Irresistible

Sebuah FanFic oleh RavenYamazaki

Kuroko no Basket | Aomine Daiki x Kagami Taiga | Indonesia | Rated MA


=Irresistible, Chapter One: First Act

Entah bagaimana kita bisa begini, di posisi ini, sekarang ini – Aomine yang berdiri tepat di depanku, dan aku yang… Terpaku menatapnya, dengan pandangan wajahnya yang benar-benar membuatku… Tak berdaya…

Semua ini bermula ketika kita memenangkan pertandingan di Winter Cup melawan Rakuzan, dan ketika aku sudah tiba di rumah, ia datang, duduk dan memberi selamat kepadaku. Entah kenapa, aku yang kelelahan waktu itu berasa bersemangat kembali setelah melihatnya masuk, walau ia tampak biasa-biasa saja; mukanya yang juga menunjukkan rasa lelah setelah ia, Momoi dan anggota klub basket Akademi Too lainnya yang mungkin tadi telah berjalan-jalan di kota hingga ia tampak lelah. Walau aku berhak 'menginterogasinya', menanyakannya kenapa ia tiba-tiba masuk tanpa ijinku, tanpa sebelumnya mengabariku, tanpa memberitahu Kuroko – tanpa informasi – Tapi aku memang mau menerimanya, sekiranya ia, atau orang lain yang kukenal dan dekat denganku hendak masuk dan berbincang denganku. Ia pun memulai pembicaraan dan mulai berbincang denganku.

"Kagami," ia memanggilku dengan perlahan, bagaikan ada sesuatu yang memang benar-benar ingin ia katakan padaku. Aku yang sedang menuangkan tehku ke gelasku membalasnya dengan sedikit memiringkan kepalaku. "Kalian berhasil mengalahkan Rakuzan, ya?" Pertanyaan itu sedikit membangkitkan emosiku, tetapi apa gunanya marah? "Ya, kau, dan timmu, dan yang lainnya juga melihatnya, 'kan?" Balasku, dengan menunjukkan sedikit senyuman kesombongan. "Tch," Ia beranjak, menuju dapur, entah apa yang dilihatnya di meja dapurku yang memang dapat dilihat dari ruang tamu bahwa aku sedang menyiapkan makan malam. Ia melihat menu makan malamku: onigiri berisi salmon. Ia menatap makan malamku seakan ia dapat membuat yang lebih 'mewah' dari buatanku. "Kau capek? Dari tadi di dapur, buat onigiri doang?" Aku sempat meringis sejenak, lalu aku berdiri, menuju dapur, hendak menaruh gelasku yang kosong di wastafel, tetapi, pertanyaan pertamanya itu membuatku terkejut; Dari sikapnya yang acuh dan pura-pura bodoh begitu tiba-tiba jadi super perhatian – tidak seperti Aomine yang biasanya.

"Aomine, kau tidak apa-apa kan? Kenapa kau tiba-ti…" Dia yang ternyata dari tadi menatapku segera membuatku berbalik kepadanya, lalu ia memelukku dan menciumku. Lalu ia melepaskan pelukan dan ciumannya dariku perlahan, sehingga aku dapat bertanya kepadanya, tentang apa yang barusan ia lakukan. "Ga usah nanya," bahkan aku pun baru saja hendak membuka mulutku untuk bertanya padanya, "Dasar Bakagami, masih ga tau kenapa aku liatin kamu tiap pertandingan, ya?" katanya, dengan wajahnya yang makin dekat, dan nadanya yang makin lembut di tiap kata yang ia ucapkan. Secara refleks aku mundur, hingga aku tersandar di tembok dengan lemasnya, tetapi aku tahu yang ia maksud, ia menyukaiku.

"A-Aomine…" Gugup, sekaligus terkejut, karena aku baru tahu ia menyukaiku juga. Kita saling menatap satu sama lain, aku yang terdiam, bernapas dengan berat, ia tersenyum, dan aku tahu bahwa wajahku mulai memerah. Ia memulai pembicaraan kita lagi. "Kagami," ia menyebut namaku dengan nada pelan, aku hanya membalas dengan sedikit desahan, entah mengapa aku melakukannya, tetapi satu hal yang kutahu dengan pasti, aku menikmatinya. "Kagami," Ia berkata sekali lagi, dengan suara yang sedikit lebih pelan dari yang pertama. Aku mendesah kembali, kali ini sedikit lebih keras, sebagai balasan ucapannya yang kedua, yang sengaja kubuat agar ia tahu bahwa aku memperhatikannya. Ia membuka pakaianku, aku hanya menatapnya, menutup mataku, dan entah kenapa, aku sangat ingin menutupi mulutku dengan lengan bawahku. Aku terpaku akan dirinya yang tak kusangka akan melakukan ini padaku, saat ini.

Sebenarnya, aku mulai menyukainya sejak pertemuan kita di pemandian, ketika aku merangkulnya dan berkata bahwa kamilah yang akan menang melawan klub basket Akademi Too. Malamnya aku terus memikirkannya, aku akan berhadapan dengannya di Winter Cup, dan ketika kita memenangkan pertandingan itu, kutatap wajahnya, terdapat sebuah tatapan yang sempat menetap di benakku, tatapannya, dengan matanya yang berkaca-kaca, yang sempat membuatku hampir bertekuk lutut, terlarut dalam perasaanku terhadapnya. Sekarang, ia berada di depanku, dengan tangan kirinya yang 'menjagaku' agar aku tidak pergi; untuk apa aku pergi? Inilah saat yang memang kutunggu-tunggu semenjak aku mencintainya: aku menikmatinya. Dengan wajahnya yang kian mendekat, aku yang secara spontan membuka mulutku perlahan, iapun memejamkan matanya perlahan dan membuka mulutnya perlahan juga, hingga dapat kurasakan sentuhan bibirnya di bibirku, tak kusangka ini adalah kali pertamanya ia melakukan hal ini, ia yang selama ini bersikap acuh, kini berada di depanku dan menikmati apa yang ia lakukan terhadapku.

"A-Aomine," Kataku, dengan nada yang memang kuanggap layak untuk kuucapkan padanya, setelah ia merasa cukup dengan ciuman kita. Aomine melihatku yang memalingkan pandanganku darinya perlahan, ia pun melihat ke arah pandanganku, segera setelahnya, ia terbelalak. Aku yang sedari tadi menatap ke arah kamarku, ikut terkejut melihat matanya yang berkaca-kaca, lalu ia menutup matanya, memandang ke bawah sekilas, dan ia pun menyeringai, lalu menatapku dan berkata, "Kau ingin melakukannya di sana ya?" Aku yang sempat hilang dalam delusiku kembali tersadar dan kembali bertanya padanya pertanyaan yang ia tanyakan padaku seperti orang bodoh. "Oi, oi, Kagami," sahutnya, ia pun mundur selangkah, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, dan ia menatap ke bawah kembali. Aku tidak tahu apa yang ia perhatikan: diriku, atau lantai apartemenku yang memang dibuat di pabrik lantai terbagus se-Jepang. "Baiklah," ia berbalik, dan kembali berkata kepadaku lagi, "Kita lakukan lain kali ya, maaf mengganggu, dan terimakasih telah…" hening, "Memperbolehkanku,"

Ia memakai sepatunya, lalu ia pergi, ke luar ruangan apartemenku. Aku yang masih melekat di dinding, bagaikan tidak percaya akan apa yang baru saja kita lakukan, aku hampir merasakannya, merasakan dirinya di dalamku, merasakan betapa pedulinya ia padaku; merelakan waktunya untuk menontonku bertanding, memberi sepatu basketnya kepadaku, dan merasakan betapa besar perhatian, kasih sayang dan cintanya padaku. Aku terduduk, diam. Merenung, menangis. Terharu, tersentuh. Lalu, aku ingat wajahnya saat ia berada di depan pintu, saat ia hendak keluar, ia tersenyum.

Dengan raut wajah yang masih tidak dapat melupakan kejadian barusan, mengetahui bahwa Aomine memang mencintaiku, dan juga ia meninggalkanku untuk malam ini, pikiranku menjadi buyar, hanya terisi oleh Aomine, Aomine, dan Aomine, sampai-sampai aku lupa hendak apa. Setelah agak tenang, aku menyantap makan malamku, walau pikiranku yang penuh dengan Aomine masih belum dapat kuhilangkan sepenuhnya, lalu kulihat ke luar jendela, mobil Aomine yang samar-samar terlihat dari ruang apartemenku, melaju meninggalkanku, memisahkan diriku dan dirinya. Aku memutuskan untuk tiduran di atas sofaku, menatap langit-langit, dan tanpa kusadari aku mulai terlelap…

*To Be Continued*

=Author's Notes

Hore selesai juga fanfic pertamaku ^^ Maaf ya, kalau ada beberapa kesalahan, dan bagi para reader yang mengharapkan 'aksi', sabar ya, karena di Chapter 2, mereka mulai 'beraksi' ^^ Chapter ini merupakan chapter prolog, jadi, please review if you like it~ ^^

-RavenYamazaki-