Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Beautiful Beast, a story by Acelicia Ginx.
"Besok Bu Hanji mengajak para staf untuk berlibur bersama. Kudengar calon suaminya memperbolehkan kita untuk menginap di motel miliknya selama tiga hari dua malam. Hebat bukan?" Mina membuka topik obrolan pendamping makan siangnya bersama ketiga rekan kerja lainnya. Sasha tampak antusias mendengarnya, sementara Annie tidak begitu peduli dan Mikasa hanya diam mendengarkan.
"Aku tidak sabar menantikannya! Seumur hidup baru kali ini ada orang yang mengajakku pergi ke laut." Sasha terus mengoceh meski mulutnya penuh dengan roti yakisoba. Tidak peduli tingkahnya menjadi tontonan orang-orang yang sama-sama sedang menikmati makan siang di kantin itu. Gadis desa itu memang selalu bersemangat dan ceria, sulit untuk mendapatinya merasa malu karena dia memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi.
"Ha? Kau belum pernah pergi ke laut sebelum ini?" tanya Annie. Mendadak semua rekannya menatapnya dengan pandangan aneh, agak terkejut karena gadis berambut pirang tersebut merespon kata-kata Sasha. Biasanya Annie selalu merasa bosan dan enggan menanggapi sampai berakhirnya acara makan siang mereka. Sementara dipandangi dengan cara yang tidak menyenangkan, Annie terpaksa membuang muka ke arah lain. Pertanyaan tadi tanpa sengaja keluar begitu saja dari mulutnya. Bukan bermaksud untuk ingin tahu, hanya saja Annie merasa sedikit simpati terhadap Sasha yang baru bisa menginjakkan kaki ke laut selama dua puluh enam tahun hidupnya.
"Ma-maklum 'kan, habisnya Sasha tinggal di daerah yang jauh dari laut. Iya 'kan, Sas?" Mina tampak panik mencoba membaur ke dalam percakapan. Dia tahu Annie merasa sedikit tertekan karena sedari tadi dipelototi, untuk itu dia mencoba mencari alternatif agar pembicaraan dapat terus berlanjut tanpa merusak momen langka di mana Annie akhirnya mau bicara.
"I-iya betul. Aku lahir dan tumbuh di desa Dauper daerah perbatasan, di sana merupakan kawasan hutan yang penduduknya sangat jarang. Ta-tapi meski terpencil aku setiap hari bisa makan daging hasil buruan!" Sasha kembali menggebu-gebu dan Annie hanya membalasnya dengan sebelah alis yang terangkat ke atas.
"Aku juga setiap hari makan sayuran," imbuh Mikasa. Kini giliran gadis ras oriental itu yang menjadi objek lirikan rekan-rekannya. Mikasa sebenarnya adalah gadis pintar, namun dia payah dalam berkomunikasi. Contohnya seperti ini, ketiga temannya bahkan tidak tahu mengapa Mikasa mengatakan hal demikian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan percakapan sebelumnya.
"Aku tidak tertarik dengan latar belakangmu," ucap Annie tak acuh. Sekali lagi Mina panik dan bersikeras mendinginkan suasana, dia tahu bahwa Mikasa dan Annie tidak terlalu akrab. Jika dia tidak menengahi atau berbuat sesuatu, siapa yang tahu kalau kedua gadis itu akan berakhir adu jotos?
"Sudahlah teman-teman, yang penting kita harus bersiap-siap untuk keperluan besok. Ngomong-ngomong, kalian akan memakai bikini seperti apa besok?" tanya Mina. Bersyukur karena besok liburan khusus, hari ini tidak akan ada pekerjaan yang menanti setelah jam makan siang. Jadi mereka bisa lebih lama melanjutkan obrolan tanpa harus diburu oleh waktu.
"Bikini? Ugh, aku saja baju renang tidak punya," keluh Sasha. Gadis berambut merah bata tersebut lantas mengacak-acak rambutnya sambil histeris.
"Sasha, bikini itu pada dasarnya adalah baju renang two piece yang terdiri dari atasan dan bawahan. Jadi tidak masalah jika kau tidak punya bikini, cukup kenakan bra dan celana dalam saja," ucap Mikasa tenang. Mendengar hal itu, Annie sampai mengangkat kepalanya yang sedari tadi bertumpu pada tangannya, mulutnya bahkan terbuka karena tak percaya. Sama reaksi, Mina dan Sasha sendiri sangat kaget. Siapa yang menyangka kalau gadis sekalem Mikasa bisa berkata-kata demikian? Ada benarnya pepatah mengatakan bahwa penampilan bisa saja menipu.
"Apa kau tidak punya otak? Akan memalukan kalau besok aku harus menghabiskan waktuku di laut dengan orang-orang seperti kalian." Annie mendengus kasar, dia tidak habis pikir kenapa dulu bisa bertemu dengan teman-temannya ini. Satu gadis berperut karet yang gemar mencuri makanan, satu gadis cantik yang sedikit tolol, dan untungnya ada Mina yang tampak normal dan bisa diandalkan.
"Jangan tersinggung, An, aku memberi saran pada Sasha bukan padamu. Seharusnya kau tidak perlu menanggapiku dengan seemosi itu."
Baru beberapa menit sempat tenang kini Annie dan Mikasa sudah terlibat cekcok pendapat lagi, mereka berdua memang sangat bertolak belakang dan berbahaya apabila disatukan. Sasha sedikit ngeri memikirkan andai saja hanya ada mereka bertiga tanpa Mina, dia pasti akan terlihat lebih bodoh karena jalan terakhir yang mampu dilakukannya hanyalah melontarkan lelucon garing yang bahkan tidak akan mampu menarik perhatian Annie dan Mikasa untuk mau mendengarkan.
"Kau bisa meminjam bikiniku kalau kau mau, Sas. Setidaknya aku punya tiga pasang di rumah," ujar Mina dengan senyum menawannya. Sasha kembali bersemangat seperti biasa, sementara Annie tetap mendengarkan dan Mikasa melanjutkan melahap makan siangnya yang telah lama dingin. Terkadang ketika mereka berempat melakukan obrolan makan siang seperti ini, Mina merasa seolah-olah hanya sedang duduk berdua dengan Sasha dan mendengarkan gadis ponytail itu menjerit-jerit penuh energi menceritakan tentang daging kualitas terbaik dari desanya.
"Itu tidak menjamin akan muat untuk Sasha, dilihat dari mana pun dia jauh lebih gemuk daripada kau, Min." Annie menanggapi, syukurlah dia tadi lantas diam tidak menggubris perkataan Mikasa. Sepertinya Annie mulai bisa menempatkan diri dengan baik dalam acara rumpi mereka, paling tidak dia tidak meladeni sifat keras kepala lawan mainnya selama ini.
"Ah, kalau begitu kenapa kita tidak pergi berbelanja saja setelah ini? Kupikir masih sempat mengingat ini baru jam 3 sore. Toko perlengkapan renang dan menyelam di dekat stasiun menjual bikini juga, aku sudah pernah mampir ke sana," saran Mina.
"Benarkah kalian akan menemaniku ke sana? Teman-teman, terimakasih! Yosh! Kalau begitu aku harus mampir ke ATM untuk mengambil uang!" Sasha menggebu-gebu, suara lantangnya bahkan membuat beberapa pengunjung kantin menoleh karena merasa terganggu dengan suara brisik mereka.
"Boleh saja, aku ikut," sahut Annie.
"Aku juga ingin sepasang bikini baru." Mikasa tak mau kalah dengan kedua temannya, ikut antusias.
Sementara itu Mina tersenyum dengan napas lega, bisa dikatakan bahwa tidak mudah mempertahankan hubungan pertemanan melihat dari latar belakang dan sifat yang sangat saling bertolak belakang. Namun Mina cukup senang dengan anggota grup ini, meskipun dialah yang setiap saat harus menjadi mediator segala percekcokan yang terjadi. Dan mereka berempat segera bergegas menuju toko tujuan sebelum hari semakin sore.
Saat siang, tempat ini hanyalah sebuah kedai di area pertokoan pesisir pantai yang menyediakan gazpacho dan es serut. Namun kala hari menjelang malam, tempat tersebut berubah menjadi kedai minum dengan berbagai makanan dari bahan seafood yang ramai akan pengunjung. Pemiliknya adalah seorang pria tua berjanggut putih dengan kacamata berlensa bundar model kuno yang sedikit norak, orang-orang sekitar memanggilnya Zeke. Dan hari ini sampai beberapa hari ke depan, keponakannya yang bernama Bertholdt akan datang membantu menjalankan bisnis kedai.
"Paman, truk pengangkut pasokan bir sudah tiba mengantar pesananmu. Haruskah aku mengangkat krat-krat berisi botol bir itu ke gudang pangan?" Pemuda bertubuh jangkung itu bertanya, tangannya masih memegang sapu dan sebuah lap gombal tersampir pada bahunya. Bertholdt baru saja selesai membersihkan kedai sesuai perintah sang paman.
"Oh, tentu, tolong ya!" seru Zeke tanpa menoleh. Pria tua itu sedang sibuk memperbaiki kran yang bocor, mengabaikan raut muka keponakannya yang berubah kesal. Sedari tadi pamannya menyuruhnya mengerjakan ini itu secara kontinu, dan lihat apa yang dilakukan si tua bangka itu? Sudah hampir dua jam paman Zeke berkutat dengan obeng dan pipa tapi tidak selesai-selesai. Apa dia bercanda? Jangan bilang bahwa itu hanya akal-akalannya saja supaya terbebas dari pekerjaan dengan melimpahkan semua tugas ke Bertholdt.
"Cih, jangan lupa untuk menaikkan upahku!" seru Bertholdt kemudian. Pemuda bertubuh jangkung itu segera keluar dari kedai untuk kembali masuk dengan satu krat botol bir. Atau tidak, sebab seseorang terlebih dulu menghentikannya.
"Permisi anak muda, apakah aku bisa bicara dengan pemilik kedai ini?"
Bertholdt menoleh, mendapati seorang pria berambut pirang yang cukup tampan. Usianya mungkin jauh lebih muda dibanding dari pamannya, kira-kira memasuki empat puluh tahunan atau lebih. Pria itu tinggi, tubuhnya tegap dan berotot. Penampilannya rapi dan klimis, jelas semakin menunjukkan kesan berwibawa yang menguar dari auranya.
"Entahlah tuan, orang tua itu sedang sibuk dengan mainannya dan tidak bisa diganggu. Kau bisa titip pesan padaku, tidak perlu khawatir karena pasti akan kusampaikan," ujar Bertholdt. Tangannya sudah bebas dari beban, menyisakan tumpukan krat botol bir yang kembali utuh pada tumpukan.
"Sebenarnya aku ingin memesan paket seafood lengkap untuk enam orang dengan jagung dan saus, juga sekalian menyewa alat pemanggangnya untuk tiga malam ke depan. Tolong antar pesananku ke alamat ini, seperti biasa akan kutransfer uangnya setelah barang sampai." Pria pirang itu lantas mengeluarkan secarik kertas berisi alamat yang dimaksud. Bertholdt kemudian menerimanya, dahinya berkerut ketika membaca kertas yang adalah kartu nama tersebut, Erwin Smith; Pacific Motel.
"Oke tuan, aku akan membereskan pesananmu setelah pekerjaanku selesai. Akan kupastikan untuk meneleponmu sebelum jam 8 malam," ujar Bertholdt. Pemuda itu kemudian menjabat tangan pria bernama Erwin Smith tersebut sembari memaksakan senyum. Dia tidak bermaksud kurang ajar terhadap pelanggan, hanya saja semua perintah pamannya hari ini sudah lebih dari cukup untuk menguras energinya hanya dalam setengah hari.
"Oh, terdengar bagus! Baiklah, aku permisi," pamit Erwin segera melangkah menuju mobil berwarna hitam dengan seorang sopir berwajah masam yang bertubuh sangat pendek. Melesat meninggalkan Bertholdt yang masih berdiri dengan krat-krat botol bir. Pemuda itu pun melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, mengangkut krat-krat botol bir ke dalam kedai dengan sedikit usaha lebih karena ternyata benda itu cukup berat mengingat dia membawa dua krat sekaligus. Dan mendapati pamannya yang telah selesai dengan kran bocor sedang duduk santai sembari meminum sebotol air dingin dengan tampang terlampau puas, tak pelak membuat Bertholdt mengernyit kesal karena merasa dirinya saja yang bekerja keras.
"Hei paman, barusan ada seorang pelanggan yang memesan cukup banyak dari kedai ini dan ingin pesanan dikirim nanti malam. Kupikir dia adalah seorang investor atau konglomerat, yang jelas dia terlihat kaya," ujar Bertholdt yang menaruh krat-krat botol bir di gudang penyimpan makanan. Setelah itu dirinya ikut mendudukkan diri di seberang sang paman dengan tangan yang sibuk menyeka keringat menggunakan lap gombal. Keponakannya telah bekerja dengan rajin hari ini, jadi Zeke merasa tidak masalah untuk memberikan waktu istirahat toh tugas yang tersisa hanya tinggal mengangkut krat-krat botol bir.
"Oh, kau mengingat pesanannya 'kan?" Zeke bertanya, dia kemudian menyalakan kipas angin di ruangan kecil tersebut dan otomatis kedua pria tersebut mendesah keenakan karena merasakan hawa sejuk menerpa wajah mereka yang berkeringat.
"Ehm entahlah. Mungkin paket seafood dan alat pemanggangnya?" Bertholdt menaikkan sebelah alis dan meminum air dari botol yang tersedia di meja. Mendengar jawaban kurang meyakinkan dari keponakannya, Zeke menjadi sedikit jengkel. Kepercayaan pelanggan adalah hal yang sangat penting dan menentukan keberlangsungan bisnis.
"Apa?! Kau mau tidak kugaji huh!" dengus Zeke yang telunjuk tangannya kini sudah menyentil dahi pemuda bertubuh kelewat jangkung tersebut.
"Tidak masalah kalau tidak ingat 'kan? Toh orang yang memesan sudah meninggalkan kartu namanya, sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan dan malah membebani otak untuk mengingat pesanannya," cerocos Bertholdt ikut menaikkan nada suaranya tanpa sadar. "Awas saja kalau sampai aku tidak mendapat gaji, akan kugunakan kekuatanku untuk merampokmu nanti," imbuhnya kembali mengosongkan botol air mineral keduanya.
Zeke segera meraih kartu nama yang diserahkan oleh keponakannya dan mulai membaca, sedetik kemudian raut wajahnya berubah cerah. "Oh, ternyata perjaka tua itu ya yang memesan, kalau benar sekarang motel miliknya sudah selesai didirikan berarti tidak akan menunggu lama bagiku untuk mendapat undangan pernikahan." Zeke tampak tak mempedulikan keponakannya dan masih sibuk berbicara sendiri.
"Kau mengenalnya?" tanya Bertholdt.
Zeke mengangguk sumringah. "Dia kenalan sewaktu aku tersesat di Amerika, orang yang kaku dan sulit untuk diajak bergaul. Erwin Smith pernah bilang kalau dia akan menikah setelah motel idamannya selesai dibangun," jawab Zeke.
"Sepertinya aku mencium bau pesta dan uang bonus!"
"HAHAHA. Tidak semua bisnis harus mengarah ke uang, sebagai sahabat tentu aku akan memberinya harga teman untuk perayaan masa lepas lajangnya nanti. Yah, lagipula dengan dia memiliki motel berarti aku bisa menjadi mitra bisnis untuk memasok bahan makanan untuknya," ungkap Zeke panjang lebar. Perkataannya membuat sang keponakan mencibir.
"Kau pikun ya, kau bilang bisnis tidak melulu tentang uang tapi kemudian dengan cepat kau mengatakan suatu hal tentang kemitraan?! Lucu sekali pak tua, sungguh lucu," ketus Bertholdt sarkas.
"Hey, kita tidak akan pernah tahu kapan Erwin Smith akan memberikan sebagian saham motelnya padaku 'kan!" ujar Zeke tidak terima. Dan kedua mulut itu terus saling melontarkan makian satu sama lain.
"Kenapa kau malah memilih baju renang, Sas? Kau pikir kita anak SMP yang akan melakukan ekskul di kolam renang umum?" Mina tampak tidak puas dengan pilihan Sasha, seharusnya dia jangan terlalu berharap banyak pada gadis udik berambut ponytail itu. Sebab Sasha adalah tipe orang yang tidak begitu peduli dengan penampilan, asalkan pakaiannya terasa longgar berarti hal tersebut adalah bagus karena dapat menampung perutnya yang bisa mendadak membesar karena kalap makan.
Sementara itu, Annie tampak menaruh minat pada potongan bikini polos berwarna merah mudah pucat, senada dengan warna bunga sakura. "Apa perlu aku mencobanya?" Annie meminta pendapat pada Mikasa, kebetulan gadis oriental itu sedang memilih bikini di spot yang tak jauh dengannya. Terlebih Annie juga tidak ingin merecoki Mina yang masih sibuk menjadi fashion consultant pribadi Sasha.
"Selera yang bagus, Ann," ucap Mikasa datar. "Aku akan berkomentar setelah kau keluar dari ruang ganti dengan bikini itu," lanjutnya dan sedetik kemudian perhatiannya sudah teralihkan pada model-model bikini yang terpajang di etalase toko. Gadis berambut pirang itu cukup kesal dengan tanggapan rekannya. Well, mereka berdua memang tidak pernah akur dalam segala hal. Tapi paling tidak, Mikasa sudah memberi lampu hijau bahwa dia serius akan memberi pendapat setelah Annie mengenakan bikini pilihannya.
"Apa Anda butuh bantuan?" Belum sempat Annie menggeser pintu ruang ganti, seorang pramuniaga berwajah manis secara tiba-tiba muncul di sampingnya. "Apa Anda menyukai bikini tanpa motif, atau warna merah muda? Apabila ada spesifikasi model khusus, tidak perlu sungkan untuk meminta bantuan kami," lanjut sang pelayan dengan senyum masih tetap merekah.
"Tidak perlu, kurasa…" Buru-buru Annie segera masuk ke kamar ganti, karena gugup tanpa sadar dia setengah membanting pintu dan membuat pelayan tadi membeku beberapa detik. Menurut gadis pirang itu, sangat memalukan apabila ada orang asing memilihkan pakaian mencolok seperti bikini untuknya.
"Ba-baiklah, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda perlu bantuan?" Pramuniaga tersebut kemudian segera beralih ke arah Mikasa. Gadis itu masih sibuk menyortir bikini sesuai ukuran, sama sekali belum memikirkan akan mengambil model yang mana. Tetapi salah satu tangannya sudah menggenggam setelan two piece berwarna gelap.
"Apa ada bikini yang membuat perutmu terlihat seperti perempuan?" tanya Mikasa polos. Pramuniaga tadi terkejut, alisnya tanpa sadar terangkat karena merasa tidak paham dengan pertanyaan calon pembelinya.
"Maaf?"
Dan lebih buruk lagi, Mikasa tidak pandai menjelaskan permasalahannya dan tidak mungkin bercerita mengenai perutnya yang berotot kepada orang asing. Gadis berambut hitam pendek itu menunduk, adakah yang lebih sulit dari mencoba untuk menjadi fashionable? Tidak, berpenampilan menarik itu mudah, perutnya yang membuat semuanya berubah sulit.
"Uh-um, mungkin aku lebih baik mencari sendiri," ucap Mikasa. Dia melirik ke arah Mina yang belum juga merampungkan urusannya dengan Sasha, malah mereka terlihat menumpuk beberapa model dan semakin kesulitan dalam menentukan pilihan. Mina mungkin tidak akan menolak untuk membantunya, tetapi Mikasa tahu bahwa dirinya lebih bisa mengendalikan diri daripada Sasha. Jadi dia akan mencoba bertahan, setidaknya. Mendengar jawaban dari Mikasa, pramuniaga tadi tampak heran lalu pergi begitu saja. Well, Mikasa tidak bisa menyalahkannya, dia dan teman-temannya memang selalu bersikap aneh.
"Kau selalu membuat orang takut seperti biasa, dasar monster," cetus Annie yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Mikasa. Perempuan berhidung mancung itu terlihat manis, kulitnya yang kuning tampak cocok dipadukan dengan warna bunga sakura yang lembut. Dan mata Mikasa tidak bisa lepas dari perut rekannya yang terekspos, sangat feminine, tidak tampak garis-garis otot yang membuatnya terlihat seperti lelaki kekar. Mikasa memandangi sebuah two piece bikini yang tengah ia bawa, berwarna hitam dengan corak bintang berwarna emas pada bagian kiri masing-masing top dan bottom bikini. Simpel dan tidak terlalu mencolok, Mikasa menyukainya, namun sepertinya tidak lagi.
"Jadi, bagaimana?" tanya Annie. Mikasa menoleh, wajahnya yang dingin semakin terlihat tidak bersahabat. Dia membayangkan akan sangat tidak elegan bila dirinya nekat mengenakan bikini ini ketika berada di pantai. Orang-orang akan memperhatikan otot perutnya, dan mereka mungkin akan mengira dirinya sebagai penjaga pantai. Mikasa tidak mungkin akan mengenakan outer hanya untuk menyamarkan perutnya yang kekar, tidak.
"Entahlah, kurasa aku akan memakai baju renang lamaku," jawab Mikasa pesimis.
Annie melebarkan bola matanya karena heran, terlihat bahwa perempuan ras oriental tersebut salah paham dengan pertanyaannya barusan. "Kau mengigau? Aku meminta pendapatmu tentang penampilanku tahu," ketus Annie melipat kedua tangannya, bersedekap dengan pandangan mulai jengah.
"Aku tidak mengira orang sepertimu akan terlihat bagus mengenakan warna merah muda."
"Kau memang tidak pernah bisa bersikap bersahabat denganku ya, hm."
Mikasa menoleh lagi-lagi, menatap Annie dengan wajah datar dan dingin seperti biasa. "Aku tidak mencoba untuk bersahabat denganmu, Ann, kita hanya tidak cocok," ujarnya singkat. Gadis berdarah campuran itu segera mengembalikan setelan bikini yang sempat dipilihnya kembali ke rak. Annie memandanginya, tidak begitu peduli memang, namun diam-diam dia merasa senang karena Mikasa memberi sinyal positif bahwa bikini yang sedang dia coba adalah cocok untuknya. Yah, terlepas dari bagaimana pun dinginnya sifat seorang Mikasa dan caranya berkomunikasi yang terbilang cukup payah.
"Aw, Ann! Kau terlihat sangat cute, selera yang bagus!" jerit Mina dari belakang. Annie hanya tersenyum kecil, semburat merah tampak muncul menghiasi wajahnya. Mau tak mau Mina ikut tersenyum senang, siapa sangka acara berbelanja hari ini bisa begitu baik? Sasha yang antusias dengan bikini barunya dan sudah tidak sabar untuk segera ke pantai, Annie yang selama ini terkesan cuek ternyata memiliki sense of fashion yang patut diacungi jempol lalu… Mikasa? Well, gadis itu jauh dari kata bahagia dan malah tampak tidak bersemangat.
"Ada apa dengan Mikasa?" tanya Mina penasaran. Sepengetahuannya dari tadi Mikasa tampak baik-baik saja bersama Annie.
"Jangan tanya aku, Min. Tapi kukira dia butuh saran atau bantuan, kau pergilah."
Hari yang dijanjikan pun tiba, para gadis diminta oleh Bu Hanji untuk berkumpul di kantor pada pukul delapan tepat! Bagi yang terlambat lebih dari sepuluh menit harus membawa snack berlebih untuk dibagi-bagi. Dan di sinilah keempat gadis itu sekarang, sudah siap dengan dandanan flawless mereka plus koper-koper yang terlihat berat. Mereka sedang menunggu Bu Hanji yang ternyata malah telat, sudah lewat lima belas menit dari batas toleransi keterlambatan, dan mereka sepakat akan menagih atasan eksentrik tersebut dua pan pizza. Tak lama setelah gerutuan dan beberapa umpatan keluar dari mulut mereka, sebuah mobil van datang dan berhenti tempat di depan mereka.
"Yooww! Tampaknya kalian terlalu bersemangat!" seru Hanji dari balik kaca mobil. Di bagian sopir tampak seorang pria paruh baya yang sangat tampan, berambut klimis dan memiliki alis cukup tebal serta perawakan yang bagus. Mina dan Sasha melotot, boleh jadi atasan mereka mempunyai sikap yang aneh, namun seleranya dalam memilih pria tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Bos, kau lama sekali, make up kami sudah hampir luntur karena berkeringat." Mina menimpali dengan sedikit menggerutu, tetapi mata gadis manis itu malah salah fokus kepada calon suami bosnya.
"Kau tahu, aku melewatkan sarapanku hanya agar dapat datang tepat waktu. Uh, sialan," umpat Mikasa tanpa rasa bersalah. Pria berambut pirang klimis itu hanya tersenyum sedikit kecut, berpikir bahwa calon isterinya benar-benar berada di lingkungan yang unik. Namun untungnya, Hanji bukanlah orang yang mudah tersinggung, jadi wanita berkacamata itu tidak akan ambil pusing menanggapi ocehan anak buahnya yang agak kasar.
"Tenang, Mik, sebelum berangkat kita akan mengisi perut dulu. Tapi sebelum itu, biar aku perkenalkan kalian pada calon suamiku, Erwin Smith!" seru Hanji membara. Sementara Erwin sekali lagi tak mampu berkata-kata untuk menandingi semangat yang dimiliki oleh Hanji, hanya tersenyum singkat dan mengatakan halo.
"Hai Pak Smith, Aku Mina Carolina dan kau tampak mengagumkan," ucap Mina sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Aku Sasha Braus, terima kasih sudah mengajakku pergi ke laut!"
"Senang bertemu dengan Anda, Pak Smith. Aku Annie Leonhart," ujar Annie cuek seperti biasa.
"Mikasa Ackerman, terima kasih sudah mau menjaga bos kami."
"Baiklah ladies, silakan kemasi barang kalian ke bagasi. Dan kuharap kalian menyukai fish and chips!" Erwin segera membantu para gadis mengemasi koper-koper mereka sebelum bersiap untuk memulai perjalanan mereka yang lumayan jauh. Sementara itu Hanji sudah sibuk memilah aneka camilan yang dibawa oleh anak buahnya, satu biskuit krim coklat dan keripik kentang rasa rumput laut sudah terbuka, dan siapa yang tahu apakah persediaan snack yang dibawa dapat cukup untuk membunuh waktu perjalanan mereka.
Mikasa memandangi satu per satu temannya yang terlihat senang, lantas dia beralih memandangi kopernya. Dia telah mengepak semua barangnya dengan rapi dan teliti, namun masih ada permasalahan yang mengganjal, bikini itu…
"Brengsek." Mikasa segera menutup pintu bagasi dan beranjak ke kursi penumpang untuk bergabung dengan yang lain. Suasana hatinya tidak berubah lebih baik sepanjang perjalanan.
Continued on chapter 2.
