Chapter One
Pertemuan
Ketika aku menengok masa laluku, aku melihat bayangan bercak-bercak darah berwarna merah kental di lantai. Aku berumur enam tahun ketika ayahku membunuh ibuku dengan brutal. Setelah itu dia menghilang. Lenyap tanpa jejak. Meninggalkanku sendiri tanpa kasih sayang.
Ketika aku mencoba mengintip masa depanku, aku hanya melihat kehampaan di sana. Aku tidak memiliki cita-cita untuk diraih, aku tidak memiliki seseorang yang harus kulindungi. Yang tersisa bagiku hanyalah kehidupan yang hancur. Tidak ada yang menyayangiku. Tidak ada yang mau mengambilku dari panti asuhan sejak bibiku menitipkanku di sana. Dan akhirnya, aku meninggalkan panti asuhan itu dan pindah ke kota ini setahun lalu.
Dan sekarang, inilah aku. Umurku enam belas, tapi aku sama sekali tidak tahu apa itu kenikmatan masa remaja. Aku tidak punya pacar. Aku tidak pernah berdandan seperti gadis-gadis kebanyakan. Yang kutahu hanyalah cara bertahan hidup untuk hari ini, besok, dan seterusnya. Keadaan telah memaksaku untuk menjadi dewasa.
***
"Polisi datang!" teriak seseorang.
Keadaan langsung kacau. Beberapa lelaki berlari melewatiku, tangan mereka dipenuhi berbotol-botol minuman keras. Yang kami takutkan akhirnya terjadi juga: razia! Aku ikut berlari melewati gang sempit yang gelap bersama orang-orang lain, sementara belasan polisi mulai berdatangan.
"Haruno!" teriak seseorang padaku. "Jangan lewat sana! Polisi sudah menjaganya!"
Aku berbalik arah, tapi di depanku polisi sudah mulai beraksi menangkap orang-orang yang terlibat dalam transaksi minuman keras ini. Sementara di belakangku polisi juga sudah mulai berdatangan. Jalan buntu.
"Hei, kau!"
Aku menoleh. Seorang remaja lelaki berambut hitam berlari ke arahku. Peluh membasahi badannya yang terbalut kaus kumal. Matanya yang berwarna hitam gelap menatapku dengan liar, dan dia menunjuk tembok di sampingku.
"Kita bisa lewat sini!" teriaknya, "bantu aku!"
Tinggi tembok pembatas itu sekitar tiga meter. Tapi kami tidak punya pilihan. Dengan cepat dia mengangkatku, dan aku ganti menariknya ketika sudah berhasil naik. Lalu kami melompat turun. Untungnya di balik tembok itu tidak ada polisi. Tapi masih ada kemungkinan buruk, dan demi amannya kami berlari kencang menjauhi tempat itu.
Malam itu indah. Bulan memancarkan cahaya keperakan, sementara lampu-lampu jalanan menyala dengan semarak. Tapi aku dan orang tadi tidak sempat menikmati semua itu. Kami berlari kesetanan, menabrak-nabrak orang. Jantungku berdebar kencang sampai sakit rasanya.
"Kurasa cukup," kata orang itu akhirnya. Dia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. "Kita sudah berlari cukup jauh."
Aku menjatuhkan diri di atas tanah keras. Dalam kegelapan aku merasakan orang itu duduk di sampingku juga. Lampu taman mulai menyala, dan sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata dia sebaya denganku. Garis wajahnya keras, rambutnya kusut, dan dia tampak sama kumalnya denganku. Tapi itu tidak penting. Kami selamat!
"Hei," katanya sambil memerhatikanku, "kau perempuan?"
"Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Yah, kupikir..."
"Kau pikir perempuan tidak akan ikut transaksi minuman keras?"
"Orang tuamu tidak mencemaskanmu?"
"Aku tidak punya orang tua," bentakku.
"Sama," balasnya getir.
Beberapa saat kemudian kami hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku menyesal tidak sempat menerima uang dari hasil penjualan minuman keras tadi. Sekarang cacing-cacing di perutku ribut meminta makan, tapi aku harus menunggu sampai besok untuk mencuri makanan. Aku tidak bisa beraksi sekarang dengan fisik kelelahan. Kurasa aku akan mencari koran bekas dan tidur di kursi taman saja.
"Siapa namamu?" aku mendengar suaraku memecah kesunyian.
"Sasuke," katanya datar. "Sasuke Uchiha. Kau?"
"Sakura Haruno."
"Yah, Sakura," katanya sambil bangkit berdiri, "kuharap kita bisa bertemu lagi." Setelah itu dia berjalan menjauh, tangan di saku celana, meninggalkanku sendiri. Aku mengamati bayangannya sampai lenyap ditelan kegelapan malam.
***
Aku menyusuri jalanan yang ramai dengan keresahan seperti biasa. Beberapa orang menghindar ketika aku melewati mereka, dan dua anak SMP di sana terang-terangan menunjukku dengan ekspresi prihatin. Aku tidak peduli. Bahkan aku yakin, aku sudah nyaris tidak memiliki rasa peduli lagi. Aku sudah kebal dengan segala bentuk ketidaksukaan orang lain padaku. Dan, tentu saja itu wajar. Aku tampak seperti gembel. Benar-benar perempuan yang tidak pantas menjadi perempuan.
Mataku jelalatan mencari sesuatu yang bisa dicuri untuk mengenyangkan perutku siang ini. Sepotong roti atau apa saja, itu cukup bagiku. Selain kehilangan rasa peduli, kukira lidahku juga kehilangan indera pengecapnya. Semua yang kumakan rasanya sama saja. Hampa. Kosong. Tidak ada artinya. Tapi aku harus menjejalkan sesuatu ke mulutku tiap hari kalau ingin bertahan hidup.
Ketika aku berbelok di tikungan, aku melihat targetku. Sebuah toko sepi yang hanya dijaga oleh nenek-nenek yang sedang tertidur. Aku mengendap-endap, berusaha terlihat wajar, lalu menyambar sebungkus roti dari sana dengan cepat.
"Kau mau apa, pencuri?!" teriak penjual buah dari sebelah.
Aku langsung berlari kencang sambil membawa roti itu.
"Tangkap! Dia pencuri!"
Beberapa orang mendengar teriakannya, dan mereka berjaga-jaga untuk menghadangku. Sekitar lima orang, aku menghitung. Tidak sulit. Aku berlari menerjang mereka, dan alih-alih langsung tertangkap, aku malah bisa lolos dengan mudahnya. Aku meliuk-liuk di antara mereka, lalu berlari menembus angin. Tidak ada yang bisa mengejarku. Aku terlalu cepat.
Aku berlari melewati jalan tikus, memotong dengan melompati tembok, lalu berlari lagi. Berlari adalah satu-satunya hal yang membuatku senang. Aku suka merasakan angin dingin menerpa wajahku, juga sensasi dan adrenalin aneh yang menyengat tubuhku. Makin lama aku makin pandai melakukannya. Tidak heran, aku mencuri makanan paling tidak dua kali sehari.
Akhirnya aku berhenti, terengah-engah. Kausku basah oleh keringat. Rambutku berantakan. Aku bersandar di tembok sebuah pabrik, lalu mengamati hasil curianku dengan puas. Memang hanya sebungkus roti, tapi itu berarti segalanya. Ketika aku sudah setengah jalan menyuapkan roti itu ke mulutku, seseorang merebutnya, dan aku terkejut ketika menyadari siapa dia.
"Terima kasih," kata Sasuke. Dia langsung melahap roti itu dalam tiga gigitan besar.
"Kau..." aku menggeram marah. Perutku keroncongan.
"Hei, jangan marah," katanya.
"Kembalikan rotiku!" bentakku.
"Itu bukan rotimu," katanya santai, "kau mencurinya."
Aku menggeram marah lagi. "Mau apa kau?"
"Aku ingin mengajakmu... menjadi partnerku."
***
Ok, review yang anda kirim akan sangat saia hargai...
