Infinite Justice
Gundam Seed/Destiny belongs to Sunrise & BANDAI
Sci-fi/Friendship/Romance/Family
T
Kira/Lacus
OOC, time skip, typo(s), alur kebut, gajeness, AU
.
Summary
"Dia tahu apa itu cinta. Tapi ia tidak mengerti. Ia tahu apa itu marah, tapi ia bingung saat Lacus marah dan menangis sekaligus saat ia menolak berhenti memanggilnya Nee-chan. Ya, Kira tahu banyak hal, tapi ia tidak dirancang untuk mengerti."
.
Infinite Justice
Ritsu-ken
Hope you enjoy!
.
Heliopolis, sebuah kota kecil yang merupakan pusat pemerintahan Orb, negara adikuasa di daerah timur. Kota ini juga merupakan tempat tinggal para bangsawan yang menduduki kursi Kerajaan. Tak ayal rumah-rumah besar nan indah dengan kebun-kebun bunganya yang beraneka warna mewarnai penjuru kota. Mobil-mobil tanpa roda melayang rendah di atas jalan raya, menelusuri lekuk-lekukannya yang membentuk pola beragam.
Sebuah rumah paling besar di kota itu berdiri di salah satu bukit. Di sana tinggal Siegel Clyne, seorang Ketua Dewan Pemerintah, bersama putri kecilnya, Lacus. Sudah satu tahun istrinya pergi meninggalkan mereka berdua karena penyakit keras. Sejak itu, Lacus yang biasanya ceria dan ramah pada semua orang mulai menutup dirinya dan enggan ke luar rumah, bahkan ke halaman penuh bunga yang begitu luas dan indah. Sungguh, gadis berumur empat tahun itu telah kehilangan cahaya di matanya.
Siegel mendesah, ia hanya mengamati sosok anaknya yang diam di dekat jendela sambil mendekap erat boneka beruang yang hampir menyamai tingginya dari sofa di ruang tamu. Ia sedih, tentu saja. Bukan lagi sedih karena kematian istrinya tapi sedih karena putrinya pun perlahan mulai meninggalkan dirinya, dan dunia nyata.
"Lacus masih diam?" tanya Ulen, sahabat Siegel yang sejak tadi duduk di hadapannya. Ia juga mengedarkan pandangannya ke gadis kecil itu.
"Ya. Dia hanya bicara saat ditanya. Terkadang hanya menggeleng dan mengangguk," Siegel meneguk tehnya dan meletakkannya lagi di atas meja, "aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana." Ia mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Dia terbiasa menangani berbagai masalah yang terjadi untuk negaranya. Tapi untuk putrinya sendiri? Apa dia benar-benar sepayah ini?
"Sudah coba berikan teman?" tanya Ulen tenang.
Siegel mengangguk. "Tapi ia hanya bersembunyi di belakangku atau dinding. Entahlah. Dia seperti tidak mau dekat dengan siapa pun kecuali pada orang-orang yang memang sudah dekat dengannya sebelum istriku pergi. Anak-anak yang kukenalkan padanya pun hanya bisa menggeleng dan bingung. Aku tidak bisa memaksa mereka kan? Lagipula mereka tidak bisa selamanya di sini untuk menemaninya."
Ulen hanya tersenyum, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa kasihan melihat sosok Siegel yang serba salah.
Siegel mengangkat wajahnya dan menghela nafas berat sebelum menyandarkan punggungnya di sofa. "Lalu kau sendiri bagaimana?" tanyanya dengan alis bertaut, "sudah merasa baikan?" Ia juga tahu kalau sahabatnya sedang dalam keadaan yang tidak jauh lebih baik darinya.
Ulen tertegun. Ah, masalah itu. Ia menunduk dan hanya mengeluarkan seulas senyum tipis. Matanya sayu, teringat kejadian beberapa bulan lalu saat ia bertengkar hebat dengan istrinya yang berakhir dengan perceraian. Ia memejamkan mata dan menatap Siegel lekat sambil tersenyum. Siegel terkejut saat mendapati betapa mata itu merefleksikan banyak warna biru, kesedihan.
"Itu yang ingin kubicarakan denganmu. Ikutlah ke rumahku sebentar." Dan lelaki itu bangkit diikuti sahabatnya, meninggalkan Lacus sendiri. Seperti biasanya.
.
Lacus terus memeluk erat boneka beruangnya sambil sedikit menjulurkan kepalanya dari balik dinding. Alisnya bertaut, matanya memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan olehnya. Seperti saat ia menonton Neo-Teletubbies.
Siegel hanya tersenyum lembut. "Tidak perlu takut, Sayang. Ini Kira. Kira Yamato. Dia coordinator—robot manusia—yang mulai hari ini akan tinggal bersama kita. Kau punya teman main sekarang, Sayang," ujarnya ramah.
Seorang—atau mungkin lebih tepatnya sebuah—anak laki-laki sekitar dua belas tahun—untuk manusia—berjalan ke depan, memperlihatkan sosoknya. Anak itu benar-benar terlihat seperti manusia di balik balutan kemeja putih, jas biru tua, dasi pita warna merah dengan bros tembaga yang menjepitnya, dan celana satin warna krem. Rambutnya coklat tua dan matanya lavender lembut. Ia tersenyum dan mata bulatnya sedikit menyipit karenanya. "Perkenalkan, nama saya Kira Yamato. Sungguh sebuah kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda, Nona Lacus."
Lacus terpana. Robot? Ia tidak percaya. Dia jelas-jelas terlihat seperti anak-anak. Anak manusia. Ia makin menenggelamkan wajahnya sampai matanya saja yang terlihat.
Melihat itu, Kira tertegun dan berhenti tersenyum. Ia menatap tuannya dengan pandangan bersalah dan bingung. Siegel menggeleng dan menepuk bahu Kira. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu. Mulai sekarang kau akan terus tinggal bersama kami jadi, pelan-pelan saja. Aku harap kau mau berteman dengan Lacus. Ya?"
Kira melirik gadis yang masih diam di tempatnya itu. Ia merasa kasihan, tidak tega lebih tepatnya. Gadis itu terlihat sangat kecil dan… muram? Ia tidak tahu kenapa tapi yang jelas ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kira menatap Siegel lagi dan mengangguk mantap. "Saya akan selalu menjaganya, Tuan. Anda bisa pegang janji saya."
.
"Ulen... dia..." Siegel menatap sosok anak lelaki yang sedang tertidur di kursi dekat jendela di ruang baca dengan takjub. "Bagaimana... ah, dia kembali? Kau mendapatkan Kira kembali?"
Ulen tertawa sambil mengibaskan tangannya. "Itu tidak mungkin kan, Siegel? Hak asuh sudah di tangan Via. Kira juga masih terlalu kecil untuk pergi dari PLANT sendirian."
Siegel bergumam. Benar juga. PLANT, sebuah kota besar di planet Mars. Mana mungkin anak usia 12 tahun diperbolehkan ikut pesawat ke Bumi sendirian? Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Jadi anak ini siapa? Dia mirip sekali dengan Kira—bahkan persis. Dia bukan anak kembar kan?"
"Tentu saja bukan. Kau juga datang saat kelahirannya kan?" Ulen menghampiri anak itu yang terlihat begitu pulas. Ia menarik kursi di depannya dan memperhatikan anak itu lekat-lekat. "Aku membuatnya. Anak ini robot, coordinator," ujarnya lirih.
"APA?" sahutnya terkejut setengah mati dan langsung menutup mulutnya saat sadar volume suara yang dikeluarkannya. Dengan cepat ia menoleh ke anak berambut coklat itu, khawatir, namun ia masih bergeming. Siegel mengerjapkan matanya.
"Dia tidak akan bangun. Walau ia terlihat benar-benar sempurna, tubuh sebenarnya masih mesin-mesin yang belum secanggih di PLANT dan programnya pun masih sedikit menyerupai komputer. Kalau dalam waktu agak lama dia tidak melakukan apa-apa atau mendapat perintah, secara otomatis ia akan memasuki sleep mode untuk menghemat baterai dan baru bangun setelah mendapat perintah atau aksi," jelas Ulen panjang lebar.
Siegel menautkan sebelah alisnya, tidak mengerti. Dia tahu, sangat, kalau teman baiknya ini sangat jenius dan aktif menciptakan berbagai alat yang sudah terpajang di berbagai etalase toko elektronik saat ini. Tapi apa dia tidak bisa bicara dengan bahasa manusia?
Ulen menoleh karena tak mendapat respon apa pun. Dan ia tertawa. Akhirnya ia bangkit dan berdiri di samping Kira lalu mengguncang-guncang bahunya lembut, seperti seorang ayah yang membangunkan putranya. "Kira, bangunlah," ujarnya tenang di dekat telinga anak itu.
Kelopak mata itu perlahan terbuka dan berkedip dua kali. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat si pembicara dan tersenyum.
Ulen balas tersenyum. Namun hatinya sedikit banyak meringis. Ia memejamkan matanya, teringat saat pertama ia membangunkan kedua mata ungu lembut itu yang seolah menarik siapa pun ke dalamnya, menarik jiwanya. Mata itu hanya menatap lurus, bibir itu hanya membentuk suatu garis lurus. Dan dirinya dihadapi oleh dilema, bagaimana ia akan menyuruh anak 'ciptaannya' ini memanggilnya? Ayah, seperti tujuannya semula. Atau...
"Selamat datang, Master," sambutnya ramah.
Ya, ia telah memilih.
"Nah, Tuan Siegel sedang datang berkunjung. Bisa kau buatkan teh hangat untuknya?" tanyanya lagi.
Kira segera bangkit dari kursinya dan meletakkan kembali buku tebal yang baru—atau tadi sedang— dibacanya di atas meja. "Akan segera saya antarkan," jawabnya sopan dengan seulas senyum saat ia perlahan menghilang di balik pintu dan meninggalkan suara debam kecil.
"Master?" celetuk Siegel, "kukira kau membuatnya untuk, yah...," ia memilih untuk tidak mengutarakannya,"Aku tahu kau sangat menyayangi Kira."
"Memang." Ulen duduk di tempat Kira tidur tadi dan mengangguk, memberi isyarat. Siegel menarik kursi tinggi di dekatnya dan duduk. "Karena itulah aku tidak bisa memintanya memanggilku 'Ayah'. Dia bukan Kira, Sieg. Takkan pernah jadi Kira sesempurna apa pun kubuat," ujar lelaki itu lirih.
"Tapi kau telah membuatnya! Mungkin ini lancang, tapi bagaimana pun juga dia 'anakmu'," sergah Siegel.
"Aku tahu...! Aku tahu!" lelaki itu mengusap-usap wajahnya dengan gusar. "Dia anakku, bagaimana pun dia. Tapi aku tak sanggup, Siegel. Aku merasa berdosa tiap melihat sosoknya, wajahnya, matanya. Aku merasa berdosa karena menciptakannya dengan wajah Kira, karena aku tidak akan bisa memberinya kasih sayang. Mungkin ini terdengar bodoh, sangat. Dan egois. Tapi aku berharap, kalau aku bisa memutar waktu, aku akan membuatnya dengan wajah yang sama sekali berbeda. Wajah yang benar-benar miliknya," serunya panjang lebar. Ia mengangkat kepalanya seolah bertanya apa temannya itu mengerti apa yang dikatakannya.
Siegel menggeleng dan tersenyum tipis. "Walau kau kembali memakai bahasa planetmu, untuk yang ini aku mengerti. Jadi, kau ingin aku membawanya? Sekaligus untuk menjadi teman Lacus?"
Ulen memejamkan matanya beberapa detik. Dan ia membukanya lagi dengan sorot yang susah dijabarkan. "Ya, maaf tapi, tolong rawat ia baik-baik. Namanya Kira, Kira Yamato."
Bukan Kira Hibiki.
Siegel hanya tersenyum dan berjalan ke samping temannya. Menepuk-nepuk bahunya pelan.
Sedangkan di depan pintu, seorang anak berambut coklat yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan hanya terdiam dengan tangan siap mengetuk ukiran kayu di depannya. Tapi ia hanya diam, masih mendekap nampan berisi poci teh kecil dan dua cangkir berukir manis. Ia diam dengan kepala tertunduk.
Ya, tentu saja ia mendengar pembicaraan itu.
Kira menghela nafas dan hanya tersenyum kecil, senyum yang menyedihkan. Dan ia perlahan mengetuk pintu itu tiga kali sebelum membukanya.
"Maaf, membuat Anda menunggu lama."
.
Tiga hari sudah berlalu sejak Kira dikenalkan pada Lacus. Gadis itu masih saja bersembunyi tiap melihat Kira dan melarikan diri saat anak itu berusaha mendekatinya. Akhirnya, Kira memutuskan untuk menjadi pihak yang pasif saja. Ia hanya akan mengawasi Lacus dari jarak jauh—sambil melakukan berbagai aktifitas lainnya. Selain berusaha menjadi teman Lacus, ia juga dengan sukarela ikut membantu mengurus beberapa pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, mengelap kaca jendela, membereskan buku-buku di perpustakaan, dan membantu tukang kebun di halaman.
Pelayan? Tidak, ia memang suka melakukannya.
Lacus tentu saja tahu kalau Kira terus mengawasi dan mengikutinya. Dan perlahan ia mulai terbiasa walau Kira hanya mengucapkan selamat pagi saat mereka bertatap mata.
Siang ini Lacus memutuskan untuk diam di kamarnya, berdua dengan boneka beruang tersayang yang dibelikan oleh mendiang ibunya. Kira tentu saja tidak ikut masuk, ia hanya duduk di lorong, menunggu, sambil membaca buku. Tak ada yang protes dengan hal itu. Semua penghuni rumah sudah tahu dan paham apa yang dilakukan Kira. Dan mereka terus berdoa dan mendukung anak itu dalam hati.
Saat Lacus mulai merasa jenuh, akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu merah muda itu dan pergi ke luar meski ia tahu ia akan dibuntuti lagi. Tapi ia terkejut saat melihat sosok yang dipikirkannya tertidur lelap di lorong. Buku yang masih terbuka itu tergeletak begitu saja di atas pahanya. Lacus bingung. Tapi akhirnya ia memutuskan untuk mendekat.
Helaian lurus rambut coklat itu jatuh sempurna, hampir menutupi separuh wajahnya yang terlihat begitu tenang. Bulu matanya lentik dan bibirnya sedikit terbuka untuk bernafas. Lacus mendekatinya dan memberanikan diri untuk menyentuh lengannya. Ia terlonjak.
"Dingin…."
Tak ada reaksi. Lacus menatapnya cemas. Kali ini ia mulai menyentuh lengan itu dengan kedua tangannya.
"Kira-nii...," panggilnya lirih, hampir tak terdengar.
Kira bergeming. Lacus mulai khawatir. Tiba-tiba bayangan saat ia membangunkan ibunya untuk terakhir kali muncul. Ia mulai takut. "Kira-nii, jangan tidur di sini. Nanti Nii-chan sakit." Ia menggoyang-goyangkan tangan coklat itu lebih kuat. "Kira-nii!"
Mata itu akhirnya terbuka. Kedip. Kedip. Ia menoleh ke arah gadis kecil berambut merah muda yang menatapnya lega. Lega? Kira hanya tersenyum. "Apa saya ketiduran?"
Pipi putih itu merona, terhanyut oleh dua pasang permata amethys di depannya. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang hangat dan menggelitik di badannya. Aneh tapi… nyaman. Tanpa sadar ia tersenyum dan mengangguk mantap.
Kira terkejut dan ia hanya tertawa kecil sebelum bangkit berdiri. Setelah menepuk-nepuk celananya sebentar, ia mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Mau jalan-jalan di kebun?"
Lacus menggenggam tangan itu erat-erat dengan tangan mungilnya. "Mau."
.
Siegel yang melihat kejadian itu dari ujung lorong tersenyum. Ia bersyukur. Sangat bersyukur. Ia berbalik cepat dan menatap temannya yang sedang bersandar di dinding dengan tangan terlipat.
Ulen mendengus. "Sepertinya kegiatan menguntit kita ada hasil, ya?" sindirnya halus. Tapi ia terkejut saat sesuatu yang berat menyentaknya keras-keras sampai hampir membuatnya terjatuh.
"Terima kasih! Berjuta-juta terima kasih! Aku sayang padamu! Aku sayang Kira!" serunya lepas kontrol sambil memeluk erat Ulen yang mulai susah bernafas.
Ulen menepuk-nepuk tulang belikat Siegel kasar dan lelaki itu akhirnya melepaskannya. Ulen melonggarkan kerahnya dan menarik nafas dalam-dalam. Ia mengangkat wajahnya dan mendengus jengkel. Tapi lagi-lagi ia hanya tersenyum. "Kalau begitu aku... titip Kira, ya."
"Tentu saja! Tanpa kau minta pun aku sudah menganggapnya anakku sendiri. Tapi, apa kau memrogramnya sebagai anak yang rajin? Maaf, tapi ia suka melakukan pekerjaan-pekerjaan pelayan."
"Kau pikir aku orang setega apa memberi program begitu pada anakku sendiri?" balasnya sinis. Ia tertawa, "Dia sepertinya memang suka bekerja dan membantu orang lain. Dia anak yang baik."
"Setuju."
.
TBC
.
Araaa~
Cerita sci-fi pertama saya =_=
Apakah ada unsur sci-fi-nya? Apakah ceritanya maksa? Apakah saya rupawan? *diessh*
Saya membuat satu tokoh super OOC di sini XD Oi, Ulen! Sejak kapan ente jadi orang baikkk? Kapan, haaaah? Kapaaaaaaaaaann?*pinjem toa demonstran lewat* /keselek/
Yap, jujur saya sendiri ngerasa di fic ini masih banyak kekurangan (dan parahnya saya gak tau lagi apa itu selain diksi yang berpetepete). Silakan tinggalkan coklat-eh-bom-eh-saweran—ehemaminehem—saran maupun kritik yang membangun! ^^
Arigatou and Happy Fanfiction Festival! *tiup convetti, bakar komp—ehem—kembang api tetangga*
