Disclaimer : This is just a story. All the cast in this story is owned by themself and their agency ^^

No BASH, No FLAME, No FANWAR.

This is JUST a Story.

*HAPPINESS*

.

HaeHyuk

Slight WonHyuk

.

Romance

Fluffy(?)

One Shoot

A little bit Mature Content

.

All cast is NOT mine. But this story is MINE.

Typos may be applied in this story.

And I'm sorry for that. ^^

Don't copy anything in this story without my Permission.

It just story. So be mature.

.

.

Summary :

Kebahagiaan bukanlah hal yang bisa di tawar atau bahkan diatur. Kadang kau harus mempertaruhkan segalanya demi, Kebahagian.

.

.

Let's begin. . .

.

.

Semua hal di milikinya. Harta, rupa, dan tahta. Namun, ada yang selalu membuat hatinya berongga. Ada kehampaan yang tak teraba bahkan oleh dirinya sendiri. Kehampaan yang menghantui dirinya. Kehampaan yang membuat ia hanya diam bahkan kehilangan cara untuk tertawa. Senyum tulusnya bahkan telah lama hilang meninggalkan parasnya.

Lee Hyukjae. Lelaki 28 tahun itu tumbuh dengan segala hal di tangannya. Apapun yang ia kehendaki, maka itulah yang terjadi. Ia anak tunggal dari pasangan keluarga kaya raya yang mempunyai rentetan aset yang bahkan tak akan habis hingga belasan keturunan. Ia pewaris tunggal, tapi selalu menampik kenyataan itu.

"Selamat pagi, tuan Lee,"

"Hm,"

Pagi yang sama dengan pagi-pagi yang lalu. Hyukjae datang ke kantor tempat ia biasa berkutat dengan lembaran berkas yang menggunung di mejanya. Menemui para investor bermuka dua yang terasa begitu memuakkan. Tapi apa daya Hyukjae. Sejak lulus dari kuliah 4 tahun lalu, ia sudah harus rela terperangkap di dalam gedung kaca menjulang yang seakan membelah langit perkotaan itu.

"Apa jadwal ku minggu ini?"

Suara dingin itu keluar dari bibir sensual milik lelaki pemilik perusahaan itu.

"Siang ini tak ada yang perlu anda temui. Namun, malam ini anda terjadwal untuk meeting dengan klien dari Swiss,"

"Besok anda juga harus bertemu dengan Mr. Jim untuk membahas tender baru bagi perusahaan cabang di China,"

"-dan untuk lusa anda sudah harus terbang ke Jepanguntuk peresmian cabang baru kita di sana. Itu jadwal anda untuk minggu ini tuan,"

Hyukaje tetap bertahan dengan wajah datar tanpa ekspresinya. Namun pikirannya terbang melayang di udara. Sejujurnya ia ingin merasakan sedikit yang namanya liburan. Menikmati sedikit indah nya hidup bersama kekasihnya. Ya tentu ia juga memiliki seorang kekasih. Walau seseorang itu pantas disebut kekasih atau bukan.

"Tuan Lee?"

"Ah ya?"

Suara dari ajudannya membuat Hyukjae kembali dari menabrak kenyataan.

"Apa ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Cukup. Kau bisa kembali ke meja mu," Hyukjae mulai berkutat dengan komputer jinjing nya.

"Baik tuan,"

Blam . . .

Hyukjae membalikkan kursi kerjanya tepat saat pintu ruangannya tertutup. Memandang hiruk pikuk jalanan dari tempatnya duduk. Membiarkan penatnya beterbangan sejenak. Jujur, ia lelah hidup seperti ini. Segala hal dalam hidupnya sudah diatur. Mulai dari pendidikan, pergaulan hingga dengan siapa ia bersanding.

Lelaki berambut coklat kelam itu melirik foto yang tergantung dinding ruangannya dimana sebuah figura cukup besar terpampang. Sepasang suami istri yang tengah duduk dengan Hyukjae dan sesosok pria bertubuh tegap yang tak lain adalah kekasihnya berdiri di belakang kedua orang tua Hyukaje. Kekasih nya lelaki? Ya benar, Hyukjae memang memiliki kekasih sosok pria yang bernama Choi Siwon yang tak lain adalah anak dari rekan bisnis ayahnya.

Hyukjae memang tak memiliki ketertarikan dengan wacana orientasi seperti apa yang harus ia pilih. Ingat, hidupnya sudah diatur. Bahkan seolah ia kehilangan kehendak atas dirinya sendiri. Hingga ia harus membiarkan urusan hati nya juga harus diatur pula. Miris bukan?

'Yeoboseyo?'

"Kau sibuk, hyung?"

'Tidak juga. Kenapa Hyukkie?'

"Minggu ini aku akan ke Jepang,"

'Jepang? Ah, pembukaan cabang baru disana? Ayahmu kemarin sempat bilang padaku'

'Bahkan ayahpun sudah memberi tahunya?' decih Hyukjae dalam hati.

'Hyukkie? Apa kau masih disana?'

"Apa malam ini kau ada waktu, hyung?"

'Malam ini? Aku ada jadwal bertemu klien malam ini, Hyukkie. Ada proyek besar yang kembali ditawarkan salah satu investor. Kenapa?'

'Proyek baru lagi ya,' batin Hyukjae masam.

"Tak apa. Hanya bertanya. Mungkin saja kau ada waktu, untukku," ucap Hyukjae lirih.

'Kau tahu kan jika usaha ku tengah berkembang cukup maju. Maka aku harus terus bekerja keras. Demi masa depan ku. Dan masa depan kita tentunya, Hyukkie,'

"Ya aku tahu itu,"

"-baiklah kalau begitu, hyung. Selamat bekerja. Bye,"

Pipp

Tanpa perlu menunggu jawaban, Hyukjae mematikan sambungan telepon keduanya. Melempar ke sembarang arah ponsel mahal itu, tubuh kurusnya ia hempaskan kesandaran kursi. Memejamkan sejenak manik lelahnya. Berusaha menghilangkan penatnya namun sepertinya sia-sia. Hingga ia lebih memilih berdiri meraih kunci mobilnya dan berjalan keluar ruangannya. Berusaha menulikan pendengarannya atas pertanyaan hendak kemana ia dari sang ajudan, Hyukjae memilih diam dan tetap berjalan keluar dari kantornya.

Dan disinilah ia sekarang. Di sebuah taman kota dan duduk di sebuah bangku di sudut taman. Melepas jas mahalnya dan membiarkan kemeja putih nya keluar tak beraturan dari celana yang ia kenakan. Membiarkan dasinya pergi entah kemana. Surai yang biasa tampak kelimis itu terlihat terburai terhembus angin. Menengadahkan wajah keatas sembari memejamkan kedua matanya. Pikirannya terasa begitu penat.

"Boleh aku duduk disini?"

Suara merdu itu menembus gendang telinga Hyukjae. Membuka kelopaknya dan menoleh ke sumber suara. Bening orbs miliknya menemukan sosok lain yang tengah berbagi bangku dengannya. Sosok yang sedikit lebih tinggi darinya dengan badan yang lebih berisi. Seumuran dengannya – mungkin. Lelaki dengan seragam pegawai dengan sebuah name tag tersemat di atas saku kanannya. Tapi sayangnya, Hyukjae tak bisa melihat nama yang tertera disana.

"Cuaca siang ini cukup cerah bukan?" lelaki itu mulai berdialog. Dan hanya di balas gumam tak jelas dari Hyukjae.

"Jarang sekali ada satu hari yang cerah di kota ini. Terlalu banyak angin bahkan hujan akhir-akhir ini,"

Hyukjae memperhatikan dengan seksama sosok di sampingnya. Sosok yang tengah berucap dengan sesekali menenggak sekaleng kopi di tangannya. Sosok berahang tegas dengan otot lengan yang cukup bisa di perhitungkan – setidaknya itu yang terlihat dari lengan kemejanya yang ketat. Hingga sosok itu menoleh kearah Hyukjae dengan raut bingung yang kekanakan. Hyukjae seolah terhipnotis oleh sepasang iris hazel yang bersinar sendu di hadapannya. Sangat kontras dengan senyum childish yang terlukis di bibir tipis itu.

"Ada yang aneh dengan wajah ku?"

Hyukjae tersenyum tipis sembari menggeleng. Ia merasa ada yang aneh dengan dirinya hari ini. Tak biasanya ia berbicara dengan orang asing. Bukan, bukan orang asing yang berasal dari luar negaranya. Melainkan orang yang tak ia kenal. Mungkin dunianya yang terlalu sempit dan teratur?

"Kau mau kopi?" lelaki itu menyerahkan sekaleng kopi yang ia ambil dari saku celananya. Dan dengan harfi'ah Hyukjae menerimanya.

Teman baru.

Ya, itu lah yang saat ini Hyukjae rasakan. Ia seakan menemukan seorang teman di saat ia mulai bosan dengan hidupnya. Sosok teman yang tak lain adalah orang asing – yang ia tak kenal – yang kini tengah berkicau tentang banyak hal yang terkadang membuat alis Hyukjae bertaut bingung hingga tertawa mendengar kekonyolan lelaki disampingnya.

Tertawa?

Ya, tertawa.

Hal yang telah lama hilang dari deret emosi milik Hyukjae.

"Kurasa ini sudah hampir petang, kau pasti tak ingin bermalam di taman ini kan tuan.?"

Alis lelaki itu nampak bingung hendak memanggil nama lawan bicaranya. Hyukjae yang tahu maksud lelaki di hadapannya tampak tersenyum simpul. Sebelum sebuah kebohongan kecil ia lontar demi secuil kesenangan yang baru saja ia dapat.

"Eunhyuk. Lee Eunhyuk,"

"Ah Eunhyuk-sshi, dan aku Donghae. Lee Donghae. Tertera disini," ucap lelaki itu seraya menunjuk name tag yang tersemat di kemejanya.

"Ya aku tahu," dan sebuah lengkungan tipis Hyukjae lukis di bibirnya.

Donghae sempat tertegun dengan senyum tipis itu. Senyum yang indah untuk sosok yang indah. Setidaknya itu yang Donghae pikirkan.

"Kau terlihat lebih indah dengan senyum itu, Hyukkie,"

"Apa kau bilang?"

"Tidak. Lupakan," Donghae tersenyum lima jari,

"-semoga kita bisa bertemu lagi, lain waktu," sebelum berjalan menjauh setelah menepuk pelan pucuk kepala Hyukjae.

Hyukjae menatap punggung kokoh yang menjauh itu dalam diam. Semilir angin yang menerpanya seakan membuatnya semakin betah memandangi punggung yang semakin menghilang itu dengan wajah yang mulai bersemu hangat. Perlahan hatinya menghangat mengingat sentuhan ringan di pucuk kepalanya tadi.

'Semoga kita bisa bertemu lagi, Lee Donghae,'

.

.

*HAPPINESS*

.

.

Tiga bulan setelah hari yang menyenangkan – setidaknya bagi Hyukjae – itu, rutinas lelaki yang menjabat sebagai direktur itu kembali seperti semula. Tumpukan kertas dan rentetan pertemuan dengan relasi kembali menjadi makanan hariannya. Hidupnya kembali seperti semula. Datar dan diatur.

"Apa jadwalku setelah ini?"

Hyukjae bertanya dengan nada datar khas nya.

"Tidak ada, tuan. Hanya saja tuan besar ingin bertemu anda di kediamannya,"

Hyukjae tak seberapa tertarik dengan itu. Ia lebih memilih melihat lalu lalang orang yang ia lewati dari balik jendela. Ia tengah berada di dalam mobil mewahnya. Baru saja selesai bertemu dengan salah satu kolega nya. Tak seberapa penting. Hanya membahas kerja sama pendirian cabang baru di Swiss. Ia tak terlalu berambisi. Ingat, ia bahkan tak punya kendali atas hidupnya.

Maniknya sedikit bersinar antusias kala ia menyadari jalanan mana yang tengah ia lewati. Sebuah taman. Tak sebegitu menarik karena hanya beberapa orang yang menghabiskan waktu disana. Namun sesuatu seakan menarik jiwa Hyukjae. Sosok ramah yang tengah berbagi permen kapas dengan anak kecil di sebuah bangku taman. Bangku taman yang berkesan bagi Hyukjae. Terutama sosok ramah itu. Sosok yang melekat di ingatan Hyukjae sejak hari itu.

"Berhenti,"

Ckiiit, , ,

"Ada apa, tuan?"

Ajudannya bertanya kebingungan kearahnya. Tapi sayang Hyukjae tak berniat menjawab. Terlalu terfokus pada objek diluar sana. Meraih jas kerjanya dan menoleh datar pada sang ajudan.

"Katakan pada ayah, lain kali saja bertemu dengan ku,"

Membuka pintu penumpang dan mulai bersiap keluar dari mobilnya.

"Kau boleh pulang sekarang dan jangan ikuti aku,"

Hyukjae berdesis berbahaya. Membiarkan sang ajudan mengetahui sisi lain dari dirinya yang tak pernah ia perlihatkan. Dan mobil itupun berlalu sesaat setelah sang direktur beranjak dari dalamnya.

Mata Hyukjae seakan hanya terfokus pada sosok itu. Terlalu asyik berkutat dengan bocah kecil dihadapannya, sosok itu bahkan tak menyadari Hyukjae yang telah berdiri tak jauh dari bangku tempat ia duduk.

"Hey," sapa Hyukjae – kikuk.

Sosok itu menoleh kearah Hyukjae. Sedetik kemudian iris hazel nya berbinar tak percaya.

"Eunhyuk-sshi?"

"Hm,"

Hyukjae tersenyum tipis dan mulai mengambil sisi bangku untuk duduk. Donghae membalas itu dengan cengirannya.

"Cha, sekarang kembalilah pada ibumu, Sehun-ah,"

Bocah kecil itu mengangguk dan beranjak dari sana sembari berteriak riang.

"Dia anakmu?" tanya Hyukjae – ragu.

Donghae yang untuk sepersekian detik diam hingga akhirnya tertawa terbahak. Alis Hyukjae bertaut jadi satu. Apa ia mengucapkan sesuatu yang lucu?

"Sorry," Donghae menyeka ujung matanya yang berair karena sesi tawanya.

"-apa aku sudah terlihat pantas sebagai seorang ayah?"

"Kenapa tidak?" Hyukjae mengangkat alis. Tak sebegitu mengerti jalan pikiran lelaki di sampingnya.

Donghae membuang nafas jengah dan menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku.

"Aku masih belum cukup dewasa untuk memiliki anak, Eunhyuk-sshi,"

Hyukjae hanya mengangguk dan bergumam 'o' sebagai balasannya. Donghae beralih melirik lelaki di sampingnya.

"Dan apa tengah kau lakukan disini?" Donghae bangun dari sandarannya dan memandang Hyukjae – curiga.

"-kau tidak sedang kabur lagi dari kantor mu kan, Eunhyuk-sshi?"

"Tentu saja tidak," elak Hyukjae – tak terima.

"Bagus lah kalau begitu,"

Senyap membungkus keduanya untuk beberapa saat. Tak ada yang memulai kembali pembicaraan diantara keduanya. Untuk beberapa detik Hyukjae sempat menyesal karena tak tahu harus membicarakan apa. Sepertinya aku memilih hal yang salah.

"Apa kau sibuk malam ini, Eunhyuk-sshi?"

Hyukjae tertegun sesaat. Menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan bingung.

"Kurasa. . Tidak. Why?"

"Bagus kalau begitu,"

Donghae menatap Hyukjae dengan mata berbinar terang. Iris hazel itu sempat membuat Hyukjae tertegun sekali lagi. Ada desiran aneh yang menjalar di dadanya.

"-aku mau mengajakmu datang ke pesta ulang tahun kawan ku. Kau mau?"

Hyukjae mengedip cepat beberapa kali. Otak lelaki berahang tegas itu bekerja lebih lambat dari pada biasanya.

"Ku anggap itu sebagai 'iya', "

Donghae menggenggam jemari Hyukjae dan melangkah sembari menggandeng - menyeret lebih tepatnya - lelaki kurus itu dari tempatnya duduk. Hyukjae hanya diam dan mengikuti kemauan lelaki yang baru dua kali ia temui itu.

Entahlah apa yang membuat Hyukjae mau mengikuti Donghae. Ada bagian dari dirinya yang mengatakan bahwa Donghae ada lelaki baik dan tak perlu ia bercemas hati. Ia nyaman bersama pemuda brunette itu. Entah karena apa. Yang pasti ia bahagia ketika bersama Donghae.

.

.

*HAPPINESS*

.

.

"Yah Eunhyuk-sshi, kapan kau berkenalan dengan Donghae?"

Hyukjae menghentikan sejenak suapan sup nya.

"-yang ku ingat ikan mokpo ini sangat jarang punya teman kecuali kami,"

Hyukjae menatap ragu pada Donghae saat salah seorang teman lelaki kekar bertanya padanya.

"Yah hyung, kau pikir aku hanya mengenal kalian saja? Ck, aku tak sekuper yang kau kira,"

Donghae lebih memilih menjawab pertanyaan teman akrabnya - Jaejoong - yang tengah berulang tahun itu. Ia mengerti binar ragu yang Hyukjae siratkan padanya. Ada perasaan hangat tersendiri bagi Donghae saat melihat Hyukjae yang tersenyum bahkan tertawa bersama teman-teman konyolnya.

"Kau sekantor dengan Donghae, Eunhyuk-sshi?"

Pertanyaan seseorang di seberang meja yang berhadapan dengan Hyukjae membuat lelaki kurus itu kembali menjeda sejenak acara makannya.

"Kami ber-"

"Ya kami teman sekantor, Yunho-sshi," ujar Hyukjae - tersenyum simpul.

Donghae menatap teduh lelaki di sampingnya. Ia senang setidaknya Hyukjae telah menganggapnya sebagai teman. Setidaknya itu sudah cukup.

Malam itu kedai yang terletak di pinggiran kota itu nampak ramai dengan candaan dan humor garing dari para pengunjung di dalamnya. Hyukjae memperhatikan sekelilingnya. Ia bertemu beberapa orang baru yang kembali memberi warna dalam hidupnya.

Ia sempat berpikir, tidakkah ini begitu cepat. Mendapatkan beberapa glintir teman yang mau menerimanya dengan apa adanya dia. Walau ia harus menyembunyikan identitas dirinya yang asli. Tapi demi kehangatan seperti ini, ia rela.

Selesai dengan pesta kecil yang menyenangkan itu, Donghae dan Hyukjae berjalan beriringan. Menapak jalanan kota yang nampak sepi dan lenggang. Kenapa tak naik taksi saja? Hyukjae yang menolak. Ia ingin menaiki subway. Walau pada akhirnya terlalu malam untuk rute terakhir. Hingga mereka berakhir dengan berjalan kaki.

"Apakah kau bersenang-senang tadi?"

"Hm?" Hyukjae menoleh ke arah Donghae.

"Ya, aku sangat senang. Setidaknya aku tak pernah bisa sesenang ini saat di jamu makan malam,"

Hyukjae menendang malas kerikil yang ada di depan jalannya.

"Tak pernah sesenang ini?"

Donghae sedikit bingung.

"-tidakkah kau keluar bersama teman-teman mu juga, Eunhyuk-sshi?"

Hyukjae hanya diam. Ia lebih memilih diam. Donghae merasa telah menanyakan hal yang sensitif bagi lelaki di sampingnya. Ia hendak berujar maaf ketika lelaki di sebelahnya menoleh kearahnya dengan tatapan redup.

"Setidaknya aku tak memiliki teman-teman seperti yang kau miliki, Donghae-sshi,"

Hyukjae tersenyum lemah. Segaris itu bahkan lebih buruk untuk sebuah senyuman. Dan Donghae tak suka itu. Donghae melangkah mendahului Hyukjae dan berhenti tepat di depan lelaki kurus itu. Hyukjae yang kaget, berhenti mendadak dan menatap Donghae bingung saat lelaki brunette itu tersenyum lima jari di hadapannya.

"Mau ku traktir minum?"

.

Dan disinilah mereka sekarang. Di sebuah bar di salah satu rentetan ruko yang tadi mereka lewati. Dentuman musik disana begitu keras, sempat membuat kepala Hyukjae sedikit pening karenanya. Hyukjae terbiasa dengan suasana hening. Baginya, ini adalah hal baru.

"Ini untukmu,"

Donghae menyerahkan segelas cocktail untuk Hyukjae. Sedangkan ia menggenggam segelas vodka untuknya sendiri.

"Kau meremehkan ku?"

Alis Donghae bergeriyit tak mengerti.

"Aku cukup kuat untuk kau ajak berteguk minuman panas itu,"

Hyukjae berdecak kesal saat Donghae hanya memberinya cocktail. Ia memiliki toleransi alkohol yang cukup tinggi. Jadi tak masalah baginya untuk meminum cairan biru yang berada di genggaman Donghae.

"Ups, Sorry tuan," ujar Donghae playful.

Hyukjae hanya tersenyum miring menanggapinya. Ia melihat ke sekelilingnya. Banyak orang menari di lantai dansa. Ia jadi ingat bagaimana jiwanya dulu di dunia dance yang harus terkubur karena ambisi ayahnya.

Tanpa sadar, Hyukjae terus menenggak minumannya. Hingga gelas ke tujuhnya. Donghae yang semula mengedarkan pandangannya ke sekeliling tampak sedikit kaget saat Hyukjae sudah berada di gelas ke delapannya.

"Eunhyuk-sshi,"

Donghae mencoba merebut gelas yang di pegang Hyukjae.

"-kau sudah minum berapa gelas?"

Hyukjae mengangkat sebelah alisnya - terganggu.

"Delapan. Why?"

Donghae sedikit terbelalak. Ia merebut gelas yang ada di tangan Hyukjae kali ini.

"Kenapa kau bilang? Bukankah kau harus kerja besok? Kau tidak boleh terlalu banyak minum,"

Donghae memasang wajah marah yang terlihat menggelikan bagi Hyukjae.

"Ehmm, ahahahahhahaha,"

Tawa menggelegar Hyukjae membuat Donghae sedikit tertegun. Ia belum pernah melihat lelaki kurus - yang sebenarnya manis - itu tertawa selepas sekarang.

"Kau terlalu berlebihan, Hae-ah. Aku cukup kuat untuk kau ajak minum hingga pagi hari,"

Hyukjae kembali menenggak minumannya. Membiarkan lelaki lain menatapnya speechless.

'Dia memanggil ku apa? Hae-ah? Not bad,'

Donghae tersenyum tipis. Ia kembali menenggak minumannya yang ketiga. Meraka mulai berbicara bermacam topik. Mulai dari kepenatan pekerjaan. Hingga masalah hati. Donghae memiliki wawasan yang luas. Dan Hyukjae suka itu. Ia bisa mengimbangi semua hal yang Hyukjae bicarakan. Hingga lelaki kurus itu mulai merasakan pening di kepalanya. Efek alkohol sepertinya mulai terasa.

"Kau tahu Hae-ah, hicup, mereka mengatur hidupku seolah aku tak, hicup, berhak atas hidupku sendiri,".

Hyukjae berbicara di sela cegukannya. Ia sudah mabuk. Hampir 17 gelas vodka dengan kadar alkohol cukup tinggi telah ia tenggak. Donghae? Jangan tanya lelaki itu. Ia mendapat gelar drink monster bukan tanpa alasan.

"Cukup Eunhyuk-ah,"

Donghae meraih gelas yang hendak Hyukjae minum.

"-kau sudah cukup mabuk. Aku akan mengantar mu pulang,"

"Yah shireo, aku masih, hicup, mau disini kita, hicup, pesta lagi,"

Hyukjae mengelak saat Donghae berusaha membuatnya berdiri. Ia menggeliat kasar sembari menari-nari kan kedua tangannya ke udara. Donghae hanya tersenyum geli karenanya. Ia tetap kekeh membopong Hyukjae pada pundaknya agar lelaki kurus itu berhenti meronta.

"Ugh, kau berat juga ternyata,"

Donghae menggendong Hyukjae di punggungnya setelah membayar semua minuman mereka di kasir.

"-dimana rumah mu Eunhyuk-ah?"

Hyukjae yang diajak bicara hanya merancau tak jelas. Donghae menghela nafas berat di buatnya. Karena tak mungkin menggendong Hyukjae hingga ke rumahnya yang masih sangat jauh dari tempatnya sekarang. Terlalu malam juga untuk mencari kendaraan.

Setelah lama mempertimbangkan kemana ia akan membawa lelaki di gendongannya, Donghae akhirnya memilih untuk menyewa kamar di sebuah hotel yang tak jauh dari bar tempat ia dan Hyukjae minum tadi.

Donghae membaringkan tubuh Hyukjae diatas ranjang saat ia memasuki kamar yang ia pesan. Lelaki kurus itu masih merancau tak jelas dengan mata setengah terpejam. Donghae tersenyum tipis dan mengusap lembut sisi wajah lelaki di depannya.

Srett

Tanpa aba-aba, Hyukjae menarik kerah kemeja Donghae hingga lelaki itu menindih tubuh bagian atasnya. Donghae yang kaget hanya refleks menahan tubuhnya dengan sebelah tangan agar tak sepenuhnya menindih tubuh lelaki kurus itu.

"Kau terlihat tampan jika dari dekat seperti ini, Hae,"

Donghae masih bergeming saat Hyukjae memajukan diri dan dengan lembut menyatukan bibir merah penuhnya pada bibir tipis Donghae. Ia masih diam saat bibir sensual itu bergerak lembut diatas bibirnya.

Ciuman itu berawal begitu lembut. Seiring berjalannya waktu Hyukjae mulai menuntut balas. Dan Donghae pun membalas ciumannya. Namun sayang bila Hyukjae berpikir bisa mendominasi lelaki diatasnya. Karena Donghae tak akan menbiarkan lelaki kurus itu mendominasi dirinya. He is not the bottom for this game.

"Nggh,"

Hyukjae melenguh saat lidah Donghae menerobos masuk mengeksplorasi mulutnya. Menyapu langit-langit rongga mulutnya. Mengabsen setiap deret giginya. Hingga mengajak bergulat lidah di dalam mulutnya.

Pikirannya mereka semakin melayang dalam balutan sisa-sisa alkohol yang masih membekas. Walau Donghae sebenarnya masih bisa meraih kewarasannya. Namun sepertinya ia membiarkan dirinya tercebur dalam kabut nafsu dan menikmati tubuh di bawahnya.

"Nnhh, Hae,"

Donghae telah membuang semua lapisan kain yang membungkus keduanya. Lelaki brunette itu kini tengah menjajah tubuh bagian depan teman yang baru dua kali ia temui itu. Lidahnya menari diatas titik sensitif lelaki bertubuh kurus di bawahnya.

Hisap, pilin dan gigit pelan. Itulah yang Donghae lakukan guna memanja Hyukjae di bawahnya. Membuat lelaki berahang tegas itu mendesah dalam nikmat.

"Aaakkh, Hae,"

Hyukjae memekik keras saat sesuatu menerobos dirinya. Panas dan perih membakar tengah melanda satu-satunya lubang di bagian bawah tubuhnya. Mata sekelam malam itu memejam erat menahan rasa perih yang seakan membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Sedang disisi lain Donghae berusaha menenangkan dengan hujanan kecupan lembut dan berakhir dengan lumatan penuh gairah di bibir Hyukjae.

Donghae bergerak beritme pelan dan teratur. Berusaha mengurangi rasa sakit yang mendera lelaki dibawahnya. Mereka bergumul dengan peluh yang mulai bercucuran membungkus tubuh polos keduanya.

"Aakkhh th-there, Hae, Nggh more,"

Ranjang itu berderit seirama dengan lonjakan tak beraturan sepasang lelaki diatasnya. Nafas terengah beserta bunyi kulit bertabrakan menjadi satu-satunya suara di dalam kamar itu selain desah dan geraman dari bibir Donghae juga Hyukjae.

Mereka bergerak mencari kenikmatan masing-masing. Mengejar puncak yang seakan tertahan di pusaka masing-masing. Hingga kabut putih itu menggulung keduanya. Kabut abstrak yang membuat tubuh mereka mengejang tergulung ombak kenikmatan. Teriakan nama masing-masing menjadi pertanda klimaks permainan ranjang keduanya sebelum akhirnya mereka limbung dan membiarkan alam mimpi mengambil kesadaran mereka.

.

.

*HAPPINESS*

.

.

"Nggh,"

Sinar matahari menembus masuk melalui cela-cela tirai kelambu dalam kamar hotel. Sosok lelaki yang masih terlelap diatas ranjang itupun menggerang terganggu. Orbs sekalam malam itu perlahan terbuka berusaha beradaptasi dengan cahaya yang menembus rentina matanya.

Ia berusaha bangkit dari tidurnya. Namun justru pening yang teramat sangat yang ia rasakan. Tak hanya itu, tubuh bagian bawahnya terasa perih dan, lengket?

'God dammit, jangan bilang semalam. . .'

Otaknya bekerja cepat saat kesadarannya terkumpul penuh dan mengerti situasi yang tengah ia alami. Ia mengedarkan pandangannya kesekeliling. Berusaha menemukan seseorang yang ia harap masih disana.

Namun yang ia temukan hanya secarik kertas yang terlipat diatas meja nakas disampingnya.

Morning Eunhyuk-sshi,

Maaf jika saat kau terbangun aku tidak ada disana. Aku harus pergi ke kantor untuk mengurus kepindahan ku ke Gwangju hari ini. Maaf aku tak memberitahu mu sebelumnya.

Kau ingat saat kita pertama bertemu? Saat itu aku tengah kacau. Karena pimpinanku menyuruh ku untuk mengambil alih perusahaan cabangnya di Gwangju.

Dan kemarin saat aku berada di taman, sejujurnya aku datang kesana berharap kau juga akan datang ke sana mengingat itu sore terakhir aku di kota ini. Dan kau tiba-tiba datang. I think it was destiny. :)

Aku meminta maaf untuk yang semalam. Mungkin kau mabuk. Tapi tidak dengan ku. Maafkan aku jika aku lancang Eunhyuk-sshi. Dan maaf jika aku lancang bila telah menaruh hati padamu.

Saranghae, Eunhyuk-ah.

Nb : kereta ku berangkat pukul 3 sore nanti. Aku berharap kau datang. Tapi jika kau sibuk, ya sudahlah. ^^

Hyukjae terduduk lesu. Ia membaca surat bertulisan rapi itu dengan banyak emosi yang bergelut di hatinya. Sejujurnya ia ingat semua kejadian semalam. Entah setan apa yang merasukinya hingga ia berani mencium Donghae pertama kali.

Ia benci dengan keadaan seperti ini. Ia tak ingin kehilangan lelaki berlengan kekar yang telah menghabiskan malam bersamanya. Lelaki kurus itu tak ingin kejadian semalam hanya menjadi One night stand bagi ia dan Donghae.

'Now what should I do?'

.

Hyukjae terdiam di tengah rapat yang sedang berlangsung. Ia menelpon ajudannya dan meminta lelaki yang telah mendedikasi diri untuk perusahaan ayahnya itu menjemputnya di hotel tadi pagi. Dan sekarang ia sudah kembali terjebak dengan rutinitas yang membuatnya muak.

Salah seorang relasinya tengah menjelaskan banyak hal tentang proyek yang akan mereka bangun bersama. Ia hanya menatap kosong. Pikirannya terbang mengingat secarik kertas yang tadi pagi ia baca. Ada sesuatu dalam hatinya yang menjerit bila ia mengingat akan kehilangan lelaki bermata sendu itu. Ia melirik kearah arloji di pergelangan tangannya.

Pukul 2.15

Hyukjae mulai kalut. Ia mungkin masih duduk tenang dengan wajah datarnya. Tapi jauh di dalam hatinya tengah terjadi pergolakan. Bagaikan buah simalakama, ia tak bisa memutuskan apa yang akan ia lakukan. Jika ia pergi dari rapat ini, mungkin ia akan mendapati mautnya di hadapan sang ayah.

Namun jika ia tetap disini, ia akan kehilangan seseorang yang mulai mengisi rongga hatinya yang kosong.

Brak

Hyukjae mendorong kasar kursinya dan berdiri. Seluruh orang di ruangan itu menatapnya penuh tanya.

"Mr. Lee, what happens? "

Salah seorang relasinya menuntut sebuah jawabah atas aksinya. Sedang Hyukjae masih diam dan mengambil jas yang tersampir disandaran kursi.

"Sorry, but I need to go,"

Hyukjae melangkah meninggalkan ruangan sebelum sang ajudan mencekal tangannya saat ia sudah berada di luar ruangan.

"Kita di tengah-tengah rapat, tuan. Anda tidak bisa seperti ini atau tuan besar akan marah,"

Sang ajudan berusaha mengingatkannya akan konsekuensi dari perbuatannya sekarang. Namun hanya senyum meremehkan yang Hyukjae berikan pada lelaki setengah baya itu.

"Kau tak tahu yang namanya kebahagiaan?"

"Maaf?" ujar sang ajudan tak mengerti.

"Kau pikir aku bahagia dengan semua hal memuakkan yang mengekang ku selama ini?"

Nada bicara Hyukjae meninggi. Ia seakan mulai kehilangan kendali akan emosinya. Ia sudah tak punya banyak waktu.

"Katakan pada ayah, aku tak lagi sudi hidup dengan semua kemauannya,"

Hyukjae melepas paksa genggaman sang ajudan di lengannya.

"-ini hidupku. Dan aku berhak menentukan kebahagiaan ku,"

Ia kembali melangkah meninggalkan gedung yang selama ini memerangkapnya dengan segudang hal memuakkan. Ia mencegat taksi yang lewat di depannya. Mengemudi disaat emosi mu sedang tak stabil bukanlah hal yang bagus. Setidaknya Hyukjae masih mengerti hal itu.

Pukul 2.35

Hyukjae tengah di dalam taksi yang terjebak macet. Ia melirik arlojinya dengan gusar. Ia sudah tak punya banyak waktu. Ia harus segera sampai di stasiun sebelum lelaki bermata sendu itu pergi dari kota ini.

"Paman, tak bisa kah kita lewat jalan lain? Aku harus segera sampai ke stasiun,"

"Maaf tuan, ini satu-satunya jalan menuju ke stasiun kota. Kita hanya berjarak kurang dari 2 kilo dari sana,"

Hyukjae semakin gusar karena rentetan kendaraan itu hanya bergerak selambat siput. Hyukjae melepas dasinya gerah. Ia hanya punya sedikit waktu. Ia merogoh saku belakangnya. Membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang sebelum mengembalikan dompet kulit itu kembali ke saku belakangnya.

"Aku turun disini, paman,"

Hyukjae menyerahkan lembaran uang itu pada sang sopir dan bergegas membuka pintu penumpang.

"-ambil saja kembaliannya. Dan terima kasih,"

Ia meninggalkan sopir taksi yang masih berterima kasih atas pembayaran lebih yang ia berikan. Hyukjae berlari cepat membelah trotoar jalanan. Tak lagi peduli dengan tatapan bingung orang-orang yang ia lewati. Bagaimana tidak, ia berlari seperti orang kesetanan dengan mengenakan setelan jas mahalnya yang

Di lain sisi seorang lelaki tengah duduk di sebuah bangku di peron tempat keretanya akan datang. Ia menimang dua lembar tiket di tangannya. Dua lembar? Ya, entah apa yang membuat Donghae membeli 2 lembar tiket sementara ia hanya pergi sendirian. Katakan ia konyol tapi ia merasa tak akan pergi sendirian kali ini.

" Lee Hyukjae,"

Donghae tersenyum lembut. Menerawang jauh saat pertama pertemuan mereka. Donghae sudah tahu siapa Hyukjae sebenarnya. Ia pernah melihat lelaki itu datang ke perusahaan tempat ia bekerja. Dan saat lelaki kurus itu dengan sengaja menyembunyikan identitas aslinya, Donghae hanya tersenyum.

Ia tak akan bertanya mengapa Hyukjae tak berkata jujur tentang siapa dirinya. Donghae tak masalah dengan hal itu. Ia yakin Hyukjae punya alasan. Ia sudah cukup senang bisa mengenal lelaki itu dalam balutan nama, Eunhyuk.

Ding ~ Dong ~ Ding ~

Mohon perhatian. Kereta tujuan Gwangju akan tiba 15 menit lagi. Para penumpang di harap bersiap di peron 5.

Hanya ada beberapa orang di peron itu. Mungkin karena tak banyak yang akan pergi ke kota Gwangju. Donghae menilik kearah arlojinya. Ia tersenyum lembut. Iris teduhnya bersinar sendu. Ia menatap sekitarnya. Menerawang jauh tak berujung. Ada perasaan kosong yang entah mengapa menyergap hatinya.

'Sepertinya, ia tak kan datang,'

.

Hyukjae masih berlari. Tampilannya begitu acak-acakan saat ini. Peluhnya sudah membanjiri wajahnya. Cuaca panas hari ini benar-benar tak mendukung aktivitas berlarinya.

Lelaki berbadan kurus itu terengah memasuki stasiun terbesar di kota. Langkahnya langsung tertuju pada bagian informasi.

"Ada yang bisa saya bantu, tuan?"

Seorang wanita penjaga layanan informasi bertanya pada lelaki kurus yang tengah meraup udara karena kehabisan nafas.

"K-kereta, hahh, ke Gwangju, hahh, jam berapa berangkat, hahh,"

Wanita itu menatap Hyukjae yang terengah dengan bingung. Namun dengan segera ia melihat ke arah komputernya tentang jadwal kereta ke kota pengunungan itu.

"Kereta ke Gwangju akan berangkat 10 menit lagi dari peron 5, tuan,"

Hyukjae mengangguk mengerti dan bergegas dari sana sembari membungkuk berterima kasih. Lelaki kurus itu kembali berlari melewati kerumunan orang bahkan harus beberapa kali meminta maaf saat tak sengaja menabrak beberapa orang yang ia lintasi. Yang ada diotaknya saat ini hanya lah, sampai di peron 5.

Di tempat lain Donghae tengah menerawang jauh. Memorinya kembali terputar kejadian yang semalam ia lalui bersama Hyukjae. Masih tergambar jelas di benaknya bagaimana lelaki kurus itu mengerang dan mendesah indah di bawah tubuhnya. Bagaimana wajah - yang menurut Donghae cantik - itu penuh peluh dan memejam nikmat. Membayangkannya membuat sesuatu di antara pahanya memulai gelisah.

Donghae kembali menggapai kesadarannya saat kereta yang akan membawanya telah tiba. Pintu kereta bertenaga listrik ini terbuka otomatis. Seakan memanggil Donghae untuk segera masuk dan meninggalkan kota yang menyimpan sejuta kenangan baginya. Termasuk kenangannya bersama Hyukjae.

Donghae meraih koper di tangan kanan dan menyelampangkan tas besarnya di pundak kiri. Ia membawa cukup banyak baju, mengingat ia akan lama meninggalkan kota ini. Lelaki brunette itu sudah hendak masuk ke dalam kereta sebelum sebuah tangan menariknya dan seseorang menghambur ke dalam pelukannya.

"Eu-eunhyuk?"

Koper itu tergeletak begitu saja saat pemiliknya tengah di landa kekagetan saat sesosok lelaki kurus yang tak lain adalah Hyukjae tengah memeluknya erat dengan nafas terengah. Donghae yanh semula hanya diam, kini membawa kedua lengan kekarnya untuk membalas pelukan lelaki bergummy smile itu.

"Gajima,"

Hyukjae mengeratkan pelukannya dan semakin membenamkan wajah di dada bidang Donghae.

"-jebal gajima, Hae,"

Ada senyum hangat yang terlukis di bibir tipis lelaki berdada bidang itu. Entahlah, ada perasaan hangat di hatinya saat Hyukjae mengatakan agar ia tetap tinggal. Donghae yang pertama melepas pelukan mereka dan beralih meraih dagu Hyukjae. Ia menatap sendu kedua manik sekelam malam itu. Berusaha menyelami hitam yang berbinar indah itu.

"Kenapa kau berlari? Lihatlah, kau tampak berantakan,"

Donghae menata rambut Hyukjae yang berantakan karena angin dan keringat. Hyukjae yang merasakan sentuhan lembut itu hanya memejamkan matanya. Berusaha menikmati semua belaian Donghae padanya. Kini ia tahu seberapa pentingnya eksistensi Donghae baginya. Hanya karena sentuhan lembut lelaki brunette itu saja hatinya yang beberapa jam lalu bergemuruh tak menentu, kini berdegup tenang dan damai.

"Jangan pergi, Hae,"

Donghae mengernyit bingung. Manik hitam itu sudah terbuka dan menatapnya penuh harap. Donghae tersenyum lembut penuh pengertian.

"Aku harus pergi, Hyuk. Pekerjaan ku sudah menunggu disana,"

Hyukjae menunduk diam. Banyak hal yang berada di otaknya saat ini. Donghae sudah akan memberi pengertian pada Hyukjae, namun urung saat lelaki berparas cenderung ayu itu kembali menatapnya. Kali ini dengan mata yang berbinar penuh kemantapan.

"Kalau begitu, biarkan aku ikut dengan mu,"

Donghae sempat tercengang saat Hyukjae mengatakan itu lugas. Namun lelaki berbadan kekar itu segera membawa kembali kesadarannya. Ia tersenyum lembut dan membelai pelan sisi wajah Hyukjae.

"Lalu bagaimana dengan kehidupanmu disini?"

Hyukjae hanya membalas itu dengan senyuman indahnya. Ia menarik tangan Donghae sembari meraih koper Donghae dan masuk kedalam kereta saat terdengar pengumuman kereta akan berangkat. Lelaki itu hanya menggumam pelan.

"Aku tak peduli dengan hidupku,"

Hyukjae berbalik menghadap ke arah Donghae saat keduanya sudah berada di dalam kereta.

"-yang ku tahu sekarang aku bahagia di sisimu.

Setelah berkata seperti itu, Hyukjae maju dan mendekatkan tubuhnya pada Donghae. Lelaki berambut kecokelatan itu memberanikan diri untuk menempelkan bibir sensualnya di bibir Donghae. Hanya sekedar menempel.

Donghae tersenyum di tengah ciuman lembut keduanya. Ia membawa tangannya ke tengkuk Hyukjae. Menahan lelaki itu dengan tangannya yang lain yang sudah berada di pinggang lelaki manis itu.

"Saranghe, Hae,"

Hyukjae melepas ciumannya. Menatap Donghae dengan maniknya yang berbinar lembut. Donghae membawa Hyukjae kembali kedalam dekapannya. Mendekap erat tubuh yang jauh lebih kecil di banding dirinya.

"Nado, nado saranghe Hyukkie,"

Donghae tersenyum lembut. Ia ingat betapa konyolnya ia saat memesan 2 buah tiket untuk keberangkatannya sendiri. Ia hanya menuruti instingnya. Dan sekarang ia memang tak berangkat sendiri. Ada Hyukjae yang akan menemaninya. Menemani hidupnya di kota baru nanti.

Mereka kembali menautkan bibir mereka dalam ciuman lembut. Tak ada nafsu. Hanya ingin menyalurkan segenap gemuruh hati mereka masing-masing. Tak begitu peduli dengan tatapan beberapa orang di sekeliling mereka. Yang mereka tahu hanya lah hangat di dalam hati mereka saat menyelami eksistensi masing-masing.

Yang Hyukjae tahu hanya ada Donghae. Donghae yang membuat ia mengerti arti perasaan hangat dan menentramkan. Perasaan yang ia klaim sebagai,

Kebahagian. . .

.

The End

.

Hello reader-san. . .

Sy kembali lagi dengan sebuah OneShot romance yg fluffy tak begitu jelas.

Mohon maaf jika kurang menarik. Ini hanya cerita yang di pesan oleh dua 'anak' sy di sosmed.

Noona Enii

Lily Wijayati Sudarsono

Mereka request ff ini sejak 3 bulan yg lalu. Dan baru bisa sy publish sekarang. Tentu saja karena kesibukan sy sendiri. #alasan

Oke sy tak ingin banyak berkicau. Hanya ingin melunasi sedikit dari sebagian besar hutang sy. Jika ada yg bertanya kenapa sy mulai publish lg?

Ya karna memang sy berusaha kembali aktif menjadi penulis di sini. #alasan.

Mohon untuk bersabar bagi yg menanyakan kelanjutan cerita sy yg lain. Pas akan di lanjut. Tentu dengan mengikuti proses. #dibakar

Sekian dari sy. Semoga suka dengan cerita kali ini.

Salam,

Meyla Rahma

March 01, 2015