Disclaimer : Ma… Masasih?! Kissimolto? *di tembak pake shotgun* Maksudnya Masashi Kishimoto hehehehe

Rate : T tapi biar yaa biar agak dewasa (iyooo) M ajadeh.

Pair : Sekalinya KakaSaku tetep KakaSaku! (/^O^)/

A/N : um.. ya, beginilah, fanfic pada absurd semua hikshiks yang satu belom selesaai eh udah mau nulis yang baru aja :"D um lalu ini ide pasaran, bahasa tidak lugas, typo masih sayang sama author, gaje, abal dan yah terserah sih kalau masih mau baca~ dan oya this is full Sakura PoV, OOC pulak! Alur cepat kadang lambat, slight sedikit SasuSaku ;;)

Yasudlah, inihhh, baca ya readers kesayanganku :* *digeplak readers*

###

=Mimpi burukku mulai saat bangun(?)=

Hari ini adalah hari yang mengerikan. Betapa tidak, umurku bertambah jadi dua puluh lima tahun! Seperempat abad. Dua setengah dasawarsa beranjak semakin dewasa. Dan aku masih tidak punya apa-apa. Sampai Minggu ini, tak ada cincin polos apalagi yang bertahtakan berlian di jari manisku. Anak-anak yang lucu menggemaskan? Boro-boro.

(Menikah saja belum! Dan aku termasuk agak kolot dalam urusan ini. Bagiku anak ya hadirnya setelah suatu pernikahan dilangsungkan.) Karierku pun tidak memuaskan. Aku cuma mengajar paruh waktu di salah satu Institusi.

Aku sebenarnya malu mengakuinya, tapi apa boleh buat, I'm a loser. Aku jauh dari kacamata siapapun. Dan yang sedihnya, biarpun aku peduli, aku tak berbuat banyak untuk mengubahnya. Sambil mengulet-ulet di tempat tidur aku memutar otak, berusaha mencari-cari alasan untuk tidak keluar kamar hari ini.

Sakit? Alasan yang klise tapi lumayan oke. Tapi sakit apa? Flu? Aku tidak demam. Hidungku baik-baik saja, tidak meler. Mau pura-pura bersin berkepanjangan juga nggak bisa. Radang tenggorokan? Mungkin alasan itu bisa dipakai.

Tapi kalau keluargaku memaksa memanggilkan dokter, atau lebih parah lagi, memanggil ambulans agar aku langsung di rawat, bagaimana? Bisa-bisa dokter mengomel berkepanjangan.

"Anak ibu tidak terkena radang tenggorokan…" Demikian dokter itu mungkin memulai.

"Lalu, sebenarnya ada apa, Dok?" Dapat kubayangkan ibuku menatap sang dokter dengan nanar. Mama memang sangat khawatir dengan keadaanku. Anak satu-satunya sih. Perempuan, pula.

"Anak ibu terkena penyakit yang jauh lebih gawat dibandingkan radang tenggorokan."

"Hah? Jadi Sakura sakit apa?" Mama akan memelototkan kedua matanya yang indah dengan cemas. Aku yakin di benaknya sudah berseliweran aneka skenario yang akan dipilihnya.

Apakah ia akan menangis meraung-raung mendengarkan vonis dokter? Atau terduduk lemas, tangan kanan menempel di dada, dengan pose nelangsa namun masih menarik untuk dilihat. Bisa jadi ia akan berperan menjadi ibu yang tenang, menerima kabar seburuk apapun dengan wajah beku tanpa ekspresi, tangan mengepal kuat-kuat. Mamaku memang ahlinya drama queen.

"Yah, anak ibu memang sakit, tapi…"

Begitulah dokter. Entah apa dan kenapa semua dokter yang kukenal selalu suka mengulur-ulur. Tidak pernah langsung bicara sebenarnya ada apa. Sukanya membuat para pasiennya deg-degan, menanti kabar yang tidak jelas akan membuat mereka gembira atau tidak. Mungkin itu adalah salah satu kebahagiaan menjadi dokter? Memiliki kekuatan untuk membuat orang bahagia ataupun merana.

"Ya?" Kali ini pasti Mama mulai menitikkan air mata. Satu demi satu, dengan postur tubuh seanggun mungkin. Tubuhnya mulai bergetar, seakan penuh dengan emosi.

"Anak ibu kena penyakit…"

"Oh!" Dan Mama akan menggerung-grung dengan penuh semangat selama setidaknya lima belas menit, sebelum akhirnya bertanya, "Penyakit apa ya dok?"

###

"Ra? Sakura?"

Dengan sedih aku mengeluh. Suara Mama. Langkah-langkah kaki Mama yang ringan dan riang terdengar mendekati kamarku. Duh, aduh. Aku yakin seperti tahun-tahun sebelumnya Mama akan membuka pintu, dengan paksa kalau perlu dengan kapak dan palu (terjadi saat aku berusia belasan tahun), menyanyikan Happy Birthday dengan suaranya yang sangat merdu (namun lama-lama terdengar menyebalkan di telinga) sambil memaksaku sarapan di tempat tidur.

Mama beranggapan sarapan di tempat tidur tuh enak kali ya? Tidak sama sekali bagiku. Malah merepotkan. Makan harus hati-hati, kalau ada remah nanti bisa-bisa tempat tidurnya penuh semut. Setelah selesai harus di bereskan, nampan dan piranti makan dibawa turun ke dapur. Huuh, membayangkannya saja aku sudah capek.

Aku menyesal tidak mengunci pintu sebelumnya. Kalau hal itu kulakukan mungkin aku masih bisa kabur lewat jendela, kemudian lari ke rumah sahabat karibku yang juga tetanngaku, Ino. Penyesalan yang selalu datang terlambat. Pintu sudah diketuk. Sekarang tak ada yang dapat kulakukan kecuali berpura-pura tidur.

"Wake up, sleepy head! It's your birthday!"

Mama menarik selimut yang sebelumnya menutupi sekujur tubuhku dengan satu sentakan kuat. Sambil bersenandung riang Mama mematikan lampu di samping tempat tidurku, membuka tirai jendelaku, membuka jendela sedikit, melipat selimut yang terjatuh dengan sangat rapi (halah rempong amat). Semua di lakukan dengan satu tangan.

Kemudian tangan yang satunya lagi meletakkan baki cantik berisi sarapan dan sekuntum bunga sakura *yah kenapa bukan mawar:(/plak* di tempat tidur. Sakura karena sesuai dengan namaku dan tipe yang jarang ditemui, bunga yang sangat indah menurut Mama. Kali ini ia menyanyikan Happy Birthday. Hal yang sangat manis, sebenarnya.

Sayang, ritual ini sudah kujalani selama dua puluh tahun lebih.

Tradisi yang itu-ituuuu saja. Yang selalu membuatku merasa sebagai anak kecil yang tidak berdaya dan selalu di manja. Biar bagaimanapun harus kuakui, masakan Mama memang lezat dan selalu menggoda. Mama sangat perfeksionis, bahkan dalam menata masakannya. Kali ini aku melihat nasi goreng berbentuk rolade yang kemudian dipotong-potong. Hiasan tomatnya dibentuk menyerupai bunga mawar, dengan potongan timun yang dibentuk sedemikian rupa sebagai alasnya.

Strawberry juice dalam gelas berkaki yang terlihat begitu segar. Ada makanan pencuci mulutnya segala. Sepotong blackforest cake dengan banyak krim dan buah ceri. Dan sepiring banana split. Serta puding cokelat bersaus vanilla. Tak lupa sepiring kecil kue-kue kering yang ditata dengan begitu apik. (author ngiler ngetik beginian.. lapeeerr~)

Mamaku memang paling getol(?) membuat dessert. Mentang-mentang badannya selalu langsing dan tak pernah melar biarpun porsi makannya mengalahkan atlet sumo.

"Ma! Rusak dong dietku!" Alih-alih berterima kasih, aku malah memprotes. Begitulah kehidupan dalam keluargaku. Kita dapat mengeluarkan segala macam unek-unek begitu saja tanpa ada yang merasa benar-benar tersinggung. Kalau ini terjadi dalam keluarga lain, mungkin aku sudah dipasung dan dikatakan anak durhaka.

Mama meletakkan kedua belah tangannya di dadanya. Ekspresinya disetel sesedih mungkin. Uh-oh. Aku mengenali benar ekspresi itu. Serangan emotional blackmail!(?)

"Padahal… Mama tadi udah bangun pagi-pagi banget…" Mamaku memulai, dan air matanya langsung jatuh bercucuran. Aku ingin sekali tahu bagaimana caranya Mama bisa mengeluarkan air mata.

Seperti ada tombol on and off yang bisa dipencet untuk mendapatkan hasil instan. (lo kira dispenser kalee *dikeroyok readers*) Ingin deh rasanya menemukan tombol itu dan mengeset agar permanen hidup, hanya karena.. yah itu. "Memasak dan menata semuanya dengan penuh kesungguhan! Semua Mama lakukan demi anak Mama satu-satunya, anak Mama yang sangat Mama cintai!" Suaranya cetar membahana ulala dan menggelegar.

"Yaa, yaa, yaa, terima kasih. Tapi siapa yang mau ngabisin ini semua? Mama kan tau berat badanku sudah kelebihan delapan kilo!"

"Yang benar?!" Kali ini Mama menatapku dengan seksama. Dan dengan begitu saja, air matanya hilang. Beberapa orang terlihat mengenaskan setelah menangis. Mata membengkak dan memerah, hidung tersumbat dan bahu bergetar. Tapi Mama sekarang malah terlihat segar dan riang. "Delapan kilo? Yang benar? Anak Mama masih kurus kayak gini?"

"Kurus? Mana kurus?" Aku menunjuk lemak-lemak yang menumpuk di tubuhku. Terutama yang menjejali bagian perutku. Mungkin lemaknya tidak tersebar dengan rata sehingga delapan kilo itu menumpuk di perutku.

"Tapi kan jadinya kamu lucuuuuu~" Mama memonyongkan bibir sambil mencubiti pipiku yang mulai agak tembam. Aku selalu berhasil dibuatnya mengkeret seperti anak kecil saja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Mama menyuapiku satu demi satu sampai semuanya habis. Aku tak tahan untuk tidak mengeluh sesekali.

"Breakfast is the most important meal of the day, dear.." Kata-kata sakti yang tak dapat kulawan lagi.

Kalau dalam sehari saat ulang tahunku aku dapat memakan sarapanku saja, aku akan merasa sangat, sangat senang. Tapi tidak begitu. Aku mengernyit membayangkan apa saja yang sudah disiapkan Mama dan orang-orang lain untukku hari ini.

###

Salah satu tragedi kehidupan adalah bila seorang anak perempuan mempunyai ibu yang jauh lebih cantik. (Tragedi buat anaknya, tentu. Kalau ibunya kayak mamaku sih, paling senang-senang saja.) Lihat saja mamaku. Ibunya orang Amerika asli. Jadilayh perawakannya yang Jepang ini. Tinggi, langsing, wajah jelita. Geligi yang bagus, kulit yang terang dan terawat. Matanya tidak terlalu sipit ataupun belo, beriris cokelat muda, berbinar dengan penuh minat pada apapun yang ada di sekitarnya.

Segala yang berdekatan dengannya mau tak mau akan menjadi cerah. Kalaupun tidak, ia akan memaksanya supaya begitu. Oh, bukan memaksa, tepatnya "membujuk dengan anggun dan penuh perhatian", begitulah istilahnya yang tepat, barangkali?

Sampai sekarang pun, kadang orang masih menyangka ibuku itu adikku(miris ya?). Sungguh menyedihkan. Bahkan teman-teman yang kuajak kerumah, masih banyak yang naksir ibuku. Saat kuberitahu bahwa perempuan yang mereka taksir itu bukan adikku ataupun sepupuku, melainkan orang yang telah melahirkanku, mereka sama sekali tak percaya.

Malah aku dicap sirik atau dianggap sebagai saudara tiri Cinderella yang iri hati. Profil ibuku ada di diriku. Tapi sedikit berbeda. Aku ini memang versi lebih jelek dari ibuku, sayangnya.

Versi yang lebih melar. Kulitku juga putih langsat(?), tapi sensitif sekali. Kena sinar matahari sedikit, langsung kemerahan dan bebercak-bercak. Tidak seperti kulit wajah ibuku yang sempurna dan nyaris tak berkerut di usianya yang keempat puluh lima ini, kulitku kusam dan sering berminyak.

Memang tradisi manusia untuk membandingkan dengan sesama. Aku sudah (mulai) kebal dengan celetukan-celetukan mengenai ibuku dan diriku. Sebenarnya perasaan minder selalu ada. Bagaimana tidak? Kalau selalu dibanding-bandingkan begini. Apalagi Mama memang cantik sekali. Ingin deh sesekali, aku punya ibu yang parasnya biasa-biasa saja. Yang tidak terlalu pintar masak.

Yang pekerjaan awalnya bukan fotomodel. Yang tidak terlihat begitu anggun dan rupawan. Semua keunggulan Mama membuatku sebal sekaligus iri. Dan Mama agaknya tidak menyadarinya. Ia dengan tulus selalu berkata bahwa aku ini cantik. Juga menarik.

Aku pernah seenak jidat lebarku menuduh Mama beranggapan begitu karena aku anak satu-satunya. Mama malah berkata bahwa aku hanya minder karena kecantikan hanya datang dari hati. Kalau luarnya cantik tapi dalamnya tak percaya, ya seumur hidup pun takkan terlihat cantik.

Ya sudah, kalau begitu aku mandi saja. Aku sudah berada di kamar mandi. Di sini kembali aku berdiri dengan linglung. Seperti biasa aku larut dalam pikiran sendiri. Banyak pilihan yang aku bingungkan. Hhh. Kenapa sih harus memilih? Mungkin lebih asyik kalau ada yang memutuskan buatku. Jadi aku tak perlu pusing-pusing lagi. Tiap hari ada sekretaris pribadi yang menemuiku.

Pandangan matanya sopan dan penuh hormat. Ia akan berkata, "Nona Haruno. Setelah ini Nona akan setor pagi selama kurang-lebih sepuluh menit. Lalu mandi dan keramas dengan shower memakai sabun dan shampoo, kurang-lebih dua belas menit. Cuci muka dengan sabun pencuci muka supaya wanginya seragam. Gosok gigi dengan…."

"Sudah belum mandinya, Sakura?" Suara merdu namun nyaring milik Mama memecah keheningan. Membuyarkan khayalanku.

Hhh. Sekretaris aku memang tak punya. Tapi aku punya Mama, dan biarlah ia yang memilihkan untukku. "Baru mau, Ma!"

Kuputuskan untuk berendam selama mungkin. I'm going to need all the help I can get. Pakaian dan aksesoris yang kukenakan pun kupilih secara acak. Jadilah aku berjalan menuju ruang tamu mengenakan gaun berwarna soft pink yang senada dengan rambutku, ikat pinggang berwarna silver dengan aksesoris lain yang tidak cocok.

"SURPRISE!" Segala macam suara, mulai dari yang merdu milik Mama sampai yang cempreng milik sepupuku menyerang gendang telingaku. Aku menahan senyum yang hampir menguasai wajahku. Ruang tamu, seperti tahun-tahun sebelumnya, sudah penuh oleh sanak saudaraku. Langit-langit juga dipenuhi balon warna-warni. Warna dan jumlahnya selalu sama. Pengaturannya juga. Dengan pita pink bersulur-sulur sana-sini. Confetti yang tiba-tiba disemprotkan ke arah wajahku selalu membuatku bergidik.

Sangat susah memang, berlagak seakan-akan terkejut untuk sesuatu yang sudah kau duga sebelumnya. Tapi kalau aku diam-diam saja dan bertingkah laku seakan-akan memang begitulah yang seharusnya terjadi, aku akan dituduh sebagai orang sombong yang tidak menghargai jerih payah orang lain.

Aku tahu betul karena itulah yang kulakukan tahun lalu.

Jadi, tahun ini aku meniru Mama. Tangan kanan di jantung, seakan-akan aku tersentuh (ya, memang, bukan sekedar tersentuh, tapi tergelitik! Betapa ironisnya, harus berpura-pura terkejut karena itulah reaksi yang diharapkan mereka biarpun mereka sebenarnya thau bahwa aku tahu.) dan mata dibuat seberbinar mungkin (hal yang gampang karena aku tak lupa mengenakan eyeshadow dan maskara khusus untuk itu).

"Awww… Arigatouu.. benar-benar kejutan!" Dustaku. "Aku senang sekali! Benar-benar tak disangka! Bisa-bisanya bikin acara seperti ini hanya untuk ulang tahunku!" Ucapku dengan berlebihan. Tanganku bergerak-gerak dramatis, menunjuk semua hiasan yang ada. Kupikir-pikir sih, kalau mau bohong, sekalian saja. Daaan pestapun di mulai, di selipi dengan dusta-dusta kecilku.

###

Perhatian Papa dan Mama sekarang pada tamu-tamu yang bergerak untuk pulang. Tante Karin, Ibunya Sasori, yang masih terlihat centil dengan rambutnya yang dicat kemerahan dan makeup setebal selimut bayi, terlihat sudah memegang container raksasa berisi aneka makanan.

Tante Karin memang selalu begitu. Tidak mau rugi. Padahal ia sendiri kaya sekali. Ada setidaknya tiga perusahaan yang ia miliki. Belum termasuk yang di pimpin suaminya, Om Suigetsu, yang bernama Hozuki Corp. Juga Sasori dan Deidara, anak-anak kebanggaannya.

Mungkin karena itulah Deidara merasa tak perlu kuliah. Toh ia sudah terlahir dengan saham bernilai mahal dan kekayaan yang berjatuhan di sisinya. Biarupun tak lulus kuliah, ia sendiri sudah menjadi direktur di salah satu perusahaan keluarganya. Ditambah lagi ia memiliki wajah yang imut (hoeek-_-) Jadi ia cukup genit sedikit dan memamerkannya kemana-mana. Keberuntungan dan jodoh akan berjatuhan disekitarnya(?)

Benar-benar keterlaluan. Aku geram melihat tingkah laku Tante Karin yang dengan santainya menjejalkan aneka kue dan buah ke dalam container itu. Padahal sudah padat sekali. Kudengar ia berbicara pada Mama, ingin meminta buket bunga mawar yang dipajang. Katanya sih untuk menghiasi ruang tamunya.

Padahal aku tahu betul. Di rumahnya ada taman mawar dengan segala macam warna yang ada di dunia ini. Mungkin Tante Karin nggak pernah sadar, lah dia nggak pernah jalan-jalan ke kebunnya sendiri. Takut digigit nyamuk lah, ada cacing atau ulat lah. Dia sih lebih hafal interior dan harga di butik-butik ternama daripada apa pun yang ada di dalam rumahnya.

"Nggak sekalian dengan vas kristalnya Tante? Itu juga banyak balon yang dipajang. Mau juga?" Tanyaku dengan nada sinis setajam silet yang baru di asah.

Mama berusaha menyikutku namun gagal, malah Tante Karin yang kena. Container yang dipegangnya jatuh ke lantai. Setelah mengeluh panjang-pendekxlebarxtinggi tentang cake dan tumpeng yang tercampur (lagian salah sendiri, kok dicampur! Dasar pelit!),

Tante Karin malah berseri-seri menanggapi usulku itu. Malah Mama yang dengan tegas menolak Tante Karin meminta vas itu. Habis, vas itu hadiah ulang tahun dari Papa sih. Lagi pula koleksi kristal Tante Karin di rumahnya sudah bertebaran dimana-mana.

"Tapi kalau balonnya bagaimana? Lumayanlah buat mainan Konohamaru dan Moegi. Emang kalau sudah jadi nenek, segala macam ingin di kasih ke cucu, jadinya…" blablablabla. Tante Karin memberikan informasi yang sangat basi.

Semua orang seudah tahu (karena Tante Karin sudah cerita lebih dari dua ratus kali!) bahwa Sasori sudah menikah lima tahun lalu saat umurnya dua puluh lima, walaupun umur sudah matang, tapi wajahnya masih sangat baby face. Dan anaknya sudah dua, laki-laki dan perempuan. Bahwa cucu-cucunya itu selalu lucu, menggemaskan, aktif berlari ke sana kemari memecahkan dan merusak apa pun yang mereka lewati.

Diam-diam aku bersyukur Konohamaru dan Moegi tidak ikut kali ini. Tahun lalu Mama dengan tegas menyuruh Tante Karin memulangkan kedua cucu superjailnya itu setelah chandeller kristal yang harusnya tersimpan manis dalam lemari. Mereka selalu menemukan cara untuk menghancurkan barang-barang mahal. It's in their blood, probably.

"Memang enak jadi nenek. Apalagi nggak lama lagi Dei juga akan menikah, bakal punya cucu lagi deh. Padahal Dei dan Sakura seumuran, kan," katanya lagi sambil menatap Mama penuh arti.

Aku dan Mama tahu, kali ini Tante Karin yang hobi bergosip itu ingin memancing reaksi kami. Ada seulas senyum menyiratkan kepuasan di bibirnya. Ia tahu aku takkan menikah. Tidak dalam waktu dekat ini, setidaknya.

Ya, mau bagaimana lagi? Tiap orang kan berbeda. Umurku dua puluh lima dan masih belum punya pendamping hidup. Kadang frustasi aku dibuatnya. Terlebih kalau bertemu dengan "orang-orang berhidung" (nosy) seperti Tante Karin.

Yang selalu ingin merasa superior dengan membanding-bandingkan segala yang ia miliki dengan orang lain. Sayang, bukannya bersyukur dengan berkat yang ia miliki, ia malah menjadi orang lain dalam kesusahan.

Mama mengenali ekspresiku yang agak tersinggung. Dengan sigap ditinggalkannya Tante Karin yang mengoceh dengan penuh kebanggan sambil menyeretku pergi. " Sudahlah, nggak perlu didengarkan orang satu itu. Kamu kan tahu betapa menjengkelkannya Tante Karin." Mama berusaha menenangkanku. Aku memang terlihat meringis menahan sakit. Mama terlihat khawatir,

"Tapi, Ma.." Selaku sambil terus memajang ekspresi kesakitan.

"Kalau mau nangis, nangis saja, nggak apa-apa. Tapi sebaiknya kamu jangan membiarkan orang seperti Tante Karin menyakiti hatimu." Nasihat Mama penuh dengan bumbu kebijaksanaan.

"Ma, aku…."

"Sudah, sudah, nggak usah dipikirkan!" Potong Mama dengan cepat.

Kali ini aku sudah tidak tahan lagi. "Aku bukannya mikirin Tante Karin, Ma! Tapi ini, perrutku melilit gara-gara kekenyangan! Mesti ke toilet nih!"

Mama meninju lenganku keras-keras

###

To Be Continue!

###

Hiyaaah gimana readers? Seru? Sakura kyk anak mami ya? Enggak kok nanti di chap2 berikutnya Sakura bakal lebih dewasa lagi~~ Tertarik kah anda? Makanya Ripiu dan baca terooozz sampe abieezz *alay kambuh* *ditendangin massa* Oke oke, Kay minta maaf kalo masih ada typo dan sebagainya, petualangan Sakura akan dimulai di chapter2 selanjutnya. Jadi? Minat? REVIEW! *ngasah piso* Jaa nee~ *booft*