"Aku mencintaimu!"

"Aku sangat peduli kepadamu, Sasuke-kun."

"Jangan pergi lagi!"

'Aku mencintaimu'.Sakura masih mencintainya. Gadis itu masih menyimpan perasaan yang sama kepadanya. Tak peduli berapa kali pun pria itu menyakitinya, bahkan hampir membunuhnya. Sakura masih sama, mencintai pria itu dengan seluruh hatinya.

.

.

.

.

.

Jika diumpamakan, sebuah hati laksana gelas kosong, dan perasaan itu bagaikan air yang mengisinya.

.

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

An Naruto fanfiction with pairing

SasuSaku

[Semi-canon]

Ken Ketsuke ©2019

Happy Reading!

.

Sudah terhitung beberapa belas bulan semenjak kejadian itu dialami Sakura. Ketika Perang Dunia Shinobi ke-4 telah berhasil dilalui oleh seluruh lapisan Shinobi di dunia Ninja ini. Meskipun memang pihaknya berhasil melawan musuh dengan hasil kemenangan telak, akan tetapi, para Shinobi tak dapat melupakan berapa banyaknya pengorbanan yang telah lebih dahulu menggugurkan sebagian besar para pasukan sekutu di medan perang demi sebuah perdamaian.

Meskipun begitu, semuanya tak akan sia-sia.

Semua perjuangan yang dilalui Sakura beserta teman-temannya memang tak luput dari bantuan berbagai pihak. Termasuk dengan hadirnya para Hokage yang ikut memberikan pengaruh besar. Namun, tentu saja semuanya tak akan terjadi tanpa campur tangan seseorang dengan ambisi besarnya, seseorang yang telah berhasil membawa para petinggi Kohona terdahulu tersebut.

Uchiha Sasuke. Pria itu yang telah mengambil peran besar untuk menghidupkan kembali para Hokage, maupun ikut berjuang bersama dengan yang lainnya.

Meskipun memang semuanya tak berjalan semudah yang Sakura kira pada awalnya. Ia pikir dengan hadirnya Sasuke ke medan perang dan menolong Konoha, pria itu akan kembali menjadi sosok Sasuke yang dirindukannya sejak lama. Sasuke yang ia kenal.

Akan tetapi, takdirnya kembali berkata lain. Rasa sakit dan kebencian di hati pria yang ia cinta itu telah mengambil alih dirinya. Bahkan Sakura pun tak dapat mengalahkan ambisi yang membara di hati Sasuke.

Masih ia ingat, di mana dirinya berjuang mati-matian untuk menahan pria itu agar tidak pergi bertarung bersama Naruto untuk melampiaskan dendamnya, dengan cara apapun —termasuk mengutarakan perasaannya yang telah ia bendung sejak lama.

"... Kau memang menyebalkan." ucapan yang dilontarkan Sasuke terus menghantuinya hingga saat ini, meskipun memang ia tak begitu mengerti apa yang dimaksud pria itu dalam untaian kalimatnya.

Apakah memang selama ini dirinya hanya dianggap sebagai pengganggu semata di hadapan Sasuke?

Apakah perasaannya memang tidak akan terbalas?

Memikirkan hal itu memang cukup menguras emosi Sakura, dirinya hanya akan termenung dan menghela nafas.

Bahkan hingga saat ini. Sudah satu tahun semenjak kepergian Sasuke untuk menebus dosanya itu berlalu, namun, dirinya masih saja merasa hampa. Bagaimana tidak, perasaan yang meluap di hatinya sepertinya tak Sasuke idahkan sedikitpun.

Sekali lagi helaan nafas keluar, namun kali ini terasa lebih berat dari sebelumnya. Iris klorofilnya melirik jam dinding yang menempel tepat di sudut ruang klinik kesehatan yang dikelolanya bersama Ino sejak lima bulan yang lalu. Sudah hampir jam tujuh malam. Tak terasa memang, waktu berjalan begitu singkat jika dirinya berada di klinik. Meskipun demikian, Sakura sungguh bahagia untuk dapat membangun klinik ini dan menolong orang lain.

"Aku harus pulang atau Ibu akan kembali mendecak di depan pintu." gumamnya pelan, entah pada siapa. Sesekali ia mengela nafas ketika kembali memasukan dokumen-dokumen kesehatannya ke dalam laci dan membereskan meja kerjanya.

Kliniknya sudah sepi, dan sepertinya Ino pun sudah pulang sejak tadi —ah, tentu saja, gadis itu tak akan tahan berlama-lama menunda waktu untuk bertemu dengan kekasihnya, Sai.

Sakura cukup iri sebenarnya, sahabat pirangnya itu dengan mudah mendapatkan pria yang diidamkannya karena memang Sai juga mempunyai perasaan yang sama. Berbeda dengan dirinya, bahkan ia pun tak tahu bagaimana perasaan Sasuke terhadapnya.

Kakinya kini berjalan menuju pintu, melangkah keluar dan lalu mengunci klinknya agar tetap aman dari berbagai ancaman.

Kepalanya mengadah, menatap langit malam yang mulai larut. Bintang-bintang memang tengah bertaburan malam ini. Akan tetapi, tak sedikitpun mewakili perasaannya yang resah nan gelisah, meskipun begitu, satu senyuman refleks terukir di antara pahatan wajah cantiknya.

'Apa yang tengah Sasuke lakukan?'

Pertanyaan itu tiba-tiba mengelilingi kepalanya. Terlalu bodoh, memang, ia yang bahkan tak tahu di mana Sasuke saat ini, untuk apa bertanya demikian?

Sakura kembali pada posisi awalnya, berjalan maju untuk segera pulang dan makan malam bersama kedua orangtuanya. Sebelum itu, sebuah bisikan dalam hatinya kembali menyeru,

"... Sasuke-kun."

.

.

.

.

Gelas itu akan terus menerus terisi air di setiap harinya, hingga iapun akan mencapai titik di mana dirinya tak mampu lagi menahan beban air yang ditampungnya.

.

.

.

"Ibu dan Ayah pasti menyukai ini!" Sakura setengah berteriak antusias saat mengacungkan sekantong plastik berisikan cake yang ia beli saat melewati beberapa toko menuju rumahnya. Ibunya yang selalu cerewet saat ia pulang terlambat, pasti akan langsung diam seribu bahasa saat disogok dengan sekotak cake kesukaanya. Sakura terkikik geli dalam diamnya, mengingat sikap ibunya itu membuat gadis berhelai merah muda tersebut ingin segera pulang dan bersantap bersama keluarganya.

Ah, bukankah akan sangat menyenangkan. Hatinya terus bersorak penuh antusias.

'Clak'

Tap

Sakura menghentikan langkahnya. Sepertinya ia mendengar sesuatu. Emeraldnya bergerak waspada. Bahkan kunai yang berada di belakang tubuhnya telah berhasil ia keluarkan, untuk berjaga-jaga. Dirinya kini berdiri di antara gang yang luasnya tak cukup besar dengan keadaan penerangan yang sangat kurang.

Sakura tertegun di tempatnya.

Ia merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah chakra yang tak asing lagi baginya, tetapi, apakah ini mungkin?

'Set'

Sebuah bayangan secepat kilat muncul di hadapannya. Tubuh yang biasanya sigap dalam menghadapi ancaman seperti ini, justru terhuyung dan spontan mundur beberapa langkah ke belakang.

Tidak mungkin.

Iris hijaunya bergetar, begitupun dengan setiap inci dalam tubuhnya yang bersorak antusias.

Jubah hitam yang perlahan tertiup angin malam, pun dengan helai hitamnya yang ikut menari-nari karenanya.

Jemarinya yang lemas tak dapat lagi menahan genggaman kunai yang semula diacungkanya ke arah bayangan dengan kedua netra sekelam malam tersebut, hingga kini benda tajam itu terjatuh dan membentur tanah di bawahnya.

"Sa…?" suaranya tertahan di pangkal kerongkongan.

Sosok di hadapannya tersenyum dengan sebuah lekukan tipis,

"Lama tak berjumpa, Sakura."

Emerald yang bersitatap dengan jelaga itu berkilat antusias, memberi sebuah arti tak terperi.

"... Suke!"

.

.

.

Air yang telah memenuhi gelas itu pun meluap terus menerus.

Hingga hal yang dapat dilakukan adalah, memimum air itu untuk meringankan beban si gelas, atau justru mengabaikannya, membuat air yang meluap terbuang sia-sia.

.

.

Sakura masih tertegun di tempatnya, tentu dengan sekujur tubuhnya yang bergetar hebat. Dengan sekuat tenaga ia menahan dirinya untuk tak berlari menerjang sosok di depannya itu dan lalu berhambur untuk memeluknya— tak akan sedikitpun membiarkan dirinya pergi lagi.

Namun, pada kenyataannya, Sakura harus menahan langkah kakinya. Iris hijau itu kembali menatap jelaga hitam yang berkilat di bawah cahaya bulan. Sebuah suara keluar meskipun dengan nada bergetar.

"Sasuke-kun? Kenapa kau ada di sini?" air mukanya berubah menyendu, tak kuasa menahan segala rasa atas sosok jangkung yang berada di hadapannya kini.

Sang empunya nama tak langsung menjawab, hanya wajah datar dan tatapan menusuknya yang selalu ia keluarkan itu, yang dapat terlihat oleh Sakura.

"Untuk menemui seseorang." jawabnya.

Pria itu masih tak berubah. Suara dinginnya bahkan terasa lebih berat. Sasuke berbalik membelakangi Sakura yang masih membatu di tempatnya berdiri semula.

Kepala merah muda itu masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang saat ini tengah menghantuinya.

Sasuke yang tiba-tiba muncul di hadapannya, bukankah terasa bagai sebuah mimpi baginya?

Pandangannya bergulir, menatap punggung yang berjalan tak jauh darinya. Sosok itu berada tak jauh beberapa radius darinya, tetapi, kenapa terasa begitu jauh?

Sasuke yang semula berjalan lebih dulu, kini memutar setengah tubuhnya dan kembali membuka suaranya.

"Kenapa masih diam di sana? Rumah kita masih ke arah yang sama 'kan?" ucapnya. Sakura yang semula tenggelam dalam lamunannya itu kini menatap lurus ke arah si pria dengan jubah hitam itu berdiri. Menyadari apa yang pria itu ucapkan, dan melanjutkan langkahnya untuk detik selanjutnya.

"A-ah, ya."

Karena memang nyatanya, semua perasaan yang telah ia bendung akan memiliki titik di mana rasa itu meluap keluar, dengan ataupun tanpa kata.

.

.

.

.

Gelas yang diabaikan terpaksa menunggu alam menjalankan tugasnya. Ia menunggu agar air yang meluap itu menyurut dengan sendirinya. Atau bahkan sesuatu dapat menutupi lobangnya yang menganga— menutup paksa air yang telah meluap itu untuk tetap tertahan di sana.

.

.

.

.

Keduanya berjalan dalam diam. Bahkan Sakura tak tahu harus berkata apa kepada pria di hadapannya tersebut. Gadis itu hanya memperhatkan punggung tegap sang pria dengan tatapan heran dalam hatinya. Masih setengah percaya akan objek yang ada bersamanya kini.

"Desa ini telah banyak berubah." eksistensi gadis itu teralih saat pria di hadapannya itu berucap pelan.

"Ah, ya." tanggap Sakura cepat. Sungguh, ia tak tahu harus berkata apa, bahkan lidahnya terlalu kelu untuk sekedar berkata lebih.

"Bagaimana dengan Naruto?" Sasuke kembali bertanya. Sepertinya pria itu belum merasa puas dengan jawaban yang Sakura berikan, dan masih ingin tahu lebih jelas tentang desa yang telah lama ditinggalkanya tersebut.

"Naruto sebentar lagi akan menikah." tutur gadis itu. Kepalanya sedikit menunduk, membiarkan helai merah jambunya menutupi sebagian pandangannya. Teman baiknya itu memang telah menentukan pilihan hidupnya dan akan segera menjalani hidup bersama gadis pujaannya, Hinata.

Bahkan di saat yang seperti ini ia merasa cemburu kepada Naruto. Bukan, bukan karena teman semasa kecilnya itu akan menikah dengan Hinata, tetapi merasa cemburu tentang bagaimana Naruto dan Hinata hidup bersama dengan orang yang mereka cintai, tak seperti dirinya yang bahkan tak mampu berbuat apa-apa untuk pria yang dicintainya. Pria yang kini berada di hadapannya.

Gadis itu menghela nafas. Meskipun ia mencoba untuk menyerah, semuanya akan tetap berakhir sama.

"Lalu, bagaimana denganmu?"

Sakura tersentak. Kepalanya mengadah seketika, melirik ke arah Sasuke yang menatap lurus ke depan.

"Aku? Ahaha… kurasa aku tak akan menikah secepat itu." sebuah tawa palsu terpaksa ia buat meskipun memang akhirnya terlihat getir. Bahkan ia tak dapat menyangkal jika faktanya dirinya memang terluka, tetapi sebisa mungkin semua itu ia tutup dengan rapat.

"Kenapa?" Sasuke kembali bertanya, menuntut sebuah jawaban pasti akan kalimat yang gadis itu ucapkan.

Sakura terdiam sesaat, memikirkan apa yang harus ia ucapkan. Apa ia harus berkata jujur bahwa dirinya masih menunggu cinta Sasuke? Atau justru memberikan sebuah alibi dan mengubur perasaannya dalam-dalam?

"A-aku hanya belum menentukan pasanganku." kalimat itu refleks terlontar dari mulutnya. Sasuke tak mereson, pria itu hanya menatap lurus ke depan.

Sakura mendengus pelan. Apa yang ia ucapkan salah? Kenapa pria di sebelahnya itu malah terlihat mengabaikannya lagi?

Yah, mau tak mau Sakura-lah yang harus mencari bahan obrolan meskipun cukup sulit, tetapi itu semua dilakukannya untuk mencairkan atmosfer di antara keduanya. Sedikit menimang, tetapi sepertinya pertanyaan yang membelunggu di hatinya berhasil keluar dari mulutnya,

"Bagaimana denganmu? Ah, kurasa kau tak perlu susah-susah mencari pasangan, bukan? Banyak wanita yang tentu akan mengincarmu." ucapnya dengan tanpa sedikitpun jeda untuk menunggu Sasuke menjawabnya lebih dulu. Namun, sesaat kemudian dirinya menyadari apa yang diucapkannya kepada pria di sampingnya. Emeraldnya kembali melirik Sasuke yang masih tak sedikitpun merespon. Kali ini Sakura benar-benar meruntuki dirinya sendiri dan mulut yang tak bisa singkron dengan otaknya. Sial.

Kepalanya kembali menunduk. Pasti Sasuke akan marah karena ucapannya baru saja. Helaan nafas kembali keluar darinya.

"Bagaimana jika denganmu?"

Kepala gadis itu sontak mengadah. Ia tertegun. Langkah kakinya spontan terhenti, begitupun dengan rasa kaku di sekujur tubuhnya. Jantungnya bahkan berdetak dua kali lebih cepat. Sasuke ikut menghentikan langkahnya, berbalik dan mengadap sang dara.

"A-aku? Apa maksudmu?" Sakura menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan bahwa kalimat yang baru saja ia dengar benar adanya.

Pria itu menatap Sakura dengan tatapan yang sulit diartikan. Jelaganya berkilat tajam. Raut wajahnya tetap sama, dingin dan datar.

Angin malam berhembus pelan, diiringi dengan beberapa helai daun kering yang ikut terbang karenanya.

Bahkan hembusannya telah berhasil menerbangkan helai-helai rambut kedua insan yang berdiri dengan tatapan berbeda makna tersebut, memberikan kesan yang serupa berartinya.

"Tentu untuk hidup bersamamu." ucapnya pelan. Sakura tersentak. Degup jantungnya semakin berdetak lebih cepat untuk saat ini. Emerald itu menatap jelaga yang berkilat di bawah cahaya bulan. Mereka saling menatap, melemparkan makna yang berbeda. Kedua lengan Sakura mengepal perlahan.

Apakah yang dikatakan Sasuke benar adanya? Lalu, mengapa tak sedikitpun kebohongan ia temukan di antara manik hitamnya?

Ia menunduk dalam diamnya, membiarkan helai merah mudanya menutupi iris matanya yang mulai memanas.

"Tolong jangan bercanda, Sasuke-kun."

Sakura mencoba untuk kembali menetralkan detak jantungnya saat ini, bergulir dan lebih memilih menatap jalanan di bawahnya.

Lagi pula saat tadi pria itu mengatakan akan menemui seseorang, tentu masuk akal bukan jika Sasuke kembali untuk menemui gadis yang ia cinta, dan tentu saja itu bukan dirinya. Begitu pikirnya.

"Kau pikir aku bercanda?" pria itu menggenggam lengan kecil yang semula mengepal tersebut, hingga membuat sang empunya kembali tersentak. Keduanya sama-sama terdiam untuk beberapa saat.

Sakura mencoba untuk melepaskan genggaman tangan Sasuke. Namun, tentu saja tenaga pria akan jauh lebih kuat. Bahkan sosok kinnoichi yang terkenal dengan kekuatan monsternya itu mendadak lemah dalam keadaan seperti ini.

"Sasuke-kun, lepas!" gadis itu terus mencoba untuk memberontak, akan tetapi pria itu justru semakin menguatkan genggamannya.

Sasuke justru melangkahkan kakinya, membuat gadis berhelai merah jambu itu refleks bergerak mundur hingga kini tubuhnya menambrak tembok pembatas bagi rumah-rumah di sekitarnya. Kepala pria itu menunduk, tak sedikitpun memperlihatkan ekspresi wajahnya saat ini.

Ia mendecih pelan, bahkan di saat yang seperti ini dirinya tak tahu harus mengatakan apa kepada gadis yang selalu hidup dalam pikirannya tersebut. Tenggorokannya terasa tercekat, tak mampu untuk sekedar mengucap kata.

Begitu lemahnya ketika dirinya dihadapkan dengan cinta lamanya.

"Apa kau percaya jika aku kembali hanya untukmu?" untaian kalimat dengan nada berat itu mengalun indah di telinga Sakura. Genggaman tangan sang pria mengendor, dan kini beralih menuju pinggang ramping gadis di hadapannya, bergerak untuk membawa Sakura ke pelukannya.

.

.

.

.

Namun ada kalanya kebaikan selalu datang. Nyatanya, gelas itu tak sepenuhnya ditinggalkan oleh sang pemilik. Pemiliknya kembali dengan membawa sebungkus pemanis untuk menyurutkan air putih yang semula hampa tak berasa—menghantarkan rasa manis bagi si pemilik, maupun si gelas itu sendiri.

.

.

.

.

"Untuk memulai hidup baru bersamamu." kembali kalimat itu dilanjutkannya. Membuat gadis yang kini membeku dalam dekapannya itu semakin mati rasa.

Sakura tak tahu harus berkata atau bereaksi seperti apa, untuk saat ini dunianya terasa terhenti. Hatinya seolah bertanya-tanya akan keadaan yang saat ini tengah menimpanya.

Apakah semua ini mimpi?

Jika semua ini hanya sebuah mimpi semata, jangan biarkan hal kecil apapun membuatnya terbangun.

Tetapi, jika memang semua ini nyata, tolong jangan biarkan pergi lagi.

Pelukan itu semakin mengerat diiringi dengan deraian air mata yang tak mampu lagi Sakura bendung.

"Bohong." satu kata yang selama ini membelunggu dalam hati dan pikirkannya. Ia takut. Takut jika memang semua yang pria ini ucapkan hanyalah sebuah kebohongan belaka. Terlalu takut jika memang pria itu akan pergi dari hidupnya.

Jemarinya mencengkram erat sisi baju di antara dada sang pria, menyalurkan emosi dan perasaan yang selama ini telah ia bendung sejak lama.

Sasuke tersenyum singkat dalam diamnya. Bergerak mengelus puncuk merah muda itu dengan lembut. Sementara sang gadis semakin tenggelam dalam dekapannya, seolah tak membiarkan pria itu pergi lagi.

"Sakura… aku tahu kau telah menahannya sejak lama," ia kembali berucap di bawah samar-samar cahaya bulan yang menjadi saksi di antara keduanya. Menggantungkan kalimatnya untuk beberapa saat, dan lalu—

"Maaf." —mengecup puncuk kepala yang telah lama ia rindukan itu dengan segenap rasa yang selama ini ia tutup dengan rapat.

Sakura terdiam. Ia tak kuasa menahan air mata yang semakin menyeruak dari pelupuk indahnya. Hening. Gadis itu semakin tenggelam di antara dada bidang si pria dalam isak tangisnya.

Akankah semua ini nyata? Benarkah perasaannya terbalas?

Si pria kembali memberikan senyumannya. Meski kali ini raut wajahnya terlihat berbeda. Alis tipisnya perlahan menyendu.

Pria itu tahu jelas bagaimana kesungguhan gadis itu padanya. Pun dirinya mengetahui bagaimana gadis itu telah berhasil mengambil hatinya. Meskipun sejak lama ia mencoba menepis perasaannya sendiri demi ambisi dalam dirinya, namun nyatanya perasaan yang ada di hatinya itu tak kunjung reda, bahkan semakin kuat di setiap harinya.

Untuk itu, dengan menghindarinya, ia berharap Sakura bisa menemukan pria yang lebih baik dirinya.

Tetapi, pada akhirnya, Sasuke tetap menyakiti gadis yang dicintainya.

"Hei..." pria itu melepas pelukannya sesaat. Jemari kekarnya menyentuh lembut dagu gadis merah muda yang senantiasa tertunduk, tak bersuara. Jelaga itu menghangat. Menatap lembut jamrud yang samar-samar membasah. Sengatan itu kembali. Namun, terasa begitu berbeda untuk kali ini. Bukan rasa yang hadir sebagai sebuah candu, melainkan rasa menusuk telak ke relung hati. Keduanya menyadari hal itu.

Ada apa? Kenapa seulas senyum begitu sulit terukir di antara pahatan wajah sang dara? Rasa sakit dan bahagia bercamur dalam dirinya.

'Bruk'—tubuhnya kembali terhuyung tanpa sedikitpun otaknya perintah.

"Aku mencintaimu..." berbisik pelan di antara isak tangisnya.

Si pria hanya mampu terdiam. Merasakan setiap inci kehangatan yang kembali menyebar ke seluruh jengkal dalam tubuhnya. Tersenyum pasti untuk detik selanjutnya. Mengusap surai merah muda sang dara dengan lembut.

"Aku tahu," ia menggantungkan kalimatnya untuk beberapa saat, membiarkan suara isak tangis sang gadis yang mengambil alih. Kembali surai merah jambu itu ia usap tanpa sedikitpun rasa bosan di hatinya.

"Aku juga." tuturnya dengan penuh rasa pasti di hatinya.

Hening. Tak ada lagi kata yang terlontar, hanya sebuah isak tangis sang dara merah muda yang mendominasi. Keduanya sama terlarutnya dalam perasaan yang mereka coba sembunyikan kehadirannya.

Kepala raven itu mengadah, menatap langit kelabu yang membentang tak terkira di atasnya.

Malam semakin larut, akan tetapi bintang semakin bertaburan, pun dengan rembulan yang tak bosan menampakan biasan cahayanya. Seulas senyum tipis kembali terukir di antara pahatan wajah tampannya.

Pada akhirnya, perasaan yang semula ia coba untuk tepis kehadirannya, perasaan yang semakin hari semakin menyakiti gadisnya, perasaan yang pada akhirnya sama-sama terbalaskan.

.

.

.

.

Rasa manis itu akan tetap terasa hingga ke tegukan terakhir.

Si pemilik akan merasa puas, sama halnya dengan si gelas yang merasa lega akan beban yang selama ini ditanggungnya.

Bahkan, aroma dan rasa manis itu akan terasa di tenggorokan sang pemilik, dan bertahan di antara permukaan dalam gelas tersebut.

.

.

.

.

.

"Sakura! Ada surat untukmu!" Mebuki berteriak cukup keras dari lorong rumah kediaman Haruno hingga membuat sang empunya nama yang semula tengah bersantai di ruang keluarga itu teralihkan eksistensinya.

Sakura berjalan menghampiri Ibunya, memberikan sebuah senyuman sebelum akhirnya mengambil amplop berwarna putih tersebut dengan segera.

"Terima kasih, Bu." tuturnya. Dengan segera ia berjalan menuju kamarnya untuk kembali menikmati hari libur kerjanya. Mebuki tak memberikan respon lebih dan justru memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaannya.

Sakura kembali tersenyum setelah berada di kamarnya. Gadis itu kini duduk di pinggir kasur tidurnya.

Kembali eksistensinya teralih pada surat yang telah berada di tangannya tersebut, dan dengan segera ia membukanya.

'Aku pergi untuk menyelesaikan tugasku. Aku akan menemuimu setelah aku kembali.

Kita harus segera membicarakan tentang pernikahan kita.

U.S'

Sakura tersenyum setelah membaca untaian kata demi kata dari surat yang baru saja diterima olehnya.

Gadis beriris jamrud tersebut masih tak percaya saat itu Sasuke kembali hanya untuk menemuinya, menyatakan perasaannya.

Dan kini sebuah surat darinya telah ia terima, surat yang ditulis langsung oleh Sasuke.

Bahkan pria itu sudah membawa-bawa pernikahan dalam suratnya.

"Dasar." gumamnya pelan. Sakura kembali tersenyum melihat kertas yang masih ada dalam genggamannya tersebut.

Bahkan rasa bahagia di hatinya tak dapat terkira hanya dengan sebuah kata.

Kembali ia menghela nafas.

Mau seberapa lama pun ia menunggu, perasaannya akan tetap sama. Ia akan selalu mencintai pria yang menjadi cinta pertamanya itu.

—Pria yang juga telah menjadi cinta terakhirnya.

.

.

.

Dengan demikian hubungan timbal balik sangat diperlukan antara si pemilik beserta gelasnya itu sendiri.

Jika tidak, gelas yang terlalu lama menahan beban tersebut akan terjatuh hingga pecah berkeping-keping, dan si pemilik pun akan merasa kehausan.

Maka, dengan meminum air dari gelas tersebut dapat sama-sama menguntungkan bagi keduanya. Sang pemilik merasa lega akan rasa hausnya, pun dengan si gelas yang merasa lega dari beban yang selama ini ditanggungnya.

.

.

.

.

FINISH

A/N : Hai. Aku datang bawa ff oneshot. Semoga suka ya. Fyi, ini ff semi-canon pertama aku, jadi maaf kalo masih banyak kekurangan.

Thanks3

Luv ya,

Ken Ketsuke