Mimpi Hitam Putih - Akashi x Kuroko.
Romance, Drama, Hurt/Comfort.
Disclaimer: Kuroko no Basuke adalah milik Tadatoshi Fujimaki. Fanfiksi ini ditulis hanya untuk hiburan; saya tidak bermaksud melanggar hak cipta maupun mengambil keuntungan materi.
A/N: Fanfiksi ini ditulis untuk Miragen+ Big Bang 2016 dan dilengkapi dengan enam ilustrasi berwarna. Jika ingin melihat ilustrasinya, silakan kunjungi akun AO3 saya: Neoratu.
Terima kasih banyak kepada beta reader saya, Finitefarfalla, yang sudah membantu dalam menjadikan fanfiksi ini lebih baik. Kemudian kepada artis saya yang membuatkan gambar-gambar indah untuk fanfiksi ini dan tetap ingin menjadi 'artis misterius' walau Miragen+ Big Bang 2016 sudah selesai. Juga terima kasih untuk semua penghuni chat group Team Star yang sudah mewarnai hari-hari saya selama Miragen+ Big Bang 2016 berlangsung.
Glossary:
Production Buyer dan Assistant Production Buyer: orang-orang yang bertugas untuk mencari, mengumpulkan, membeli barang-barang dan semua kebutuhan untuk merealisasikan desain setting dalam pembuatan film. Mereka juga mendata semua biaya yang dikeluarkan untuk itu.
Art Director: orang yang bertanggung jawab untuk merealisasikan desain Production Designer, dan seringkali menjadi orang yang mendesain setting itu sendiri dalam proyek yang lebih kecil.
Camera Operator: orang yang bertugas mempersiapkan dan mengoperasikan kamera, serta berkomunikasi dengan aktor dan aktris.
Best Boy: orang yang bertugas untuk mengkoordinir teknisi pencahayaan dan mengurus seluruh berkas yang dibutuhkan sehubungan pencahayaan. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama disebut sebagai Best Boy.
Mimpi Hitam Putih
One
2014, Winter. Dream Studio, Inc.
Mimpi Hitam Putih, film dengan budget tinggi yang diangkat dari novel laris bertajuk sama. Proyek raksasa milik Dream Studio Incorporated yang dirumorkan bisa mengangkat popularitas dan nilai setiap kru yang terkait. Sungguh beruntung Tetsuya berhasil mendapatkan posisi meski hanya sebagai Assistant Production Buyer. Apalagi ia dapat bekerja sama langsung dengan Aida Kagetora, Production Buyer yang ia kagumi. Namun tak hanya itu, Mimpi Hitam Putih ternyata menyimpan satu kejutan lagi.
Tetsuya memerhatikan berkas-berkas pengenalan proyek, lengkap dengan nama-nama penanggung jawab setiap departemen. Matanya terfokus pada satu nama. Akashi Seijuurou.
Pintu ruang rapat terbuka. Pembicaraan ringan di sekeliling meja kayu oval terhenti seketika. Tetsuya mengangkat wajah, dan pria pemilik nama itu tersenyum dengan percaya diri.
"Maaf, saya terlambat. Saya Akashi Seijuuro dari Art Department," kata Akashi sembari menatap personil di ruangan satu per satu. "Mohon bantuannya." Ia memberi anggukan kecil tanda hormat.
"Oh, Akashi-kun, ayo sini." Mitsuhige Natsuki, sang produser, menepuk kursi kosong di sebelahnya. Dagu gemuknya yang menggelambir bergetar saat ia tertawa. Ia menunggu hingga Akashi duduk, lalu berbicara pada seluruh anggota rapat, "Karena semua departemen sudah lengkap, mari kita mulai."
"Baiklah," kata Sutradara Fushimi Ono yang kemudian berdiri. Brewok putih tumbuh berantakan di wajahnya, dan rambutnya yang dicat hitam dengan potongan uppercut diikat ke belakang. Di sebelahnya, Kise Ryouta yang berperan sebagai Minase Aki sang tokoh utama, tertawa riang. Ia menggerakkan bibir tanpa suara pada Tetsuya:
'Ini akan menyenangkan, Kurokocchi!'
Tetsuya menelan ludah. Bagi Kise yang juga teman sekolahnya di SMA dulu, pertemuan kembali mereka bertiga di proyek film ini mungkin kebetulan yang menyenangkan. Namun bagi Tetsuya ….
Ia melirik Akashi, yang kini balas melihatnya. Senyuman hilang dari bibir Akashi, tapi pembawaannya tetap saja tenang. Entah mengapa, itu membangkitkan amarah yang sudah hampir terlupakan dalam diri Tetsuya.
Tetsuya mengambil pena, berpura-pura mendengarkan kata pembuka dari Sutradara Fushimi dan menandai hal-hal yang mungkin penting. Padahal, tidak satu pun kata-kata itu masuk ke kepalanya.
Director of Art. Artinya Akashi bertanggung jawab atas desain setting, dan Tetsuya harus bekerja sama dengannya untuk setahun ke depan. Kontan, perasaan tidak enak membanjiri dadanya, bercampur-aduk dengan kesal.
Sembilan tahun sudah berlalu sejak hari-hari di klub film SMA Teiko. Sembilan tahun yang pastinya bagi Kise maupun Akashi tidak lebih dari sekedar halaman buku yang sudah lewat, satu dari sekian ribu halaman yang terisi memori lain. Namun bagi Tetsuya, dirinya bagai terjebak dalam lini masa tersebut. Membeku, tidak sanggup melangkah. Tidak kuat keluar dari jerat masa lalu.
Kini, Akashi Seijuuro hadir kembali dalam hidupnya.
2002, Spring. Teikou High School.
"Mau bergabung dengan klub film SMA Teikou?"
Tetsuya berhenti menapak, lalu mengangkat pandangan dari buku yang dibacanya sambil berjalan. Meja-meja berderet di sisi kanan dan kiri lapangan sekolah, penuh dengan siswa-siswi yang sibuk merekrut anak baru. Di hadapannya, punggung seorang anak laki-laki berambut merah menghalangi pandangan Tetsuya. Tetsuya memiringkan kepala, mencoba untuk membaca poster yang ditempel di meja pendaftaran klub film. Membuat film bukanlah impian! tertulis dengan huruf warna-warni di sana.
Kakak kelas dengan tubuh tinggi dan kurus menepuk bahu anak berambut merah di depan Tetsuya. "Bagaimana? Sepertinya kaupunya ketertarikan pada dunia film. Sejak tadi kau melirik ke sini, kecuali kalau aku kege-eran," katanya.
"Hmm, memang benar aku tertarik," kata anak berambut merah itu. "Apa klub kalian rutin punya kegiatan setiap hari?"
"Tentu! Selain, pastinya, menonton film sebagai pelajaran, kita juga aktif membuat film setiap semester. Ah, namaku Nijimura Shuuzou. Kalau kau bergabung, aku bisa menunjukkan film-film yang sudah dibuat oleh setiap generasi klub film ini."
"Baiklah," kata anak berambut merah itu sambil tersenyum. "Aku Akashi Seijuurou. Dan … kurasa dia juga tertarik untuk bergabung." Akashi menunjuk Kuroko yang nyaris menjatuhkan bukunya karena kaget.
"Apa? Oh." Nijimura membelalak. "Apa kau di situ dari tadi? Aku tidak sadar …."
"… Ya, sedari tadi," kata Tetsuya masih dengan setengah terkejut. Akashi menarik sebelah ujung bibirnya, memandang Tetsuya dengan senyum percaya diri. Tetsuya mengalihkan pandangan. "Dan ya, aku tertarik mendaftar."
"Baiklah, kalau begitu isi formulir ini. Kau juga, Akashi!" Nijimura menyerahkan dua formulir pendaftaran beserta pena. "Kalau sudah, aku bisa menunjukkan ruang klub kita."
Tetsuya menuliskan namanya, lalu harus berhenti ketika ia mendengar namanya dibaca Akashi, "Kuroko Tetsuya?"
Tetsuya mengernyit. "Ya?"
Akashi tertawa kecil. Lalu, ia pun mulai membungkuk, menuliskan namanya sendiri di meja pendaftaran. "Kau tampak terkejut. Kenapa?"
"Karena tidak biasanya orang menyadari kehadiranku."
"Hmm, memang benar hawa keberadaanmu tipis, tapi …," Akashi menandatangani formulirnya, lalu menutup pena, "aku bisa melihat masa depan. Dan di penglihatanku, kita akan berteman."
"Kau mengigau, kan?"
"Kita lihat saja nanti," kata Akashi sebelum ia menyerahkan formulir pada Nijimura yang sudah sibuk merayu seorang laki-laki supertampan berambut kuning. Akashi ikut mendengarkan celotehan Nijimura pada anak laki-laki itu, dan memunggungi Tetsuya yang masih belum juga tuntas dengan formulirnya sendiri.
Tetsuya menggeleng pelan. Ia hanya ingin melalui masa SMA dengan damai. Jika ia bisa mendalami kecintaannya pada film di klub film SMA Teikou yang terkenal, itu adalah bonus. Namun tidak sampai beberapa detik ia melanjutkan menulis, Tetsuya harus berhenti kembali. Perhatiannya kembali tersedot Akashi.
Akashi Seijuurou. Rambut merah, seumur dengan Tetsuya. Jangan-jangan … ia adalah anak dari sutradara terkenal, Akashi Masaomi, yang pernah Tetsuya lihat di majalah saat kecil?
2014, Winter. Kabukicho, Shinjuku.
"Segelas lagi!" Takao Kazunari, Camera Operator yang tampak jauh lebih muda dari usianya, meletakkan gelas bir kosong di meja. Seruannya mengundang kru film lain yang sudah duduk bersila di sekeliling meja sebuah kedai minum di Kabukicho untuk ikut memesan ulang. Edamame, yakitori, dan gelas-gelas bir tersebar tidak beraturan di meja. Suara-suara dari konversasi orang-orang di sekitar berbaur dengan dentingan gelas dan gelak tawa. Tetsuya menenggak birnya, lalu beringsut mundur, menjauhi meja dan bersandar pada dinding kayu.
Lima tahun menekuni bidang pekerjaan ini tidak membuat Tetsuya terbiasa pada keriuhan suasana perayaan dimulainya proyek baru. Sake demi sake, bir demi bir. Kemudian berpindah ke kedai minum lain, dan kedai minum lainnya lagi. Bagai tidak mengingat pekerjaan besar masih menanti mereka keesokan harinya. Tentu saja ini bukanlah perayaan resmi. Namun, bak tradisi yang harus dilestarikan, selalu saja ada yang mencetuskan ide minum-minum, dan seluruh kru ikut bersemangat menyetujui. Dalam kasus proyek Mimpi Hitam Putih, perayaan ini diadakan seminggu setelah rapat pembukaan.
"Minum lagi, kaubutuh nutrisi lebih," kata Kagetora seraya menepuk pundak Tetsuya. Wajahnya memerah karena alkohol.
"Bukannya saya tidak hormat, maaf, tapi bir dan sake tidak mungkin mencukupi kebutuhan nutrisi seseorang, maaf," Sakurai dari Costume Department menimpali dari sisi Tetsuya yang lain.
"Kau jangan terpaku pada detil, Sakurai!" Kagetora tergelak.
"Kagetora-san juga jangan terpaku pada bir saja. Kau akan menyusahkanku besok," kata Tetsuya.
"Heh, kau memang tidak lucu, Kuroko." Kagetora memberengut, lalu berbalik untuk memanggil pelayan kedai, "Tambah birnya!"
"Maaf, Kuroko-san, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat lelah. Maafkan aku," Sakurai melanjutkan acara meminta maafnya.
Tetsuya tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Hanya merasa kalau vanilla shake jauh lebih enak daripada bir."
"Eh?"
"Tapi kau benar, aku sedikit pusing. Mungkin udara segar akan membantu," Tetsuya buru-buru menambahkan. Ia mengenakan jaket dan syalnya, kemudian berdiri. Lantas, ia menggeleng ketika Sakurai pun ikut sibuk berdiri. "Kau di sini saja. Aku bisa sendiri, kok."
"Ma-maaf, aku—"
"Aku benar-benar tidak apa-apa, Sakurai-kun."
Sakurai mengangguk pelan, sebelum kembali duduk. Ia tetap memerhatikan Tetsuya dengan pandangan cemas, sampai Kagetora memanggil dan memukul punggungnya. Tetsuya berbalik menuju pintu keluar, mendengarkan Sakurai yang terbatuk-batuk di belakang.
Tetsuya mengenakan botnya, membuka pintu geser, lalu menarik napas dalam-dalam. Udara malam di awal bulan November yang dingin menerpa wajahnya, membebaskannya dari perasaan tercekik dan pengap di dalam. Ia menyandarkan punggung pada dinding kayu, melihat laju kendaraan dan orang-orang yang berlalu lalang.
Ia sedang berdebat antara pulang lebih cepat dan lanjut berkutat dengan aplikasi Excel, atau menjadi pengurus Kagetora yang dapat dipastikan tidak bisa pulang sendiri, ketika pintu geser terbuka kembali. Sosok Akashi yang terbalut mantel hitam keluar dari sana, membuat Tetsuya ingin cepat-cepat kembali ke dalam dan duduk sejauh mungkin dari Akashi. Namun Akashi tersenyum, tenang seperti biasa, dan mengambil posisi di sebelah Tetsuya.
"Sudah lama, ya," kata Akashi.
Entah apa yang membuat Akashi merasa keputusannya untuk mengajak bicara Tetsuya adalah hal yang baik. Namun Tetsuya harus mengakui, bahwa mustahil baginya untuk terus menghindari Akashi. Posisinya di Mimpi Hitam Putih berkaitan erat dengan posisi Akashi.
"Tidak," jawab Tetsuya akhirnya. "Kita baru saja bertemu seminggu yang lalu."
Akashi tertawa kecil. "Masih seperti dulu, ya, Kuroko. Selalu saja bisa menjawab."
"Kau sendiri? Apa kau masih seperti dulu?"
Akashi hanya memerhatikan Tetsuya, membiarkan Tetsuya untuk balik meneliti dirinya. Usia membuat garis-garis wajah Akashi semakin tegas, dengan tubuh yang membuatnya tampak seperti model pakaian musim dingin ketimbang seorang Art Director. Di bawah mantelnya, Akashi mengenakan kardigan berwarna krem yang tidak sepenuhnya dikancing, memperlihatkan kerah kemeja biru muda dan dasi hitam yang melingkari lehernya.
"Sayang sekali Kise tidak bisa ikut hari ini." Akashi memutuskan untuk mengganti topik. Ia mengalihkan pandangan pada kendaraan yang melaju di hadapan mereka. "Dia sudah jadi aktor papan atas. Aku bahkan sulit untuk berbicara dengannya seminggu ini."
"Tentu saja. Tidak ada yang bisa menghentikan Kise-kun mengejar mimpinya."
"Bukankah itu juga berlaku untukmu?"
"Dan ternyata untukmu juga," kata Tetsuya, sengaja membuat nada suaranya lebih ketus dari biasanya. Ia memainkan kerikil dengan ujung sepatunya. "Apa yang kaulakukan di sini, Akashi-kun?"
"Di Mimpi Hitam Putih atau di luar bar?" tanya Akashi.
"Keduanya. Apa yang kaulakukan?"
"Hmm." Akashi tersenyum. "Mungkin untuk menyelesaikan sesuatu yang tertinggal."
Tetsuya tidak menjawab untuk beberapa lama. Ia mendengar suara tawa dan teriakan teman-teman satu timnya di dalam, sayup-sayup menembus dinding. Ia mendengar raungan mesin mobil dan derap langkah pejalan kaki. Kemudian ia mendengar hal lain yang Akashi sampaikan, tanpa suara, hanya dengan senyuman itu.
"Aku harus melanjutkan pekerjaanku," kata Tetsuya.
"Apa itu tidak bisa menunggu sampai besok?"
"Tidak sepertimu, aku tidak punya bawahan. Aku harus mengerjakannya sendiri."
Akashi menggeleng. "Kuroko, aku akan menganggap kata-katamu itu tidak ada."
"Terserah saja," kata Tetsuya. Ia menegakkan badan dan, sebelum benar-benar pergi, ia berkata, "Menurutku, kau sudah tidak seperti dulu."
Ekspresi Akashi saat mendengar kata-katanya memang tidak banyak berubah. Namun Tetsuya bisa melihat bahwa Akashi tidak menyangka Tetsuya akan berkata demikian.
Suasana lapangan tenis SMA Teikou sudah sepi dan gelap. Tetsuya, yang sedari tadi duduk di pinggiran pagar lapangan, mengecek ponsel dan merasakan jantungnya berdebar saat jam digital di layar menunjukkan pukul delapan malam. Ia tahu jadwal Akashi di sekolah seperti ia hapal akan jadwalnya sendiri. Rapat Akashi dengan guru pembimbing klub film pasti sudah selesai sekarang. Artinya, inilah saatnya bagi Tetsuya untuk mencegat Akashi.
Maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud mencampuri urusan keluargamu. Tetsuya sudah berulang kali melatih diri untuk mengucapkan kalimat singkat itu. Tetsuya menyadari kesalahannya yang terlalu memojokkan Akashi. Emosi sesaat, kesalahpahaman yang berujung pada berakhirnya hubungan mereka. Tetsuya menyesali itu semua. Jika dengan meminta maaf hubungan mereka bisa diperbaiki … Tetsuya bersedia melakukannya biar seribu kali pun. Bukankah sebentar lagi waktunya kelulusan SMA? Sudah bukan saatnya lagi bagi mereka untuk bertengkar.
Tetsuya menarik napas dalam, memantapkan hati. Ia melangkah menuju ruang klub dan tidak dapat menahan senyum yang merekah ketika ia melihat lampu ruangan masih menyala. Akashi belum pulang—Tetsuya tidak terlambat.
Ia mengetuk pintu bercat hijau lumut dengan papan nama tua bertuliskan Klub Film. Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu dan mendapati Akashi sedang merapikan berkas-berkas di satu-satunya meja dalam ruangan. Punggungnya menghadap Tetsuya, dan tidak sedikit pun tampak tanda-tanda bahwa ia menyadari kehadiran Tetsuya.
"Akashi-kun," Tetsuya memulai, menyiapkan diri untuk mengatakan satu kata. Namun ia menelannya kembali saat Akashi berbalik untuk memandangnya.
"Oh, Tetsuya," kata Akashi dengan pandangan tajam. Bibirnya tertarik ke atas, lebih membentuk sebuah seringai merendahkan daripada senyuman. "Ada perlu apa?"
Tetsuya menelan ludah. Ada yang berbeda dengan diri Akashi. "Akashi-kun? Apa kau baik-baik saja?"
"Memangnya kenapa?"
"Kau terlihat …."
"Tetsuya," Akashi memotong. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan memiringkan kepala ke arah pintu keluar. "Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi dari hadapanku?"
Perut Tetsuya bagai ditonjok oleh tangan tak kasatmata. Ia terpaku, memerhatikan Akashi yang masih melihatnya dengan pandangan yang mengatakan bahwa Tetsuya tidak lebih dari sebuah debu. Tidak berharga.
Tidak berarti.
"Aku tidak ingin melihatmu lagi, Tetsuya."
Tetsuya tersentak. Ia membuka mata, melayangkan pandangan ke sekeliling. Gelap, hanya secercah cahaya dari lampu jalanan yang menembus masuk melalui sela-sela tirai jendela. Ia meraba-raba kasur, merasakan seprainya yang lembap oleh keringat. Ia ada di kamar apartemennya sendiri.
Itu hanya mimpi.
Perlahan, Tetsuya menyibak selimut dan duduk. Sekujur tubuhnya bergetar. Tangannya menyeka dahi yang berpeluh walau penghangat ruangan tidak begitu berhasil mengatasi udara dingin.
Tetsuya menggeleng letih. Dadanya bagai ditusuk-tusuk. Sudah lama ia tidak melihat mimpi itu. Sembilan tahun lalu, momen ketika Akashi berubah dan Tetsuya urung memperbaiki hubungan dengannya. Saat-saat hubungan mereka berakhir di SMA yang sempat menguasai mimpi buruknya selama bertahun-tahun. Tetsuya pernah enggan tidur selama berbulan-bulan, sebelum perlahan ia bisa mengatasi traumanya. Namun ternyata, mimpi itu kini terulang lagi.
Tetsuya memijat pelipis lalu menunduk. Dahinya bersandar pada kedua lututnya yang ditekuk.
"Kenapa harus sekarang…?" tanyanya lirih pada diri sendiri.
Keping-keping ingatan yang ia kunci rapat-rapat dan resolusi untuk melupakan semuanya pun perlahan hancur. Hanya rasa sakit yang kembali mencuat ke permukaan.
2014, Winter. Dream Studio, Inc.
Aroma kopi merebak, manis dan pahit membaur jadi satu. Tetsuya memainkan pena di sela-sela jemarinya sembari menunggu laptop-nya menyala. Di sampingnya, Kagetora menopang kaki di meja, duduk dengan posisi kursi yang miring—hanya bertumpu pada dua kaki-kaki belakang kursi. Kertas-kertas dan buku-buku menumpuk, pernak-pernik kebutuhan syuting tersebar di segala sisi ruangan—membuat ruangan yang hanya berukuran empat kali empat ini terasa semakin sempit.
"Satu lagi," kata Kagetora, melanjutkan rentetan tugas yang sejak tadi ia lontarkan pada Kuroko. "Kita butuh lampu meja dengan desain yang … seperti bulan, kau tahu? Bulan sabit. Kurasa kau akan menemukannya di toko Nobuo-san. Kalau tidak, kaucari sampai dapat."
"Aku mengerti," sahut Kuroko.
"Jangan yang mahal."
Kuroko menahan keinginan untuk memutar bola mata. "Aku tahu, Kagetora-san. Walau proyek ini punya budget besar, tentu saja harus berhemat-hemat membeli barang-barang, karena budget besar tidak jaminan dibagi merata ke setiap departemen."
Kagetora tertawa. "Bicaramu semakin nyelekit saja."
Tetsuya mengedik bahu dan membuka aplikasi Excel di laptop-nya.
"Ah, dia datang lagi," kata Kagetora. Tetsuya mengangkat wajah dan menemukan Akashi berjalan cepat dari arah pintu.
"Selamat pagi, kau tidak keberatan kalau kutambahkan daftar barang-barang yang kami butuhkan, kan?" kata Akashi tanpa basa-basi lagi. Ia menyodorkan beberapa lembar kertas yang disatukan dengan jepitan kertas hitam pada Kagetora. "Ini hasil rapat kemarin dengan Production Designer. Kami ingin kamar tidur Aki dibuat lebih klasik. Sesuai dengan karakternya."
"Hmm," sahut Kagetora. "Kauingin konsep kamarnya diubah lagi? Kali ini nuansa kecokelatan?"
"Aku tahu kita sudah memasuki bulan kedua syuting, tapi bagaimanapun nuansa ini jauh lebih cocok untuk karakter Aki daripada biru dan hitam."
"Yah, kau benar." Kagetora menggaruk kepala, lalu melihat ke arah Tetsuya. "Kaudata dulu daftar ini. Beberapa barang sepertinya akan agak sulit dicari."
"Baik," kata Tetsuya. Ia berdiri untuk mengambil berkas dari tangan Kagetora, menumpukan semua perhatiannya pada apa yang tertulis di sana. Namun Akashi menyentuh pergelangan Tetsuya, membuat jantung Tetsuya seakan berhenti.
"Maaf, merepotkanmu, Kuroko."
Kulit yang bersentuhan dengan ujung-ujung jari Akashi serasa panas. Gatal. Tetsuya menarik lengannya. "Ini sudah pekerjaanku, Akashi-kun."
Akashi tersenyum kecil, tapi tidak luput dari perhatian Tetsuya bagaimana garis rahangnya tampak mengeras. Atau mungkin itu hanya perasaan Tetsuya?
Akashi beralih pada Kagetora. "Untuk setting ruang biologi tempat Aki dan Ryoko pertama kali bertemu, aku ingin membahasnya lebih jauh denganmu, Kagetora-san."
"Ah, oke. Tentu saja," jawab Kagetora.
"Bagaimana kalau kita makan siang bersama nanti? Sutradara Fushimi juga akan ikut."
"Aku tidak keberatan. Kuroko?"
"Apa?" Tetsuya mendapati dirinya menjadi pusat perhatian Akashi dan Kagetora. "Oh, masih banyak yang harus kukerjakan."
"Tapi kau tetap harus makan siang, kan," kata Akashi.
"Kau sudah cukup kekurangan gizi, Kuroko," tambah Kagetora.
"Aku tidak kekurangan gizi, Kagetora-san. Dan terima kasih untuk perhatianmu, Akashi-kun, tapi aku membawa bekal sendiri."
"Begitu?" Akashi menjawab dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca oleh Tetsuya. "Tapi …."
"Aku akan lebih menghargai kalau kau tidak memaksa," kata Tetsuya tegas, sebelum ia duduk dan menatap layar laptop-nya. Tetsuya mendengar helaan napas Akashi, tapi ia tidak berminat untuk kembali melihat sosok orang yang sudah menghantui mimpinya sebulan belakangan ini.
"Kalau begitu kita bertemu di hall utama siang nanti, Kagetora-san," kata Akashi akhirnya. Ia melangkah ke luar ruangan bahkan sebelum Kagetora sempat menuturkan jawabannya.
"Sebenarnya ada apa denganmu?" tanya Kagetora ketika pintu ruangan sudah ditutup kembali. "Kau terlihat tegang."
"Itu hanya perasaanmu. Mungkin Kagetora-san terlalu banyak minum lagi semalam?"
"Argh, kau selalu mengungkit kejadian itu. Itu sudah sebulan yang lalu!"
"Hmm," sahut Kuroko tidak peduli.
"Tapi, Akashi memang luar biasa," Kagetora mendadak mengubah topik. "Calon sponsor sampai terkesima dengan setting yang dibuatnya. Sulit dipercaya dia masih dua puluh tujuh tahun. Di usia semuda itu dia sudah menjadi Art Director. Ayahnya pasti bangga." Kagetora bersiul mengapresiasi.
"Ayahnya …."
"Hmm?"
Tetsuya mengepalkan tangan, melepaskannya lagi. Ia mencermati deretan angka di file Excel dan bergumam pelan, "Tidak. Tidak ada apa-apa."
"Kau memang sedang aneh hari ini."
Tetsuya memilih untuk tidak mengacuhkan pernyataan itu.
2002, Autumn. Chigasaki Beach.
"And cut!" Nijimura berteriak sembari mengisyaratkan pada Midorima untuk mematikan kamera.
Tetsuya mengintip dari balik bahu Midorima. Penghujung musim gugur di tahun pertama Tetsuya masuk SMA, anggota klub film memulai syuting untuk proyek kedua setelah meraih posisi pertama dalam kompetisi film amatir di awal Oktober. Mereka menyewa penginapan murah di pinggir pantai yang masih layak huni, meskipun Akashi dan Midorima terlihat enggan bermalam di sana.
"Kise-kun, kau harus terlihat lebih senang!" sambung Nijimura.
"Eh? Bagaimana aku bisa terlihat senang, ini sepuluh derajat celsius di pantai dengan angin kencang dan aku hanya mengenakan celana renang!" Kise mengusap-usap bahunya sendiri, lalu memeluk diri. "Aku bisa beku!"
"Jangan bawel, aku juga sama, tahu?" Aomine menendang bokong Kise sebelum ia bersin-bersin. "Tetsu, jaket!"
"Kalian sudah kelas satu SMA, jangan manja," kata Nijimura santai. Namun ia mengambil jaket-jaket yang dipegang Tetsuya dan melemparkannya pada Aomine dan Kise. "Kita harus mengulang adegan tadi."
"Apa?" Kise berhasil berteriak walau giginya bergemeretak.
"Midorima, bagaimana hasilnya?" Nijimura tak memedulikan Kise. "Akting Aomine sudah jelas jelek, tapi Kise …."
"Hei!" sanggah Aomine.
"Kita tidak mungkin melanjutkannya sekarang, bibir Kise membiru. Terlihat jelas di rekamannya," kata Midorima yang tekun mengamati adegan di kameranya. "Biar mereka istirahat dulu."
"Birunya bibir Kise bagai birunya laut," sahut Izuki, kakak kelas yang bertanggung jawab untuk penyuntingan.
"Izuki diamlah," tegur Nijimura dengan wajah kesal. Dan seperti biasa, tidak satu pun anggota klub film lain memedulikan permainan katanya.
"Midorima benar, Kise tidak mungkin bisa berakting lagi kalau besok dia sakit," kata Akashi. "Dan ada yang ingin kuperbaiki."
"Payung pantainya, kan, Akashi-kun?" Tetsuya menebak. "Posisinya terlihat salah."
"Ya, dan aku ingin komposisi warna yang lebih cerah. Lebih mencerminkan musim panas daripada hitam kelam seperti ini."
"Memang ada yang salah dengan hitam?" Aomine menggerutu.
Akashi tersenyum. "Kami tidak sedang membicarakanmu, tapi kalau kau tersinggung …."
"Ah, sudah, sudah!" Kise menahan Aomine yang sudah mulai berjalan menuju tempat Akashi berdiri. "Nijimura-senpai, kumohon, tanganku sudah beku!"
Nijimura berdecak. "Ah baiklah, kita lanjut besok lagi. Dan Akashi, kalau kauingin mengganti payungnya, payung itu harus sudah ada besok pagi buta. Dan, sekedar informasi, klub kita tidak punya anggaran untuk itu."
"Jangan khawatir," sahut Akashi dengan tenang. Nijimura hanya memerhatikannya sejenak, lalu mengibaskan tangan, menandakan Akashi diperbolehkan berlaku sesukanya.
"Bereskan perlengkapan lalu kita kembali ke penginapan," Nijimura memerintah.
Tetsuya menyusun kotak-kotak kayu yang mereka pakai sebagai tempat duduk dan nyaris tersandung pasir ketika tangan dingin Akashi menyentuh tengkuknya.
"Akashi-kun, hentikan itu."
Akashi tertawa. "Kau terlihat serius sekali. Apa yang kaupikirkan?"
Tetsuya menghela napas. "Tidak. Aku hanya menyayangkan Murasakibara-kun tidak bisa ikut."
"Hmm, itu karena dia terlalu banyak makan manis-manis."
"Semoga perutnya sudah baikan," kata Tetsuya.
"Selain itu?"
"Apa?"
Akashi ikut mengangkat beberapa balok kayu dan berjalan di sisi Tetsuya, mengikuti yang lain. "Yang kaupikirkan selain itu."
"Oh," kata Tetsuya, "aku jadi ingin untuk terus membuat film di masa depan."
Akashi mengangguk. "Itu cita-cita yang bagus."
"Kau tidak menganggap itu terlalu muluk?"
"Tentu saja tidak."
"Hmm." Tetsuya mencoba menahan senyum. "Terima kasih."
Itu adalah kali pertama Tetsuya menuturkan isi cita-cita yang selama ini dipendamnya. Tidak pernah terpikir olehnya untuk mengakui hal yang, bagi sebagian orang, terdengar mustahil itu. Dunia film adalah dunia yang sangat berbeda, bak mimpi di dalam mimpi. Namun Akashi tidak memperlakukan pengakuannya sebagai khayalan belaka.
Diam-diam, Tetsuya bersyukur ia mengatakannya pada Akashi.
2014, Winter. Dream Studio, Inc.
"Kurokocchi, aku tidak terlambat, kan?"
Tetsuya menoleh, mengikuti asal suara parau yang nyaris tidak dikenalnya. Kise tersenyum dengan wajah pucat dan napas yang tersengal, menyangga badannya pada kusen pintu studio tempat syuting Mimpi Hitam Putih dilaksanakan.
"Kise-kun, kau …." Tetsuya bergegas menghampiri dan tersentak saat ujung jarinya menyentuh permukaan kulit wajah Kise. "Kise—"
"Ssst." Kise meletakkan telunjuk di depan bibir. "Aku tidak apa-apa."
"Tapi—"
"Ah, Kise-kun! Maaf, tapi cepat, kau harus segera dirias!" Sakurai mendatangi Kise dengan panik. Ia memberi isyarat pada tim kostum dan tata rias untuk segera menangani Kise. "Waktu kita mepet sekali, maaf, Sutradara Fushimi sudah siap dari tadi."
"Aku yang harusnya minta maaf, wawancara televisiku ternyata lebih lama dari jadwal." Kise membungkuk pada dua orang staff tata rias yang berlari kecil padanya.
Tetsuya menarik lengan Kise. "Kise-kun, di mana manajermu?"
"Oh, dia sedang sakit. Tapi aku bisa sendiri, kok," jawab Kise. Ia menepuk pundak Tetsuya, menenangkan, sebelum ia pergi meninggalkan Tetsuya dan tenggelam dalam kesibukan persiapan syuting.
Tetsuya memandangi jarinya. Suhu badan Kise terlampau panas. Tidak mungkin kru tata rias tidak menyadarinya. Namun ia tahu, Kise pasti tetap akan tampil, apa pun alasannya. Ia sudah dikenal dengan profesionalitasnya, walaupun ini kali pertama Tetsuya melihat langsung seberapa jauh Kise menganggap serius pekerjaannya.
Kise yang dulu tidak bisa menahan dingin di kala syuting, kini sudah berubah.
Tetsuya tersenyum. Ia mengambil kembali berkas yang ia jatuhkan saat mendatangi Kise, dan mulai mencentang daftar barang-barang yang sudah diletakkan di studio. Tidak jauh dari sana, ia mendengar Akashi yang sibuk memberi arahan pada kru setting. Semua perhatian terfokus pada Mimpi Hitam Putih. Pada adegan yang hendak diambil.
Kise keluar dari ruang ganti tidak lama kemudian. Dengan jas hitam dan kemeja putih yang tidak dikancing, ia tampak berantakan—bagai habis melakukan sesuatu yang terlarang. Sutradara Fushimi memberi aba-aba, dan tim tata rias menyemprotkan air dari botol-botol spray ke sekujur tubuh Kise.
"Kise-kun, rambutmu," ujar salah satu kru tata rias.
Kise menjawab hanya dengan tindakan. Ia menggelengkan kepala keras-keras, layaknya seekor kucing kebasahan, kemudian menyisir rambut dengan jari-jari. Rambutnya yang sudah lembap itu terlihat berantakan, liar, melengkapi keseluruhan penampilannya. Tim tata rias menyemprotkan air lagi ke wajah dan dada Kise, membuat butiran air mengalir di sana.
Sakurai memperbaiki kerah kemeja dan jas Kise, lalu ia berteriak pada tim kamera, "Oke!"
Sutradara Fushimi menepuk tangan, memanggil deretan kru pencahayaan dan membuat kru setting bergegas memastikan semuanya sudah layak rekam. Momoi Satsuki, aktris pemeran Ryoko, keluar dari belakang tirai tempatnya dirias. Takao pun sudah sibuk mengeker arah kamera.
Akashi turun dari panggung yang telah disulap menjadi ruang tamu sebuah rumah tradisional, dan memilih untuk duduk di bangku dekat Tetsuya berdiri. Pencahayaan studio berubah—semua lampu tersorot ke tempat Momoi berdiri dalam balutan kimono biru laut di tengah ruang. Kise bersiap dari arah pintu kertas.
"Scene twelve, take one. Action!" Sutradara Fushimi berteriak. Seketika semua obrolan di seputar studio lenyap. Kise menabrakkan diri pada pintu kertas, jemarinya erat menggenggam tulang kayu pintu, dan tatapannya menajam.
Tetsuya menahan napas. Ia sudah membaca naskah adegan ini berulang-ulang untuk memastikan semua hal yang perlu ia siapkan tidak terlewat. Namun berapa kali pun Tetsuya mengalaminya, ia tetap saja jatuh dan jatuh cinta lagi pada keindahan nuansa film. Bagaimana akting para aktor dan aktris menyatu dengan setting, bagaimana jerih payah puluhan, bahkan ratusan kru bersatu dalam satu adegan.
Tugas aktor dan aktris adalah menyampaikan pesan pada penonton, tapi tugas ratusan orang lainnya adalah mendukung agar pesan itu sampai dengan baik.
Di panggung, Kise memeluk Momoi dengan bahu bergetar. Suaranya penuh kemarahan—emosi meluap-luap yang bahkan membuat Tetsuya berdebar. Melihat performanya, tidak akan ada yang ingat bahwa saat ini Kise sedang demam tinggi. Bahkan suara paraunya pun berhasil ia tutupi, entah bagaimana caranya. Latihan vokal yang rutin ia lakukan, mungkin.
Tiba-tiba saja, Akashi berdiri. Tanpa menoleh, tanpa menghiraukan Tetsuya, ia menjauh. Tetsuya mengikuti gerakan Akashi dengan ekor matanya, terus hingga sosok Akashi hilang di balik pintu keluar. Tetsuya menggigit bibir bawahnya, kemudian tersadar ketika suara lantang Kise terdengar kembali.
Konsentrasi. Ia tidak boleh kehilangan fokus sekarang. Ia tidak tahu apa maksud Akashi meninggalkan syuting, tapi bukankah pekerjaannya sudah selesai? Lagipula, apa pun yang dilakukan oleh Akashi, bukan urusan Tetsuya.
Dengan pikiran itu, Tetsuya melanjutkan memerhatikan gerak-gerik Kise dan Momoi, tenggelam kembali pada cintanya akan dunia film.
Tetsuya mengambil vas berisi rangkaian bunga oleh Minamoto Aiko, seorang master ikebana yang karyanya wajib digunakan dalam Mimpi Hitam Putih. Variasi bunga tulip dan mawar yang dipadu dengan kembang kertas—yang menurut Tetsuya tidak jauh berbeda dengan rangkaian bunga biasa di toko bunga depan apartemennya. Namun Produser Mitsuhige bersikeras bahwa hanya karya Minamoto Aiko yang patut ada di film ini. Mengingat jumlah angka nol yang tertera di nota setiap kali ia mengurus pembeliannya, Tetsuya tidak habis pikir mengapa uang sebanyak itu tidak dialokasikan untuk benda lain. Seperti barang-barang yang harus ia beli dengan susah payah, mencari ke pelosok daerah demi mendapat harga miring.
Yah, tapi, Tetsuya bukan siapa-siapa yang berhak melawan.
"Terima kasih atas kerjasamamu, Kurokocchi," kata Kise seraya mengacak-acak rambut Tetsuya dari belakang. Hawa panas dari tangannya membuat Tetsuya tersadar dan segera berbalik.
"Kise-kun, kau harus ke klinik!"
"Ah, aku masih harus ke stasiun TV—"
"Kise-kun," kata Tetsuya, "aku tahu kau menganggap pekerjaanmu di atas segalanya, tapi ingatlah kalau kau sakit, semua yang kaubangun akan sia-sia."
Kise tersenyum tipis. "Aku tahu."
"Aku yakin Midorima-kun juga akan mengatakan yang sama."
"Iya, iya, aku akan ke klinik Midorimacchi setelah dari stasiun TV." Kise tertawa. "Aku akan meneleponnya supaya dia tidak tutup dulu."
"Kau berjanji?"
"Janji!"
Tetsuya mengangguk. "Baik kalau begitu."
Kise mengambil setangkai tulip kuning dari vas yang dibawa Tetsuya, lalu berkedip. "Dengan adanya Akashicchi dan Kurokocchi, aku jadi bernostalgia."
"Oh," ujar Tetsuya, terkejut karena Kise tiba-tiba menyebut Akashi.
"Kurokocchi." Kise tersenyum—lembut, pahit. "Kau dengan Akashicchi …."
Jantung Tetsuya berdebar kencang. Ia diam, menanti lanjutan dari kata-kata Kise, tapi Kise hanya menggeleng kecil dan menepuk pipi Tetsuya dengan punggung tangannya.
"Tidak apa-apa. Aku pergi dulu, ya," kata Kise. Ia mengacak-acak rambut Tetsuya lagi, lalu melambaikan tangan dan bergegas meninggalkan studio. Ia mengangguk sopan pada kru lain, senyum andalan menghiasi wajahnya.
Tetsuya menghela napas. Ia memeluk vas bunga dengan erat, seolah dengan begitu ia bisa berdiri lebih stabil, pijakannya lebih kuat.
Bahkan Kise menyadarinya. Padahal, Kise tidak tahu apa yang terjadi pada Akashi. Ia tidak mengenal Akashi yang berbeda. Di awal kelas tiga SMA, Kise pergi meninggalkan SMA Teikou. Dengan mantap ia memilih masa depan, menimba ilmu di tempat yang khusus mendidiknya berakting, yang tidak akan terganggu dengan jadwal sekolahnya yang amburadul jika ia harus syuting. Ia tidak ada saat Akashi menghancurkan semuanya dan lari dari segala yang menghubungkan mereka. Namun sekarang Kise tetap sadar—dan itu berarti perilaku Tetsuya yang tidak natural telah membocorkan semuanya.
Akashi sudah berubah. Ia bukanlah Akashi yang berjanji untuk membuat film bersama, dan bukan pula Akashi yang memintanya untuk pergi. Mengapa Tetsuya masih tetap berada di tempat yang sama, terkungkung dalam ingatan yang tidak henti-hentinya berputar di kepalanya? Bagai film hitam-putih kuno yang ia lihat di masa kecil. Terus, terus berputar, tanpa bosan, tanpa lelah, setiap kali tangannya menekan tombol pada proyektor tua milik Kakek.
Tetsuya terikat—dan ia tidak kuasa untuk lepas.
Dengan pikiran kalut, ia meletakkan vas ke dalam kardus yang sudah ia siapkan. Pernak-pernik kebutuhan film yang harus ia data sudah bertumpuk di dalamnya. Tetsuya mengambil tas selempang dari kursi terdekat, lalu memutuskan untuk membeli kopi sebelum kembali membenamkan diri pada pekerjaan.
Lorong demi lorong Tetsuya lewati sendirian. Hanya beberapa staff dari proyek lain yang berpapasan dengannya. Dan seperti biasa, tidak ada yang menyadari kehadirannya. Tetsuya memasuki ruang tunggu yang berdekor cermin di ketiga sisinya, lalu tertegun ketika melihat Akashi yang duduk di sofa panjang berwarna salem. Wajahnya rileks, kedua kaki menyilang, dan tangannya lancar menggoreskan sesuatu di clipboard yang ia pangku.
Tetsuya tidak bisa menyukai situasi ini. Ia tidak bisa menerima kehadiran Akashi kembali dalam hidupnya. Namun, ia tahu … bahwa profesionalitas bukanlah hal yang cukup untuk disebut-sebut saja tanpa aksi dan bukti.
"Sedang apa, Akashi-kun?" Tetsuya memulai, dan diam-diam bersyukur suaranya terdengar tenang.
Akashi mengangkat wajah dan membungkam untuk beberapa detik. Saat ia berbicara, ia menunjukkan sehelai kertas yang terjepit di clipboard. "Hanya desain untuk setting. Sejak kemarin aku tidak puas dengan hasilnya. Melihat akting Kise tadi, aku terinspirasi untuk merevisi beberapa bagian."
"Oh," ujar Tetsuya. Ia melangkah dengan ragu, sebelum ia memantapkan keputusannya dan mengambil tempat duduk di sebelah Akashi. "Kau … sangat serius."
"Tidak ada yang berbeda antara aku dan kau."
"Bukan itu maksudku." Tetsuya menggeleng. "Hanya saja, aku tidak menyangka kau akan begini. Setelah kelulusan."
Akashi mengambil jeda. Ia meletakkan pensil dan clipboard-nya di meja kaca bulat di sebelah sandaran tangan sofa. Segelas kopi yang sudah tidak mengepul panas bertengger di sana. "Aku masih punya mimpi. Percaya atau tidak, aku tidak pernah membuang mimpi itu sekali pun."
Entah bagaimana, Tetsuya tahu Akashi mengatakan hal yang sejujurnya.
"Ayahku pernah berkata … mimpi adalah beban," kata Akashi. "Beban yang memberi ilusi kebahagiaan, di saat kenyataannya mimpi membuat kita semakin terpuruk. Tercapai atau tidak tercapai."
"Kau percaya padanya?"
Akashi tersenyum. "Menurutmu?"
"Aku—"
"Membuat film bersama. Apa kau masih ingat janji itu?"
Tetsuya mengepalkan kedua tangan di atas paha. Perlahan ia mengangguk. "Sudah tercapai sekarang, kan?"
"Benar. Dan menurutmu, apa ini akan membuat kita terpuruk?"
"Akashi-kun …." Tetsuya menggigit bagian dalam bibir bawahnya, berusaha keras untuk tidak lari dari pembicaraan ini. "Aku turut berduka atas kepergian ayahmu."
Akashi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Ia mengambil clipboard dan pensil dari meja kaca. "Itu sudah berlalu lama."
"Bukan berarti hal itu sudah tidak berarti bagimu."
"Memang tidak," kata Akashi. Bibirnya tersenyum, tapi itu adalah senyum yang menyesakkan. Yang membuat Tetsuya berharap ia bisa menarik kembali kata-katanya. "Kurasa, kau memang yang paling tahu soal itu. Aku sudah mengatakan hal yang tidak pantas padamu."
Tetsuya mengernyit. "Kau tidak mengatakan apa pun."
"Bukan sekarang."
Itu berhasil membuat Tetsuya diam. Pandangan Akashi yang meremehkan, suaranya yang dengan jelas menyuruh Tetsuya enyah dari hadapannya kembali terngiang.
"Mungkin sampai kapan pun aku tidak akan bisa mengerti apa yang terjadi," kata Akashi. "Dua suara yang hidup dalam satu tubuh. Kau pasti menganggapku gila."
"Itu … tidak benar," ujar Tetsuya.
"Kuroko, aku … senang bisa bertemu denganmu lagi."
Tetsuya hanya menatap. Ia tidak bisa menjawab, tidak bisa memberi apa yang ia tahu Akashi harapkan. Ia tidak mau.
Ia jatuh dalam sunyi dan memilih untuk duduk dan mendengarkan suara goresan pensil pada kertas saat Akashi sudah lelah menunggunya.
Secara logika, Tetsuya sudah menduganya—penyebab perubahan Akashi di penghujung SMA. Namun mengerti tidak sama dengan menerima, dan Tetsuya bertanya-tanya … apakah saat bagi Tetsuya untuk menerima semua itu akan datang.
2003, Spring. Teikou High School.
Tetsuya membuka pintu ruang klub film dan harus menyipitkan mata untuk melihat jelas dalam kegelapan. Matahari baru saja terbenam, dan murid-murid SMA yang sedari pagi memenuhi lapangan sekolah demi merekrut anggota klub sudah bubar. Ia melangkah masuk dan menghela napas. "Akashi-kun, matamu bisa rusak."
Akashi tidak melihat Tetsuya. Ia terus membaca formulir demi formulir pendaftaran anggota baru di meja. "Ah, Kuroko. Tolong hidupkan lampunya."
"Kau bisa melakukannya sendiri," kata Tetsuya, tapi ia tetap mematuhi perintah dan menekan saklar lampu. Cahaya kekuningan memenuhi ruangan yang penuh dengan tumpukan video tape dan keping-keping DVD di setiap sudut. "Jangan manja, Ketua."
Akashi tertawa. "Kau tidak pernah memanggil Nijimura-senpai dengan sebutan ketua."
"Tidak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan ketua," balas Tetsuya. Ia menumpukan kedua tangannya di atas meja, mencoba membaca isi formulir-formulir dari posisi terbalik. Di antara kertas-kertas tersebut, ada satu yang menarik perhatian Tetsuya, dan itu bukanlah formulir pendaftaran anak baru. "Apa itu desain untuk film selanjutnya?"
Akashi menarik kertas bergambar sebuah ruangan tradisional dengan lubang persegi di tengah lantai kayu yang mengelilingi tungku kayu bakar. Pernak-pernik seperti cangkul dan celurit ditaruh berjajar menyandar dinding. "Oktober ada kompetisi film amatir. Dari tiga naskah yang ditulis Midorima, aku tertarik dengan ini."
"Ah." Tetsuya mengangguk. "Sudah setahun, ya. Kita sudah harus memulai persiapan untuk pertandingan itu lagi."
"Dan kita harus mempersiapkan anak-anak baru. Tahun ini banyak anak perempuan yang masuk. Baguslah, kita tidak akan kekurangan aktris."
"Semuanya hanya fans Kise-kun."
"Ya, dia berguna untuk dipajang sebagai penarik minat anak baru."
"Itu tidak sopan, Akashi-kun," kata Tetsuya, walau sesungguhnya ia setuju dengan perkataan Akashi. "Tapi … tidak terasa, sudah setahun berlalu sejak kita masuk klub film ini."
"Ya, kita sudah kelas dua. Apa kauingat saat kita pertama bertemu?"
Tetsuya menggeleng, meskipun momen pertemuannya dengan Akashi begitu segar dalam ingatan. Akashi tidak tampak tersinggung—bahkan, ia terlihat begitu percaya diri kalau Tetsuya berbohong.
"Kubilang kita akan berteman."
"Hmm, itu ramalan yang tidak berguna, berhubung kita sudah pasti satu klub."
"Tetap saja aku benar. Selalu," ujar Akashi. Tetsuya tidak dapat menahan senyum. Akashi mengambil pensil dan menggambar setumpuk kayu bakar di sebelah cangkul. "Mungkin sentuhan yang tidak biasa akan membuat film ini lebih menarik."
Tetsuya mencondongkan badan untuk melihat gambar Akashi lebih jelas. "Menurutku kalau kita bisa membuat setting zaman dulu yang bukan zaman dulu akan lebih menarik."
"Maksudmu semacam dunia paralel?"
"Dunia yang serupa tapi tidak sama. Sentuhan modern di beberapa tempat. Ah, misalnya samurai yang menggunakan ponsel."
"Tidak, kita butuh yang lebih … seperti steampunk. Mesin di era jepang kuno."
"Itu menarik. Apa Midorima-kun bisa memasukkan unsur itu ke dalam naskahnya? Misalnya di sini," Tetsuya menunjuk tungku kuno di gambar Akashi, "bagaimana kalau diganti menjadi tungku besar bertenaga listrik?"
"Aku ingin desain yang lebih berkesan tua sekaligus modern. Kita bisa membuatnya dengan gabus yang dilapisi kertas kilap seperti metal."
"Kalau begitu bagaimana kalau—"
Dahi mereka bertabrakan, membuat Tetsuya nyaris menggigit lidahnya. Ia tertegun, menyadari jarak antara dirinya dan Akashi yang kini begitu dekat. Kedua mata Akashi juga membelalak karena terkejut, bibirnya sedikit membuka, napasnya hangat membelai bibir Tetsuya ….
Tetsuya menunduk, bermaksud menarik diri. Suara detak jantungnya bagai bergema di telinga, perutnya bergejolak, dan ia cemas Akashi bisa membaca pikirannya—
"Kuroko," kata Akashi. Jemarinya menangkup rahang Tetsuya, menahan Tetsuya untuk mundur. "Aku mengaku salah."
Jantung Tetsuya berdegup kian cepat. "Apa … maksudmu …?"
"Ramalanku. Aku tidak mau kita berteman."
"Akashi-kun," kata Tetsuya dengan suara yang sedikit bergetar. Ia memberanikan diri membalas tatapan Akashi. "Aku …."
Kemudian Akashi menciumnya. Lembut, hangat, bibirnya bergerak perlahan. Tetsuya menahan napas. Ia mencoba untuk memercayai bahwa ini semua bukan mimpi. Tetsuya tetap membeku hingga ia merasakan tengkuknya diremas oleh Akashi. Dan itu yang membuat Tetsuya berani, yang membuatnya menutup mata, dan dengan seluruh perasaan, membalas ciuman Akashi.
"Aku ingin lebih," bisik Akashi di antara ciuman-ciumannya. "Kuroko."
Tetsuya memiringkan kepala, mencium Akashi lebih dalam lagi. Karena lebih, ia ingin lebih, layaknya apa yang diinginkan Akashi darinya.
Bersambung ….
Terima kasih sudah membaca! Komentar, kesan dan pesan, kritik membangun, sampai kata mutiara akan sangat saya hargai. Guest review juga saya terima dengan senang hati. :D
