Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
Nice Young Lady © Haruno Aoi
Character: Hinata Hyuuga, Sasuke Uchiha
Genre: Drama, Western
Warning: AU, OOC, TYPO
.
.
.
N I C E . Y O U N G . L A D Y
.
.
.
Hinata Hyuuga—sekarang The Lady Hinata Uchiha, adalah wanita terhormat berkediaman di London yang berstatus sebagai istri dari Lord Sasuke Uchiha. Tidak lama setelah lulus dari Sekolah Asrama Puteri yang menjadikannya seorang Lady, Hinata dinikahkan dengan tunangannya yang dulu menjadi teman sepermainannya. Terkadang ia berharap tidak akan pernah menjadi dewasa, agar tetap bisa tertawa lepas di depan pria yang sejak dua bulan lalu tinggal seatap dengannya.
Ruangan luas yang didominasi warna emas tampak lebih hidup karena kehadiran empat wanita di dalamnya. Cermin setinggi badan di samping tempat tidur luas berseprai putih, menunjukkan pantulan Hinata yang berkulit putih bersama tiga pelayan berseragam hitam di sekitarnya.
Hinata memakai gaun putih tipis yang panjangnya di bawah lutut dan berlengan pendek, sebelum pelayan memakaikan korset berenda. Seorang senior di sekolahnya dulu pernah berkata, bahwa korset adalah baju besi bagi wanita untuk bertarung dalam masyarakat. Dengan tubuh berbentuk indah, maka tidak akan sulit untuk mengalahkan lawan dan pada akhirnya mendapatkan seorang pelayan yang akan takhluk maupun memikat ksatria pelindung. Hinata pernah merasa kalau usahanya melatih diri menjadi sia-sia, karena ia tidak perlu mengalahkan musuh untuk mendapatkan seorang pendamping hidup yang sudah menjadi takdirnya sejak sebelum ia dilahirkan.
Hinata menyingkapkan rambut gelap panjang bergelombang miliknya ke depan salah satu bahu agar mempermudah pekerjaan pelayan untuk mengikat tali korsetnya. Tiba-tiba ia jadi merasa tidak berguna karena gagal membantu adik perempuannya yang sekarang sudah menjadi murid di sekolahnya dulu. Ia benar-benar tidak ingin adik semata wayangnya dikirim ke kota York yang berjarak tiga ratus kilometer dari kota London. Karena pengalamannya, ia berharap agar adiknya mendapatkan pendidikan dari seorang guru yang didatangkan ayahnya ke rumah. Namun harapannya pupus karena ayahnya lebih mengikuti saran yang diberikan ibunya—ibu tirinya, karena ibu kandungnya sudah meninggalkannya sejak adiknya lahir ke dunia.
Sementara satu pelayan mengurusinya, sesekali Hinata melirik pantulan pelayan lain yang sibuk merangkai bunga berwarna-warni di pojok-pojok ruangan. Setahunya, dua wanita yang kini menjadi pusat perhatiannya adalah mantan pelacur yang bertobat dan berganti profesi menjadi pembantu rumah tangga.
Pelayan yang sudah selesai mengikat tali korset ikut tersenyum karena melihat pantulan wajah Hinata yang dihiasi senyum tipis.
"Lady sedang bahagia?" tanya pelayan bernama Hanare yang sekarang membawakan gaun berwarna biru tua.
"Bahagia?" gumam Hinata, "Uhm… aku hanya bersyukur."
Hanare melebarkan senyumnya karena melihat senyuman langka majikannya. Ia membantu Hinata memakai gaun berenda sederhana di tangannya. Setelah menutup kancing-kancing gaun, ia menyanggul rambut lembut Hinata yang berwarna senada dengan gaun.
Secara mendadak, empat pasang mata terpusat ke arah pintu ketika dibuka oleh pria yang memasuki kamar. Hinata langsung memalingkan wajahnya dari pria yang saat ini menduduki salah satu kursi dekat perapian dengan pandangan mata tetap mengarah kepadanya. Ia tidak bisa berpura-pura tidak mengetahui objek perhatian pria berambut hitam kebiruan itu—Sasuke.
Salah satu pelayan menghampiri Sasuke dengan hormat seraya menuangkan teh ke cangkir yang ada di meja bundar bertaplak kain sulaman putih di depan perapian. Tiba-tiba tubuhnya kaku sejenak sebelum meletakkan teko dan membungkuk hormat meninggalkan pria yang kurang ekspresif itu. Ia tidak ingin mendapatkan tatapan tajam dari Sasuke untuk kedua kalinya, sehingga ia mengajak rekan-rekannya untuk segera meninggalkan ruangan.
Setelah kamar hanya terisi dua manusia, Sasuke berjalan menghampiri Hinata dengan langkah arogannya. Tanpa peringatan, ia membuka semua kancing kecil gaun Hinata yang kebetulan berada di belakang.
"Kau harus ke pabrik." Sepasang mata sewarna mutiara menatap tajam pantulan Sasuke di cermin.
"Aku tidak harus datang." Mata sewarna langit malam membalas pantulan tatapan yang mengarah kepadanya. Dalam beberapa tarikan, ia memudarkan tiga ikatan tali korset Hinata tanpa melepas gaun yang masih menutup tubuh istrinya tersebut.
"Kau tidak memerlukannya," tambah Sasuke setelah tali korset terlepas seutuhnya. Korset yang dipakai Hinata tidak terjatuh karena masih ada penyangga yang menggantung di kedua pundak.
Sasuke kembali menatap mata Hinata melalui cermin berbingkai keemasan di hadapannya. "Bukankah dulu kau selalu bercerita kepadaku tentang kekangannya? Pertama kali dia mengencangkan talinya, kau seolah dicengkram cakar elang hingga membuatmu sulit bernapas dan kehilangan selera makan. Apa kau melupakan surat terakhir yang kau kirimkan kepadaku?"
"Surat terakhir?" gumam Hinata pada dirinya sendiri. Ia tersenyum miring sesaat sebelum merebut tali korset dari di tangan Sasuke, kemudian berkata tak acuh, "Sekarang aku sudah terbiasa."
Sasuke menahan kedua bahu Hinata agar tetap menatap pantulannya di cermin. "Setelah membacanya, aku bertekad untuk menjadi pria terhormat dengan caraku sendiri agar aku bisa bersanding denganmu dan membuatmu terlepas dari belenggunya."
"Tapi, sekarang aku merasa dikurung dalam sangkar emas."
Walaupun sejenak, Sasuke bisa melihat mata Hinata yang berkaca-kaca. Tatapannya sedikit melembut dan kedua lengannya kembali terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya.
"Aku harus segera pergi," lirih Hinata yang sudah memalingkan pandangannya dari pantulan Sasuke.
"Hari ini aku melarangmu mendatangi tempat kumuh itu," Sasuke berujar sambil berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Ia meminum teh panasnya sebelum mengeluarkan suara bernada datarnya untuk menyela Hinata yang hendak membantah, "Aku punya hak. Lagipula, aku tidak membawakan sepatu-sepatu pesananmu."
"Kau sudah janji."
"Tidak. Aku hanya melarangmu untuk membayar."
Hinata mulai membuka gaun biru tuanya sekaligus korsetnya dengan sedikit kasar, hingga menyisakan gaun putih tipis berenda. "Kau berubah," desisnya.
"Tentu saja, aku bukan bocah lagi," sahut Sasuke tanpa membalas tatapan tajam yang mengarah kepadanya. Ia meletakkan cangkirnya di tempat semula sebelum menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
"Sampai kapan kau akan mempekerjakan anak-anak dengan gaji rendah?"
Satu alis Sasuke terangkat karena pembicaraan di antara dirinya dan Hinata sudah mulai meluas. Ia menjawab sambil menoleh ke arah Hinata yang sedang membuka lemari pakaian, "Mereka hanya tinggal mengepak sepatu."
"Tapi mereka berhak untuk belajar."
Sasuke menyeringai tipis mendengar suara dingin Hinata yang tidak pernah ditujukan kepadanya hingga berusia delapan tahun. "Mereka bisa belajar saat sekolah Minggu," balasnya tak kalah dingin sambil melipat kakinya dengan angkuh, "Seharusnya mereka berterima kasih karena tidak menjadi penjual korek api atau tukang semir sepatu dengan penghasilan tak menentu. Mereka juga harus bersyukur karena tidak harus mati di pertambangan batubara milik keluargamu."
"Jangan berpikir bahwa kau yang paling benar," imbuhnya sambil melirik Hinata yang mematung di depan lemari dengan pintu terbuka. Ia hanya bisa melihat kaki tak beralas milik Hinata yang sedikit bergetar. Tidak perlu menunggu lama untuk melihat karpet basah karena air mata Hinata. Sasuke menghela napas pelan sebelum meninggalkan kamar dan berangkat ke pabrik sepatu.
.
.
.
Minggu lalu, Hinata sudah membuat janji dengan penghuni panti asuhan untuk pergi bersama ke pertunjukan sirkus keliling. Karena itu, ia tidak ingin menjadi orang munafik yang mengingkari janji. Hinata sudah menyiapkan dirinya untuk menerima konsekuensi karena membantah perintah suaminya.
Satu jam setelah Sasuke meninggalkan kediamannya, Hinata menumpangi kereta kuda yang akan membawanya ke daerah kumuh di bagian timur kota London. Itulah alasan Hinata mengenakan gaunnya yang paling sederhana, karena ia tidak ingin terlihat mencolok di antara wanita bergaun lusuh maupun pria serta anak-anak yang mengenakan celana dan jaket compang-camping.
Sebenarnya Hinata sedikit trauma berada di kawasan padat penduduk dengan pengaturan sanitasi yang masih buruk tersebut. Di sanalah Hinata menjadi korban pencopet karena pergi seorang diri tanpa kawalan dari pelayannya. Untung baginya karena seorang pemuda penjual muffin menolongnya yang bahkan tidak memiliki niat untuk berteriak.
Kereta kuda yang ditumpangi Hinata berhenti, menandakan bahwa Hinata sudah tiba di lingkungan golongan kelas bawah. Dengan hati-hati, Hinata menapakkan kaki bersepatu tanpa haknya di jalan sempit sedikit becek yang dipenuhi para penjual keliling dan pedagang. Di tempat ini juga dikenal sebagai pusat para penjahat dan praktik prostitusi. Hinata sedikit ngeri jika mengingat berita yang dibacanya di London Press mengenai kasus pembunuhan berantai para pelacur.
Hinata mengubah langkah tenangnya menjadi sedikit berlari setelah melihat lambaian tangan dari pemuda pirang dan bermata biru. Meskipun begitu, ia tetap berhati-hati agar tidak menabrak para pengguna jalan. Sebelah tangan Hinata mengangkat sedikit gaun kremnya yang panjang agar tidak menghambat langkahnya, sementara tangan yang lain memegangi topi coklat mudanya yang berhiaskan bunga dandelion.
"Sudah menunggu lama, Naruto?" tanya Hinata ceria setengah terengah.
"Tidak juga," jawab Naruto seraya tersenyum lebar, "Adik-adik sudah masuk lebih dulu."
Sambil mengatur napasnya, Hinata berjalan berdampingan dengan Naruto memasuki daerah pertunjukan. Sirkus yang diadakan di tempat terbuka itu sudah dipenuhi para penonton yang berdiri mengelilingi secara melingkar. Para orang dewasa maupun anak-anak tampak sangat terhibur dengan pertunjukan sirkus keliling yang datang setiap bulan tersebut. Hinata sedikit menengadahkan wajahnya saat melihat seorang ayah yang memanggul anaknya agar bisa melihat pertunjukan di tengah arena.
Seusai meminta maaf, Naruto memberanikan diri untuk memegang pergelangan tangan Hinata dan menariknya menerobos para penonton. Setelah mendapatkan tempat paling strategis dan bisa berkumpul dengan penghuni panti lain, Naruto melepas genggaman tangannya seraya menggaruk belakang kepalanya. Suara riuh para penonton memenuhi udara, seolah tidak mengizinkan Hinata dan Naruto untuk berbincang. Jadi, mereka berdua hanya diam dan menonton pertunjukan dengan khidmat.
Hinata ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena melihat badut yang sebenarnya tidak begitu lucu namun mampu menciptakan tawa anak-anak. Tidak lama Hinata meminta izin ke Naruto, kemudian keluar dari kerumunan karena kusir sekaligus pelayan kediamannya menghampiri sambil membisikkan berita yang mengejutkan.
"Kebetulan kau keluar." Hinata hampir kembali menerobos para penonton jika Naruto tidak mendatanginya. Ia langsung mengangsurkan tangan kanannya yang masih dalam keadaan menggenggam ke depan Naruto.
Naruto mengerti akan maksud dari komunikasi nonverbal yang digunakan Hinata. Ia mengangkat tangan kanannya dan menerima sesuatu yang dijatuhkan ke telapak tangannya.
"Koin emas?" pekik Naruto yang teredam teriakan dan tepukan penonton. "Apa Anda tahu berapa muffin yang akan Anda dapatkan dengan lima pound ini?"
Hinata tersenyum sambil meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. "Hari ini aku tidak bisa membawakan hadiah ke panti, jadi aku hanya bisa memberikan itu," ujarnya lembut.
"Ini kebanyakan," bisik Naruto yang menggenggam erat lima koin emas di tangan kanannya sambil menengok ke kanan kiri dengan was-was.
"Apa nilai guna koin emas jika aku tidak bisa menukarnya dengan cinta dan kebahagiaan?"
Raut wajah Naruto berubah setelah mendengar gumaman Hinata. Ia memandang sayu kedua mata wanita terpandang di hadapannya seraya berkata, "Orang yang bahagia dan mendapatkan kasih sayang penuh, tetap membutuhkannya untuk bertahan hidup."
"Benar juga," balas Hinata setelah tersenyum miris, "Sepertinya belajar selama sepuluh tahun di sekolah asrama belum bisa membuatku pandai."
"Jangan merendah seperti itu, Lady."
Hinata teringat akan hal yang membuatnya rela untuk meninggalkan pertunjukan sirkus. Ia tersenyum sebelum sekali lagi berpamitan ke Naruto. Sebelum berbalik ia mendapatkan ucapan terima kasih yang tulus dari Naruto.
Dengan panduan dari pelayannya, Hinata melangkahkan kakinya dengan ragu menuju kawasan yang terlihat sedikit lebih bersih dibandingkan tempat yang baru ditinggalkannya. Kata pria paruh baya yang menjadi petunjuk jalannya, Sasuke berjalan ke arah pub di tengah rumah-rumah padat penduduk bersama seorang wanita. Hinata tidak perlu bertanya untuk mengetahui wanita macam apa yang menggandeng suaminya. Sebenarnya Hinata merasa risih karena pandangan sinis para wanita di sekitar jalan sempit yang dilaluinya, tapi ia tetap berusaha bersikap tenang. Sesekali ia terbatuk-batuk karena asap rokok yang dihembuskan dengan sengaja ke arahnya oleh beberapa wanita.
Hinata mematung di tempat sambil menarik napasnya yang terasa berat saat melihat Sasuke berdiri di depan pub berhadapan dengan seorang wanita berpakaian sedikit terbuka. Dua pasang mata sudah cukup menjadi saksi hidup atas perbuatan Sasuke. Ia mengajak pelayannya untuk kembali ke kereta kuda sebelum kehadirannya disadari oleh Sasuke. Namun ternyata mata Sasuke lebih cepat menangkap sosoknya yang berjalan menjauh.
"Hari ini kau melarangku pergi ke tempat ini agar aku tidak mendapatimu sedang menyewa pelacur?" Hinata melirik sinis Sasuke yang berusaha menyejajarkan langkah dengannya.
"Kenapa kau selalu berprasangka buruk terhadapku?" balas Sasuke dengan suara yang tidak kalah pelan dengan suara Hinata. Ia menghentikan langkahnya setelah Hinata memasuki kereta. Dengan napas sedikit memburu, ia menahan tangan kusir yang hendak menutup pintu kereta. "Aku akan pulang nanti," ujarnya sambil memandang Hinata yang hanya menatap lurus ke depan.
"Terserah," balas Hinata dingin.
.
.
.
Setelah menyantap makan malam seorang diri, Hinata yang berjalan menuju kamar dikejutkan oleh kedatangan Sasuke bersama pengacaranya yang bersikap siaga. Ia tidak perlu bertanya akan keanehan sikap sang pengacara berambut perak yang terlihat sangat mengkhawatirkan Sasuke. Ia tetap mempertahankan sikap diamnya sampai Sasuke melewatinya dan memasuki kamar.
"Dia kenapa?"
"Tadi terjadi kecelakaan di pabrik. Tapi Anda tidak perlu khawatir karena saya sudah mengantarkan Sir Sasuke ke rumah sakit." Pengacara bernama lengkap Kakashi Hatake itu menjelaskan seraya tersenyum menenangkan dari balik masker hitam yang menutupi seluruh mulutnya.
Percaya atau tidak, senyum sempat terukir di bibir merah muda Hinata. "Apa yang dikatakan dokter?"
"Tulang di pundak kirinya sedikit retak," jelas Kakashi tenang, "Menurut keterangan buruh, Sir Sasuke mencoba melindungi bocah yang hampir tertimpa tumpukan sepatu berbahan baja."
Hinata menyesal karena sempat bersorak senang dalam hati. Walaupun ia masih merasa kesal kepada Sasuke, ia bukanlah wanita yang tidak memiliki belas kasih. Setelah Kakashi berpamitan, ia langsung masuk ke kamarnya dan mendapati Sasuke yang sedang duduk di sofa panjang sambil menutup mata. Tanpa berkata-kata, Hinata mengambil selimut dan menutupi tubuh Sasuke. Ia duduk di samping Sasuke dan menarik lembut tubuh Sasuke agar menjadikan pangkuannya sebagai bantal. Hinata sadar kalau sekarang bukan saat yang tepat untuk melanjutkan perdebatannya dengan Sasuke.
"Badanmu sedikit panas," bisik Hinata saat menyentuh kening Sasuke.
Sasuke sedikit merintih sambil memegangi pundak kirinya sebelum membalas dengan mata tetap terpejam, "Dokter sudah memberikan obat."
Dengan tangan gemetar, perlahan Hinata membelai rambut Sasuke dan memandang lekat-lekat wajah damainya. Hinata baru menyadari kalau garis rahang Sasuke terlihat lebih tegas dibandingkan masa kanak-kanak—tentu saja. Ia harus menahan tawa karena teringat wajah bulat dan pipi empuk Sasuke yang menggemaskan.
Hinata menghentikan gerak tangannya setelah mendengar dengkuran halus Sasuke. Senyumnya memudar sepenuhnya dan sorot matanya berubah sayu. "Mengapa kita harus menjadi dewasa?" gumamnya sedih.
Waktu itu juga musim semi. Seperti biasa, Sasuke sering mengunjungi Hinata dan bermain bersama di taman kediaman keluarga Hyuuga. Saat itu, dandelion sedang mekar secara bersamaan. Hinata dan Sasuke yang berumur delapan tahun berlomba meniup kelopak dandelion. Pemenangnya yaitu di antara mereka berdua yang bisa meniupnya hingga kelopak-kelopaknya beterbangan tak tentu arah dan seolah bisa menyentuh awan. Entah mengapa, Sasuke selalu menang dan akhirnya malah menghibur Hinata yang menangis karena belum bisa menerima kekalahan.
Ayah Hinata tidak pernah melarang Hinata kecil bermain dengan laki-laki, apalagi jika itu adalah Sasuke. Namun suatu hari, Hinata lebih sering dikurung di kamar dan hanya bisa mengintip dari balik jendela kaca ketika kereta kuda yang ditumpangi Sasuke menjauhi kediamannya. Ia tidak bertemu lagi dengan Sasuke sebelum dikirim ke Sekolah Asrama Puteri yang letaknya sangat jauh dari kota London.
Selama menempuh pendidikan, Hinata sering mengirim surat untuk Sasuke. Tapi, ia hanya mendapatkan balasan hingga usianya sembilan tahun. Sebelum putus asa, ia terus mengirimkan surat untuk Sasuke walaupun ia mulai pesimis akan mendapat balasan. Ia sedih, sering putus asa, dan merasa terpenjara dalam bangunan tua yang disebut asrama. Saat merayakan Natal terakhir di asrama, Hinata terpaksa menerima kenyataan bahwa teman sejak kecilnya adalah tunangannya. Hingga akhirnya ia dipertemukan lagi dengan Sasuke dalam peresmian pertunangannya setelah lulus sekolah dan menikah tidak lama setelah itu—dua bulan lebih sebelum hari ini.
.
.
.
Saturday, April 16, 2011
My thanks to each of you for taking the time to read and review…
