TONARI NO IKEMEN-KUN

Tokoh yang saya pakai milik Kishimoto Masashi-sensei, saya cuma pinjem doang

Warning: typo, alur cepet, dan masih banyak lainnya

Just normal high-school romance

Don't like don't read

.

.

.

"Hinata-chan, Sasuke no koto tanomimasu ne."

"He?"

"Tenang saja Mikoto-san, Hinata pasti menjaga Sasuke."

"He?"

"Cuma seminggu saja kok."

"Berapa lama pun juga tidak apa. Oh iya Hinata, tou-san akan pergi ke Macao. Tolong jaga rumah ya."

"HEEE?!"

.

.

.

Ya ampun.

Aku lupa berdoa sebelum tidur. Pastas saja aku bermimpi buruk. Kami-sama, tolong maafkan Hinata karena kecerobohannya, dia pantas mendapatkannya–nightmare.

Huh.

Kalau sudah begini, tentu tidak bisa tidur lagi. Sekarang juga masih terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan, apalagi persiapan ke sekolah. Jadi kuputuskan untuk sedikit berolahraga, mungkin lari naik turun tangga bagus juga.

Are?

Ada sesuatu di tempat tidurku. Dan aku baru menyadarinya. Bentuk ini, entah kenapa terasa tidak asing.

Keras.

Bantal dan guling tidak akan sekeras ini. Apalagi kalau kasur yang ditumpuk. Lagipula kenapa bentuknya panjang sekali, bahkan hampir sampai ke ujung ranjang. Ini pasti ulah tou-san lagi, meletakkan benda aneh di kamar. Bukannya langsung dibuang.

Tunggu.

Semakin kurasakan aku jadi takut sendiri. Rasa-rasanya aku mulai bisa menebak apa yang ada dibalik selimut ini. Biar lebih dramatis, hitung mundur dulu.

1

2

3

SRET

"KYAAAA!"

Benar dugaanku.

BRUKK

Seonggok atau lebih tepatnya seorang terjatuh dengan tidak elit, mencium lantai kayu dengan hidung terlebih dulu. Untung saja hari mingguku dulu aku habiskan untuk melihat siaran Capt. Tsuba di salah satu stasiun televisi. Tendangan maut yang baru saja aku kuasai berhasil membuat tubuh asing itu terlempar jauh memasuki gawang Wakabayashi.

"Itte."

Perlahan tubuh itu mulai tersibak, memperlihatkan wujud aslinya. Jangan bilang sosok itu adalah chichi-ue, aku sudah bosan dengan dialog 'aku adalah ayahmu' yang mungkin akan terdengar.

"Tidurlah dikamarmu sendiri, tou-sa-SUKE! Kenapa kau disini?!"

Kami-sama, aku hanya lupa berdoa sekali tapi kenapa mimpi burukku menjadi kenyataan.

"Tidur."

"Tidur dengkulmu! Kemarin aku sudah menata futon di ruang tengah!"

"Berisik. Di luar banyak kecoak, jadi aku pindah."

Bohong, terlihat banget dari nada bicaranya. Lagipula tidak ada yang namanya kecoak di rumahku. Bilang saja kalau kau hanya ingin tidur di kasur. Jangan katakan kau tidur disini sejak semalam.

"Ka-kau mau apa?"

Aku masih gadis normal. Melihat lawan jenis merangkak mendekat ditambah dengan setting tempat yang sangat pas untuk fanfic genre 18+ tentu saja aku ketakutan sekarang.

"Tidur lagi."

Kedutan mulai menjalari hampir keseluruhan wajahku. Jika tidak ingat pesan dari Mikoto-san, akan aku hadiahi tendangan harimau ala Hyuuga pada kedua bolanya. Maka sebagai pelampiasan, aku jambaki rambut dikepalaku, meskipun hal ini tidak membantu sama sekali.

.

.

.

Hyuuga Hinata, enambelas tahun. Gadis biasa yang memimpikan kehidupan normal. Sangat normal. Bangun pagi, melakukan aktivitas gadis normal lain, kemudian pulang. Simpel namun sulit untuk dilakukan.

Masalahnya?

Hanya satu. Tempat tinggal.

Bukan.

Dia mampu kok. Lebih tepatnya ayahnya punya pekerjaan tetap jadi tidak ada yang namanya kekurangan. Tempat tinggal yang dimaksud adalah apartement sepuluh lantai yang dihuni sekitar duapuluh keluarga. Sungguh ini sangat normal. Namun tidak dengan penghuni apartemen di depannya.

Keluarga Uchiha.

Hampir semua penyandang nama itu memiliki rambut gelap–hitam tepatnya. Mata hitam. Kulit putih. Pintar. Dan berbagai keunggulan lainnya. Penghuni apartement yang terdiri dari empat orang dengan tiga diantaranya adalah laki-laki. Dari penjabaran ini tidak ada hal yang salah, tapi saat kembali membaca ulang, kata keunggulan yang dimaksud adalah tentang wajah. Well, penghuni no. 601 semua memiliki wajah yang rupawan.

Hubungannya denganku?

Uchiha Sasuke. Bocah raven minim ekspresi yang sangat kebetulan seumuran denganku. Satu sekolah semenjak taman kanak-kanak sampai sekolah dasar, dan kembali satu sekolah lagi saat senior high.

Kalian bisa bayangkan bagaimana pertumbuhan bocah ingusan–Sasuke sebenarnya tidak ingusan saat kecil–menjadi seorang remaja saat ini. Ingat tentang gen Uchiha? Ya, bisa ditebak bagaimana wajah Uchiha Sasuke. Tampan–sangat tampan malah.

Menjadi tetangga dan teman masa kecil dari the most wanted boyfriend di sekolah menjadi top secret identity yang harus dijaga sampai mati. Hal ini kulakukan untuk menjaga status kehidupan normal yang aku junjung tinggi. Sayangnya rahasia yang aku jaga bertahun-tahun, rusak hanya dalam satu hari.

Pelakunya?

Anak tunggal keluarga Namikaze. Pemuda pirang hiperaktif yang tidak sengaja memergokiku masuk ke dalam apartement no. 602. Dan keesokan harinya berita mengenai rumah kami yang berdekatan menyebar ke seluruh sekolah. Hal membuat tempat dudukku penuh dengan gerombolan siswi yang mengonfirmasi kevalidan informasi itu. Kejadian ini berlangsung cukup lama, sekitar seminggu. Ditambah dengan pemojokan yang rata-rata aku terima dua kali sehari, kira-kira butuh waktu satu bulan hingga kehidupanku kembali normal.

Atau bisa dikatakan begitu.

Seperti saat ini contohnya, di loker sepatuku banyak sekali kertas-kertas berjatuhan. Ini bukan bullying melainkan hanya surat cinta yang dititipkan para fans Sasuke. Tujuannya agar surat pink yang mereka tulis sampai pada orang yang mereka maksud.

"Ohayou, Hinata."

Aku menoleh ke sumber suara.

"Ah! Ada apa denganmu?"

Sakura mengibaskan tangannya pada bagian atas kepalaku. Menghilangkan aura hitam yang bertebaran disekitarku.

"Sa-ku-ra-san. Tolong aku."

"Ada apa?"

Sasuke menginap di rumahku.

Tentu saja aku tidak akan bilang begitu, jika iya pasti sudah ada adegan berdarah disini. Perang dunia ninja keempat.

Oh ya, gadis berambut mencolok itu adalah temanku. Sahabat lebih tepatnya. Kami sudah sekelas sejak kelas satu, ditambah kami duduk bersebelahan. Cantik, pintar, energik, dan lumayan baik. Kenapa aku bilang lumayan, sedikit mengingatkan, teman merah mudaku ini juga termasuk ke dalam penggemar si ayam jantan. Dia bisa jadi sangat garang hanya karena masalah sepele yang berhubungan dengan Uchiha Sasuke.

"Tidak. Aku hanya mimpi buruk tadi."

Benar-benar mimpi terburuk sepanjang masa. Mengalahkan ketakutan saat Godzilla menyerang sebuah kota.

"Oh, kukira apa. Ayo ke kelas. Aku belum mengerjakan tugas fisika."

Aku mengikuti langkah Sakura, kubiarkan saja surat-surat itu berserakan. Biasanya aku memunguti mereka dan menaruhkannya pada kantung plastik untuk kuberikan pada Sasuke. Ketika aku melakukan hal itu, aku merasa menjadi gadis paling baik se-Konoha. Tapi sayangnya aku terlalu malas sekarang.

"Hinata."

Suara ini. Kenapa harus memanggilku sih? Apalagi sekarang keadaan aku masih di lorong sekolah. Pasti tidak lama lagi akan ada–

"KYA!~SASUKE-KUUUN!"

–teriakan para fansnya.

BUAGH

Aku terlempar ke samping, menabrak dinding lorong dengan cukup keras. Girls, bisakah bersikap biasa saja saat bertemu chicken butt itu.

Aku mengulurkan tanganku, meminta bantuan.

"Sakura-sa–EKH?! KENAPA JUGA IKUT-IKUTAN?!"

Kulihat teman merah mudaku ikut bergerumbul mengerubungi Sasuke. Padahal beberapa detik lalu dia mengajak untuk segera ke kelas, nyatanya sekarang malah ikut berteriak tidak jelas menyerukan nama Sasuke.

"Permisi. Aku ada urusan dengan Hinata."

Ano ne Sasuke-kun, kau tahu kenapa kau sangat digandrungi oleh banyak gadis?

Sikapmu itu loh yang menjadi bumbu pelengkapnya. Sadarlah, kumohon.

Apa hari ini ulang tahunku? Kalau iya, kenapa aku dapat hadiah death glare sekarang? Sakura-san juga.

"Kau melupakan ini."

Sasuke memberi sebuah benda kecil. Aku yang masih belum ngeh dengan benda itu, hanya kutatap saja. Terus berlangsung selama duapuluh detik, sampai Sasuke menghilang di ujung lorong.

"Ehem, Hinata-san. Sasuke-kun memberikanmu apa?" Aku mendongak.

Hiii…suaranya menyeramkan sekali. Aku bergidik melihat aura hitam–melebihi auraku sebelumnya–yang keluar dari tubuh masing-masing siswi di depanku.

Sakura-san, kenapa kau juga ikut-ikutan lagi?

"Akh–ini? Itu–bagaimana aku menjelaskannya, ya."

Sasuke, kau sengaja meninggalkan teman masa kecilmu ini dalam masalah yang kau buat bukan? Kami-sama tolong selamatkan aku.

"Kalian tinggal bersama?"

Glek

Pantas saja Majin Buu kalah, kekuatan genki dama chikyuu-jin memag benar-benar hebat. Pikir Hinata, pikirkan suatu alasan yang bisa menyelamatkan jiwa ragamu.

"Tentu saja tidak."

Kuharap memang seperti itu. Tes tes. Bagaimana suaraku barusan? Apa terdengar aneh?

"Lalu kenapa Sasuke-kun memberikan kunci rumah padamu?"

Nice sight, matamu memang benar-benar jeli, nee-san. Hanya orang dengan penglihatan bagus bisa melihat benda kecil di tangannku ini. Tapi sekarang bukan waktunya untuk kagum.

"Ayahku menitipkan kunci rumah ini pada Sasuke." Setelahnya aku harus menambahkan sedikit bumbu kebohongan disini. "Soalnya tadi pagi ayahku mendadak ada urusan ke luar kota, jadi aku tidak tahu."

Nyaliku semakin menciut."Aku baru baca e-mail dari ayahku…?" Aku mengendikkan bahu berharap dengan penjelasan singkat tadi mereka semua percaya.

Please please please, kumohon percayalah. Aku beri 300 yen deh.

"KYAAA! Sasuke-kun baik banget!"

Aku cengo. Cepat sekali mereka berubah. Sedetik lalu mereka menatapku seperti anjing liar yang kelaparan sekarang berganti menjadi kelinci lucu menggemaskan.

"S-sou dayo ne! Sa-Sasuke-kun memang baik sekali. Ahahaha."

Perlahan-lahan aku mulai mundur.

Kemudian segera bergegas meninggalkan gerombolan itu, tidak ingin status amanku kembali berganti ke mode siaga. Saat aku berlari, aku juga berdoa. Memohon maaf pada Kami-sama, karena sebelum benar-benar menghilang, aku telah mengutuk teman masa kecilku.

.

.

.

Sedikit cuplikan kelanjutan mimpi burukku di atas.

"Berapa lama pun juga tidak apa. Oh iya Hinata, tou-san akan pergi ke Macao. Tolong jaga rumah ya."

Pergi ke Macao…maksudnya aku harus menjaga rumah dan juga…SASUKE?

"HEEE?!"

"Hei, jangan berteriak begitu saat ada tamu. Tidak sopan."

Demi saus tartar yang ada di dalam kraby patty, kenapa orang tua ini bersikap biasa saja meninggalkan anak gadisnya akan tinggal bersama dengan seorang laki-laki.

"Tou-san tega pergi dan meninggalkanku seorang diri?!"

Kalaupun kuso oyaji tidak bilang akan pergi, aku sih setuju-setuju saja kalau Sasuke sementara tinggal disini. Meninggalkan dua remaja yang telah memasuki masa pubertas bukanlah ide yang baik.

"Seorang diri apanya? Kan ada Sasuke-kun."

"Sasuke-SAN dayo, otou-san!"

Orang tua ini pasti menganggap umur kami masih enam tahun. Dimana kami bergantian menginap di kamar satu sama lain. Ya ampun. Itu sepuluh tahun lalu.

Apa ayahnya tidak lihat bagaimana waktu mengubah pemikiran dan bentuk tubuh mereka?

"Jadi Hinata-chan tidak setuju kalau Sasuke tinggal disini? Hiks…hiks."

Apalagi sekarang? Kenapa telingaku mendengar suara tangisan diseberang sana. Dan kenapa juga tou-san menatapku seperti itu. Mikoto-san kau sengaja kan.

"Bu-bukan begitu, Mikoto-san."

"Lalu?"

Seharusnya wanita lebih tahu kan? Bagaimana bahanyanya menaruh gadis manis seperti diriku untuk tinggal dengan bocah baru puber itu?

"Jadi kau tidak setuju, Hinata?"

Lavender tajam tou-san seperti mengisyaratkan berhenti membuat Mikoto-san menangis, kalau kau tidak setuju uang jajanmu kupotong sembilanpuluh delapan persen. Ditambah gaya menggorok leher.

"Ha-hai."

Tiga huruf yang aku ucapkan lemas. Abaikan saja kedua orang tua yang menunjukkan tarian kemenangan mereka dan juga si objek yang menjadi masalah utama. Lagipula kenapa dia diam saja, memangnya–

MEMANGNYA KAU SETUJU APA MENGINAP DI RUMAH ORANG?

Andaikan aku orang yang blak-blakan pasti aku akan bilang begitu. Nyatanya tidak.

"Ayo Hiashi-san, pesawatnya berangkat pukul delapan."

"Tunggu. Tou-san langsung pergi sekarang? Bersama Mikoto-san?"

"Hahahaha. Tentu tidak berdua, ada Fugaku-san yang sudah menunggu di bandara."

"Maksudnya?"

"Karena Sasuke sedang cidera sekarang, daripada terbuang percuma makanya Fugaku-san mengajak tou-san berlibur ke Macao."

Kalian dengan cuma-cuma membuang anak kalian masing-masing. Air mata imajiner mengalir deras dari kedua mataku.

"Tapi karena pihak renovasi sudah datang tadi, makanya Sasuke menginap di apartement kalian."

Jadi ini alasan sebenarnya. Bersenang-senang diatas penderitaan anak kalian. Bahkan sepertinya Fugaku-san juga ikut terlibat. Our last hope.

Aku tahu Sasuke, kenapa kau hanya diam selama ini.

"Ayo Hiashi-san, pesawatnya akan berangkat satu jam lagi."

Kau–salah, kita sama-sama dibuang disini.

.

.

.

Aku baru menginjakkan kaki di rumah saat hari berangsur sore. Kegiatan di sekolah tadi sedikit banyak menyita waktu pulangku. Ada rapat mengenai festival budaya, membahas tema apa saja yang akan digunakan oleh tiap kelas. Sebagai perwakilan kelas a.k.a ketua kelas, aku tentu harus menghadiri rapat membosankan itu.

"Tadaima."

Tentu saja tidak akan ada jawaban. Aku selalu pulang lebih dulu daripada tou-san, tentu saja akan menjadi hal aneh jika ada yang menjawab salamku barusan mengingat kami hanya tinggal berdua. Lampu ruang tengah juga belum menyala, Sasuke pasti belum pulang mengingat aku yang membawa kunci rumah.

"Okaeri."

"AAAAH!"

Aku berteriak. Jantugku cenat-cenut seperti sedang jatuh cinta sekarang. Mendapati sosok hitam tengah bergelung nyaman di sofa ruang tengahku.

"Berisik sekali sih. Hoam~"

Klik

Saat lampu menyala, jantungku yang berdetak cepat seketika normal. Sosok misterius yang kusangka hantu ternyata hanyalah Sasuke. Huh. Untung saja anggapanku salah, kalau tidak–

Wait a second

Sasuke ada di rumahku sekarang, padahal aku yang–

"Kenapa kau bisa masuk?!"

"Kunci cadangan."

Aku tidak pernah dengar kalau punya kunci cadangan.

"Hiashi-san yang memberiku."

Kalau tou-san punya kunci itu, kenapa selama ini kami selalu berebut.

"Mana kutahu."

Oi, berhenti membaca pikiranku.

"Kalau kau pulang dulu, seharusnya nyalakan lampunya."

Lavenderku memperhatikan kesekeliling untuk mendapati bagaimana kondisi ruang tengah rumahku sekarang. Kaos kaki yang tergelak di atas TV, blazer yang dilempar asal hingga berada di dekat pintu kamar mandi, dan apa itu? Makanan ringan yang bercecer di meja dan juga di sofa. Aku baru saja membersihkannya kemarin. Dan juga itu keripik kentang yang aku simpan untuk aku makan sambil belajar.

Kau memang sengaja tidak menyalakan lampu rupanya.

"Sasuke apa yang sebenarnya kau lakukan?" Aku menunjuki setiap benda yang tidak pada tempatnya itu.

"Tanganku sakit jadi–"

"Jadi tidak ada hubungannya!"

Aargh! Kami-sama, berikan aku kesabar–bukan, kekuatan untuk setidaknya menjitak pantat ayamnya.

Pluk

Aku ikut menoleh saat Sasuke melempar sesuatu. Suara kaleng minuman yang dilempar asal, berada tidak jauh dari tempat sampah. Kau pikir Midorima, yang bisa memasukkan bola basket dari berbagai sudut lapangan. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menertawai kemelesatan kaleng soda itu, melainkan.

"Berhenti membuang kotoran sembarangan, ayam jantan!"

Berteriak lagi memperingati Sasuke yang seenaknya mengotori kembali ruangan di rumahku. Apalagi minuman itu tidak diminum sampai habis, sehingga beberapa tetes mengotori lantai kayu.

"Jangan terlalu kaku, clean freak."

That's it.

Dia tahu kata kuncinya. Segera aku berjalan kearah dapur, mencari segala sesesuatu yang bisa dengan cepat menghilangkan kesadarannya.

Bwahahahaha, mati kau ayam hitam.

Hinata-chan, Sasuke no koto tanomimasu ne.

Mikoto-san! Kenapa kau muncul di saat seperti ini?!

Sasuke yang terlihat waspada segera mendudukkan diri. Takut dengan apa yang akan aku lakukan padanya.

"Kau mau apa dengan pisau itu, Hinata?"

Tenang saja Mikoto-san, Hinata pasti menjaga Sasuke.

MENUSUK-NUSUK JANTUNGMU DENGAN PISAU SUPAYA KEKESALANKU HILANG, KEMUDIAN MENCINCANG TUBUHMU KECIL-KECIL.

Kalau mau jujur jawabanku akan seperti itu. Dengan kesabaran yang entah aku dapat dari siapa, aku menghela nafas sekarang. Menahan luapan emosi yang entah kenapa aku bisa kutahan.

"Memasak makan malam." Dan tersenyum semanis mungkin, sampai menunjukkan gigi putihku.

"Oh. Jangan lupa masukkan banyak tomat pada bagianku."

Jangankan tomat, aku akan memasakmu sekalian.

Aku menggeleng pelan, menghilangkan pikiran jahat yang akan meracuni otak polosku.

"T-tentu."

Ladys.

Kalau kalian tahu bagaimana sifat asli ouji-sama yang kalian puja selama ini, apa kalian masih yakin untuk tetap mencintainya?

Kalau aku, tentu saja tidak.

.

.

.

KRIET

Saat aku menoleh, Sasuke sudah berdiri di depan pintu kamar. Memakai piyama biru kebesaran milik ayahku.

"Ada apa?"

Aku masih sedikit kesal masalah sore tadi, jadi aku punggungi saja dia. Kembali pada pekerjaan rumah yang baru selesai setengah. Karena tidak ada jawaban aku kembali menoleh dan mendapati.

"Kenapa kau lagi-lagi tidur dikasurku?!"

Sasuke telah tiduran di kasur empukku. Dengan selimut yang menutupi sampai bagian bawah dagunya.

Sleeping beauty? Bukan. Lebih tepatnya deathly beauty.

Aku tarik kaki panjangnya, dengan semua chakra yang aku miliki tubuh itu hanya bergeser beberapa senti saja. Bahkan aku sampai memakai jurus juuho soushiken.

"Aku sudah membiarkanmu tidur disini semalam, jadi jangan harap kali ini aku mengijinkanmu. Lagipula aku juga sudah menyiapkan futonmu."

Di apartementku hanya ada dua kamar. Kamar ini–milikku, dan juga milik tou-san. Sayang seribu sayang, dengan kurangnya kepekaan perasaan, ayahku malah mengunci kamar miliknya. Membuat Sasuke yang manjanya minta ampun–tidak bisa tidur kalau tidak di kasur–mengendap-endap ke kamarku.

Aku tidak akan menyerah sampai Sasuke pergi dari kamarku. Ya ampun, seharusnya aku mengunci kamarku tadi.

Kenapa tidak berhasil sama sekali? Dan juga, kenapa dia sama sekali tidak terganggu?

Aku tahu Sasuke, mana mungkin kau bisa tidur setelah mendapat serangan dariku ini. Kau tahu, wajah tanpa dosa yang kau tunjukkan sekarang malah semakin membuat darahku mendidih.

Gigiku gemerletuk, saat Sasuke menggeliat meregangkan tubuhnya.

Kau bahkan tidak melakukan apapun hari ini, jadi yang seharusnya tidur menggeliat di kasur ini adalah…AKU.

"Sasuke!"

"Uchiha Sasuke!"

"Oi, ayam jantan!"

"Ck. Berisik."

Tubuhku yang tanpa ada persiapan apapun jatuh terjembab akibat tarikan tangan Sasuke. Menindih tubuh lebih besar miliknya, hingga kami membentuk tanda plus sekarang. Seharusnya setelah membaca banyak shoujo manga, aku harusnya tahu event apa saja yang bakal terjadi jika tinggal satu atap dengan ikemen.

Segera saja aku bangkit. Jika terlalu banyak melakukan skinsip dengan pemuda ini, aku takut jantungku tidak kuat. Sebaiknya aku segera pergi ke kamar mandi sekarang. Mengguyurkan air dingin pada kepalaku. Mungkin dengan itu aku bisa sedikit menahan nafsuku–

Nafsu membunuh lebih tepatnya.

.

.

.

Jika penasaran dimana aku tidur, akhirnya aku memutuskan untuk tidur di futon. Tapi tidak di ruang tengah, aku membawa futon besar itu ke kamarku. Jaga-jaga kalau ayam jantan itu mengotori kamarku dengan kotorannya.

.

.

.

"Hinata tiga hari ini aku lihat kau sangat lesu. Ada apa?"

Hinata menoleh untuk menunjukkan bagaimana wajahnya sekarang.

"Wah. Ehe–sepertinya tidak baik." Sakura sweatdrop. Dari jaraknya sekarang gadis buble gum itu bisa melihat ada lingkar hitam tipis di bagian bawah mata Hinata.

"Kalau ada apa-apa, kau bisa cerita padaku kok."

Dan dari jaraknya sekarang Sakura melihat sahabatnya ini seperti akan menangis sekarang.

"Sakura-san, dngtyeogyqbvfjmr, fkoovndyyabkcohejhbc."

Sakura malah tambah sweatdrop. Ia tidak mengerti apa maksud perkataannya. Sedang Hinata malah kembali melanjutkan kalimat absurb-nya.

"Bicara yang benar supaya aku mengerti, Hina–"

"Hinata." Sakura menoleh antusias. Ia tahu siapa pemilik suara berat ini, siapa lagi jika bukan Sasuke. Oh, beserta penggemarnya yang ada di belakang.

Mata emerald Sakura menatap sahabatnya yang berdiri sempoyongan seperti orang mabuk, menghampiri Sasuke yang berdiri di pintu kelas. Sasuke datang hanya untuk memberikan kaleng minuman berwarna coklat pekat pada Hinata. Setelahnya pemuda tampan itu melenggang pergi begitu saja, dengan diikuti beberapa orang dibelakangnya.

"Beruntungnya. Sasuke-kun memeberimu kopi." Siapa yang diberi siapa yang bahagia. Pipi Sakura memerah karena membayangkan jika dia yang diberi kaleng itu. Berbanding terbalik dengan Hinata.

"Kau mau?"

"Tidak, kopi itu kan buat–KENAPA DIBUANG?!"

Clentang.

Hinata dengan spontan membuang kopi itu keluar jendela.

"Katanya tidak mau."

Itu kan cuma formalitas saja, Hinata. Lagipula kenapa kau dengan mudah membuangnya begitu saja.

Sakura menangis dalam hati. Masa iya dia menerima minuman itu, padahal terlihat jelas jika Hinata lebih membutuhkannya. Kalau barang-barang pemberian dari Sasuke, Sakura sudah koleksi banyak. Itu semua milik Hinata yang ia berikan pada Sakura.

Kadang Sakura heran dengan sikap Hinata. Banyak siswi di sekolah ini–termasuk dirinya–sangat amat ingin untuk berdekatan dengan Sasuke. Sebagian malah mengincar posisi Hinata. Tapi dari sekian banyak perempuan di sekolah yang mengajak ikemen itu bicara, hanya perkataan Hinatalah yang didengar baik oleh Sasuke malah ditanggapi panjang lebar.

Sakura pikir itu cinta. Sudah berkali-kali Sakura mengatakan pada Hinata, kemungkinan Sasuke menyukainya. Dan berkali-kali pula Hinata membantah, mengatakan mereka hanya teman masa kecil atau berbagai penyangkalan lainnya.

Dasar tidak peka.

Sakura menghela nafas sambil tersenyum menatap sahabatnya. Sebagai salah satu member fanclub Sasuke, Sakura tahu betul perhatian yang Sasuke berikan pada Hinata bukan semata-mata perhatian seorang teman, namun lebih.

"KORRAAA! HYUUUGA! Jangan buang sampah sembarangan!"

Jika tidak melihat Hinata yang kabur karena mendengar teriakan si tiger-Anko, Sakura mugkin akan bertanya bagaimana perasaan Hinata pada Sasuke.

.

.

.

Setelah lari dari kejaran Anko-sensei, aku beristirahat di pojokan tangga. Nafasku masih tersengal-sengal akibat berlari mencari tempat persembunyian. Tubuhku melorot bersandar pada dinding, rasa kantuk menyerang sekarang. Hampir semalam suntuk aku terjaga. Menemani Sasuke yang katanya insomnia bermain PS yang entah kenapa bisa berada di rumahku. Begadang sampai jam 2 pagi dan setelahnya kedua mataku tidak bisa tertutup.

"Ada apa memanggilku kesini?"

Aku tersentak. Tidak menyangka akan bertemu Sasuke di tempat seperti ini. Namun dari nada bicaranya, Sasuke sedang berbicara pada seseorang. Tidak pernah sekalipun Sasuke bicara padanku dengan intonasi seperti ini, meskipun datar aku bisa merasakan Sasuke tidak suka dengan lawan bicaranya sekarang.

"Kau tahu maksudku, Sasuke."

Aku semakin menajamkan telingaku. Bukannya aku ingin menguping, mengingat dua orang itu berdiri menghadang jalan keluar membuatku terjebak disini sekarang. Mana mau aku merusak momen seseorang saat sedang menyatakan perasaannya. Ya, sangat mudah ditebak, akan sangat rugi jika berhasil memojokkan Sasuke tanpa menembak.

"Kalau ini menyangkut perasaanmu aku tidak bisa menerimanya."

Tuh kan. Benar dugaanku.

"Kenapa?"

Aku ikut penasaran. Sebenarnya kenapa sih temanku ini selalu menolak berpuluh-puluh gadis yang menyatakan perasaan padanya. Kalau soal wajah, aku pernah membantu teman satu kelasku dulu. Cantik. Gadis tercantik di angkatan malah. Ino namanya. Tapi dengan gampangnya Sasuke menolak tawaran kencan itu.

Laki-laki bodoh.

Apa jangan-jangan Sasuke gay?

Aku menggeleng kepalaku cepat, menghilangkan pikiran gila barusan. Tidak mungkin Sasuke gay, dia pernah suka dengan perempuan dulu. Mama tahu sendiri.

"Aku menyukai orang lain."

Sasuke, sebaiknya kau menggunakan kata gadis daripada orang. Kalau orang kan maknanya luas. Bisa perempuan dan juga…laki-laki. Jangan ambigu begitu.

"Siapa?"

Ya ampun, nee-san. Kalau kau memaksa seperti itu, mana mau Sasuke denganmu. Dia bukan tipe orang yang suka dikekang.

"Kau tidak perlu tahu."

Siapapun itu, aku yakin dia orang yang hebat. Bisa membuat Sasuke tidak berpaling kepada orang lain.

Tunggu.

Jika orang itu tidak bisa membuat Sasuke berpaling, jangan-jangan dia–

Kurenai-sensei/"Apa Hyuuga Hinata?"

Chigau yo, nee-san.

Are? Kenapa namaku?

Tidak mungkin Sasuke-mu menyukai teman masa kecilnya.

"Mungkin."

Sa-su-ke-kun. Berhenti menggunakan teman masa kecilmu ini sebagai option bantuanmu. Kau membuatnya dalam masalah setelah ini. Kumohon jangan teruskan. Nee-san, jangan percaya dengan perkataannya. Dia hanya sedang tidak mau terlibat dalam sebuah hubungan, itu saja.

"Keluarlah, Hinata."

Eh?

Oi, Sasuke jangan menyebut namaku sekarang. Nanti saja setelah gadis itu pergi.

"Dia sudah pergi."

Aku mendongak, kepalaku aku putar ke kanan dan ke kiri. Benar katanya, gadis itu sudah pergi.

Clear.

"Kenapa kau bisa disitu? Menguping, eh?"

"T-tentu saja tidak." Bibirku mengerucut, aku palingkan wajahku. Kebiasaan saat aku sedang berbohong. Sasuke mendengus, sejurus kemudian tersenyum miring.

"Benarkah?"

Hmp. Baiklah aku menyerah. "Salah kalian berdiri disini, aku kan jadi tidak bisa keluar."

"Alasan."

Aku sudah jujur Sasuke. Kau tahu sendiri kalau aku kurang bisa berbohong.

"Hai, hai. Aku percaya. Maaf sudah menghalangi jalanmu."

Apology accepted.

"Kaeru zo."

"Oi, seharusnya aku yang bilang begitu. Itu rumahku tahu."

.

.

.

"Kau sudah punya pacar, Hinata?" Aku sedang mengerjakan tugas bahasa kala Sasuke bertanya hal ini. Pena ditanganku langsung tergelincir dari tanganku, menggeilinding di bawah meja. Aku buka tirai jendela kamarku, melihat apa ada bencana yang terjadi di luar. Nyatanya tidak ada apa-apa.

Lalu,

KENAPA DIA BERKATA SEPERTI ITU?!

Meledek ya. Tentu saja aku paham maksudnya. Sebagai seorang lady, tentu aku harus dijawab dengan kepala dingin.

"Me-memangnya kenapa?" Kadang dalam percobaan pertama gagal masih ditolelir kok.

Bukannya menjawab Sasuke malah menunjukkan senyum meremehkan padaku. Apalagi sekarang aku mendengar suara kekehannya.

"Kau sendiri, memangnya kau punya?" Pelajaran pertama, jangan mau kalah dalam berdebat. Siapapun itu. Termasuk dengan little Einstein disampingnya.

"Tidak sepertimu, aku pernah punya." Dengan tampang mengesalkan, Sasuke sedikit mengangkat dagunya. Membuatku semakin ingin menyeretnya keluar.

"Ya, ya. Terserah." Aku pungut kembali pena pemberian tou-san yang tadi terjatuh.

"Kalau orang yang kausuka, apa kau punya?"

DUAKK

Bisa kupastikan kepalaku akan membenjol nanti. "Auch." Kuusap berkali-kali bagian kepalaku yang membentur meja.

"Be-berhentilah menanyakan hal aneh!" Meski kepala bagian belakangku yang membentur meja, malah wajahku yang memerah sekarang.

"Terlihat sekali ada orang yang kau taksir."

"Ba-baka ie."

"Siapa?"

Sasuke mendekat kearahku. Semakin cepat saat aku berusaha mundur. Wajahnya kini hanya berjarak limabelas senti dariku.

"Apa seseorang yang kukenal?" Kalau tadi wajahku merah, sekarang merah pekat. Mendapati pertanyaannya tepat sasaran. Aku hanya bungkam, keringat dingin mengalir di pelipisku. Kini kedua tangan Sasuke mengurungku.

"Katakan padaku siapa?"

Berhenti menekanku Sasuke. Aku tidak akan mengatakan siapa orang yang kusuka, sebelum aku mengatakan pada orangnya lebih dulu. Apa aku harus bilang begitu pada Sasuke?

"Kau tidak perlu tahu." Aku meronta, berusaha terlepas. Tidak enak juga berdekatan seperti ini. Apalagi disini hanya ada kami berdua. Kalau keblabasan kan tidak ada orang yang menghentikan.

"Apa itu Kiba? Atau Toneri?" Tidak mendekati sama sekali. Tebaklah terus, mungkin kau akan tahu. Clue-nya semua orang di sekolah mengenalnya. Tapi aku tidak akan bilang keras-keras.

Aku cuma menggeleng.

"Memangnya kenapa kau tanya seperti itu? Hargailah privasi temanmu." Aku saja membiarkan dia menginjakkan kaki di tanah suci bernama kamarku, lagipula aku juga tidak mengungkit siapa orang yang disukainya.

"Jadi biarkan aku mengerjakan tugasku sekarang." Ampun deh, tugasku menumpuk banyak. "Dan kau kembali lagi tidur dikasurku sambil baca majalah atau apapun itu." Sejak disini aku tidak lihat dia memegang buku sama sekali. Dia punya banyak sekali waktu luang.

Mengabaikan kedua tangan Sasuke yang masih tetap pada posisinya, aku kembali mengerjakan tugasku. Sebelum perkataan Sasuke membuatku kembali menghadapnya.

"Kalau aku tadi mengatakan yang sebenarnya, apa kau akan menyukaiku?"

He? Apa dia bicara yang tadi siang? Hei, jangan bercanda. Kalau sudah seperti ini candaanmu tidak lucu ayam jantan.

"Berhentilah bercanda, Sasuke."

"Aku tidak bercanda. Apa kau akan menyukaiku?" Sasuke kembali mengulang pertanyaannya, kali ini lebih tegas.

"Dengar Sasuke, kita sudah mengenal sejak lama." Sepuluh tahun, atau bahkan lebih. "Akan sangat aneh kalau nyatanya kita–um, pacaran mungkin. Lagipula aku sudah menganggapmu seperti keluargaku sendiri." Adik lebih tepatnya. Walaupun kau yang lebih tua.

"Begitu jawabanmu?" Kurang lebih begitu.

Aku mengangguk.

"Wakatta."

Setelahnya aku melihat Sasuke melenggang pergi, meninggalkan handphonenya yang tidak aku tahu tertutupi selimut biruku.

.

.

.

TBC