lihat."

Naruto menatap iba Sasuke dia yakin, selama ini Sasuke selalu menjalani hidupnya yang berat dengan penuh kesabaran.

"kau bilang kalau kau pernah koma, karena apa?."

Rasa penasarannya terhadap kehidupan Sasuke membuatnya bertanya akan kenapa dirinya bisa koma, dan membuatnya mendapatkan kemampuan aneh yang menyusahkan dirinya. Mata Sasuke menerawang saat mendengar pertanyaan Naruto.

"itu.., karena saat itu aku terbawa arus sungai sewaktu kecil."

Naruto mengangguk tanda mengerti, lalu kemudian wajahnya menjadi serius saat melihat wajah serius Sasuke.

"kenapa?, ada yang salah Sasuke?."

Sasuke tidak menjawab, lalu kemudian memberikan isyarat kepada Naruto untuk melihat kedepan. Saat Naruto menolehkan kepalanya dirinya melihat Hinata tengah menggandeng dan berjalan bersama dengan seorang pria yang dirinya kenal sebagai teman dekatnya, Gaara berjalan menuju sebuah resto.

"hidupmu tak lebih baik dari hidupku."

Rahang Naruto mengeras, tangannya mengepal dengan sangat kuat. Apa yang dikatakan Sasuke itu benar, hidupnya tak lebih baik dari hidup Sasuke. Nyatanya jika Sasuke selalu melihat kebenaran maka dirinya selalu melihat kepalsuan dunia.

"Hinata?, bisa kau jelaskan apa yang terjadi?."

Hinata gadis itu menatap pria dihadapannya, bibirnya yang terpoleskan gincu itu tersenyum seolah mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi, tangannya mengelus tangan kekar milik pria dihadapannya.

"tidak ada apa-apa, hanya ada sedikit masalah tak perlu dipikirkan."

Senyumnya semakin mengembang, namun secara tiba-tiba raut wajahnya berubah panik saat melihat seseorang yang sangat dia kenal mendekatinya dengan langkah terburu-buru.

Dengan gerakan cepat kerah pria yang duduk dihadapannya tertarik membuatnya berdiri secara tiba-tiba, matanya membelalak saat melihat seseorang yang menariknya, Naruto orang itu adalah Naruto.

Bugh!!

Gerakannya begitu cepat membuat orang itu tak memiliki kesempatan untu mengelak, Naruto yang sedang kalap berusaha untuk memukul Gaara kembali. Namun sebelum itu semua terjadi sebuah tangan mungil yang lembut mengehentikan pergerakannya.

"amarah tak menyelesaikan masalah, berhentilah kumohon…"

Langkahnya terhenti, dirinya menghempaskan tubuh Gaara, dan menatap mata Sasuke sebentar lalu menghela nafas beratnya, kemudian matanya menatap tajam kearah Hinata yang sedikit ketakutan.

"kita berakhir."

Naruto melangkah keluar dengan penuh amarah, meninggalkan rumah makan itu. Dirinya mengabaikan bisik-bisik dari pengunjung sekitar yang melihatnya memukul Gaara.

Sasuke menatap miris kearah Gaara dan Hinata, tangannya dia ulurkan untuk membantu Gaara bangkit. Dia melihatnya, Gaara tak memiliki satupun hubungan dalam potongan-potongan masalalu Hinata maupun Naruto, dirinya tersenyum menatap Gaara.

"berada ditengah-tengah situasi yang salah, itu adalah kesalahanmu."

Gaara sedikit bingung saat mendengar pernyataan Sasuke, dkirinya semakin bingung saat dia melihat Sasuke mendekati Hinata.

"kesalahan terbesarmu adalah membiarkan hal ini terus terjadi, merasa semua tak akan terbongkar huh?, nyatanya satu persatu semua akan terbongkar."

Airmata Hinata mengalir tanpa mampu dicegah, matanya menatap bengis kearah Sasuke, seedangkan Sasuke sendiri sudah pergi meninggalkannya.

Sasuke mendekati Naruto, menatap Naruto dengan pandangan iba. Naruto sendiri hanya terenyum miris saat melihat tatapan itu.

"kau benar, hidupku diantara kepalsuan. "

Naruto mengadahkan kepalanya, berusaha agar airmatanya tidak mengalir. Dirinya ingin sekali menangis jika dia tidak memiliki harga diri setinggi langit, kenyataanya bahwa dirinya adalah seorang pria selalu membuatnya mengurungkan niatnya itu.

"menangislah jika ingin menangis, jika menangis dapat mengurangi rasa menyesakkan itu, maka menangislah."

Naruto menatap Sasuke yang saat ini sedang menatapnya iba, dirinya tersenyum miris saat melihat tatapan mata Sasuke. Naruto melangkahkan kakinya mendekati Sasuke, dengan langkah pelan namun pasti dirinya mendekati Sasuke. Saat Naruto selangkah maju maka Sasuke akan mundur begitu pun seterusnya, dan...

Grep!

Dengan gerakan yang terkesan tiba-tiba itu Naruto memeluk tubuh Sasuke. Dan Sasuke sendiri... Terkejut?, sudah pasti. Dirinya berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan tubuh Naruto dari tubuhnya, sedangkan Naruto semakin memeluknya dengan erat.

"kumohon hanya sebentar saja, biarkan ini terjadi sebentar saja."

Dan Sasuke hanya bisa terdiam, kali ini dia tidak lagi memberontak. Sasuke merasakan bahunya basah, dia tersenyum. Naruto menangis dan dengan harga dirinya yang terlampau tinggi dia memeluk Sasuke untuk menyembunyikan semua itu, dengan perlahan Sasuke membalas pelukan Naruto. Tangannya ia gunakan untuk menenangkan Naruto.

Miris itulah mereka, yang satu hidup diantara kepalsuan dunia sedangkan yang satu lagi selalu melihat kenyataan pahit. Mana yang lebih baik?, Kepalsuan yang manis atau kenyataan yang pahit?. Keduanya saling memeluk, tanpa disadari airmata Sasuke menetes tanpa dapat dicegah, semakin lama pelukannya semakin erat. Keduanya menangisi takdir hidup keduanya.

"semua kan lebih baik."

Itulah yang dirapalkan keduanya.

tanpa disadari keduanya ada sepasang mata yang melihatnya.

"tak akan ku biarkan semua itu terbongkar."

"kau yakin?."

Naruto menganggukan kepalanya dengan yakin. Saat ini mereka sedang berada dikediaman Naruto lebih tepatnya kamar Naruto, Sasuke yang tengah duduk diranjang king size milik Naruto menatap Naruto yang sedang duduk dikursi panjang dengan pandangan tak percaya.

"dengan alasan apa?, memangnya masih bisa?."

Naruto tersenyum, sedangkan Sasuke semakin bingung.

"dengar, kau bisa membantuku dalam hal ini. Bukti dapat dengan mudah kita cari, sebagai imbalannya aku akan membantumu mencari orangtuamu itu."

Sasuke menggeleng dan hal itu membuat Naruto mendengus.

"itu adalah pemikiran bodoh, menemukan orangtua ku?, dengan cara apa?, semudah itu?, berhentilah membual, sampai kapanpun orangtua ku tak akan pernah ditemukan, tak ada petunjuk selain penglihatan itu."

Sasuke mengalihkan pandangannya dari Naruto, dirinya tak mau memandang Naruto.

Tak seperti Naruto yang akan lebih mudah untuk kembali mencari pelaku tabrak lari yang membuat ibunya meninggal, mencari seseorang yang bahkan belum jelas keberadaanya itu jauh lebih sulit. Tak ada satupun petunjuk, apa dia harus menyentuh semua orang yang ada didunia ini hanya untuk melihat masa lalu mereka?, apa dirinya harus mengatakan 'apa kau pernah membuang putrimu?.' apa dia harus mengatakan itu?, terdengar seperti ide gila yang dipenuhi dengan berbagai kebodohan.

Naruto bangkit lalu kemudian berlutut dihadapan Sasuke, tangannya meraih tangan Sasuke membuat Sasuke sedikit tersentak. Matanya memandang lurus kearah mata Naruto.

"pasti bisa, kita sama-sama mencari kenyataan dan keadilan didunia ini."

Sasuke menggeleng pelan, dirinya mengigit bibir bawahnya.

"kenapa?, Kenapa kau begitu yakin?, hah.. benar, tentu saja..., itu karena disini kau yang sangat diuntungkan bukan?, dengan mudah pelakunya akan ditemukan, tetapi bagaimana dengan orangtua ku?, apa aku dapat mempercayaimu?, kau tidak akan lari begitu saja saat pelakunya ditemukan?."

Naruto tersenyum, sekarang dia tahu apa yang menjadi kekhawatiran terbesar Sasuke. Dirinya tahu takakan semudah itu untuk mempercayai seseorang yang bahkan baru dia kenal selama dua hari belakangan ini, terlalu cepat untuk saling mempercayai.

"kau tahu?, seorang pria yang menangis dipelukan seorang wania dan menghilangkan segala harga dirinya, dia bukanlah pria yang akan menarik omongannya sendiri."

Sasuke mendengus saat melihat senyum Naruto yang tampak memuakkan dihadapannya, apalagi saat dirinya mendengar perkataan Naruto.

"terdengar seperti membanggakan diri."

Naruto menatap datar wajah Sasuke yang menaikkan sebelah alisnya.

"tak bisakah mengikuti momment romantis ini?."

Sasuke tersenyum geli mendengar perkataan Naruto, dan itu membuat Naruto sedikit merasa jengkel.

"menggelikan..., bagaimana mungkin kau percaya padaku?, kita baru saja saling mengenal, bagaimana jika nyatanya aku berbohong?, bagaimana kalau aku berbohong atas kemampuanku?, bagaimana kalau selama ini aku hanya membual?."

Naruto menggelegkan kepalanya, dirinya tahu Sasuke tidak akan pernah berbohong dia melihat ketulusan dimata Sasuke. Naruto tersenyum dengan sangat menawan.

"aku tahu kalau kau tidak akan pernah berbohong, semuanya terlihat dengan jelas,kau jujur dalam setiap perkataanmu, kita hadapi semuanya bersama-sama..., kumohon."

Sasuke tertegun saat melihat Naruto, tak ada keraguan didalam mata Naruto. Namun keraguan itu sendiri ada dihati Sasuke. Dia terlalu takut, takut akan ditinggalkan. Dirinya ingin sekali membantu Naruto, ada sedikit keganjalan dalam kasus yang menimpa Naruto. Dirinya melihat dengan jelas ada benang kusut diantara dia, Naruto dan Hinata. Dia tidak tahu apa hubungan diantara ketiganya, tidak seperti benang merah yang mengartikan perjodohan. Yang dia lihat hanya sebuah benang kusut, berbagai macam ingatan Naruto dan Hinata terasa berhubungan dengan semua yang mereka alami. Dan entah mengapa Sasuke merasa bahwa dia ada sangkut pautnya dengan semua ini.

Sasuke mengangguk pelan membuat senyum Naruto semakin mengembang.

"baiklah, kita mulai semuanya besok."

Dan disinilah Sasuke sekarang, memulai paginya ditempat kejadian itu. Dirinya bersama dengan Naruto berusaha untuk melihat semua yang terjadi, entah akan berhasil atau tidak setidaknya mereka akan berusaha. Sasuke menyentuh semua yang benda yang ada disana, dan tak ada hasilnya. Sasuke melirik kearah Naruto yang tersenyum, terdapat sejuta harapan dimata Naruto.

"tidak bisa.."

Sasuke menggeleng pelan, wajahnya penuh dengan peluh. Matanya menatap Naruto yang menatapnya dengan penuh harap.

"terlalu banyak kenangan disini, kejadiannya..., kenangan kelam itu..., sudah lama digantikan, aku tak bisa melihatnya..., terlalu sulit."

Naruto menghela nafas beratnya, dia melupakan fakta terbesar itu. kejadian itu sudah terjadi tiga tahun yang lalu, beritanya saja sudah lama tak diungkit kembali. Kasusnya telah ditutup karena minimnya bukti, dan kini setelah sekian lama kasusnya ditutup apa dia bisa menemukan pelakunya?.

"kita istirahat sebentar, tunggu disini aku akan membeli minuman."

Naruto hampir saja akan berlari ke arah toko minuman, namun langkahnya terhenti saat melihat Sasuke tiba-tiba saja berlari.

"tunggu!!, kumohon tunggu!!."

Sasuke berlari sekuat tenaga, dirinya melihatnya. Wanita yang waktu itu, dirinya berlari mengejar wanita itu. Tak peduli dengan pejalan kaki lainnya, dia terus berlari. Matanya berair, langkahnya melemah, namun kemudian kembali menjadi cepat.

Sedikit lagi...

Wanita itu dihadapannya...

Sebentar lagi...

"tunggu!."

Dia berhasil, dirinya berhasil menyentuhnya.

"ya ada apa?."

Sasuke menggeleng pelan, kemudian matanya melihat kesekitar. Wanita yang ada dihadapannya bukanlah wanita yang selama ini dia cari. Lagi-lagi, dirinya gagal mengejar wanita yang dia cari.

"maaf, sepertinya aku salah orang."

Wanita dihadapannya itu tersenyum singkat lalu menganggu mengerti.

"Sas?."

Sasuke tersentak saat pundaknya disentuh oleh Naruto.

"ada apa?, apa dia orang yang sama, dengan orang yang kau kejar kemarin?."

Sasuke mengangguk, matanya menatap sayu kearah Naruto. Airmata yang tadinya ia tahan kini mengalir tak tertahankan.

"aku gagal lagi."

Tatapan Naruto menyendu, tidak hanya dia yang kesulitan disini, tapi Sasuke juga kesulitan. Dia berharap semua ini cepat berakhir, dia hanya membutuhkan bukti yang kuat dan menemukan wanita paruh baya yang selama ini dicari oleh Sasuke. Namun semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan.

"ayo kita beli minum, disebrang sana sepertinya ada yang menjual minuman."

Sasuke mengangguk pelan, langkahnya mengikuti Naruto yang terlebih dulu berjalan. Zebra cross yang biasanya ramai kini terlihat sepi hanya Naruto dan Sasuke yang melewatinya. Sasuke berjalan dengan menunduk, dirinya tidak sama sekali melihat kesekitar.

Pikirannya kalut, terlalu banyak yang dia pikirkan. Karena terlalu banyak berfikir hingga dirinya tak mendengar teriakan-teriakan dari arah belakang maupun depannya, dirinya tersadar saat ada bunyi yang sangat memekakan telinganya yang dia yakini itu adalah klakson mobil.

Matanya melebar saat dia melihat apa yang ada tepat dihadapannya saat dia memutar tubuhnya, sebuah mobil berwarna putih melaju dengan sangat cepat dihadapannya. Tak ada yang dipikirkan Sasuke saat ini, dirinya terlalu sibuk dengan keterkejutannya. Kakinya terasa seperti jelly, membuatnya sulit untuk menghindar.

Bruk!!

Hanya hitungan detik, Naruto mendorong Sasuke bersama tubuhnya untuk menghindari mobil putih itu.

"Bodoh!!, bagimana kalau misalnya kau tertabrak?!."

Sasuke terdiam, matanya memandang kearah mobil putih yang hampir saja menabraknya.Tubuhnya bergetar, kilas balik memori tentang mobil putih itu terlihat dengan jelas. Satu kunci penting dalam pencarian mereka, matanya memandang tak percaya. Terlalu jelas, dan semua ini begitu membingungkan, kepalanya pusing, pandangannya mengabur hingga dirinya tak sadarkan diri.

Sekitar satu jam berlalu Sasuke tak sadarkan diri, membuat panik Naruto. Saat itu dengan sigap Naruto mengangkat tubuh Sasuke, dan kini mereka tengah berada dikamar tuan muda Naruto. Matanya masih terpejam meski kesadaran telah kembali, dirinya tak berniat untuk membuka matanya. Pikirannya melayang jauh, yang dia pikirkan adalah mobil putih itu. Dirinya memang tidak tertabrak mobil putih itu, namun dia menyentuhnya. Hanya beberapa detik memang namun cukup untuk mengetahui hal tersembunyi dari mobil itu, kilasan tabrak lari yang terjadi tiga tahun silam terlihat. Dirinya menghela nafas beratnya.

"Sudah sadar tapi pura-pura."

Nada sinis dari suara yang dia kenal, membuat Sasuke membuka matanya.

"Maaf..."

Matanya menerawang seperti memikirkan sesuatu, dirinya memainkan jari-jarinya, berkali-kali bibirnya terbuka lalu mengatup lagi.

"mau mendengar bukti yang telah kutemukan?."

Naruto terkejut saat mendengarnya, dirinya mendekatkan dirinya kearah Sasuke. Matanya memandang lurus kearah Sasuke.

"Mobil putih itu, dia yang menabraknya."

Naruto menarik nafasnya dalam-dalam, tangannya mengepal dengan kuat. Rahang Naruto mengeras, dirinya menatap Sasuke dengan tajam.

"kenapa?, kenapa tidak bilang?, KENAPA KAU JUSTRU PINGSAN?!."

Sasuke terdiam, dirinya menatap lurus kearah Naruto yang meluapkan kemarahannya.

Prang!!

Naruto melempar sebuah vas bunga yang ada di meja nakas dekat ranjang, dirinya sadar bahwa dia sudah kelewat batas, Naruto melangkah keluar untuk menenangkan dirinya. Sasuke sendiri hanya bisa menatap miris Naruto.

Dia sadar, tak seharusnya dia pingsan disaat dia melihat sebuah bukti, tapi apa yang bisa dia lakukan?, bukan keinginannya untuk kehilangan kesadaran. Semuanya begitu membingungkan, entah apa yang menurutnya membingungkan.

Sasuke menghembuskan nafas beratnya.

Dengan langkah berat Sasuke menghampiri Naruto, matanya melihat Naruto sedang terduduk disebuah gazebo yang terdapat dihalaman belakang. Tubuh Naruto bergetar, Sasuke sangsi bahwa Naruto menangis.

Perlahan Sasuke mendekati Naruto, tangan mungilnya menyentuh pundak Naruto.

"maaf, maafkan aku... bukan keinginanku untuk kehilangan kesadaran. Semua diluar kendaliku, aku... minta maaf."

Naruto hanya terdiam, dirinya menarik nafas dalam-dalam. Tangannya terangkat untuk menghapus jejak airmata yang ada diwajahnya.

"mau mencari bukti baru?, kita melupakan fakta terbesar bahwa ada sebuah butik disana..., aku yakin terdapat sebuah kamera pengintai didepan butik itu, dan mungkin kita akan menemukan titik terang disana."

Naruto terdiam, matanya memandang lurus. Sasuke yang ada dibelakangnya hanya bisa menghela nafas dengan keterdiamannya Naruto.

"tidak ada apapun disana, polisi pernah mengintrogasi para pegawai disana, dan tidak ada bukti apapun disana. Kamera pengintainya rusak, dan tidak ada rekaman apapun."

Sasuke nampak berpikir keras saat mendengar penjelasan Naruto, bibirnya bergetar. Dia ingin mengungkapkan sesuatu yang penting tapi dia takut bahwa itu hanya akan membangkitkan amarah Naruto lagi.

"sebenarnya... aku melihat adanya saksi mata disana."

Mata Naruto membola tak percaya dengan apa yang diucapkan Sasuke. Saksi mata?, yang benar saja!, tak ada satupun saksi mata disana!. Hanya ada ibunya tergeletak tak berdaya dan bersimbah darah diaspal jalanan. Para polisi juga mengatakan bahwa tak ada satupun saksi mata disana. Naruto membalikkan tubuhnya, kedua tangannya mencengkram pundak sempit Sasuke.

"kau yakin?, kau tidak sedang bercandakan?."

Sasuke mengangguk kaku, dirinya meringis, cengkraman Naruto membuat Sasuke kesakitan. Naruto yang menyadarinya segera melepaskan cengkramannya.

"tak begitu jelas memang, terlihat samar. Karena mobilnya melaju dengan begitu cepat jadi ingatan tentang saksi mata tak begitu jelas."

Kali ini Naruto berfikir keras, fakta bahwa ada seorang saksi mata membuatnya kembali mengingat persidangan tiga tahun silam. Dia meragukan kesaksian pemilik dan pegawai butik sekarang, dirinya ingat mobil putih yang hampir menabrak Sasuke sering kali berkunjung kebutik itu, dan mobil itu nampak tak asing diingatannya.

"kita kebutik sekarang!."

Hening, tak ada satupun yang berucap diruangan itu. Meski ada banyak orang, namun keheningan tetap terjadi.

Dengan langkah yang terkesan terburu-buru seorang pria berjas hitam datang, semua pegawai yang ada disana membungkukkan badannya. Sepertinya pria itu adalah manager.

"maaf ada maksud dan tujuan apa anda kemari?."

Pria berjas yang sepertinya berstatus manager disini, matanya memincing saat melihat Naruto. Dia mengenalnya, pasalnya Naruto juga pernah menemuinya tiga tahun silam.

"katakan dimana rekaman kamera pengintai itu!."

Pria itu menelan ludahnya, lidahnya kelu untuk berbicara.

"bukankah sudah jelas?, anda sendiri juga sudah tahu. Tidak ada rekaman apapun karena saat itu kamera pengintai sedang rusak."

"kalau begitu katakan siapa yang berjaga dibutik malam itu?."

Pria berjas itu terseyum saat mendengar pertanyaan Sasuke, dirinya nampak begitu tenang walau begitu Sasuke dapat melihat kekhawatiran dalam pancaran matanya.

"tidak ada yang bertugas saat itu, karena memang saat itu semua pegawai sedang diliburkan karena ada perayaan."

Sasuke menepuk pundak pria berjas hitam itu dan dirinya tersenyum puas hal itu membuat pria berjas hitam dihadapannya mernyengit heran, sedangkan Naruto hanya memperhatikan Sasuke.

"tidak ada yang bertugas, kamera pengintai rusak, dan butik yang cukup terpandang?, bukankah begitu aneh?, dan kau menyimpan uang di berangkas tersembunyi?, kau juga memecat pegawaimu sehari setelah kecelakaan itu?, sekarang katakan dengan jujur dimana rekaman itu?."

Skakmat, pria berjas hitam itu terdiam, matanya melihat Sasuke dengan penuh ketidak percayaan. Lidahnya kelu, kepercayaan dirinya menghilang. Para pegawai yang ada diruangan itu berbisik-bisik, sebagian dari mereka membicarakan sang manager.

"apa yang..."

"210199, bukankah itu kodenya?, dan hanya ada beberapa pegawai yang mengetahuinya..., sekarang pikirkan jika aku yang nyatanya adalah orang luar dapat mengetahui kode berangkas, bukanlah hal yang sulit untuk diriku mengetahui apapun yang kau sembunyikan."

Naruto dan Sasuke tersenyum puas saat melihat wajah pucat dihadapanya, sedangkan manager itu sendiri sudah panas dingin. Bagaimana tidak?, polisi saja tidak bisa menemukan berangkas yang tersembunyi didalam butik ini, lalu kenapa ada seoarng gadis yang nampaknya bukanlah siapa-siapa bisa mengetahui adanya berangkas disini?, bahkan sampai ke kode berangkas itu.

"k-kau?..."

"ada apa ini?."

Seseorang memotong ucapan sang manager, seorang pria paruh baya datang dan kedatangannya menarik perhatian semua orang yang ada disana. Sasuke terkejut saat melihat siapa yang datang, sedangkan Naruto begitu heran saat dirinya melihat pria paruh baya yang dia kenal sebagai ayah dari mantan kekasihnya, Hinata.

"maaf..., pembicaraan kita sampai disini, ada client kami sudah datang."

Awalnya Naruto ingin memprotes namun niatnya itu diurungkan saat lengannya disentuh oleh tangan mungil Sasuke.

"kita lanjutkan ini nanti, maaf telah mengganggu siang anda."

Setelahnya Sasuke menarik Naruto pergi, namun langkahnya terhenti saat lengan Naruto ditarik oleh pria paruh baya yang baru saja datang tadi.

"Naruto?, kudengar dari Hinata bahwa hubungan kalian berakhir?, tak ku sangka selera begitu rendah."

Naruto menarik nafasnya, tangannya yang tadi dipegang oleh Sasuke kini beralih untuk menggengam kuat tangan Sasuke, dia tahu bahwa tubuh Sasuke menegang entah karena apa.

"ya, selera ku itu sangat rendah, dan itu termasuk putri anda."

Kali ini Naruto yang menarik tangan Sasuke untuk pergi dari butik itu, namun Sasuke terjatuh karena kakinya tersandung kaki milik ayah dari Hinata, hal itu membuat amarah Naruto tersulut jika saja Sasuke tidak meremas tangannya dia hampir saja melayangkan tinju kearah ayah Hinata.

Naruto melangkah dengan begitu cepat, langkah kakinya begitu lebar. Namun seketika terhenti saat sampai diparkiran depan butik, matanya melebar dan dirinya melirik kearah Sasuke yang menunduk seperti menyembunyikan sesuatu, lalu matanya beralih kearah objek yang membuatnya berhenti melangkah. Mobil itu, mobil putih itu ada didepan parkiran itu. Kepalanya pusing, dirinya ingat dengan jelas hanya ada dia dan Sasuke yang datang dan setelah itu adalah ayahnya Hinata, apa mungkin?.

"Sas?."

Sasuke menghempaskan pegangan tangan Naruto dan itu membuat Naruto heran, mata Naruto menangkap gelagat aneh dari Sasuke.

"maaf, aku harus kerja..., kita lanjutkan saja besok."

Naruto menahannya, namun tangannya kembali dihempaskan. Sasuke berlari menghindari Naruto, tanpa sadar airamatanya mengalir. Semua kenyataan yang dia lihat selama ini sudah terhubung, ikatan yang dia lihat sudah semakin jelas, sekarang dia mengerti kenapa dia merasa memiliki sangkut paut dalam kehidupan Naruto maupun Hinata, dia mengerti kenapa dia dapat dengan mudah mempercayai Naruto, kini dia mengerti mengapa takdir menemukan diri mereka, isak tangisnya tak adapat dia cegah.

Dirinya merasa dipermainkan oleh takdir, semakin dia berlari dengan kuat semakin deras pula airmatanya mengalir, dirinya tak peduli dengan orang-orang yang memakinya dengan teriakan yang memekakan telinga karena dia menabrak beberapa pejalan kaki lainnya.

Langkahnya mulai melambat saat dia sudah berada disebuah taman, dia lelah. Lelah karena berlari dan menghadapi semua kenyataan yang dia lihat, dirinya tak mampu menghentikan tangisnya. Kepalanya menunduk menyembunyikan matanya yang terus mengalirkan bulirnya, giginya menggigit bibir bawahnya mencegah isakkann yang akan keluar dari bibir mungilnya.

Grep!!

Tubuh mungilnya dipeluk, dia tak berontak, dia tahu siapa yang memeluknya. Sasuke memutar tubuhnya, dirinya menyembunyikan wajahnya, tangannya menarik kemeja Naruto dengan erat. Isak tangisnya mengencang kini dia tak mampu menahan semuanya.

"kumohon... sudahi ini semua..."

Sasuke terlihat kacau dimata Naruto, dan entah mengapa itu sangat menyesakkan. Naruto tidak pernah seperduli ini terhadap orang lain sebelumnya, tetapi kenapa dia merasakan sakit yang sama saat melihat Sasuke menangis?.

"kumohon hentikan ini... kumohon..."

Naruto benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, dan kenapa Sasuke menangis, dirinya benar-benar tak mengerti.

"kau sudah mengerti kan?, tanpa perlu ku beri tahu...hiks...hikss..., dan kini aku juga sudah menemukannya... kumohon hentikan ini..."

Dan kini Naruto mengerti, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras, double hint huh?, dirinya tak pernah menyangka takdir sekejam ini. Kebohongan apa lagi ini?, Hinata dan segala kasih sayangnya?, keluarganya?, kenapa takdir senang sekali mempermainkannya. Airmatanya mengalir, dia sudah tahu siapa pelakunya..., dan apa yang harus dia lakukan?, semuanya memang sudah terbongkar, hanya tinggal mencari bukti dan semuanya akan berakhir. Tetapi itu akan terjadi jika orang yang dia dan Sasuke cari bukanlah orang yang sama, begitu menyesakkan.

Mereka telah selesai menangisi takdir mereka, dan kini mereka terdiam. Matanya lurus menatap danau yang ada ditaman , tak ada suara, dan sepertinya keaadan juga mendukung. Hari mulai senja, para pengunjung telah pulang.

Sasuke memajamkan matanya, kepalanya menunduk, airmatanya masih mengalir walau tanpa isakkan.

"laporkanlah..."

ucapanya terhenti. Naruto memandang wajah Sasuke yang tetap menunduk, menunggu kelanjutan upacan Sasuke.

"aku tak masalah, dia bersalah dan memang harus dihukum..., lagipula aku tak yakin kalau dia ayahku, Hinata lebih tua dariku, dan kenapa malah aku yang dibuang?."

Naruto terdiam, dia sudah tak memiliki hasrat untuk menjebloskan pelakunya kepenjara. Kini dia hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara Sasuke dan Hinata serta keluarganya.

"apalagi kalau bukan anak haram namanya?, aku sangat yakin kalau aku adalah hasil dari kelakuan bejatnya"

"pasti sakit sekali..."

"kau salah..., aku selalu yakin hal ini akan terjadi, tetapi aku tidak pernah menyangka kalau selain bejat dirinya juga seorang pembunuh..."

Naruto terdiam, walaupun Sasuke mengatakan dia tidak merasakan sakit, tetapi Naruto dapat melihatnya rasa sakit itu ada, bahkan Naruto juga merasakannya.

"kau tidak mau menemuinya?, keluargamu?, bukankah kau bilang wanita itu menangisimu saat dirimu di..."

"buang?, kurasa tidak perlu, aku telah dibuang, dan hal itu adalah kenyataan bahwa aku tak diinginkan..., untuk apa menemui seseoang yang tidak menginginkan keberadaanmu?, lebih baik kita fokuskan dalam mencari bukti."

Naruto menghembuskan nafasnya, meski terbilang baru dalam mengenal Sasuke, tetapi dia tahu kalau Sasuke selalu menatap lawan bicaranya saat berbicara, dan dia selalu melihat kejujuran dimatanya, dan sekarang bahkan Sasuke enggan untuk melihatnya.

"tidak perlu dilanjutkan kalau itu akan menyakitimu, aku akan melupakan semuanya."

Sasuke menarik nafasnya dalam-dalam, dirinya berdiri dari duduknya. Kakinya melangkah mendekati danau.

"menutupi kesalahan seorang pembunuh secara tidak langsung juga membuat dirinya menjadi pembunuh, dan aku tidak mau dan tidak akan pernah mau membunuh seseorang meskipun secara tidak langsung."

Kini berganti, Naruto yang berdiri. Dirinya mendekati Sasuke, tetapi tetap memberikan jarak.

"kurasa itu bukan pembunuhan namanya, kau dan aku tahu sendiri kalau itu adalah kecelakaan..."

"walau begitu dia tetap harus bertanggung jawab."

Mereka bersama-sama melangkah menjauhi taman, namun langkahnya terhenti saat mereka melihat sepasang kaki yang mendekati keduanya. Sasuke menggeleng tak percaya melihat seseorang yang kini ada dihapannya.

"bisa kita berbicara berdua?."

Sasuke terdiam, Naruto sendiri menatap Sasuke dengan pandangan penuh tanda tanya. Sasuke mengangguk, kemudian tangannya ditarik untuk menjauhi Naruto. Sasuke memejamkan matanya, dirinya sudah lelah untuk mengeluarkan airmatanya lagi meskipun hanya setetes, dia tersenyum seolah siap dengan apapun yang akan terjadi.

Saat dirasa sudah cukup menjauh dari jangkauan Naruto, wanita itu hendak buka suara.

"tak perlu, aku sudah tahu apa yang ingin kau katakan dan jelaskan. Tak perlu heran aku memang sudah seperti ini sejak kecil, terimakasih karena dirimu tidak sedikitpun membenciku, meski diriku bukan darah dagingmu..."

Sasuke tersenyum dengan sangat menawan terlihat tanpa dipaksakan meski jauh didalam sana dia menangis. Sedangkan wanita dihadapannya sudah menangis, dirinya menggigit bibir bawahnya menahan isakkan.

"m-maaf... maafkan aku..., a-aku tidak pernah menginginkan ini terjadi hiks..."

Bicaranya tersendat-sendat, airmatanya terus berjatuhan dan dirinya tidak ada niatan untuk menghentikannya. Dan saat dirinya ingin berbicara lagi, Sasuke menyela ucapannya.

"aku tahu..., sudah cukup. Tidak perlu mengatakannya lagi, ini memang bukan salahmu. Bukan salahmu jika kau jatuh cinta dengan seseorang yang sudah memiliki keluarga, bukan begitu?. Bukan salahmu kalau ayahku semakin membenciku dan ibuku?, kurasa itu memang bukan salahmu. Kau tahu?, aku tak pernah sedikitpun..."

Ucapannya terhenti, Sasuke tak kuasa untuk menahan airmatanya. Matanya menatap kearah lain.

"a-aku tak pernah sedikitpun membencimu, tak pernah...hiks..., tapi kenyataan bahwa yang tidak pernah diinginkan oleh ayah kandungku membuatku harus membencimu. Kenyataan bahwa ayahku lebih bahagia dengan anak tirinya membuatku semakin membencimu."

Wanita paruh baya itu menangis, dirinya terluka saat melihat mata Sasuke. Dirinya ingin sekali memeluk Sasuke namun tidak bisa.

Kenyataan pahit itu, Sasuke sudah tahu. Hanya dengan sebuah tarikan tangan yang dilakukan wanita itu membuat Sasuke melihat semuanya. Dia terlahir tanpa ada cinta diantara kedua orangtuanya, bahkan ayahnya tak pernah sedikitpun peduli terhadap ibunya. Dan semakin parah saat dirinya dilahirkan, cahaya tidak pernah hadir lagi dimata ibunya, ibunya buta, dan ayahnya selingkuh. Ayahnya mengkhianati janji suci yang pernah dia ikrarkan, dan puncaknya saat ibunya menyadari semua itu. Ibunya despresi dan ayahnya menikahi wanita beranak satu, sedangkan dirinya?, dia dibuang.

Begitu senangkah takdir melihatnya menderita?, jika tahu akan seperti ini jadinya maka dia tidak akan pernah mau mencari kedua orangtuanya.

Tak ada suara, keduanya sibuk menangis.

"mamah?."

Itu Hinata, dirinya heran saat melihat ibunya menangis dan ada Sasuke dihadapannya.

"Bisa kita sudahi ini semua?, aku lelah..., anggap saja aku tidak pernah ada. Nikmati hidupmu yang indah itu, dan jangan hiraukan aku."

Sasuke berbalik untuk menemui Naruto, tapi saat dirinya berbalik dia melihat Naruto ada dihadapannya.

"Sasuke?."

Sasuke terus berjalan, dirinya tak perduli dengan panggilan Naruto itu.

"kita lanjutkan besok, aku pastikan kita menemukan buktinya."

Naruto menahan tangan Sasuke, dan menariknya kedalam pelukannya. Hinata yang melihatnya segera mengalihkan pandangannya.

"jangan diteruskan jika itu menyakitimu, aku tidak masalah."

Sasuke menggeleng, airmatanya tumpah, sungguh dia tak ingin menangis lagi. Tapi entah mengapa airmatanya mengalir begitu saja.

"dia bersalah..., d-dirinya hiks... harus dihukum."

Naruto melepaskan pelukannya, tangannya menangkup wajah Sasuke.

"kau bukan menghukumnya, tapi menghukum dirimu."

Sasuke menangis sekencang-kencangnya, disatu sisi dia membenci ayahnya disisi lain dia menyayanginya meski tak diinginkan. Naruto benar, dia tidak menghukum ayahnya namun dirinya.

Jika saja, jika saja dirinya tak lahir, dan jika saja ibunya tak pernah menikahi ayahnya semua ini tidak akan terjadi, mungkin ibunya sekarang sangat bahagia jika itu semua terjadi.

"k-kalau begitu... hiks..., lupakan..., lupakan kalau kita pernah bertemu, anggap semuanya tidak pernah terjadi dan akupun juga akan melakukan yang sama... hiks..., semakin aku melihatmu semakin aku membencinya, pembunuh bejat itu..., aku semakin mengingat semua kesalahannya... kita mulai semuanya dari awal... "

Sasuke berlari, sedangkan Naruto terdiam.

Seminggu berlalu, setelah kejadian penuh dengan airmata itu Sasuke dan Naruto benar-benar tidak pernah bertemu, Sasuke selalu menghindar saat Naruto mendekatinya.

Ayahnya?, sepertinya dia sudah tahu siapa itu Sasuke, karena beberapa hari belakangan ini dia selalu melihat ayahnya disekitarnya.

Dan Hinata?, Sasuke sudah tidak pernah lagi melihat Hinata berbicara dengan Naruto. Lagipula apa yang diharapkan?, cinta akan bersemi lagi diantara keduanya?.

Cinta Hinata itu palsu, semuanya atas desakkan ayah tiri Hinata. Ayahnya merasa bersalah tapi dia tak ingin dipenjara, katakan saja dia pengecut. Ayahnya meminta Hinata menjalin kasih dengan Naruto untuk menebus semua dosanya.

Sasuke kembali melakukan rutinitasnya sebagai pelayan cafe . Dirinya membawa segelas espresso dinampannya.

Bruk!!!

Seperti dejavu, espresso yang ada dinampannya mengenai seorang pelanggan dan membuat kemejanya kotor.

"perhatikan jalanmu nona, kau mengotori bajuku!."

Tentu saja pelanggan itu memarahinya.

"ada apa ini?."

Suara orang yang sangat dirinya kenal mengintrupsi.

"Naruto..."

Dirinya bergumam pelan, namun masih tetap bisa didengar.

"kau mengenalnya Naruto?."

Naruto mengedikkan bahunya, lalu tersenyum kepada Sasuke.

"kurasa tidak, tapi kalau boleh kenalan juga tidak masalah."

Pelanggan yang sepertinya teman Naruto itu mengernyitkan dahinya. Dirinya bingung dengan situasi yang sedang terjadi.

"Tidak lucu, hentikan leluconmu itu."

"kurasa aku tidak sedang melawak nona manis, sekarang katakan siapa namamu?."

Sasuke menghembuskan nafasnya, tubuhnya berbalik untuk pergi, dan kakinya melangkah menjauhi Naruto.

"bukankah ini yang kau mau?, memulai semuanya dari awal?."

Ucapan Naruto membuat langkah Sasuke terhenti, Naruto terus menatap punggung Sasuke. Sasuke menarik nafasnya dalam-dalam.

"Maaf tapi aku dididik untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak ku kenal."

Ucapan Sasuke itu sukses membuat Naruto mengembangkan senyumannya.

Mereka memulainya dari awal lagi, mencoba untuk saling mengenal. Masalalu mereka memang tak bisa dirubah, namun mereka bisa menentukan masa depan mereka. Melupakan hal terburuk yang pernah terjadi itu lebih baik daripada terus mengenangnya. Dan Ayahnya?, Sasuke tetap menyayanginya meski tanpa dipungkiri kekecewaan itu tetap ada.

Ada pepatah mengatakan lebih baik mencintai daripada membenci, dan mereka akan mencobanya mulai sekarang.

END

fict ini juga pernah Ran publish diakun wattpad Ran! jangan lupa untuk meninggalkan jejak !