Cresshh…

Percikan air yang beradu dengan minyak panas dalam wajan, menciptakan suara mendesis yang khas, disertai aroma masakan lezat nan menggugah selera.

Tapi… bocah berusia sepuluh tahun itu nampak tidak tertarik sama sekali dengan hidangan yang baru saja dimasak oleh sang ayah. Selain karena bentuk makanan yang ia tahu berbeda, rasanyapun pasti tidak akan sesedap aroma yang menguar di indera penciumannya. Ia rindu masakan ibunya. Ibunya yang memiliki paras menawan, senyum lembut memukau, kulit sehalus permukaan sutera, serta keahliannya dalam memasak yang tak perlu diragukan lagi.

Sekali lagi, catatan keras, ia merindukan sosok sang ibu yang telah tiada sejak satu tahun yang lalu.

Tingg…

Bunyi dentingan garpu dan sendok, terkesan disengaja hanya untuk menarik atensi dirinya yang melalang buana entah kemana.

"Kenapa tidak dimakan?" tanya satu-satunya sosok dewasa di ruangan serba merah bergradasi oranye tersebut.

Permata cerulean sang anak berlabuh pada sosok tampan namun tegas ayahnya. Tersirat kerinduan dalam sorot matanya itu. Dulu ayah yang begitu ia kagumi dan cintai tidak seperti sekarang ini. Dulu ayahnya begitu ceria, periang, penuh kasih sayang, selalu membantunya mencari alasan ketika sang ibu yang begitu disiplin memarahinya karena urusan makanan, karena ibunya paling tidak suka jika mereka memakan makanan tak sehat seperti halnya; ramen, misalnya, atau kurang adanya asupan buah dan sayur yang tidak terlalu disukai dirinya ataupun sang ayah. Kini ia merasa hidupnya tak lengkap. Ayahnya berubah; tidak sehangat dan seceria dulu, dan ibunya telah tiada; membekaskan rasa sakit dan kehilangan yang amat mendalam bagi keduanya.

"Kenapa malah menatapku seperti itu? Kalau kau tidak mau makan yasudah!"

Garpu dan sendok alumunium dibanting menghantam piring kosong. Lauk pauk yang telah tersedia lekas terabaikan. Napsu makan pria pemarah itu pergi begitu saja karena mendapati sikap pasif sang anak yang kini menatapnya semakin sendu.

"Aku rindu masakan, Kaasan," Satu nama berharga lolos dari bibir mungil itu. "Aku ingin memakan mas–"

"KAASANMU SUDAH TIDAK ADA, ANAK MUDA!"

Inilah yang selalu terjadi dikala keduanya berada di satu ruangan yang sama, membahas satu nama –yang rawan untuk disebut.

"Tapi, Kaasan–"

"DIA SUDAH MATI!"

Tak ada lagi kehangatan, tak ada suara lembut ayahnya, dan tak ada senyum lebar yang menghiasi wajah tampan pria dewasa itu.

"Tousan, jahat –hiks," Jari mungil sang anak mengusap tetesan air bening di pipi gembilnya. Memandang terluka atas sikap dingin dan keras ayahnya.

"Menma," Panggilan kelewat dingin itu, menyentak tangisan Menma –nama si anak. "Berhenti membahas Kaasanmu yang sudah tiada. Disini hanya ada kita berdua. Tak ada Kaasan!"

Meja makan menjadi sasaran, digebrak sedemikian rupa, menimbulkan bunyi benturan keras dari dua telapak tangan mungil yang kini memerah panas. "Kaasan masih disini! Kaasan belum pergi!"

"MENMA!" teriak sang ayah murka. "Kembali kau anak nakal! Tousan akan memukulmu, kau dengar?!" Ia melangkah cepat, hasta demi hasta. Namun, gerakan kaki kecil Menma rupanya lebih gesit dari dirinya.

Anak itu sudah berlari menaiki tangga, menuju kamarnya, membanting pintu yang tak bersalah, lalu menguncinya dari dalam. Membiarkan sang ayah yang sedang dihinggapi amarah besar, menggedor-gedor permukaan pintu bercat biru pudar itu, disertai umpatan yang tak pantas di dengar anak kecil sepertinya.

Naruto © Masashi Kishimoto

"Seharusnya kau tak boleh berkata seperti itu padanya."

"Biar saja! Hiks–Tousan jahat!"

"Sejahat apapun Tousanmu, dia tetaplah orang yang menjadi alasanmu ada di dunia ini. Tanpa dia, kau tak mungkin ada."

"Biar saja! Tousan juga tak lagi menganggapku ada setelah kepergian Kaasan! Jadi biarkan saja!"

Sosok itu menatap sendu putra kecilnya. Ada rasa pedih yang menusuk, seperti ditikam sesuatu yang tak kasat mata. Ingin ia mendekap buah cintanya bersama sang suami, tapi apa daya, ia takkan lagi bisa melakukan itu. Jikapun ia bersikeras, sentuhannya selalu tembus begitu saja. Seolah raga yang mampu dilihat dirinya dan sang anak, hanya sebatas sosok dalam proyektor film semata.

"Kenapa Kaasan tidak kembali saja?" tuntut Menma penuh harap. Biru miliknya menyorot tepat pupil hitam sang ibu. "Tunjukan pada Tousan kalau Kaasan masih hidup!"

Gelengan lemah yang diberikan sosok tembus pandang itu menjadi jawaban pahit bagi Menma. "Kaasan sudah mati, Sayang."

"Bohong! Kaasan bohong! Menma masih bisa melihat Kaasan sekarang. Meskipun Menma tidak bisa menyentuh, Kaasan, tapi Kaasan masih hidup!"

"Menma, Sayang, dengarkan Kaasan… sebentar lagi Kaasan akan pergi–"

"Tidak!"

"–Kaasan akan meninggalkan kalian berdua. Dunia kita telah berbeda, Sayang… tidak mungkin bagi Kaasan untuk kembali lagi. Itu benar-benar sangat tidak mungkin."

"Tidak boleh! Kaasan tidak boleh pergi!" raung Menma getir. Ditatapnya wajah sendu sang ibu yang saat ini juga tengah menunjukkan keengganan serupa. Ingin meraih sosok penuh cinta tersebut, tapi lagi-lagi tangan mungil Menma menembusnya, memperkuat isakan dan deru napasnya yang memburu. "Menma tidak ingin Kaasan pergi. Tanpa Kaasan, Menma dan Tousan seperti mati. Tanpa Kaasan, hidup Menma tidak akan lagi bahagia. Tousan berubah karena tidak ada Kaasan, dan Tousan lebih sering marah-marah kalau sedikit saja Menma membahas soal Kaasan."

"Maafkan Kaasan…," sosok itu menangis tanpa suara. Pandangannya menyayu. Tak tega melihat buah hatinya yang berharga menangis meraung-raung seperti itu. Jika saja Tuhan memberinya kesempatan untuk menyentuh Menma, ia ingin sekali mendekap si mungil selama mungkin dengan penuh cinta. Menyalurkan sesuatu yang tak lagi bisa ia berikan semenjak raga yang dulu menjadi wadah ruhnya bersemayam, terkubur bersama gundukan tanah merah.

Ia menatap nanar tempat persemayaman terakhir sang istri tercinta di area pemakaman umum dekat rumahnya. Tidak ada kasur mewah ataupun selimut tebal berbulu lembut, yang ada hanya segunduk tanah merah beserta batu nisan yang tertuliskan nama lengkap sang tercinta.

Namikaze Sasuke.

Nama yang selalu berada di lubuk hatinya yang terdalam. Nama yang dulu sangat suka ia ucapkan ketika menggoda sosok menawan yang hanya mampu merona wajahnya. Nama yang kini menjadi topik paling sensitif di setiap kali seseorang menyebutkannya, meskipun itu adalah putra kecilnya sendiri.

Pria itu bersimpuh di samping makam, mengelus sayang batu nisan itu –seolah-olah dirinya sedang membelai kepala bersurai hitam milik Sasuke. Lamat-lamat matanyapun terpejam, merefleksikan sosok Sasuke yang saat ini tengah tersenyum manis padanya.

"Aku merindukanmu, Suke," katanya, dengan intonasi suara bergetar parau. "Semenjak tidak ada dirimu, hidupku seperti tidak terkendali. Aku makan sembarangan, pekerjaanku berantakan, bangun-tidur semaunya, dan aku mulai menutup diriku dari siapapun, termasuk anak kita. Aku hanya bingung harus bersikap bagaimana. Setiap Menma membahas soal dirimu, tiba-tiba saja aku menjadi marah," Kelopak tan itu membuka perlahan, memperlihatkan iris biru safir yang terdesak tampungan airmata. "Sungguh aku tidak bermaksud begitu, hanya saja… tanpamu aku ini seperti menjadi orang lain."

Keluh kesah dikeluarkannya hanya di depan makan tersebut. Mencurahkan seluruh isi hatinya, seakan-akan sosok yang menjadi belahan jiwanya itu dapat mendengar semuanya.

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menjadi Namikaze Naruto yang kau kenal lagi. Semua kebahagiaanku ikut terkubur bersama jasadmu, aku sungguh hampa tanpa dirimu."

Tiupan angin yang menderu-deru, menerbangkan helaian daun kering yang berguguran di tanah. Berusaha menyapa, dan menghibur kesedihan seorang Naruto tanpa kehadiran Sasukenya. Rasa kehilangan yang teramat menyakitkan itu seperti halnya mimpi buruk. Ia tak pernah menyangka jika pada saat itu adalah hari terakhir Sasuke membuka mata.

"Naruto."

Seseorang memanggilnya secara tiba-tiba. Naruto sontak menoleh, wajahnya yang semula dipenuhi harapan, kini berubah datar layaknya boneka.

"Kau… Shikamaru. Ada apa?"

Lelaki berambut hitam berkuncir tinggi itu menghela napas berat. Partner yang dulu begitu ia kagumi setengah mati sekarang hanyalah seonggok jasad tanpa adanya jiwa. Ia mati. Mati yang merupakan kata kiasan untuk orang yang malas menghadapi hidup.

"Sudah waktunya kau bangkit, Naruto. Kasus ini tidak akan selesai jika kau membiarkannya begitu saja. Apa kau tidak kasihan pada Menma? Dia masih membutuhkanmu sebagai ayahnya, dan apa kau tidak kasihan pada Sasuke?"

Mendengar nama Sasuke, jantung Naruto serasa dirajam oleh tombak. Matanya mendelik tajam, namun Shikamaru tak mempedulikan arti tatapan itu dan terus saja berbicara.

"Dia tidak akan senang melihatmu yang sekarang. Kalau dia masih ada, dia pasti sudah menghajarmu."

Naruto menggertakkan giginya, mengangkat tangan hanya untuk mengarahkan jari telunjuk di depan hidung Shikamaru. "Kau tidak mengerti. Jadi sebaiknya tutup mulutmu itu, brengsek!"

Helaan napas Shikamaru bertambah berat. Naruto yang sekarang benar-benar berbeda dengan sosoknya yang dulu. Pemimpin teamnya ini, dulunya adalah seseorang yang hangat, tegas, berjiwa besar, dan juga dapat diandalkan. Namun lihatlah dia yang sekarang, tak lebih dari seorang pria pengangguran, yang suka marah-marah atau mabuk-mabukan hanya untuk menghibur kesepian hatinya sendiri. Penampilan Naruto yang sekarang juga urakan –meskipun dia yang dulu juga urakan disaat tidak sedang dinas, tetapi waktu itu masih ada Sasuke yang bisa memberinya sedikit sentuhan syle, sehingga Naruto masih enak untuk dipandang.

"Apa kau akan terus lari, huh?" ujar Shikamaru memanasi.

Langkah Naruto yang baru berjalan beberapa meter, akhirnya terhenti. Telinganya langsung berdenging mendengar kalimat provokasi itu.

"Apa kau akan tetap membiarkan kasus ini tenggelam? Membiarkan pembunuh Sasuke berkeliaran diluar sana dan menikmati kebebasannya?"

"Shut up!" raung Naruto. Pundak kokoh itu berbalik cepat, melontarkan tatapan paling mematikan untuk teman seprofesinya dulu. "Jangan mengucapkan nama Sasuke bersamaan dengan bedebah tengik itu, Shika!"

"LALU APA YANG AKAN KAU LAKUKAN?!" Selanya penuh emosi. "Kau selalu menghindar dan lari. Kau seperti pengecut. Kau bahkan melampiaskan rasa sakit dan kehilanganmu kepada Menma, anak kalian! Apa kau tidak tahu jiwanya masih sangat polos dan lemah. Dia masih membutuhkan sosok pelindung, dia membutuhkan kekuatan untuk memperkuat mentalnya yang sempat down. Karena bukan hanya kau yang kehilangan Sasuke tapi Menma juga!"

"Diam, Shika!"

"Kaulah yang seharusnya diam dan dengarkan aku!" Napas Shikamaru memburu, dan ia mencoba untuk lebih tenang untuk meyakinkan serta menghadapi Naruto yang sekarang. "Kakashi-san menginginkan kau kembali dalam team kami. Hanya kau yang bisa mengejar penjahat itu. Apa kau tidak ingin menuntut balas atas apa yang telah penjahat itu lakukan kepada Sasuke?"

Naruto diam membisu. Seluruh kesadarannya melayang, memutar kembali ingatan usang yang selalu disesalinya sampai kini. Sosok pria berkulit pucat, berwajah bengis, seperti terekam nyata di dalam memorinya. Pria itu tengah menyandera Sasuke, dengan menggenggam sebilah pisau tajam yang di arahkan tepat ke arah leher jenjang sang tercinta. Naruto bisa melihat Sasuke menggeleng, mulutnya menggumam entah apa, sebuah kain panjang dan tebal menyumbat rongga manis istri terkasihnya.

Telinga Naruto pada saat itu berdenging, matanya hanya mampu menangkap gerakan bibir si penjahat, dan ia merasakan jantungnya berdegup tak karuan. Ketakutan. Frustasi. Dan saat ia sadar, ayunan cepat yang memantulkan cahaya menyilaukan, tengah merobek ganas perut Sasuke. Jeritan dan teriakannya teredam, disaat bersamaan tubuh yang selalu ia lindungi tergolek lemah bersimbah darah.

"Naruto!" Suara tegas Shikamaru, menarik kesadaran Naruto dari lamunannya. Keringat dingin membanjiri pelipis mata dan leher, Naruto juga merasakan paru-parunya yang sempat tersendat telah berfungsi kembali meraup udara.

"Sasuke…," Pengucapan Naruto begitu lirih dan getir. Trauma atas kejadian naas tersebut, masih menjadi mimpi buruknya di malam hari, dan sampai kini hal itulah yang meluluh-lantahkan kehidupan bahagianya dulu.

"Bangkitlah Naruto. Kejar penjahat itu, jangan biarkan dia bebas setelah menghancurkan kehidupanmu dan Sasuke."

Mulut Naruto masih terbungkam rapat. Pandangannya begitu nanar.

"Ingatlah, kau masih memiliki Menma. Kau harus menjaga harta peninggalan Sasukemu itu, Naruto."

"Menma?" cicit parau Naruto menatap Shikamaru. Kilau safir yang dulu begitu terang dan menawan, sekarang tak ubahnya seperti permata usang yang telah memudar warnanya.

"Naruto yang kukenal adalah pria tangguh. Kembalilah… atau kau akan kehilangan muka saat berhadapan dengan Sasuke nanti, tapi… lebih baik jangan secepat itu menyusulnya. Rawatlah dulu Menma, dan besarkan dia dengan penuh cinta. Gantikan posisi Sasuke untuk melihat perkembangannya."

Ucapan Shikamaru begitu teduh. Menyentuh telak perasaan Naruto yang begitu melankolis saat ini. Ia merasa seperti ada tetesan embun segar di tengah gurun pasir yang gersang. Sejuk sekali. Membuai perasaan Naruto yang selalu diliputi kesedihan dan kehilangan.

Kali ini Naruto tidak membantah atau membentak Shikamaru yang telah berani-beraninya menceramahi dirinya. Naruto justru berterima kasih, karena berkat Shikamaru, Naruto serasa ditampar oleh kenyataan, ia juga baru menyadari kewajibannya sebagai seorang ayah untuk Menma, harta peninggalan satu-satunya dari Sasuke.

Keadaan rumah saat menjelang tengah malam terlihat begitu sepi dan gelap. Sejak dulu memang sudah seperti ini, tapi bedanya jika setahun yang lalu akan ada seorang pria raven yang berdiri di depan pintu ini saat ia pulang bekerja. Menyambut dirinya dengan senyum tipis mempesona, dan juga memberi kecupan singkat atau sekadar omelan panjang ketika Naruto pulang terlalu larut seperti sekarang.

Dulu. Ya, dulu.

Sekarang semua itu hanya menjadi kenangan indah sekaligus pahit bagi Naruto. Susah baginya untuk melupakan semua hal itu. Melupakan Sasuke, kehadirannya, sosoknya, senyumnya, semuanya. Dan Naruto akan terus berakhir sama seperti malam kemarin, kemarin, dan juga kemarinnya lagi. Naruto selalu menangis. Ia merindukan Sasukenya. Rindu suara dan juga tingkah menggemaskannya. Tapi ia sadar, waktu takkan pernah kembali berputar untuknya memperbaiki kesalahan itu. Tuhan hanya akan memberinya kesempatan untuk menata kehidupan yang baru serta melangkah maju ke depan.

Tentu saja itu akan sulit. Naruto tak bisa melangkah menuju masa depan jika Sasuke tertinggal di masalalunya.

Ia butuh Sasukenya.

Perhatian Naruto menubruk sebuah pintu kamar dengan aksen anak-anak dan beberapa jenis stiker robot yang ditempel secara asal. Tertulis nama 'Menma' pada papan kayu yang tergantung di tengah-tengah daun pintu itu. Ia memandanginya sejenak. Menimbang-nimbang, apakah ia harus masuk atau pergi dari sini, tapi nalurinya yang terus saja berbisik, akhirnya memperkuat tekat Naruto untuk masuk ke dalam menemui putra kecilnya yang sudah pasti tertidur amat lelap.

Dan memang apa yang ia pikirkan adalah benar. Menma sudah tertidur seraya memeluk boneka dinosaurus besar hadiah pemberian Sasuke di usianya yang ketujuh tahun. Bocah itu sangat menyukainya, sampai-sampai ia tak bisa melepaskannya selama satu bulan penuh. Naruto pada saat itu juga sering menggodanya, berpura-pura merebut boneka itu dari Menma, dan berujung dengan suara tangisan Menma yang begitu keras. Saat itu Sasuke juga memarahinya, menjitak kepala pirangnya, lalu menyuruhnya tidur di sofa ketika malam hari.

Sungguh itu menyiksa.

Tapi mengingat kenangan lucu itu, tanpa sadar membuat Naruto tersenyum juga menangis.

"Nggh, Kaasan…."

Lirihan suara Menma mengalun sumbang. Di tengah kegelapan kamar, Naruto dapat melihat adanya jejak airmata walau samar. Suara tarikan napas Menma juga berat, sedikit tersendat, seperti habis menangis berjam-jam.

"Maafkan, Tousan, Sayang," Jari-jari kanan Naruto mengusap pipi gembil Menma yang terasa lembab. Putra kecilnya ternyata memang habis menangis, dan Naruto menyesal telah membiarkannya terlarut dalam kesedihan seorang diri. Seharusnya Naruto bisa memberinya pelukan atau sekedar ucapan lembut menenangkan, di saat putranya merasa terpuruk seperti sekarang ini. "Tousan terlalu egois. Tousan sudah mengabaikan Menma," Bibirnya berucap lirih, dikecupnya kening sang buah hati penuh sesal. "Maafkan Tousan… Sekarang Tousan janji akan selalu ada untuk Menma."

Linangan airmata di pipi Menma semakin deras mengalir. Isakan yang tertahan di mulutnya juga terdengar sampai ke telinga Naruto. Sekali lagi, Naruto mencium kening dan puncak kepala Menma, sebelum mendekapnya cukup erat.

"Tousan tahu Menma belum tidur, kan, Sayang? Tousan tidak akan marah. Menma boleh menangis sekeras apapun yang Menma mau."

Setelah mengatakannya, Menma segera menangis sekuat tenaga. Melampiaskan kesakitannya selama setahun belakangan ini. Ia tahu Kaasannya memang tak mungkin kembali, tapi setidaknya, Tousan yang sempat berubah menjadi asing, kini kembali seperti Tousan yang ia kenal dulu.

"Menma rindu Kaasan!" teriaknya memilukan. Meyakinkan Naruto kalau sang buah hati memang belum tertidur seperti yang ia terka.

"Tousan juga… rindu Kaasanmu, Sayang."

Malam ini, hingga pagi menjelang, dilalui kedua ayah beranak itu dengan saling berpelukan erat. Saling berbagi duka dan memberi pelipur lara, meskipun keduanya sama-sama tahu, bahwa hal itu sedikit percuma. Karena sampai kapanpun, tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi Sasuke di hati keduanya.

Pagi ini situasi genting kembali menghebohkan kantor kepolisian pusat. Kasus kejahatan dan kriminal, seolah tak pernah berakhir dalam kamus hidup mereka.

Seorang Nara Shikamaru baru saja menghadap sang Komandan Hatake Kakashi di dalam ruangannya. Membicarakan kasus kejahatan berupa ancaman teroris yang hampir sama seperti kasus tahun lalu, dimana Namikaze Sasuke yang merupakan istri dari Namikaze Naruto menjadi sandera, yang kemudian berujung menjadi korban dalam kasus itu sendiri.

Sampai sekarang, tidak ada satupun polisi yang dapat menangkap penjahat itu. Satu-satunya orang yang bisa mereka andalkan, justru malah menyerah pada kesedihannya yang begitu panjang dan dalam.

"Dia takkan pernah kembali," ujar Kakashi putus asa.

Atensi Shikamaru seketika itu teralihkan. Sejujurnya ia juga menduga hal yang sama, namun sebagai mantan rekan Naruto setahun yang lalu, tentu saja ia masih memendam harapan besar itu di hatinya.

"Tapi tanpa Naruto, penjahat itu akan sulit dikenali. Sejauh ini mereka sangat ahli dalam menyamar dan berkamuflase, hanya Naruto saja yang pernah melihat wajah asli mereka saat negosiasi penebusan Sasuke dilakukan, tetapi…."

Kakashi menarik napas berat, dan memandang lurus ke depan. "Tetapi sayangnya… negosiasi itu gagal dan berakhir dengan terbunuhnya Namikaze Sasuke."

"Ya, Anda benar," sahut Shikamaru parau. Ia menyesali kenapa pada saat itu ia tak bisa menolong Sasuke ketika Naruto dalam posisi terjepit. Seandainya ia memikirkan hal ini lebih cepat, mungkin saja saat ini Sasuke masih hidup, dan penjahat itu pasti sudah tertangkap.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sekarang yang harus Shikamaru pikirkan adalah, bagaimana cara untuk menebusnya, dan lagi ia sendiri bingung, harus memakai cara yang bagaimana lagi untuk membujuk Naruto agar mantan rekannya itu kembali dalam team.

"Aku akan kembali," kata suara familiar, yang lantas mengejutkan dua pria itu. "Jadi cepat katakan, apa yang harus kulakukan sekarang?"

Mata biru yang perlahan mendapatkan warnanya kembali itu tengah memandang dua pasang iris lain, yang saat ini tengah terbelalak lebar seakan tak percaya melihat kehadirannya disini.

"Na-Naruto?!" pekik keduanya secara bersamaan.

Inspeksi besar-besaran segera dilakukan setelah kembalinya Naruto di kepolisian pusat. Setiap anggota dalam teamnya yang dulu telah memiliki peranan tugas masing-masing. Naruto membagi seluruh anggotanya pada setiap kemampuan individu. Dimulai dari Shikamaru yang ahli merancang strategi, Kiba yang memiliki keahlian dibidang pelacakan, Neji yang mempunyai keahlian beladiri dan juga menyamar, Gaara yang sangat hebat dalam bidang pencarian informasi, sementara Naruto adalah sang penggerak bidak. Bukan berarti Naruto hanya duduk santai tanpa melakukan apapun, justru setiap apa yang dilakukan para bawahannya, Naruto juga turut memantau atau bertanggung jawab mengenai segala kemungkinan yang akan terjadi.

Jika dulu Naruto melakukan tugas atas nama keadilan, maka sekarang ia melakukannya dengan mengatasnamakan dendam terhadap kematian Sasukenya.

"Kaicho!"

Seruan Gaara di depan pintu menegapkan tubuh Naruto di kursi kerjanya. Mata biru yang sempat terpejam dengan posisi tangan menyangga dagu perlahan membuka.

"Hm?"

"Perkiraan Anda mengenai jenis rakitan bom yang telah menghancurkan sebagian distrik Suna, ternyata memang benar. Itu jenis rakitan bom yang cukup unik."

"Teruskan," pintanya mulai tertarik. Naruto memang sudah menduga kalau serpihan dari rangkaian bom yang ditemukan Kiba sebagai regu team pelacak, cukup familiar bagi pengamatannya.

"Selain informasi mengenai jenis rakitan bom itu, Shikamaru juga menduga kalau pelaku pengeboman distrik Suna berasal dari satu kelompok yang sama dengan pengebom pesisir pelabuhan Ame bulan lalu," Gaara memberikan beberapa lembar dokumen yang menampilkan informasi mengenai kasus-kasus pengeboman yang tengah mereka selidiki.

"Ini…," Pupil mata Naruto menajam. Selembar kertas dalam genggaman tangannya ia remat kuat-kuat.

"Oh, mengenai gambar diagram itu. Kiba bilang, dia selalu menemukan goresan benda tajam di dekat daerah-daerah yang terkena pengeboman, dan menurut analisis Shikamaru kemungkinan itu tanda dari organisasi mereka."

BRAK!

Meja dipukul keras, dan pelakunya adalah Naruto. Gaara –pria berambut merah itu, lekas berjenggit refleks melihat ekspresi Naruto yang tiba-tiba terkesan garang. Atmosfer ruangan turun drastis, meskipun AC terlihat masih menyala, namun entah perasaan Gaara saja atau memang udara disekitar seakan berhenti dan memanas.

"Dia…," desis Naruto. Kepalan tangannya yang memadat di atas meja bergetar, hal itu tentu saja tak luput dari perhatian Gaara.

Pria merah itu hanya diam dengan kernyitan bingung di dahinya.

"Selidiki lebih jauh mengenai gambar diagram itu!"

"Ha'i!" Gaara segera membungkuk dan menarik diri. Perintah Naruto adalah tugas baginya.

Seperginya Gaara dari ruangan itu, Naruto lekas mengalihkan pandang ke arah figura foto berbingkai perak. Ia menatap sendu paras tampan sekaligus cantik istri prianya. Sasuke dan Menma dulu paling suka tersenyum saat sesi pemotretan keluarga. Mereka memang selalu berbahagia sebelum peristiwa naas itu terjadi lalu merenggut nyawa Sasuke dari sisinya.

"Brengsek!" Naruto mengumpat getir, menahan desakan deras yang akan menyerbu tembok pertahanannya sebentar lagi.

Ia tak sadar jika kefrustasiannya sekarang tengah mengukir rasa sesak di hati seseorang yang sangat mencintainya.

"Naruto," gumam sosok itu lirih.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain hanya diam. Jika dulu, mungkin saja Sasuke sudah menarik sosok paling kuat serta paling dominan di keluarga kecilnya itu ke dalam pelukan hangatnya, tetapi… dengan keadaannya yang hanya berwujud sebatas roh sekarang ini, Sasuke takkan bisa lagi melakukan hal itu. Berapa kalipun ia berusaha menggerakan tangannya untuk menyentuh wajah Naruto, selalu saja tertembus begitu saja bagai angin.

Bibir tipis itu bergetar, disaat desakan yang sama berlomba-lomba menyerbu dua kelopak matanya. Ia membuang muka, tak ingin melihat kerapuhan Naruto yang begitu miris, dan juga tak kuasa menahan perih di hatinya lebih lama lagi.

Sasuke tahu cepat atau lambat ia akan pergi. Tapi… mendapati wujudnya yang sangat transparan semakin mengabur bagai warna pudar, tentu saja selalu menghantui dirinya. Sebentar lagi ia akan berpisah jauh dari Naruto dan juga Menma.

"Kenapa…," Satu isakan lolos begitu saja. "Kenapa kita harus berpisah secepat ini?" Surai ravennya bergerak saat ia menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku, Naruto…," ujarnya, ketika melihat pria pirang itu menangis tergugu sambil meremas dada sebelah kirinya, menularkan gerakan yang sama pada Sasuke yang berada di samping tubuhnya saat ini. Dengan sebuah kertas bergambar diagram segienam yang menjadi saksi perpisahan kedua sejoli itu.

TBC

Notes : Selamat ulang tahun papi naluuu *cium papi* /ditendangsasuke

Sebenernya tadi ini mau dijadiin oneshoot tapi berhubung kepanjangan dan waktunya terlalu sedikit buat ngetik lanjutannya, jadi kuputuskan untuk membaginya jadi dua.

Walaupun terkesan telat sehari, yang penting fic ini aku dedikasikan untuk ultahnya naruto. Sekali lagi otanjoubi untuk semeku tercinta /ditendangsasukelagi

PS: Lanjutannya dipost pas NS Day aja yah hahaha