Title : Anguish 1 # A
Pairing : Hinata H, Sasuke U, Naruto U
Genre : Little bit Angst, Hurt, Romance
Warning : Sudut pandang berubah-ubah, OOC, Typo.
Author : By me Izumi Chieko
Disclaimer : Naruto belong's to Masashi Kisihimoto , I just own this story, don't ever dare claim.
.
~ Anguish~
.
.
( Hinata )
.
.
.
Berulang. Mimpi yang sama tanpa bosan menghampiri. Ada sebuah nama yang muncul dalam mimpi itu. Nama dari sosok yang tak pernah ku tahu. Wajah yang selalu terlihat samar. Rupa yang tak pernah dapat kubayangkan. Bahkan hanya untuk menyaksikan kedip matanya pun aku tak pernah diizinkan. Yang kudapat hanya senyumannya. Garis senyum yang tersungging dibelah bibir itu. Senyum tipis yang entah kenapa selalu menimbulkan kehangatan dihati setiap kali aku mengingatnya.
Tak pernah sekali pun aku terlibat suatu pemibicaraan dengannya. Meski itu dalam mimpi ku sendiri. Dia selalu datang begitu saja diantara mimpi-mimpi yang menghampiri ku secara acak. Satu kalimat yang ku dengar dari sosok itu, suara rendah yang menggetarkan isi dada sebelum aku tersadar dari tidur ku.
Dia bilang… "Tunggu aku."
.
.
~Anguish~
.
.
Lembaran potret hitam putih tak bernyawa menggantung bisu didinding kamar yang dingin. Tumpukan sketsa satu model dengan berbagai macam ekspresi tersusun rapih di atas meja panjang, satu-satu nya yang ada di sana.
Seekor burung pipit bernyanyi riang, bertengger pada kusen jendela yang terbuka. Memanggil teman-temannya untuk bergabung menemani kesendiriannya. Burug itu terbang… terbang tinggi saat teman-temannya menjemput untuk berpetualang. Meninggalkan kamar sunyi yang selalu terasa sepi disetiap tarikan nafas. Meninggalkanku.
Andai hidup seperti burung kecil itu. Mengepakkan sayap mungilnya tanpa beban dengan bangga. Melanglang buana, walau terkadang ia hanya sendirian, tapi tak pernah merasa sepi. Burung kecil itu selalu mampu bertahan sendiri. Andai bisa hidup seperti burung kecil itu.
Skenario hidup manusia tak semuanya sama. Bahkan cenderung berbeda pada tiap individu. Dan tentu saja… tak semua berakhir dengan kebahagiaan yang seperti kebanyakan orang harapkan. Apalagi ketika ketidak beruntungan selalu memihak pada kita.. maksudku, aku. Tetapi semua itu tergantung bagaimana tiap individu menyikapi. Terkadang hal yang mudah dianggap sulit, atau hal yang sukar dipandang sebalah mata.
Bagiku tak ada persoalan yang lebih sulit, selain membohongi diri sendiri. Karena dengan cara seperti itulah aku bertahan. Bertahan dalam penantian.
Hidup dengan normal, tentu saja. Menjalani aktivitas keseharian yang wajar. Bergaul dengan lingkungan sekitar dan beradaptasi dengan hal-hal yang baru. Rutinitas yang membosankan meski terkadang semua itu dapat membuat senyum. Tak dipungkiri, semua itu memberikan kebahagiaan walau secuil. Namun, tak ada hal yang begitu membahagiakan bagiku selain perasaan yang bersambut.
Mungkin aku terlalu cengeng dan begitu melankolis. Begitu naïf karena tak mengindahkan kenyataan. Mengaharapkan balasan kasih pada seseorang yang sama sekali tak memiliki perasaan yang sama terhadapmu.
Geh! Semua orang bisa bilang! Semua mungkin berkata! Mereka mungkin berteriak! Dengan suara lantang dan bangga berujar "Masih banyak orang lain yang jauh lebih baik daripada dia! Jangan kau gadaikan perasaanmu untuk dia yang tak menginginkanmu! Tak usah membuang waktu untuk dia yang tak memikirkanmu. Dapatkan kebahagiaan mu sendiri!"
Memang…
Ck. Kata memang mudah untuk diucapkan. Lisan berkata tapi hati berpaling. Logika memang dapat dengan mudah menyusun, memerintah otak, tetapi hati tak dapat berkhianat. Tak sebentuk frase pun dapat mewakilkan perasaan yang dialami. Aku menggigil dalam kebimbangan, menangis dalam ketidakpastian, dan aku merana dalam penantian.
Berusaha hidup dengan mengabaikan perasaan. Menomorduakan emosi tak tertahan dan kemudian akan membuncah disetiap malam. Mencoba menghapus titik demi titik rasa yang tak terelakkan. Menggugus jejak-jejak cinta dan melupakan segala rasa yang bergumul dibalik dada. Tapi sayang.. setiap aku berusaha semakin kuat ku ingat dan ku rasa.
Dan aku sadar, aku tak dapat dengan mudah melupakannya, tak semudah aku jatuh cinta kepadanya.
.
.
.
.
Broken
.
.
"Ada kiriman surat lagi untuk mu hari ini!"
Selembar amplop merah jambu polos yang terjulur dihadapannya kini sudah beralih tempat. Tergeletak bisu disampingnya, dilantai tanah. Ia hanya mengangguk sambil terus mencoreti sesuatu di tangannya.
"Kau menggambar nya lagi ?"
Coretan hitam di atas karton itu telah hampir mendominasi warna putih yang menjadi alasnya. Batang pensil yang tadi menari-nari lembut di atas kertas tipis itu sudah berhenti dari tugasnya. Seorang gadis yang sejak tadi menundukan wajah, khusyuk dengan arsirannya kini memutuskan untuk mengangkat wajah. Menggerakan sedikit kepala untuk menyingkirkan surai indigo lembut yang menutupi wajah. Sementara amethyst nya kini berkilat tertimpa cahaya, menatap laki-laki lain yang kini sedang berdiri dihadapannya dengan raut agak masam. Dia hanya bisa tersenyum. Terkekeh sebentar sebelum kembali menundukan wajah dan melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti.
"Gaara? Kau datang lagi? Lukisanmu sudah ku selesaikan, kau bisa ambil sekarang di galeri!"
Ia kembali berkutat dengan pensil dan karton. Mengabaikan laki-laki yang sejak tadi mencoba mendapatkan perhatiannya. Gaara, orang yang masih betah berdiri dihadapan seorang pelukis amatir-begitu si empunya mengatakan ketika Gaara berkali-kali memuji hasil karyanya-menjatuhkan beban tubuhnya di atas lantai tanah kering yang dingin dan lembut umpama lantai tembok tanpa keramik. Duduk menekuk lutut sementara tangannya menopang wajah rupawannya. Memerhatikan goresan-goresan halus yang dihasilkan jari-jari lentik itu melalui batang hitam yang terselimut kayu.
"Hm? Kau mau ku ambilkan pesananmu. Gaara?"
"Hinata."
Gumaman kecil yang keluar dari bibir meliuk cantik itu hanya mengundang dengusan dan tawa kecil orang dihadapannya. Si pemilik bola mata perak itu akhirnya menyudahi hobinya dan memberikan perhatian penuh pada Gaara. Orang yang masih setia menunggu, memerhatikannya. Sebuah senyum lembut terbit menyamarkan raut suram yang selalu menggantung diwajah ayu itu.
"Jangan meledekku!" elak Hinata. Ia tahu Gaara sedang mencibir aktivitas coret-mencoretnya. Laki-laki itu selalu memergoki dirinya sedang menggambar objek yang sama. Berkali-kali mendapati Hinata membuat sketsa dan lukisan-lukisan dengan model yang itu itu juga.
"Aku tak pernah meledekkmu!" ujar laki-laki berambut merah di hadapan Hinata, yang selalu terlihat tampan dan menawan kala ia tertawa. Dia berdiri sambil memungut karton bergambar yang tadi Hinata pegang. Decak kagum dan tawa renyah meluncur dari bibir nya.
"Aku tahu, kau tak pernah bosan menggambarnya, tapi Hinata, jika kau terus-menerus melakukan hal yang sama, kau tak akan pernah bisa melupakannya."
"Aku tak pernah berniat melupakan Naruto."
"Maksudku – kau tak akan bisa maju. Kau akan tetap tnggelam dalam pikiranmu. Kau tak akan pernah bisa melangkah ke depan, di mana masa depan yang kau miliki sendiri berada. Tanpa Naruto. Aku ingin kau bahagia, Hinata. Aku ingin kau mendapatkan kebahagiaanmu sendiri. Aku ingin kau lebih menghargai hidupmu sendiri." Tutur Gaara.
Kini wajahnya terlihat muram lagi. Ia tak pernah bosan menasehati Hinata yang notabennya adalah His best friend. Besar dan sering bergaul bersama-sama dengannya sejak dulu membuat Gaara sangat mengenal Hinata. Baik sikap, kepribadian, hal yang Hinata suka, sesuatu yang Hinata takuti, sejarah hidupnya, masa lalunya, semuanya. Dan Naruto. Dia tahu siapa dan apa atau bagaimana dia bagi Hinata.
Air muka gadis bersurai indigo itu berubah. Ia menyisir rambut depannya dengan kelima jari tangannya dengan gusar, menandakan ia tak nyaman dengan topik yang tiba-tiba temannya bicarakan. Cahaya di amethyst nya meredup. Gadis itu tak pernah bisa menyembunyikan apa pun dari Gaara. Termasuk tak pernah bisa memasang topeng 'baik-baik saja' diwajahnya sebagaimana selalu ia lakukan terhadap orang lain disekitarnya.
"Gaara…"
"Aku tak akan berhenti mengoceh Hinata, jika itu yang kau minta."
"Tolong… kau tahu, aku baik-baik saja dengan semua ini. Kau tahu, 'semua itu' adalah kebahagiaanku. Gaara…" Hinata berpaling muka, menyadari suaranya perlahan menghilang, merasakan kerongkongannya tercekat tiba-tiba, membuat suaranya serak dan terputus-putus. Membicarakan tentangnya, tentang Naruto.. selalu membuat emosi Hinata jungkir balik. Hal yang berkaitan dengan Naruto adalah topik yang paling sensitive bagi dirinya. Dan Gaara tahu betul tentang hal itu.
"Untuk satu kali ini, Hinata…dengarkan aku."
"Gaara—"
"Tolong lah Hinata, berhenti mempercayai harapan-harapan kosongmu. Demimu… demi dirimu. Aku yakin, Naruto juga menginginkan itu. Ia ingin yang terbaik untukmu. Ia ingin kau hidup dengan wajar. Dia tak akan senang dengan sikap mu yang terus menerus bergantung dan tergusur-gusur oleh perasaan egoismu. Aku tahu, dia tahu. Kau begitu mencintainya, dia segalanya buatmu. Tapi kau juga tahu, itulah satu-satunya alasan mengapa Naruto menjauh dari kehidupanmu. Aku yakin kau tahu betul itu, Hinata." Papar Gaara, tak pernah bosan mengingatkan Hinata dengan kalimat-kalimat yang sama. Suara rendah dan lembutnya hanya membuat gemuruh emosi didada gadis indigo itu semakin meumpuk.
Hinata memejamkan kelopak mata rapat-rapat, merasakan kedua bola matanya selalu otomatis memanas setiap kali mendengar ucapan Gaara yang seperti itu. Menarik nafas terlalu keras sampai menimbulkan suara khas, mencegah lendir hangat yang mengalir di lubang hidungnya. Kedua telapak tangan itu menekan wajah dengan gemetar. Semakin Hinata menahan emosinya semakin bergetar tubuhnya. Tubuh ramping yang selalu tampak kuat dihadapan semua orang kini tampak ringkih dan menggigil. Gejolak perasaan yang ia sembunyikan rapat-rapat selalu berhasil Gaara goyahkan. Gaara menarik nafas dalam diam, bergerak perlahan mendekati kawannya dan merangkulnya. Ia tak bermaksud, tak pernah bermaksud membuat Hinata tampak rapuh. Meskipun Gaara sudah tahu Hinata telah rapuh sejak dulu.
"Dengar! Aku kumohon..sayang, akau tak pernah ingin kau berlarut-larut dalam penderitaanmu. Aku tahu kau kesepian.. aku ingin kau mendapatkan seseorang yang bisa membuatmu nyaman. Aku ingin seseorang menarikmu dari belenggu penantian tak berujung. Aku ingin—" Suara Gaara tertahan ditenggorokan, bahkan untuk menelan ludah pun dirasa sukar, matanya mengerjap-ngerjap karena tahu mulai berair. Pelukannya pada Hinata mengerat, ia mengelusi pundak yang bergetar dalam rangkulannya.
"Aku sangat berharap kau bisa membuka hatimu lagi. Aku yakin akan ada seseorang yang akan menyambut perasaanmu sepenuh hati. Suatu saat nanti. Aku yakin.. aku ingin kau juga yakin.. kau harus percaya Hinata.. Tuhan akan memberikan pasangan pada setiap makhluk-Nya. Dia tak akan membiarkan makhluk ciptaan-Nya selamanya menyendiri, termasuk dirimu. Kecuali jika makhluk-Nya sendiri yang menginginkan dan lebih memilih hidup dalam kesendirian. Dan aku tak ingin kau memilih hal yang terakhir. Aku ingin kau hidup bahagia bersama orang yang kau cintai, meski bukan Naruto. Cobalah Hinata… kumohon berusahalah!"
Isakkan kecillah yang menjadi jawaban atas penuturan panjang Gaara. Hanya tubuh yang semakin bergetar dalam pelukannya sebagai tanda Hinata mendengar bujukan dan permintaannya. Gaara tak sampai hati harus selalu menyaksikan Hinata menangis tanpa suara disaat-saat tertentu. Gaara sudah tak sanggup menahan iba mengetahui Hinata yang selalu terisak diam-diam dipertengahan malam. Melihat Hinata larut dalam kesedihan hanya membuat Gaara ikut terseret ke dalam kesedihan gadis itu. Ia tahu sekali, karena selama ini ia lah yang menjadi penjaga Hinata. Mengawasi setiap tindak-tanduk gadis manis itu karena khawatir Hinata akan melakukan sesuatu diluar kendalinya.
.
.
Someone Else
.
' … Aku ingin kau hidup bahagia bersama orang yang kau cintai, meski bukan Naruto. Cobalah Hinata.. kumohon berusahalah!'
Tarikan nafas pelan Hinata begitu jelas terdengar di ruangan yang sedikit gelap itu. Senyap, begitulah suasana yang ada disekitar gadis itu, seakan tak ada sedikit pun tanda kehidupan selain hembusan nafas putus-putus nya yang bersandar lemah pada sandaran kursi kayu di sudut ruangan. Cahaya matahari sore menerobos masuk melalui kaca buram di dinding, itu adalah satu-satunya sumber cahaya yang menerangi, lampu ruangan belum juga dinyalakan. Senja menguning tampak dari balik pepohonan yang tumbuh di samping galeri. Amethys itu kini sepenuhnya tampak. Hingga wajah muram dan sorot rapuh yang memantul di balik mata peraknya terlihat jelas. Kesedihan.. luka akan penantian.. ketidakberdayaan.. putus asa, pengharapan, kesepian, kecewa, rindu, semua bergumul menjadi satu. Tercermin diantara iris nya. Bola mata yang akan nampak mempesona jika pemiliknya sedag bersuka cita, kini tak lebih dari sebuah indera penglihatan yang tak terjaga. Menambah aura suram pada diri Hinata.
Sekali lagi Hinata mengehembuskan nafas jengah dengan perlahan. Mencari ketenangan berharap angin petang ikut menyapu kegundahan yang ia alami, meredam emosinya kembali agar stabil setelah kepergian Gaara. Satu-satunya teman yang dapat mengerti dan memahami Hinata lebih baik, bahkan dari Hinata sendiri. Satu-satunya orang yang tahu apa yang terbaik untuk Hinata dibandingkan Hinata sendiri. Hinata tahu.. keperdulian Gaara melibihi rasa peduli Gaara terhadap dirinya sendiri. Tapi Hinata tak tahu.. bagaimana ia harus memperdulikan diri sendiri dengan lebih baik melebihi apa yang telah Gaara lakukan terhadapnya. Ia tahu ia terlalu bergantung pada temannya yang satu itu, kendati temannya itu pun sudah disesaki dengan urusan hidupnya sendiri. Hinata tak ingin menambah beban Gaara, tetapi ia tak yakin mampu berdiri tanpa topangan laki-laki itu. Sampai saat ini Gaara adalah sat-satunya tumpuan Hinata. Orang yang bisa Hinata percaya. Karena semenjak kepergian Naruto, orang tercintanya, Hinata menolak untuk mempercayai orang lain.
Kalimat Gaara tadi siang terngiang kembali, mengaung di dalam kepala sampai Hinata merasa kepalanya akan pecah jika ia berusaha untuk menyesapi makna yang ada dalam rentetan kalimat itu. Gaara ingin Hinata mencoba melunturkan rasa cintanya pada Naruto, ingin Hinata berusaha untuk melupakan perasaan yang selama ini ia jaga, berpaling dari kasih tak sampainya.
'….cobalah Hinata.. kumohon berusahalah!'
Bukan tak pernah Hinata mencoba. Bukan tak pernah Hinata berusaha. Bukan kemauan Hinata membiarkan hidupnya terombang-ambing dan terpenjara diantara luka dan kekecewaan. Ia mencoba dan berusaha. Pernah atas kehendak sendiri menginginkan kebebasan atas penantiannya. Tapi itu semua tak ada gunanya. Gagal, bahkan jika mau, jika ia bisa, ia ingin sekali jatuh hati pada Gaara. Orang yang selama ini selalu berada disampingnya. Ada disetiap Hinata memerlukan pelukannya. Hinata yakin Gaara dapat memberikan segalanya, yang terbaik demi Hinata. Tapi apa daya, hati tak dapat dipaksakan. Hinata tak mendapatkan apa yang ia cari. Ia tak pernah mendapatkan sesuatu atau seseorang atau entah apa pun itu yang bisa menyumbat rasa cintanya pada Naruto. Justru malah menambah beban dihatinya dan membuat luka baru pada orang lain yang telah bersedia meraihnya. Ia tak ingin menjadikan orang lain sebagai pelampiasan sepinya. Ia tak ingin hubungan palsu yang membuat hati semakin hampa dan kosong. Hinata tak pernah mau. Ia tak pernah bisa mengatakan 'Aku mencintaimu' pada orang lain sementara hatinya berkata tidak. Ia tak ingin mengkhianati perasaan seseorang yang telah menaruh harapan terhadapanya, lebih tepatnya.. ia tak ingin mengelabui perasaannya sendiri lebih lama. Karena itu menyakitkan… karena Hinata tahu.. ia tahu betul bagaimana rasanya ketika kasih tak tergapai. Hinata tahu bagaimana perih dan sakitnya hati mengetahui orang yang kau cintai tak memiliki perasaan yang sama, tahu bahwa bukan dirinyalah yang selama ini menguasai hati sang pujaan.
Ketika mereka telah membuat sebuah komitmen untuk bersama. Sakit, bukan marah yang terasa, tapi kecewa.. merasa terkhianati. Biarlah… pikir Hinata, biarlah ia tetap mencintai Naruto, ia akan menjaga dan memelihara perasaannya karena hanya dengan itu ia bisa merasakan Naruto-nya hidup bersamanya. Dalam benaknya. Di relung hatinya yang terdalam. Ia dan Naruto selalu bersama, meski hanya dalam angan. Tapi, Hinata bahagia.. Hinata bahagia… luka yang selama ini terpendam menjelma menjadi suka. Bahagia dalam penderitaan menahan rasa. Entah sejak kapan perasaan sakit itu berubah menyenangkan bagi Hinata. Hinata tak perduli, ia sekedar menikmati.
Pandangannya jatuh pada satu hasil tangannya diantara karya-karyanya yang lain, yang menggantung pada dinding-dinding di depan mata. Satu model pribadi yang mendominasi, dari sekian banyak lukisan dan sketsa yang ia buat. Diam bisu balik menatapnya kaku. Kelopak matanya bengkak – karena habis menangis siang tadi – itu menutup perlahan dengan berat. Merasakan tiap detik otot-otot matanya melentur tenang. Memejamkan mata untuk waktu yang lama agar mendapatkan ketenangan kembali. Deru nafas teratur tak berarti mendadak Hinata tertidur dalam rasa sepinya. Ia masih terjaga. Menetralkan kembali urat saraf yang menegang.
Sepuluh menit berlalu saat Hinata akhirnya kembali membuka mata. Kali ini tatapannya jatuh mengenai tumpukan amplop berwarna serupa diatas meja. Bergabung dengan lembaran sketsa dan lukisan yang ia buat. Pikirannya berlari-lari mencari kepastian dan kebenaran serta maksud dari lembar-lembar kertas yang ia terima. Saat ini pikirannya teralihkan pada surat-surat itu. Walaupun sama sekali tak membuat perasaannya jadi lebih baik dari sebelumnya.
Sejak lama Hinata merasa heran dengan surat-surat itu, mengganggu pikirannya. Surat-surat itu berdatangan padanya satu minggu sekali rutin disetiap pekan. Isi dari surat-surat itu tak lebih dari sebuah pujian dalam berbagai bentuk kalimat indah dan asyik untuk dibaca. Kadang dibubuhi percakapan singkat tak langsung antara si pengirim dengan dirinya. Dan itu cukup menghibur Hinata. Ia selalu membuka kembali surat-surat itu di saat ia benar-benar merasa kesepian. Kata-kata yang tertuang dalam lembaran kertas itu tanpa Hinata sadari dapat mengobati rindu perhatian yang ia alami. Sudah lama Hinata menyadari, ia yakin surat-surat itu ditulis oleh orang yang sama. Memerhatikan dari tiap lekuk garis tangan pada tiap-tiap lembar surat yang ia terima. Hinata tak bisa melupakan tulisan tangan yang begitu tegas tanpa keraguan, torehan tinta yang anggun dan artistik, namun memiliki nuansa lembut tersirat, mencerminkan kepribadian dari penorehnya. Hinata berfikir bahwa si penulis memiliki daya tarik yang tinggi terhadap seni. Hinata bisa menebak karena ia sendiri adalah seorang penyuka seni. Hanya dengan memahami seni, kadang tak perlu penjabaran panjang untuk mengetahui isi hati dan tindakan tanpa kata.
Namun bagaimanapun Hinata penasaran bagaimana orang itu tahu dirinya. Oh maksudnya Lukisan-lukisannya- dan alamat rumahnya - tentu saja. Ia tak pernah memasarkan atau mempublikasikan hasil tangannya pada publik. Ia tak menjual karyanya selain pada orang-orang tertentu. Lagipula ia akan dengan senang hati memberikan lukisan-lukisan atau pun sketsa yang ia buat secara cuma-cuma jika orang itu benar-benar menyukainya. Biasanya orang-orang akan mengunjungi galerinya dan meminta karyanya secara langsung. Meskipun tak jarang rata-rata dari mereka menjejalkan puluhan bahkan ratusan ribu yen ke dalam amplop sebagai tanda terimakasih untuk Hinata. Bagi Hinata nilai yen tak begitu mempengaruhinya, ia cukup senang dengan apresiasi mereka. Karena melukis bagi Hinata adalah media untuk mengekspresikan berbagai macam gagasan dan emosi dirinya. Tergambar sempurna dalam tiap sapuan kuas diatas kanvas, jika penikmat seni itu memiliki kepekaan yang baik terhadap suatu karya.
Mungkinkah Gaara? Atau tamu-tamu yang pernah berkunjung sebelumnya? Hinata menerka-nerka darimana si pengirim surat tahu dan siapa dia?. Hinata menegakkan punggung menatap langit petang yang mulai pudar cahaya nya. Tapi, si pengirim surat itu tidak hanya tahu mengenai karya-karya kecilnya, ia juga tahu isi hatinya. Mungkinkah orang itu membaca dengan baik apa yang Hinata sampaikan melalui titik-titik tintanya?
Entah…
Hembusan nafas yang teratur yang keluar dari rongga hidungnya begitu tenang. Gadis itu meraih sebuah amplop berwarna merah jambu yang ada ditumpukkan paling atas. Selalu tak ada identitas sang pengirim. Hanya sebuah stempel ungu dalam bentuk bunga di belakang amplop itu.
Sunggingan senyum mencuat di sudut bibir saat Hinata membuka lipatan kertas beraroma terapi ditangannya. Salam pembuka yang ia baca pada baris pertama sudah membuat kelopak bunga bermekaran di balik dada Hinata. Semakin matanya menelusuri tiap kumpulan frase yang membentuk klausa hingga akhirnya menjadi sebuah kalimat, semakin banyak kupu-kupu yang menggelitik perut Hinata. Garis-garis indah tulisan tangan itu memanjakan mata Hinata. Sedang ungkapan yang tertuang berkat garis tinta itu menimbulkan perasaan hangat direlung hati tanpa Hinata sadari.
Namun keceriaan diwajah pucat itu sedikit demi sedikit menyusut, bahkan lenyap seketika berganti dengan raut bingung dan gelisah. Berulang-ulang Hinata membaca kembali surat di tangannya dengan kening berkerut. Ia selalu dibuat terkesiap oleh si pengirim surat tersebut. Untuk kali ini Hinata yakin ada yang aneh dari isi surat dan si penulis. Dari mana orang itu tahu namanya? Baru kali ini, si penulis menyebut nama Hinata dalam surat itu. Dan baru kali ini juga ia mencantumkan nama di baris terbawah surat itu. Membuat pikiran Hinata melanglang buana mencari sebuah kejelasan. Kemudian…
De javu. Rasanya ia pernah menemukan kalimat yang sama seperti yang tertulis di baris akhir surat itu. Rasanya… ia mengenal nada dari kalimat itu. Kapan? … Dimana? Siapa?...
'Tunggu aku…'
"Tunggu aku…"
Hinata mengulang kata itu dengan bisikan. Sekelebat bayangan misterius muncul di depan mata. Mengingat tiba-tiba mimpi itu yang hinggap di setiap malam di tidurnya. Mengingat sosok yag selalu muncul di antara mimpi acaknya. Megingatnya, mengingat kata itu.. mengingat senyum itu. Dan kini Hinata merasakan tubuhnya menggigil tiba-tiba.
.
.
….
Teruntuk sang pujaan,
Semoga kebahagiaan menyertai tiap langkah.
Untukmu yang selalu tersenyum disaat luka menggelayut manja diantara rongga cahaya yang hendak kau gapai.
Ini adalah bulan ke-10 sejak aku memulai pengakuan cinta ku. Surat ke-24 yang mengantarkan perasaan ku terhadapmu. Ku harap kau tak bosan dengan tulisan-tulisan murahan ku.
Apa kabarnya bunga layuku saat ini?
Ku harap kau masih dapat tersenyum walau tetap dalam penantian.
Kali ini, surat ini datang padamu bukan untuk berceloteh betapa aku mengaggumi maha karyamu yang luar biasa. Bukan untuk melaporkan apa yang ku dapat dari campuran tinta yang kau buat. Aku tak pernah puas menyampaikan emosi yang kudapat setelah menceburkan diri ke dalam lukisan-lukisan mu melalu kata. Meskipun berlembar-lembar surat yang ku kirim kepada mu sebelumnya cukup mewakilkan perasaanku.
Kau yang di sana sedang bertanya-tanya sambil termenung. Aku yakin ada banyak pertanyaan yang ingin kau utarakan, tapi tak tahu pada siapa. Padaku? Sayanngnya aku sedang tak berada didekat mu, kasihku.
Untuk itu… karena itu, aku mengakhiri persembunyian ini. aku akan berhenti mengirimi mu surat-surat yang ku yakin sudah menumpuk di antara kertas dan kanvas kerjamu. Kau tak membuangnya 'kan? Tak apa, jika kau membuangnya.
Hinata…
Hinata? Kali ini aku yakin benakmu terlonjak. Aku akan menemuimu. Aku akan memberikan penjelasan untukmu, Hinata. Ah, namamu terasa menyenangkan terpantul dilidahku. Lupakan.
Kau tak keberatan aku mengunjungi galerimu?
Pekan depan. Yang seharusnya ku kirimkan surat ke-25, ngomong-ngomong usiamu saat ini 25t h. Aku benarkan? Aku akan mengirimkan diriku sendiri untukmu, dan tak akan ada surat lain setelah itu.
Hey! Aku sangat menantikannya. Ku harap bunga ku kembali mekar dengan segar setelah aku berjumpa dengannya. Ah.. atau akan membenciku karena ini?
Hinata
Tunggu aku.
~Sasuke~
.
.
A/N : wohooo.. akhirnya kelar kelaaaaaar, bikin fic ini ditemani segelas susu denkow cokelat dan semangkok indomie goreng pedas, mantab dah…ehem..oke jadi siapa itu sasuke? Dan kemana perginya Naruto sampai harus bikin Hinata menunggu? Yang penasaran see ya next chap yah..*0*/
Read and Review.. becoz ripiu ar lop… :*
