My Forever Girl

chapter 1: we are one

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto


Siang hari yang terik. Sabtu. Sebuah lapangan basket kecil di pinggir kota yang hampir tidak pernah digunakan lagi. Decitan bola basket dan derapan langkah kaki yang sedang berlari dapat terdengar dari balik pepohonan yang mengelilingi lapangan basket tersebut. Sudah lama lapangan itu ditinggalkan penduduk kota; sejak dibangunnya lapangan basket baru yang jauh lebih besar dengan segala fasilitasnya yang bahkan dapat menyokong latihan pemain basket professional ─walaupun hanya untuk digunakan para pelajar dan masyarakat yang sekedar ingin berolahraga ringan─ dan dengan kapasitas yang dapat menampung ribuan orang untuk event besar. Ya, kota ini mengalami banyak kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Segala kegiatan yang bersifat untuk mencari hiburan bagi para penduduk kota ─khususnya para muda-mudi─ saat akhir pekan tiba berpusat di jantung kota.

Tetapi hiruk pikuk jantung kota cukup banyak kurang menarik perhatian bagi sepasang manusia yang sedang melakukan aktivitas favorit mereka masing-masing di lapangan basket kecil di pinggir kota tadi.

Angin sepoi-sepoi yang berhembus begitu menyejukkan; menggoyangkan pepohonan yang rimbun melindungi lapangan tersebut, memberikan suatu perasaan kedamaian bagi siapa saja yang berada di tempat itu. Ditambah lagi dengan sebuah danau besar yang memisahkan tempat itu dengan jantung kota; dengan duduk di pinggir lapangan basket ini, kau bisa melihat indahnya danau tersebut dan juga gedung-gedung pencakar langit di pusat kota di kejauhan; kota Suna.

Hal itulah yang sedang dilakukan oleh salah satu dari sepasang manusia di lapangan basket tersebut. Duduk bersandar dibawah pohon ek besar dan dibekali kuas dan kanvas favoritnya yang ukurannya menyerupai tas pegawai kantoran pada umumnya; gadis ini terlihat begitu menghayati apa yang sedang dilakukannya; melukis pemandangan jantung kota di kejauhan dan danau indah itu. Sepasang bola mata emeraldnya begitu tekun mengamati hasil lukisannya yang hampir jadi. Sesekali tangannya menyapukan kuas lukisnya ke arah sini dan situ untuk menambah detil-detil yang dirasa kurang. Seulas senyuman dapat terlihat sesekali pada wajahnya.

Sementara seorang manusia lainnya; pemuda yang bermain basket dengan lihainya seakan dia tidak perlu mengeluarkan usaha keras; dia melakukan manuver-manuver indah dengan bola basketnya seakan seperti manusia bernapas untuk hidup. Begitu alami. Seakan dia dilahirkan untuk basket.

Terlihat dia berlari dari ujung lapangan dan dengan tajamnya, dia melakukan lompatan penuh tenaga yang diakhiri dengan menghempaskan bola basket yang dipegangnya ke ring. Sebuah Slamdunk. Tidak terdengar hembusan napas berat sedikitpun, seakan hal luar biasa yang baru saja dilakukannya hanya sekedar melakukan kedipan mata.

Menjejakkan kedua kakinya kembali ke lapangan, dia mengarahkan pandangannya ke sosok gadis bermata emerald tadi. Matanya menangkap senyuman lebar yang diberikan gadis itu padanya; ia melihat Slamdunk yang baru saja dilakukannya.

Pemuda itu hanya memutar bola matanya dengan bosan. Tetapi kemudian menyunggingkan sebuah senyum kecil khasnya dan berjalan menghampiri gadis itu. Melihat kanvasnya yang terlihat tertutup rapi disisi tempatnya duduk, dapat disimpulkan gadis itu sudah selesai melukis.

Saat pemuda itu sudah setengah jalan, gadis itu berdiri dan mengambil sebuah botol air mineral yang ada didekatnya dan berjalan menghampiri pemuda itu. Diberikannya botol itu. Diamatinya pemuda itu menenggak isi botol itu dengan tenangnya. Melalui sudut matanya, pemuda itu pun mengamati si gadis dengan sembunyi-sembunyi. Setelah tandas diminumnya sebotol air itu, ia menghela napas dan mengangkat tangan kanannya. Sejurus kemudian, ia mengacak rambut gadis itu. Rambut yang berwarna unik. Merah jambu. Seperti kembang gula yang sangat disukai anak-anak. Sangat halus rasanya setiap helai rambut gadis itu dan wanginya pun sangat ia suka; salah satu favoritnya dari sang gadis. Walaupun tidak mungkin ia mengakui hal macam itu dengan lantang. Biarlah dia saja yang tahu.

"Sudah selesai 'membayangkan' aku?" tanyanya sambil menyunggingkan senyuman jahil.

Semburat merah pun muncul di kedua pipi gadis itu. Ia segera mengangkat tangan besar pemuda itu dari kepalanya. "Ap-apa?" dengan tergagap dia berusaha menjawab pemuda itu. "Dasar Baka-kun! K-kau pikir aku ini seperti gadis-gadis penggemarmu itu?" dengan cemberut, gadis itu menempatkan kedua tangannya di pinggangnya. "Lagipula, maaf saja ya. Aku ini masih waras, tau. Huh."

Pemuda itu hanya mengamatinya dengan wajah tenang tanpa ekspresi. Dan gadis itu pun akhirnya melepaskan wajah cemberut dan gaya berkacak pinggangnya. Menghela napas, dia pun menunduk dan terlihat menggigit bibir bawahnya. Tampak ekspresi sedih menyita seluruh wajahnya.

"Kau tidak perlu menghiburku. Aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Betapapun aku tidak menyukainya."

Pemuda itu hanya menjawab dengan gumaman. "Hmm."

Sang gadis mengedarkan pandangannya ke seluruh area lapangan basket. 'Ini yang terakhir', pikirnya. Tempat ini begitu berarti baginya. Sejak kecil ia selalu menghabiskan begitu banyak waktunya bersama pemuda yang berdiri didepannya di tempat ini. Dia akan merindukan tempat ini. Ingin rasanya ia menangis lagi. Ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Tapi apa mau dikata, keputusan ayahnya tidak bisa diganggu gugat lagi.

Ia pun kembali menjatuhkan pandangannya pada mata pemuda yang berdiri menjulang dihadapannya; perbedaan tinggi badan mereka memang sangat kontras. Ujung kepala si gadis hanya mampu mencapai bahu pemuda itu. Mereka saling menatap penuh arti. Tidak perlu bertukar kata-kata. Tidak ada yang mengerti pemuda itu sebaik gadis yang berdiri dihadapannya; begitu pula sebaliknya dengan gadis itu. Mereka bagai kepingan puzzle yang saling mengisi ruang kosong.

Sekali lagi gadis itu menghela napas dan kemudian menganggukkan kepalanya pelan. Wajahnya kini memancarkan ketegasan yang mantap.

"Semuanya akan baik-baik saja, Saki." ucapnya dengan tulus. Gadis itu mengangguk mantap. Ah, ya. Nama panggilan yang hanya boleh digunakan untuk pemuda itu dan orang-orang yang spesial di hatinya.

"Tentu saja," ia menatap pemuda itu dengan ekspresi serius, sedikit kerutan tampak di ujung kedua alisnya. "Aku terlalu terbawa perasaan sampai melupakan hal yang sangat penting."

Pemuda itu diam, menunggu gadis itu menyelesaikan kalimatnya.

"Aku tidak peduli apapun yang terjadi dengan dunia ini dan seluruh isinya. Aku akan baik-baik saja. Selagi kau selalu ada disisiku, aku tidak butuh yang lainnya," ia mengakhirinya dengan mantap. Terpancar kesungguhan di kedua bola mata emeraldnya. "─ Gaara-kun."

Pemuda itu, Gaara, hanya menjawab sekali lagi dengan gumaman. "Aa. Begitu juga aku, Sakura."

Pemuda itu kemudian meraih tangan kecil si gadis berambut warna merah muda, Sakura, dan membalikkan badan mereka, menatap kota Suna di kejauhan. Sambil bergandengan tangan, mereka melihat pemandangan kota yang selama 17 tahun menjadi rumah mereka.

Karena besok adalah lembaran baru hidup mereka. Meninggalkan kota kelahiran mereka dan memulai hidup di kota yang sangat berbeda 180º dari Suna. Mereka akan membutuhkan satu sama lain lebih dari apapun.

Karena tidak mungkin kau bisa bertahan hidup saat separuh jiwamu tertinggal di ujung belahan bumi yang lain. Sejauh itulah kota baru tempat mereka akan memulai hidup baru pula.

Hmm. Tentu saja. Tidak mungkin Sakura berpisah dari seorang Gaara.

Saudara kembarnya sendiri. Hidupnya, napasnya.

Setidaknya itulah yang selama ini ia percayai, sebelum ia menginjak kota itu; kota di mana kehidupan barunya akan dimulai; Konoha

...


originally posted on: April 16th 2011.