Oh, Karui!

.

by Sin-chan no Azura

.

Disclaimers:

NARUTOMasashi Kishimoto

Pelangi Di Matamu © Jamrud

.

AU. OOC. Minor characters. Garing.

.

Karui sama sekali tidak tersentuh kala melihat Samui menangis dari ambang pintu kelas. Malah, dalam hatinya, ia ingin tertawa keji. Hubungan antara Samui dan Karui tidak jelas, mau dibilang teman, salah, tapi kalau bukan, duh, tega amat. Kalau dibilang musuh pun, rasanya cuma sepihak. Hanya Karui yang membenci Samui.

Lima menit mendengarkan isakan Samui, Karui mulai muak. Sebenarnya ia tahu mengapa gadis pirang ini menangis, hanya saja alasannya terlalu sepele—atau begitulah menurut Karui yang belum pernah mengalami putus cinta. Gadis berwatak keras itu menghela napas lelah, namun ia segera membeku ketika mata keemasannya mendapati sosok Darui yang melangkah melewati mereka. Sekali lagi, melewati mereka. Awalnya Karui terheran-heran, tapi sesaat kemudian ia merasa bodoh karena melupakan sesuatu yang penting.

Darui bukan lagi kekasih Samui, dan statusnya baru berubah setengah jam yang lalu. Hal itu juga yang menyebabkan air mata Samui tumpah. Bagaimana dia bisa lupa?

'Cih, masa' aku kena penuaan dini, sih?' gerutu Karui dalam hati. Pasalnya, berita putusnya hubungan Darui-Samui merupakan satu hal yang sudah membuat hatinya merasa campur aduk sejak tadi. Jadi, benar-benar suatu penurunan daya ingat kalau Karui sampai melupakannya.

"Cie.. Disamperin Darui-san tuh!" Karui terlonjak kaget ketika mendapati sahabatnya sudah berada disampingnya, "Mabui! Lo tuh manusia atau setan sih? Bisa tiba-tiba muncul tiba-tiba ngilang gitu," Sama sekali tak tersinggung akan ejekan temannya, Mabui hanya tersenyum jenaka, "Yah, itulah hebatnya gue."

Karui tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Mabui, karena gadis itu pasti punya beribu cara untuk membalas ucapan Karui—sekalipun jawabannya seringkali tidak masuk akal—sehingga ia memilih untuk mengecek kebenaran perkataan Mabui.

Awalnya gadis berambut merah itu mengira apa yang dikatakan temannya murni dusta belaka, namun ia terbelalak melihat kini Darui sudah berbalik arah menuju mereka—ralat, menuju dirinya.

"Awas blushing..." goda Mabui yang tampaknya tak terpengaruh tangisan Samui di pojok kelas. Oh, jangan salah. Walaupun penampakan luarnya manis dan kalem, hati Mabui bisa lebih kejam dari Karui.

"Diem lu." bisik Karui sehalus mungkin. Dan yang dimaksud 'halus' adalah dengan menyikut Mabui di tulang rusuk. Gadis bermata hijau itu hanya meringis ketika Darui meliriknya.

"Mabui-san, kamu kenapa?" tanya Darui yang langsung menatap Mabui cemas. Karui tercengang. Kenapa perhatian Darui mudah sekali teralihkan? Ia menyesal sudah menyikut temannya tadi.

'Sial, padahal aku gak percaya sama karma. Aku percayanya kualat..'

Mabui lalu melirik sekilas ke arah sahabatnya itu, tampaknya dia merasa bersalah. "Ah, biasa. Penyakit maag gue kambuh," dustanya pada Darui sesaat kemudian.

Darui mengangguk-angguk, "Kamu cari obat gih, aku sekalian pengen minjem Karui bentar."

Mabui yang biasanya merasa geli ketika Darui berbicara dengannya menggunakan aku-kamu—sesuatu yang sudah biasa pria itu lakukan dengan seluruh teman perempuannya kecuali Karui—kini sama sekali tak peduli dan malah tampak excited.

"Iya, iya, silahkan! Gak usah dibalikin juga gak apa-apa kok." Mendengarnya, Karui speechless.

Setelah menyeret Karui ke halaman belakang kampus, Darui hanya menatap gadis itu dalam diam. Mabui yang mengintip dari balik tembok geregetan sendiri dibuatnya. "Elah, cepetan kenapa? Pengen ngomong aja mikirnya udah kayak ngerjain skripsi." Baru saja Mabui hendak memungut batu untuk menimpuk Darui, pemuda itu berjalan mendekati Karui.

"Hei, Karui-chan," panggil Darui. Sementara itu, yang disebut namanya malah bergerak-gerak gelisah mendengar nada bicara Darui yang tidak seperti biasanya.

"Hoh?" Sungguh jawaban yang tidak elit, namun Darui tak peduli.

"Elo—eh, kamu.." Lelaki itu memberi jeda sebentar, sementara Karui menahan napas. "Kamu mau gak jadi pacar aku?"

Blush.

Karui serasa ingin melompat ke sungai terdekat. Selain karena malu bukan main, ia juga berharap air sungai dapat melunturkan rona merah di wajahnya. Sementara itu, jantungnya tidak lagi berdegup kencang, lebih tepatnya sekarang sudah berhenti berdetak. Sepuluh tahun penantiannya tidak sia-sia!

Di balik tembok, Mabui melonjak gembira. Namun tidak untuk waktu yang lama, karena sesaat kemudian ia mendengar Karui berkata, "Maaf, gue pikir-pikir dulu, ya." Darui mengangguk, lalu menunduk lesu dan pergi meninggalkan halaman belakang. Karui sendiri menghela napas.

Tak!

"Bego lu, kenapa gak langsung lo terima!?" Belum sempat Karui mengaduh akibat sebutir kerikil yang menghantam kepalanya, Mabui sudah marah-marah duluan.

"Sakit, woy! Lo tuh belum pernah ngerasain yang namanya ditembak, kan? Jadi diem aja deh!"

Mabui mangkel, dia merasa tersinggung, "Iya dah, yang udah pernah mah, beda.."

Karui meringis, sedari dulu memang belum pernah ada lelaki yang menyatakan cinta pada Mabui. Tapi, ini juga baru yang pertama kali bagi Karui. "Eh, Kar, pokoknya lo harus nerima si Darui! Lo kan udah janji." Mendengar perkataan sobatnya, Karui mengangkat alis. Mana mungkin dia pernah mengucapkan janji konyol semacam itu?

"Janji? Janji apaan? Kapan gue janji kayak gitu?"

"Dulu banget.. Waktu kita masih kelas 1 SMP kalo gak salah…"

"Hah? Itu kan sepuluh tahun yang lalu! Lagipula waktu itu kita masih ABG labil, jadi sekalipun gue beneran ngomong kayak gitu, gak usah dipikirin kali," ujar Karui yang kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia heran bagaimana Mabui dapat mengingat sesuatu yang terjadi ketika umur mereka masih dua belas tahun.

"Heh, gak mau tahu! Janji tetap janji!" ujar Mabui tak rela.

"Tapi kan, Mab.."

"Udah, terima aja! Lagi juga, lo kan suka sama Darui, kenapa lu malah nolak?"

"Ya, kan perlu dipikir-pikir dulu. Butuh pertimbangan gitu lho. Gue harus yakin kalo dia bener-bener tulus sama gue."

"Halah, rempong lo." Mabui bersedekap, bete. 'Dasar jomblo, kalo modus dibilang tulus, girain tulus malah dibilang modus,' batinnya. Karui akhirnya mengalah, ia menghela napas, "Ya udah, coba lo ceritain secara detail waktu gue janji itu, mungkin nanti gue bakal beneran nerima Darui," Mabui tersenyum, ia lalu menceritakan apa yang terjadi sepuluh tahun lalu di lapangan upacara sekolah mereka.

#Flashback

Aku menatap malas seorang guru yang tengah mengoceh di depan. Di sekolah-sekolah Kota Kumo, setiap hari Senin diadakan upacara bendera. Katanya sih, untuk menghormati perjuangan Pasukan Aliansi Shinobi pada saat Perang Besar Dunia Shinobi Keempat beratus tahun yang lalu. Saat itu harusnya aku menyimak, namun sebagai siswi bandel SMP Kumo yang baik, aku malah menggunakan kesempatan itu untuk mencolek Karui, mengajaknya mengobrol. "Apaan?" sahutnya dalam keadaan yang tak kalah malas. Aku terdiam sebentar, bingung ingin membicarakan apa.

"Itu ngapain, itu? Maksudnya apa?" tanyaku asal sambil melirik kedua tangan Karui. Dalam genggamannya, ada sebuah gantungan berbentuk bintang oleh-olehku dari Suna. Di bagian belakang gantungan kunci yang terbuat dari kayu itu tertulis inisial Darui dan tanggal ulang tahunnya.

Karui ikut melirik tangannya, dan baru sadar dia sedari tadi memainkan gantungan kunci lokernya. "Gak ada maksud apa-apa," jawabnya sok santai. Padahal aku yakin dalam hati ia malu sendiri. Sejujurnya aku heran sekaligus kasihan pada Karui. Darui dulu adalah temannya di SD Kaminari Jaya, dan baru sekarang, setelah lulus, Karui menyukai lelaki itu. Semua karena ejekan aku dan Omoi, teman SD Karui yang juga bersekolah di sini.

Aku pun iseng bertanya, "Lu seriusan suka sama Darui? Nanti LDR lho."

"Bodo amat," tukasnya singkat. Sayang, pidato sang guru di depan sana tidak sesingkat jawaban Karui.

"Tapi kan, kalian udah gak bisa ketemu lagi. "

"Bisa kok! Siapa bilang? Siapa tahu nanti ketemu di SMA!"

Perangai Karui yang mudah sewot kembali muncul karena kalimatku barusan. Walau sedikit menyesal, aku berusaha menjelaskan sambil tetap memojokkanya, "Iya, tapi kan masih lama. Itu juga kalo dia satu SMA sama lo. Udah mana tuh bocah gak pernah mau datang ke reunian SD lo."

"Pasti satu SMA, kok!" Karui ngotot.

"Lagi juga, kalau pun lu satu SMA sama dia, lo yakin bakal masih suka sama dia?" tanyaku, tak menggubris jawaban Karui sebelumnya yang terlalu maksa.

"Masihlah! Sampai kapan pun juga gue bakal tetep cinta sama dia!"

"Ooh… Bener, ya? Awas aja lo, kalo pun Darui nembak lo baru sepuluh tahun lagi, lo harus nerima, ya? Gak mau tau gue, pokoknya harus nerima!" Aku menantang Karui dengan maksud membuatnya kapok. Dia pikir bertepuk sebelah tangan itu tidak menyakitkan apa? Lihat saja, dalam kurun waktu sepuluh tahun dari sekarang, dia akan menyesali ucapannya.

"Iya!" jawabnya mantap.

Aku pun menyeringai senang.

#Back in present

Hening.

Mabui sudah selesai bercerita dan tengah mengeluh-ngeluh haus, namun Karui belum berbicara sekalipun. Ketika Mabui mengangkat wajah, dia menatap sahabatnya itu lekat-lekat, menunggu jawaban. Karui hanya berkata pendek, "Kok gue gak inget ya?" Mabui menyerah. Ia menampar punggung gadis berambut merah itu sekuat tenaga. "Au ah! Capek gue, Kar. Udah deh, berdebatnya nanti dulu, gue haus!"

Di kantin, Mabui memaksa kawannya itu untuk mentraktirnya. Siang itu Mabui sudah melepas mode kalem, dan sudah tidak bisa dibantah. Akhirnya, Karui merelakan ongkos pulangnya untuk membelikan minuman Mabui.

"Nanti nebeng sama Darui-san aja, dia pasti mau." Entah sahabatnya itu bermaksud menghibur atau apa. Karui hanya menatap Mabui bete, namun ketika seorang pemuda pirang lewat di belakang gadis berambut putih itu, ia tersenyum jahil. "Kalo gitu lo kenapa gak minta traktir Cee-san aja? Dia juga pasti mau," ujarnya sambil menunjuk pria yang dimaksud.

Mabui langsung menangkap telunjuk Karui dan memelintirnya, tidak ingin seorang pun tahu siapa yang tengah gadis itu bicarakan. "Hmph, atas dasar apa lo yakin dia bakal nraktir gue?"

"Loh kan dia baik… sama elo doang lagi," jawab Karui sambil sesekali mengaduh kesakitan.

"Baik dari mana? Waktu gue duduk di atas kursi yang rusak, yang ada di bawah pohon beringin itu, dia malah doain gue supaya jatuh, dan katanya dia bakal seneng banget kalo beneran terjadi."

Karui bingung harus tertawa atau mengasihani temannya.

"Udah deh, gue udah berniat buat move on!" seloroh Mabui. Ketika Karui hendak membuka mulut, gadis itu kembali bicara, "Dan gue ga pernah ngucapin janji buat tetep cinta kayak lo."

'Ah, kok dia tau aja sih?'

"Kenapa lo mau move on, sih? Gue aja udah sepuluh tahun tetep setia sama Darui." Tampaknya Karui tak rela.

"Itu sih, lo-nya aja yang gagal move on."

Jleb.

Nyesek.

BERSAMBUNG


Hai! Ketemu lagi dengan boku dalam fanfic kedua yang berani boku publish di ffn ini. Fanfic ini masih humor kayak kemaren (semoga lebih lucu), kali ini ditambah sedikit romance yang gak romantic sama sekali.

Sebenernya sih fic ini udah selesai dari kapan tau. Tapi sengaja dibikin 2 chap biar pada penasaran :p

Eh? Pede banget readers bakal pada penasaran.

Review, please..? Boku yang hina ini terima-terima aja dikritik, tapi jangan nge-flame juga, sih.

Pokoknya kalo gak di review gak bakal boku apdet!

Becanda, deng.

See ya!

—Sin-chan no Azura