Suara kecipak mengiringi langkah kaki. Beberapa orang mengejar sesuatu yang kini juga berlarian menembus hujan sambil membawa sebuah koper hitam. Serangan dilancarkan namun tak jua mengenainya sedari tadi.
"Berpencar!"
Sebuah titah meluncur. Beberapa memecah direksi, berniat mengepung dari arah lain. Target mereka kali ini melompat ke bangunan yang lebih tinggi dengan lihai. Satu orang pengejar menjadi garda terdepan, mengeluarkan sedikit quirknya. Gerakan tangan kanannya menghasilkan es dalam jumlah besar guna mempersempit celah si target kabur.
Tetapi ia masih bisa menghindar dari serangan sebesar itu.
"Todoroki—maksudku, Shouto, bagaimana?" sebuah suara muncul di wireless earbudnya. Shouto terus mengejar sembari berusaha menjawab.
"Aku sedang mengejarnya."
Si target masih kukuh berlari. Shouto mengeluarkan esnya lagi dan berhasil mengenai kaki kiri mangsanya. Namun tak lama setelahnya, esnya pecah begitu saja.
"Padahal esku sangat keras, bagaimana dia bisa lolos dengan mudah?" gumam Shouto. Ia terus mengejar hingga si target justru menaiki tangga luar sebuah bangunan tak terpakai.
Mereka berlari hingga ke atap. Di atas, langit masih terlihat begitu gelap dan menyeramkan. Hujan pun turun semakin deras. Shouto melihatnya telah terpojok karena berada di pinggir atap. Bangunan ini tinggi, tidak mungkin dia melompat, bukan? Kecuali dia memiliki rekan dalam aksi kali ini. Berdasar laporan, ia hanya sendirian.
Shouto mengarahkan tangan kanannya, siap siaga mengeluarkan es miliknya.
"Deku, kuharap kau menyerah sekarang."
Topeng hijau dengan telinga panjang itu begitu dikenali di antara kalangan pahlawan. Dia adalah penjahat, dengan nama yang ia gunakan; Deku. Ia selalu saja mencuri uang. Dan di setiap aksinya, ia selalu sendirian. Belum diketahui apakah ia beraliansi dengan penjahat lain, tetapi satu yang pasti; dia tidak boleh dibiarkan meresahkan masyarakat.
Kasus ini sendiri dialihkan ke agensi pahlawan miliknya—warisan dari Endeavor, Ayahnya. Dan sebagai salah satu pahlawan pro sudah jelas Shouto juga harus mengurus ini. Apalagi kasus ini telah berskala nasional karena terlalu banyak uang yang dicuri. Ini adalah kasus ke-delapan belas dalam enam bulan terakhir. Kehilangan yang luar biasa.
Nominal yang ia curi pun tidak tanggung, minimal ia bisa menggasak sepuluh juta Yen. Targetnya adalah bank dan pejabat pemerintah. Entah apa yang ia pikirkan hingga nekat melakukan kejahatan seperti ini. Bukan hanya kerugian dalam bentuk finansial, beberapa orang selalu terluka dan tewas setiap ia muncul.
Tidak bisa dibiarkan, bukan?
Deku hanya berdiam beberapa saat, sebelum ia memutuskan membuang kopernya ke bawah dan turut terjun setelahnya. Shouto langsung meminimalkan jarak, meluncur dengan tumpuan es agar bisa segera menangkapnya. Juga meluncurkan beberapa serangan dalam skala kecil untuk melukainya. Setidaknya ia harus dilumpuhkan terlebih dahulu.
Ketika Shouto hendak mendapatkannya, Deku menendang kepalanya dan membuat Shouto kehilangan pandang untuk sementara. Saat Shouto melihatnya kembali, dia tidak ada di bawah sana. Atau sepanjang ia memandang hamparan jalan.
Deku menghilang.
Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei
Alternate Canon atau Reality yah? Wkwkw bingung gw mau ngasih tag apa tapi mungkin lebih condong ke Alternate Canon.
Fem!Izuku. Villain!Izuku. ProHero!Shouto.
Maybe OOC. Typo(s)
Buat shirocchin. Katanya lo minta villain ijuku aowkwkwk
1/?
"Serius?"
"Iya, kudengar dia sampai ijin hari ini."
Berita hari ini lumayan besar di kantor agensi. Shouto meminta ijin tidak masuk dulu hari ini karena merasa demam setelah kemarin hujan-hujanan hampir selama tiga jam. Tanpa hasil pula.
Sedang pihak yang dibicarakan kini bersin di atas kasur sendiri. Kepalanya pusing luar biasa, dan rasanya ia hanya ingin memejamkan mata seharian. Bukan karena demam, ia hanya terlalu malas pergi ke kantornya. Pasti sekarang sedang banyak orang yang memperbincangkannya.
Tapi dia tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan kejadian kemarin. Bagaimana bisa ia gagal menangkap seorang penjahat? Ia adalah seorang pahlawan, bukan?
Shouto menatap langit awang-awang. Ia merasa buntu. Apakah ada petunjuk atau cara lain untuk menangkapnya?
Berdasar informasi yang didapat dari Kepolisian, Deku tidak pernah menunjukkan quirknya. Tidak ada yang tahu seperti apa kemampuannya. Tetapi ia jago dalam meloloskan diri. Hal ini yang membuat Shouto sedikit penasaran.
Bagaimana kalau Deku telah memakai quirknya namun tak ada seorangpun yang sadar?
Itu bisa saja. Ia teringat dengan Shinsou, salah satu pahlawan dari agensi lain. Kemampuannya adalah mencuci otak, brainwashing. Menyembunyikan quirk adalah kemungkinan paling besar. Lagipula, siapa yang tidak memiliki quirk di jaman ini?
Shouto beralih duduk dan melihat ponsel di meja. Sudah tengah hari. Ia belum beli bahan makanan lagi hari ini. Mungkin dia harus berjalan-jalan sebentar.
Ah, tetapi ia harus menyamar dulu.
Karena warna rambutnya agak unik, Shouto tak punya pilihan selain memakai wig hitam. Karena ia hanya punya ini sebagai persediaan, hadiah dari Denki saat natal silam. Selain itu, ia menggunakan kacamata dengan lensa kecokelatan. Memang terlihat seperti orang tua, tapi tidak apa daripada ia mendapat gangguan dalam acara membeli bahan makanan.
Shouto pergi ke minimarket yang tak jauh dari apartemennya. Sejak menjadi pahlawan pro, ia memang berniat mencoba hidup mandiri dan meninggalkan rumah keluarganya. Menurutnya begini lebih baik.
Shouto menimbang, ia ingin beli apa hari ini. Mungkin membuat sup ayam? Babi panggang? Makarel pedas manis?
Hm. Sepertinya jangan yang pedas. Mungkin dia akan buat sup saja. Ia sibuk melihat bahan dari satu rak ke yang lain. Ia terhenti di bagian daging gurita. Mungkin ia akan mencoba membuat Takoyaki malam ini. Lagipula dia sedang bosan makan soba.
Shouto hendak mengambil daging itu sebelum ia melihat ada tangan lain yang juga berniat sama. Shouto refleks memundurkan tangannya dan meminta maaf.
"Maaf, apa kau juga menginginkan ini?"
"Ah, tidak masalah. Anda saja. Saya akan mencari bahan lain."
"Daging guritanya tinggal dua ratus gram, silakan nona saja." karena yang Shouto lihat memang seorang gadis di sebelahnya. Rambutnya berwarna hijau ikal, sedikit lebih pendek darinya. Dia juga mengenakan rok.
"Terima kasih, Tuan. Saya akan membalasnya lain kali." gadis itu mengambil daging gurita dan membungkuk untuk berterima kasih. Shouto menghentikannya.
"Tidak perlu berterima kasih."
"Apa Tuan juga ingin memakan ini? Saya bisa membuatkan sesuatu, mungkin?" tawar gadis itu. Shouto menggeleng pelan.
"Lebih baik kau cepat pulang. Aku tidak apa."
"Sungguh?"
"Hm, ya."
Shouto melihatnya berjalan menjauh. Hah. Bisa-bisanya dia tidak fokus dan hampir saja merebut bahan belanjaan seorang gadis.
Mungkin dia yang terlalu lelah karena kemarin.
Hari ini Shouto mendapat libur. Cutinya biasanya ia ambil dua hari di akhir bulan seperti ini. Yah, dia juga bukan budak agensi. Sesekali mengistirahatkan tubuh tidaklah buruk.
Hari ini dia duduk di taman dengan penyamaran yang biasa ia gunakan. Meski libur, dia juga tetap khawatir jika ada kejadian tak terduga yang mengancam stabilitas keamanan. Sehingga ia berakhir di ruang terbuka dengan membaca sebuah buku yang ia pinjam dari perpustakaan kota.
Buku yang ia pinjam sebenarnya buku biasa, berisikan berbagai dongeng jaman dahulu kala. Shouto yang tidak pernah bisa menikmati masa kecilnya sangat menyukai buku ini di umurnya sekarang. Ternyata banyak hal yang ia lewatkan ketika berlatih dengan keras dan menjadi pahlawan.
Dongeng yang paling ia suka adalah Cinderella. Terkesan kekanakan, memang. Tapi bagi Shouto itu adalah kisah yang sangat bagus.
Setiap dongeng mempunyai pesan moral; bahwa perbuatan buruk akan berakhir buruk pula. Niat jahat seseorang akan berbalas kali lipat dari yang seharusnya.
Shouto suka bagaimana kisah Cinderella dibawakan; bagaimana seseorang yang diperlakukan seperti itu masih memiliki hati untuk memaafkan orang yang telah menyakitinya. Tidak semua orang bisa melakukannya. Dan menurut Shouto, ini salah satu nilai lebih dari kisah fiksi jaman dahulu.
"Permisi, bolehkan saya duduk di samping Anda? Bangku lain sudah penuh."
Di taman memang selalu langganan cepat penuh. Shouto menutup buku dan melihat siapa yang mengajaknya berbicara.
"Ah, Tuan yang waktu itu? Emm—"
Shouto tidak ingin memperkenalkan namanya. Bisa gawat jika ada yang mengetahui identitas aslinya.
"Hiro."
"Hiro-san? Wah, apakah ini kebetulan kita bisa bertemu lagi?"
Shouto melihat gadis itu membawa banyak buku bacaan. Apa dia tidak berat harus membawa semua itu kemari?
"Ah, aku sedang belajar untuk ujian semester. Namaku Midoriya Izuku."
"Senang berkenalan denganmu, Midoriya."
Izuku kemudian duduk di sebelah Shouto, tak sengaja melihat buku berjudul Kumpulan Dongeng. "Aku juga. Tuan—maksudku, Hiro-san suka membaca kisah seperti ini, ya?"
"Begitulah. Saat aku kecil aku tak punya kesempatan menikmati hal seperti ini. Jadi membaca dongeng lama membuatku merasa senang."
"Kisah mana yang paling Hiro-san suka?"
"Cinderella."
"Aku tidak menyangka. Padahal biasanya anak gadis kan yang suka itu?" Izuku terkekeh.
Shouto melirik. "Kalau Midoriya sendiri suka yang mana?"
"Mungkin Itik Buruk Rupa. Atau Hansel dan Gretel. Yah, menurutku juga semuanya bagus."
"Yah, begitulah. Aku juga bingung memilih. Hm, tapi bacaanmu banyak sekali? Reaksi fusi nuklir?"
"Ah, ya. Materi untuk pelajaran. Hehe." Izuku menggaruk kepala yang tidak gatal. "Banyak hal yang harus dipelajari."
"Sekolah sekarang sepertinya berat, ya." komentar Shouto.
"Begitulah. Haha." Izuku tertawa garing sambil membuka bacaannya. "Hiro-san juga, bukankah kau sudah dewasa? Lain kali bacalah seperti punyaku."
Shouto tertawa pelan. "Aku sudah puas dengan buku semacam itu."
"Apa Hiro-san pernah berpikir bagaimana kalau dongeng itu tidak berakhir baik? Misalnya Cinderella yang Hiro-san suka." Izuku sepertinya serius, tetapi tatapannya masih menuju halaman bukunya sendiri.
"Misalnya?" Shouto mengangkat satu alisnya. Gadis ini menarik juga bisa menyampaikan hal semacam itu.
"Yah, hanya berpikir ... bagaimana kalau Cinderella membunuh semua keluarga tirinya? Dengan racun yang dimasukkan dalam makanan? Atau dengan menusuk jantung mereka saat tengah malam. Maksudku—tidak semua orang punya batas sabar yang sama, bukan?"
Shouto sedikit terhenyak mendengarnya. Tetapi ia mencoba melihat dari sisi yang lebih logis. "Kau benar. Dongeng memang bahan tipuan paling berguna untuk anak-anak. Kebohongan yang manis. Tapi kurasa kau terlalu berlebihan jika memikirkannya sejauh itu."
"Yah, aku hanya berpendapat saja. Itu kan misalnya." Izuku cengengesan. "Hiro-san orangnya serius sekali, ya?"
Menyadari kesalahannya, Shouto buru-buru berapologi. "Ah, maaf. Aku memang tidak pernah bercanda. Jadi agak aneh jika mendengar hal yang terlalu ekstrim atau jauh di luar perkiraanku." ujarnya.
"Tidak masalah, sih. Aku suka Hiro-san yang seperti itu."
Shouto sedikit memalingkan wajah. " ... terima kasih. Ngomong-ngomong, kau sekolah dekat sini? Mengingat kita juga bertemu beberapa hari lalu."
"Aku mahasiswi Universitas Yuuei."
"Kupikir kau masih SMA."
"Kau terkejut?"
Tepat sekali. Shouto pikir gadis ini masih SMA karena memang postur tubuhnya seperti itu. Bagaimana mengatakannya, ya?
"Iya. Aku tidak menyangka." aku Shouto. "Semoga tesmu berhasil, ya."
Izuku mengangguk. "Aku akan berjuang!"
Shouto melihat pepohonan di sekeliling. Di sini masih banyak orang. Dari tadi ia merasa seperti diawasi sesuatu tapi ia tidak tahu itu apa. Mungkin seorang penjahat?
"Midoriya, keberatan nanti kuantar?" tanyanya refleks mengingat situasi sekarang memang sedang tak kondusif.
"Ah, tidak. Aku akan merepotkan saja. Rumahku tidak terlalu jauh dari sini. Hiro-san tenang saja."
Namun tetap saja Shouto lebih percaya intuisinya. "Belakangan banyak penjahat, aku menyarankan kau berhati-hati dan tidak pulang sendirian. Mereka bisa ada di mana saja."
"Terima kasih untuk itu, aku merasa senang mendengarnya." Izuku mengulum senyum. "Hiro-san orang yang baik, ya?"
"Tidak juga." elak Shouto. "Aku hanya khawatir kita tidak akan bertemu lagi."
"Ah ... " Izuku tidak bisa menutupi rona merah di wajahnya. Ia terlambat memakai buku sebagai tameng, karena Shouto keburu melihatnya. Angin berembus kencang dan sejuk, namun tak berhasil meredam panas yang menjalar di pipi.
"Wajahmu merah, apa kau sakit?"
"Ti-tidak. Ah, hari ini aku harus pulang cepat."
"Biar kuantar. Bahaya seorang gadis jalan sendirian." sela Shouto.
"Tidak apa, sungguh, Hiro-san. Aku akan baik-baik saja, percayalah padaku." Izuku tetap keras menolak tawaran itu dan melempar senyum untuk meyakinkan Shouto.
" ... tapi aku mencemaskanmu. Lagipula, bukankah kita sudah saling mengenal sekarang?"
Izuku menunduk. "Kalau Hiro-san memaksa, baiklah kalau begitu. Terima kasih bantuannya."
Shouto berdiri dari bangku, mengulurkan tangan kepada Izuku yang entah mengapa mendadak bisu.
"Aku pasti akan menjagamu."
Rumah Izuku memang tidak terlalu jauh, sesuai perkataannya. Terletak di sebuah rumah kecil berbahan kayu. Menurut pengakuan Izuku, ia tinggal bersama ibunya. Tetapi ibunya berada di Rumah Sakit sejak satu tahun lalu karena menderita penyakit langka dan kata dokter mustahil untuk disembuhkan. Meski begitu, Izuku terus berharap suatu hari ibunya akan sembuh seperti sedia kala.
Shouto tidak bisa berkomentar apa-apa. Dia tak bisa membandingkan segala sesuatu dengan dirinya. Ibunya, Rei, juga masuk ke rumah sakit karena gangguan mental. Shouto hanya mendapatkan lemparan vas tiap kali berkunjung.
Hidup Izuku jelas lebih sulit dari dirinya. Maka dari itu ia tak berhak membandingkannya.
"Hiro-san mau teh?"
"Ah, iya. Terserah kau saja." di ruang tamu yang baru saja dijejaki Shouto, terpajang banyak foto antara Izuku dengan seorang wanita yang mirip dirinya. Mungkin itu ibunya. Mereka terlihat begitu bahagia.
Shouto duduk, menunggu Izuku. Sementara ia terus mengedarkan pandang di ruangan ini. Ada beberapa barang antik seperti guci di sudut ruang. Juga lukisan yang ia ketahui dijual di pelelangan luar negeri yang dijual sekitar tiga bulan lalu. Apa keluarga Izuku sebenarnya orang kaya, ya? Dia punya banyak barang mahal.
"Maaf membuatmu menunggu, Hiro-san. Apa mau makan malam sekalian di sini? Sebagai tanda terima kasih karena sudah mengantarku hari ini." Izuku meletakkan cangkir di atas meja. Aroma teh hijau langsung bisa tercium. Shouto paling menyukai teh ini.
"Ah, tidak perlu. Aku ada urusan setelah ini." Shouto tidak bohong. Dia ingat malam ini ada rapat para pahlawan pro yang akan diadakan di tempat Tenya, salah satu temannya. Mereka akan membahas grafik kejahatan bulan ini di seluruh negeri.
"Bukankah Hiro-san tidak boleh lapar jika ada urusan sepenting itu? A-aku akan berusaha membuat yang enak, kok!"
"Terima kasih, tapi—"
"Hiro-san tidak boleh menolak! Kau harus makan malam di sini, oke? Tunggu saja!"
Shouto berkedip beberapa kali sebelum menyadari bahwa barusan Izuku sangatlah manis.
Malam hari ini, Shouto merapatkan jaket. Akan ada banyak pahlawan bertemu untuk membahas mengenai kejahatan di kota. Shouto datang tepat waktu, untung saja.
"Ah, Todoroki. Masuk saja."
Shouto bertemu dengan Ochako di pintu depan. Ia tadi muncul dari arah dalam, sepertinya ia memang ditugaskan menyambut di sini.
"Kubuka pagarnya." Ochako kemudian mempersilakan Shouto masuk sambil tengok kanan-kiri. Tidak ada kendaraan, tidak ada orang di luar. Malam yang sunyi. Semua pasti berjalan kaki menuju ke tempat ini agar tidak dicurigai.
Shouto dipandu Ochako masuk ke ruang bawah tanah tempat tinggal Tenya, di mana pertemuan akan diadakan. Shouto juga hendak melaporkan beberapa hal dari hasil patrolinya sebulan ini.
Rapat seperti ini bisa diadakan kapan saja, tapi setidaknya sebulan sekali harus dilakukan untuk mengevaluasi kerja mereka. Tenya adalah pahlawan pro, yang juga merupakan Ketua Penyidikan Khusus. Kinerjanya seringkali membantu kepolisian.
"Kami sudah menunggumu, Todoroki. Jadi mungkin kita bisa langsung mulai?"
Shouto duduk di kursinya, di sebelahnya ada Denki dan Eijiro. Tenya sedikit jauh darinya, tapi suaranya masih bisa ia dengar. Kegiatan seperti ini dihadiri oleh para pahlawan peringkat atas. Hari ini Divisi XI yang hadir; beranggotakan Shouto, Eijiro, Denki dan Ochako.
"Sepertinya kalian tahu apa yang akan kita bahas. Tapi sebelum itu aku ingin minta laporan kalian."
"Sudah kami sertakan dalam laporan ini." Eijiro menyerahkan beberapa puluh lembar kertas. "Semua nyaris terkendali."
"Benar, tapi kita punya masalah dengan penjahat bernama Deku." Shouto memulai. "Jujur saja, aku khawatir dampaknya akan meluas, dan membuat penduduk sipil takut."
"Seperti yang dikatakan Todoroki. Ada tanggapan lain?" tanya Tenya.
"Aku ingin melaporkan sesuatu." Ochako menyerahkan beberapa map cokelat, didorong ke arah Tenya.
"Apa ini, Uraraka-san?"
"Daftar korban meninggal akibat ulah penjahat bernama Deku itu. Juga pengakuan dari beberapa saksi yang melihatnya. Aku minta kasus ini dinaikkan ke level S." Ochako menatap penuh keyakinan.
"Level S?!" Denki tampak terkejut. "Yang benar saja! Kalau sudah level S kita tak bisa berbuat apa-apa, tahu! Bukankah Deku milik kita?"
"Tapi tidak ada seorangpun yang bisa menangkapnya." celetuk Shouto. "termasuk aku. Sepertinya dia memang dilatih agar bisa meloloskan diri. Tapi masih ada yang mengganjal dalam benakku."
"Apa itu, Todoroki?"
"Pengejaran waktu itu, aku hampir saja mengenainya. Tapi ia tiba-tiba saja menghilang ketika aku hendak menyusulnya. Apa ada sesuatu? Bagaimana tanggapan kalian?"
"Dia pasti punya rekan tukang teleportasi."
"Seperti di film science-fiction, ya."
"Yah, itu bisa saja terjadi. Seseorang yang memiliki quirk teleportasi." potong Tenya sembari membaca berkas yang telah dikumpulkan.
"Dia memang berbahaya, tetapi kita tidak bisa menaikkan kasus begitu saja. Akan coba aku bicarakan dengan pihak penyidik. Lalu, apa kalian sudah punya rencana?"
Menurut Tenya, terlalu gegabah jika status kasus mendadak naik tanpa bukti dan alasan jelas. Kasus tingkat S telah setara dengan kasus internasional. Hanya pahlawan teratas yang diijinkan mengurusnya, seperti Endeavor atau All Might.
"Aku berniat memancingnya dengan pengumuman penjualan rumah." sahut Shouto. "tapi sejauh yang kita tahu dia hanya tertarik pada uang tunai. Aku ragu ini akan bekerja."
"Sama sepertimu."
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Dari keterangan saksi, apa ada yang merujuk pada sesuatu yang spesifik? Misal warna mata."
"Kalau tidak salah." Ochako membuka salinan filenya. "ada yang melihatnya di sekitar salah satu Rumah Sakit tiga hari lalu."
"Pastikan ulang kesaksiannya, Uraraka-san. Berlaku untuk para saksi lain."
"Yessir!"
"Kirishima dan Kaminari, kalian kuberi ijin berjaga di sekitar Rumah Sakit. Siapa tau ia muncul lagi di sana."
"Siap!"
"Dan Todoroki—seperti biasa, kami serahkan patroli kota kepadamu."
Shouto menatapnya lurus—tidak. Dia sedang marah saat ini. Ochako dan yang lain tidak berani menatap balik ketika tatapan mata dwiwarnanya menjadi begitu serius. Karena demi apapun, itu sangat mengerikan.
"Kau bisa mengandalkanku, Iida."
bersambung
Notes : Rijinsho di sini adalah ilusi optik. Bisa digoogle. Pencipta Rijinsho adalah Yayoi Kusama. Rijinsho cuma bisa dinikmati selama dua puluh detik.
Kenapa harus Rijinsho? Nice Question. Tapi silakan disimpulkan sendiri www. Mungkin karena dunia ini cuma ilusi? #plak
Thanks for read
siluman panda
