Hinata's POV
Aku sangat menyukai alunan musik, tidak... tapi aku sangat mencintainya bahkan aku merasa, tanpa musik aku tidak bisa hidup. Tapi ... takdir atau apakah ini hukumanku? Mengapa tuhan menghukumku sedemikian berat ...? Dari sekian kemungkinan buruk yang terjadi di dunia yang luas ini ... kenapa tuhan memberiku hukum kelainan ... buta nada padaku ...?
~o~
Fluent and Lonely © Chiharu Kazawa
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
Naruto and Hinata
.
Romance and Drama
~o~
Aku terlahir di keluarga Hyuuga yang sangat otoriter. Begitulah pemikiranku. Ibuku sudah tiada setelah melahirkanku. Kata ayahku, semenjak aku berumur dua tahun, aku mengidap penyakit yang cukup menular. Impetigo atau cacar api. Cacar apiku sudah kronis sehingga aku tidak bisa dirawat ke rumah sakit. Ayahku mengurungku di kamar. Ayahku berkata, alasan kenapa ia mengurungku karena demi kebaikanku dan kebaikan semua orang. Ayahku juga menjelaskan tentang penyakitku dan memberiku semangat dan dukungan kalau aku bisa sembuh. Awalnya aku tidak begitu mengerti tapi lambat laun aku mulai mengerti dan menerima keadaanku.
Saat itu, aku hanya berbicara kepada dokter dan ayahku setiap dua bulan sekali ketika pemeriksaanku, dan susterku yang sering memberiku obat di pagi hari, siang dan malam. Namun mereka tidak berlama-lama di dekatku ataupun menemaniku entah sekedar mengobrol atau bermain denganku selain Toro, kucing jalanan yang ku pungut di depan rumahku. Aku mengambilnya di saat untuk pertama dan terakhir kali aku keluar rumah. Terkadang aku berpikir, apakah Toro bisa tertular penyakitku? Kurasa, spesies kucing tidak bisa.
Aku makan secara teratur seperti orang biasanya, tiga kali sehari, tentu saja. Pelayan tidak memberi makanan kepadaku secara langsung. Di samping pintu kamar, ayahku membuat lorong kecil berbentuk kotak berukuran setengah meter di sana yang hanya bisa di buka dari luar kamar, lorong itu untuk memberiku dan Toro makanan dan hal lainnya yang aku dan Toro perlukan. Sebegitukah orang-orang takut tertular penyakitku?
Tiap sore, aku selalu mendengarkan alunan suara indah biola dengan lagu yang di bawakannya The Dream dari Michael Franks-saat itu aku belum tahu apa nama alat musiknya dan lagu apa yang dibawakannya-, aku tidak tahu darimana asal suara itu namun suara itu sangat dekat dan aku juga tidak tahu siapa yang memainkannya. Setiap biola itu bersuara, aku sangat senang. Aku menari, berputar dan bergumam mengikuti ritme-ritme indah itu. Dan mulai saat itu, aku jatuh cinta pada musik. Melebihi segalanya.
Makin hari makin lama, aku makin penasaran, alat musik apa yang sering dimainkan setiap sore itu dan siapa yang memainkannya. Aku terus mencoba melihat ke arah luar kamar melalui lubang kunci pintu ketika biola itu berbunyi. Tapi aku tidak melihat apapun dan siapapun. Sayang sekali. Dua minggu kemudian tiba, aku menanyakan hal itu pada ayahku. Ayahku berkata ...
"Nama alat musik itu biola dan yang memainkannya ..." belum selesai ayahku menyelesaikan ucapnnya, dokter telah memanggilnya dari luar kamar. Ayahku mengangguk dan keluar dari kamarku. Mulai detik itu, aku mengetahui alat musik itu bernama biola tetapi aku tidak tahu seperti apa bentuknya. Dan yang membuatku gusar setiap waktu, aku tidak tahu siapa yang memainkannya.
Suatu sore, satu minggu setelah pemeriksaan, ketika alunan biola itu kembali datang, aku bertekad keluar rumah melalui jendela meski kamarku berada di lantai tiga, aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu siapa yang memainkan biola itu?
Alangkah bodohnya aku ...
Seharusnya sedari tadi aku tahu, kain sprei yang ku ikatkan satu dengan yang lainnya, tidak begitu kuat ...
Hingga aku baru menyadarinya ketika alunan suara indah itu berhenti, angin berhembus sangat cepat dan lalu kepalaku terbentur kuat ke tanah.
Aku lihat cairan merah mengalir di bawah mataku lalu jatuh membasahi rumput hijau di bawahku. Pandanganku kian memburam. Samar-samar, aku mendengar suara, aku tidak tahu siapa dia. Dan kemudian suara ayahku memanggilku masuk ke telingaku. Aku hanya bisa terdiam karena semua rongga badanku terasa nyeri seolah remuk. Mata biru laut itu ... adalah terakhir kali aku lihat sebelum semuanya gelap.
.
Aku tidak ingat apa-apa setelah itu. Ayahku bilang, aku mengalami koma selama 2 tahun.
Keajaiban seolah datang kepadaku dan keluargaku. Setelah aku bangun dari koma, dokter bilang kalau aku sembuh dari penyakit. Bahagianya aku dan ayahku. Juga, orang-orang di rumahku begitu mengetahuinya.
Tragedi itu seolah musibah juga keberkahan bagi ayahku dan bagiku.
Aku pulang ke rumahku dengan hati bahagia. Tidak pernah aku sesenang ini dalam seumur hidupku. Semua orang menyambutku dengan ramah dan gembira. Aku melihat jam di dinding. Empat jam lagi, orang itu akan bermain biola di rumahku. Ku edarkan pandanganku pada semua orang kembali, apa mungkin pemain biola itu salah satu dari orang di rumahku? Ah, bahagianya bila itu benar. Maka aku akan terus bertemu dengannya dan aku bisa belajar bermain biola dengannya.
Lima jam telah berlalu, namun suara biola itu tidak berbunyi. Aku semakin gelisah di tempat dudukku. Aku menarik pergelangan tangan ayahku yang berada di sampingku. Ayahku melirik.
"Ayah, mengapa sekarang suara biola itu tidak terdengar? Dan Ayah belum memberitahuku siapa pemain biola itu? Sebenarnya siapa dia? Apakah orang itu adalah pelayan disini?" tanyaku dengan rasa penasaran yang meluap-luap.
Ayahku sedikit terkejut, "Dia bukan orang-orang disini dan Ayah rasa, dia tidak di butuhkan lagi jadi Ayah memintanya untuk berhenti bermain biola disini."
Aku merengut. Setelah sekian lama aku tunggu-tunggu tapi ... di situ aku kesal!
"Kenapa?! Aku sangat membutuhkannya bermain disini! Aku sangat suka permainannya!" teriakku cempreng.
Ayahku menenangkanku, dia mengelus pucuk kepalaku dengan lembut. Berangsur-angsur, emosiku lenyap.
"Kenapa Ayah ...?" tanyaku lagi, kali ini dengan suara yang sendu.
"... Ayah akan memintanya untuk bermain kembali disini tapi berjanjilah jangan merengek seperti tadi dan bersikap baik padanya."
Aku mengangguk. Senyum lebar terpatri di wajahku. Sore itu, aku habiskan untuk mengobrol banyak tentang rasa cintaku pada musik, bermula dari pertama kali aku mendengar suara biola itu sampai rasa penasaranku untuk mengetahui siapa yang memainkannya hingga berujung kenekatanku turun lewat jendela dari lantai tiga.
Ekspresi Ayah berubah-ubah, dari wajahnya yang cerah, terkejut lalu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Terakhir, Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya lalu membawaku ke suatu ruangan.
Ruangan itu bernuansa warna merah-jingga dan hangat karena tempat perapiannya menyala, banyak lukisan-lukisan alam dan potret-potret yang entah siapa, aku tidak tahu, tertempel di dinding. Dan yang membuat perhatianku tertuju penuh, adalah sebuah benda besar berwarna hitam dengan tuts-tuts balok hitam dan putih serta sebuah bangku kecil di depannya, benda itu berada di tengah-tengah ruangan.
Aku mendekati benda itu dan tidak sengaja siku kecilku menyentuh salah satu tuts dan berbunyi. Itu membuatku sedikit terkejut. Ayahku bilang, benda itu adalah piano dan itu adalah salah satu alat musik, sama halnya dengan biola.
Wajahku memerah senang. Ayahku menuntun jari-jariku menyentuh tuts-tutsnya. Jari-jariku sangat gemetar, aku terlalu senang hingga seluruh badanku bergemetar dan menegang. Ayahku ternyata menyadarinya. Dia mengusap kedua tanganku perlahan lalu mengusap kedua pipiku lembut. Ajaib, badanku kembali tenang dan rileks.
Aku duduk di pangkuan ayahku. Ayahku mengajariku not-not nada dasar dan dia juga memperlihatkan permainan pianonya. Dia memainkan lagu Air On The G-String dari Johann Sebastian Bach. Indah sekali. Nadanya lembut dan pelan. Benar-benar membuatku nyaman.
"Ayah, boleh aku bermain?"
Dengan wajah bingung, Ayahku mengangguk.
Aku mengambil nafas dalam. Dan menekan tuts-tuts dengan asal. Aku tidak tahu seperti apa nadanya namun di angan dan telingaku, aku sedang bermain musik yang dimainkan 'orang itu' dengan biolanya. Aku bermain dengan santai tanpa memperdulikan sahutan Ayahku yang memintaku berhenti dan Ayahku yang mulai menutupi kedua telinganya dengan kedua tangannya.
"Cukup Hinata!"
Untuk pertama kalinya, Ayahku membentakku. Aku sangat terkejut. Tanganku-tanganku kembali gemetar. Sorotan mata Ayah padaku sangat mengerikan, tidak lagi selembut seperti beberapa menit yang lalu. Apa dia Ayahku?
"Permainanmu sangat kacau! Hancur! Kepala Ayah terasa pusing mendengarnya."
"... Sangat kacau ...?" tanyaku dengan suara lirih. Aku terhenyak luar biasa. Rasanya aku ingin menangis. Air mataku sudah berada di pelupuk mata, siap turun terjun kapanpun.
Air muka Ayahku kembali normal. Dia menangkup kedua pipiku dan menatapku lembut. Aku mulai kembali tenang.
"Maafkan Ayah, Hinata. Mulai besok, Ayah akan mengajarimu segala tentang musik."
Mendengar itu, aku sangat senang. Akhirnya aku bisa belajar tentang musik. Dan mulai saat itu, aku baru tahu kalau Ayahku adalah mantan pianis terkenal.
.
10 tahun kemudian
Kring! Kring! Kring!
Aku melenguh, tanganku meraih sebuah benda bulat yang berbunyi nyaring dan mengganggu tidurku. Jam wekerku. Aku mematikannya langsung ketika telah mendapatkannya.
Duk! Duk! Duk! Brak!
Reflek aku terbangun dan turun dari tempat tidur karena suara itu. Engsel pintu kamarku patah dan muncullah seseorang yang tidak asing lagi bagiku dengan kue bolu di tangan dan ... apakah itu terompet di mulutnya? Oh tuhan ...
Trrooottt!
"Selamat pagi Hinata-chan! Selamat atas hari pertamamu di SMA!" dia menghampiriku dan meniupkan terompet berulang kali lalu menyodorkan potongan kue ke dalam mulut. Tapi mulutku bungkam.
Aku hanya mematung di tempat. "Untuk apa semua ini, Ayame-san?"
"Untuk merayakan hari pertamamu di SMA! Kau dengar?" Ah ... dia tetap bersemangat seperti biasanya. Meski aku pun sama semangatnya seperti dia. Ini hari pertamaku di SMA! tapi rasanya ... uh ...
"Tidak perlu melakukan ini, ang-!" ... gap saja seperti hari biasanya! Ugh, aku baru saja ingin mengatakan itu tapi ... Ayame-san! Jangan memberiku bolu ke dalam mulutku tiba-tiba! Kau ingin membunuhku, ya!?
"Sudah, makan saja bolu ini. Aku sudah membuatnya semalaman! Ayo habiskan!" ucapnya seraya terus menyuapiku tanpa memberiku kesempatan untuk mengunyah dan menelan! Siapa saja tolong aku!
"Ayame-san!" Sekejap, Ayame-san berhenti menyuapiku secara membabi buta. Ah, siapa itu? Ternyata Genma-san. Oh, pahlawanku ...
"Apa yang kau lakukan? Hentikan ini." Genma-san mengambil piring bolu dan menjauhkannya dari Ayame.
"Ada apa denganmu? Kembalikan! Apa kau tidak mengerti situasinya? Aku sedang merayakan hari pertama Hinata-chan masuk SMA! Hari ini hanya terjadi sekali dalam seumur hidup!" Ayame-san ... kau terlalu mendramatisir.
"Hei, Drama Queen," Drama Queen? Heh, itu julukan yang bagus, Genma-san.
"Sudahlah, jangan terlalu membesar-besarkan apapun sampai-sampai pintu pun kau habisi. Kalau kau mau, Hinata bisa saja masuk ke SMA kembali dan hari pertama akan kembali dia rasakan seperti sekarang, ya 'kan Hinata?" Genma-san mengerling padaku. Aku hanya tersenyum meski dalam hati aku berkata, 'Hey!'
"Ya ampun, Genma-san, bla bla bla ..." aku sudah tidak mendengar apa yang dikatakan Ayame-san dan tidak memperhatikan pertengkaran masalah sepele antara dia dengan Genma-san.
Aku bergerak membuka gorden jendela. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Aku merenung.
"Semoga ... kejadian di SMP, tidak terulang lagi di SMA."
.
.
.
Upacara telah berlalu berlangsung. Aku berjalan sepanjang lorong dengan suka cita. Kira-kira, seperti apa teman pertamaku? Aku tidak menginginkan banyak teman, cukup satu atau dua asal bisa di percaya.
Di hadapanku, sebuah ruangan kelas dengan plang di atas pintunya bertuliskan 'X-A'. Ruangan inilah, tempat dimana aku bisa menuntut ilmu dan bersosialisasi dengan teman sekelasku untuk satu tahun kedepan.
Tanganku gemetar hendak menggeser pintu kelas. Aku tertunduk dalam-dalam. Seperti apa teman sekelasku? Apakah mereka semua akan menerimaku?
Seketika juga, kenangan buruk di SMP berputar di kepalaku.
'Dia kah ...? Si buta nada itu?'
'Buruk sekali dia ... jadi selama ini dia tidak bisa bernyanyi? Kurasa dia tidak tahu not-not dasar nada.'
'Jangankan menyanyi, bermain musik saja dia tidak bisa ...'
'Padahal ayahnya mantan pianis terkenal.'
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak, Hinata. Jangan mengingat itu lagi. Ini adalah awal hidup barumu. Bukankah kau rela-rela sekolah jauh dari rumahmu agar kau bisa melupakan kenangan itu dan memulai lembaran baru? Semua orang di sekolah ini tidak tahu kalau kau buta nada. Jadi, ayolah Hinata. Semangat!
Kuangkat kepalaku yakin. Pintu di depanku, ku geser dengan semangat.
Byuurr!
Apa ...?
Gelak tawa bergemuruh di semua sudut-sudut kelas. Cairan hitam menetes dari helai rambutku. Aku yakin, saat ini rambutku berubah warna hitam. Tunggu ... cairan hitam!? B-Bau ini kan ... Bukankah ini ...?!
Ku tatap seorang gadis yang berdiri di hadapanku, dia menyeringai lebar kepadaku. Bibirku gemetar, aku sangat kenal seringaian itu, postur tubuh itu, wajah itu dan rambut merah darahnya.
Karin! Dia tem-bukan, gadis sekelasku di SMP. Aku lihat juga ada Tayuya, dia bukan gadis sekelasku di SMP tapi dia sama halnya dengan Karin, mereka berdua sering menjahiliku. Mereka adalah musuh terbesarku di SMP!
"K-Karin ... kenapa kau ada disini ...?" mengapa aku mengatakannya dengan nada lemah seperti ini! Aku harus kuat menghadapi mereka. Lihat, nada lemahku malah membuat mereka cekikkan senang. Membuatku kesal saja.
"Aku yang harus bertanya seperti itu, mengapa gadis buta nada sepertimu ada di sekolah ini?! Apa agar kau bisa menghancurkan reputasi sekolah dan kelas ini dengan suara hancurmu?! Lebih baik kau keluar dari sekolah ini!" ucap Karin dengan lantang seraya mengacungkan jari tengahnya di depanku. Cukup dengan tingkah lakunya selama di SMP, aku tidak mau hari-hariku nanti terulang lagi.
"Memangnya siapa kamu?! Kepala sekolah ini? Bahkan semua orang tidak mempermasalahkan dengan buta nadaku!" aku mengerutkan dahiku dalam. Bagus, Hinata! Kau berhasil mengeluarkan aumanmu.
Karin mendecih, "Apa kau yakin semua orang tidak mempermasalahkan buta nadamu? Kau ingat perlakuan semua orang kepadamu setelah hari perpisahan itu?"
Aku membeku di tempat. Jangan, jangan mengingat hari perpisahan itu Hinata. Jang ...
'Hyuuga Hinata, turun dari panggung.'
'Tidak ... aku masih ... ingin berdiri di panggung,'
Hari itu adalah hari yang paling menakutkan. Sangat menakutkan hingga ke dasar jiwaku. Gigiku bergemerutuk. Sekuat tenaga aku tahan air mataku.
"Sa-!"
"Sudah cukup. Sensei akan tiba, kalian berdua yang berambut merah, kembalilah duduk." seorang pemuda mendekati kami dan sontak membuat Karin dan Tayuya terkejut lalu menuruti perintah pemuda itu.
Apakah Karin dan Tayuya takut pada dia? Siapa dia?
Pemuda itu mendekatiku, tidak peduli aroma tidak sedap menyengat menguar dari tubuhku.
"Lebih baik kau pergi ke toilet dan ganti bajumu dengan baju training, aku akan mengatakan kejadian ini semua pada Sensei," senyum lebar mengembang di akhir ucapannya. Kurasa dia orang yang baik.
Ku teliti penampilan pemuda itu. Berambut pirang dan bermanik biru laut. Aku terbelalak. Benarkah mata itu berwarna biru laut? Aku jarang sekali melihat warna mata itu di Jepang. Apakah itu asli atau itu softlens? Mengenai mata biru ... sepertinya aku pernah lihat, tapi dimana?
Aku termenung beberapa saat sampai pemuda itu menyadarkanku. Sontak aku terkejut.
"Apa yang kau lamunkan? Oh, aku mengerti, aku akan meminta seseorang untuk mengantarmu ke toilet." orang ini baik sekali.
"Tenten, bisakah kau mengantarkan dia ke toilet?" tanyanya pada seorang gadis yang duduk di belakang pojok kiri.
Yang di panggil Tenten, berdiri dan berjalan mendekati kami. Mataku dan mata hazelnut itu bersitatap, aku tersenyum ramah. Firasatku, gadis itu baik. Dugaanku benar, buktinya dia membalas senyumanku.
"Baik! Ayo, um..." dia menelengkan kepalanya ke samping.
"Hinata. Hyuuga Hinata, salam kenal Tenten-san." aku berojigi di depannya. Oops, cairan hitam di rambutku sedikit terciprat ke wajahnya. Tenten sangat terkejut karenanya.
"M-Maafkan aku..."
"Tak apa. Lebih baik kita cepat ke toilet, sebelum itu um ... mengering. Naruto, aku izin keluar, ya," balasnya seraya membersihkan noda hitam di pipinya dengan tisu. Mataku mengerling ke pemuda pirang itu, jadi namanya Naruto.
Naruto mengangguk. Aku meminta Tenten mendahuluiku keluar kelas, memanduku menuju toilet. Itu karena aku tidak tahu letak toiletnya. Sepanjang perjalanan, Tenten terus berbicara tentang dirinya dengan santainya. Seperti, dia tidak pernah melihat kejadian yang memalukan tadi di kelas. Syukurlah. Dan yang membuatku tak hentinya bersyukur, jalan lorong yang ku lewati sangat sepi. Jadi aku tidak perlu menanggung malu karena penampilan dan aromaku saat ini.
Naruto dan Tenten, kuharap aku bisa berteman baik dengan mereka untuk tiga tahun kedepan, atau mungkin untuk selamanya. Aku tersenyum lebar bila kemungkinan itu benar.
Tidak disangka, aku malah mendahuluinya karena terlalu senang dan masuk ke ruang TU. Ow ...
.
.
.
Selama pelajaran, tidak sedikit aku di-bully oleh Karin dan Tayuya. Dari melemparkanku kertas ke kepalaku, menggoyangkan tanganku ketika aku menulis dan sebagainya. Namun aku tidak melawan, kurasa pem-bullyan mereka tidak terlalu ekstrem seperti di SMP dulu.
Ya, kurasa karena Naruto selalu memperhatikan Karin dan Tayuya ketika mereka menjahiliku dan menegur mereka saat mulai kelewat batas. Entah mengapa, aku merasa dilindungi oleh Naruto meskipun dari kejauhan. Aku bertanya-tanya, apa aku pernah bertemu dengannya? Aku selalu merasa, wajahnya tidak asing bagiku dan mata itu juga.
Istirahat tiba, aku berniat ingin berbicara dengan Naruto. Tapi dia menghilang entah kemana. Aku bertanya pada Tenten, kemanakah perginya Naruto? Dia hanya mengendikkan bahunya tidak tahu. Ya sudahlah.
Tenten sangatlah baik, dia menawariku bekalnya, tapi aku membawa bekalku sendiri. Aku melihat ke seluruh kelas, tidak ada Karin dan Tayuya. Mungkin mereka pergi ke kantin. Aman.
Aku makan perlahan, rasanya berbeda bila tidak ada Naruto di kelas. Agak ... sunyi. Hm, kenapa aku malah memikirkannya? Lupakanlah.
.
.
.
Aku rasa, aku akan pulang agak terlambat karena jemputanku belumlah datang. Sebenarnya aku bisa saja pulang sendiri, tetapi Kotetsu-san terus memaksa untuk menjemputku.
Disinilah aku, berdiri sendiri di samping gerbang sekolah. Ku lirik ke dalam sekolah, hanya ada beberapa orang yang masih beraktifitas di sana seperti kegiatan klub, melakukan piket di kelas dan lainnya. Jalanan pun sudah lenggang. Tidak ada siapapun selain aku dan kendaraan yang berlalu lalang di depanku.
Membosankan.
Maka aku pun berniat menunggu di dalam kelas. Lorong-lorong sedikit mengerikan ketika sepi. Suara ketukan sepatuku bergema. Menimbulkan sensasi tersendiri bagiku bahkan aku merasa ada suara ketukan sepatu lain di belakangku dan ketika aku menengok kebelakang, tidak ada siapapun. Uhh ... aku mulai berhalusinasi aneh.
Langkahku tiba-tiba berhenti. Kakiku terasa berat di angkat. Bukan, bukan karena ada tangan tidak kasat mata yang menahan kakiku. Jangan sampai terjadi!
Tapi ... suara alunan melodi khas biola terdengar mengalun samar-samar di gendang telingaku. Rasa penasaran terasa sangat menggelitikku. Aku mengikuti suara itu, semakin dekat, suaranya semakin jelas.
Suara ini ... tidak salah lagi! Ini irama lagu The Dream dari Michael Franks. Ritme-ritme melodi beraliran jazz ini sangat mirip dengan permainan biola 'dia'. Mungkinkah ...
Langkahku semakin cepat. Aku berlari. Seolah suara itu magnet yang terus mendekatkanku padanya. Aku bisa langsung tahu darimana arah asal suara itu.
Dan suara itu berasal...
Dari dalam kelasku ...
Nafasku terengah-engah, dadaku kembang kempis. Tenggorokanku terasa sulit menelan ludahku. Apakah dia di dalam sana? Siapa dia? Aku mengulum bibir bawahku.
Dari kecil, aku belum tahu siapa 'dia'. Meski ada banyak kesempatanku untuk mengetahui siapa 'dia'. Tapi ketakutanku saat itu ... saat pertama kali aku mengetahui bahwa aku buta nada, itu mengalahkan rasa penasaranku. Aku malu ... aku malu mendengar lagunya. Aku malu bertemu dengannya.
Kuambil satu langkah mundur. Ponselku bergetar. Menampakkan sebuah pesan dari Kotetsu-san, dia sudah ada di depan gerbang.
Apakah aku harus maju atau mundur? Bertemu atau pulang? Mengetahui atau menyesal?
Suara itu masih mengalun lembut. Mataku terpejam sejenak. Sudah kuputuskan. Aku pun membalas pesan Kotetsu-san.
Aku ada urusan penting di sekolah. Aku akan pulang sendiri.
Lalu kuketik kirim. Tak lama notifikasi pesan terkirim muncul di layar ponselku. Aku abaikan.
Satu langkah maju ku ambil.
'Hinata, dia sudah datang,'
Tanganku terkepal kuat meredam rasa gemetar setelah berada di depan pintu kelas. Aku ambil nafas panjang.
'Tidak Ayah! Aku tidak mau bertemu dengannya! Pulangkan saja dia!'
Perlahan, aku menggeser pintu berusaha tanpa bersuara.
'Hinata ...'
Mataku membulat seiring permainannya juga berhenti. Pemuda itu menghadap ke jendela, memamerkan punggung dan bahunya yang lebar. Dia berbalik, surai pirangnya bergoyang pelan dan menampakkan mata birunya yang bersinar. Biolanya yang dia pegang di tangan kirinya, ia turunkan.
'... aku datang untukmu ...'
Waktu terasa berhenti sekarang. Seluruh tubuhku terasa kaku, untuk bergerak pun rasanya sulit. Aku benar-benar tidak percaya... apa ini? orang ini ... orang inikah?
"Naruto-san...?"
~o~
To Be Continued
~o~
A/N: Keep or Delete? and Mind to Review?
