Dendam

.

Naruto masih punya Masashi Kishimoto Sensei.

.

Story Line : Shanazawa

Naruto Uzumaki x Hinata Hyuuga

Romance, Supernatural, Tragedy

#NHDD7

.

.

.

Warning : seadanya saja. :v typo, gaje, lah yang begitu deh pokoknya. :3 .. -, aku tidak tahu apa ini sudah sesuai ketentuan atau tidak tapi ya aku hanya menulis apa yang kufikirkan. Dan lagi sulit aku akses dari browser android, terpaksa buka pake Apl TT

.

.

Naruto mengepalkan tangannya yang terasa sakit, sudah berapa hari dia terbaring seperti ini. Tubuhnya ngilu dan perih, hentakan – hentakan cambuk menyiksanya tiada ampun. walaupun dia sendiri merupakan Roh Kyuubi. Tetap saja dia merasakan sakit.

Dua hari bekakangan, Hime-sama dikirimi mantra oleh Nyonya Kaguya dan akibatnya dia menjadi lemah karena energi yang dia bagi dengan Hime-sama. Tak cukup sampai disana Narutopun disiksa dan dijadikan pelampiasan olehnya, saat itu hatinya dipenuhi dengan kegelapan. Mau melarikan diri, Naruto tak mampu. Bukannya tak mampu namun jika Naruto meninggalkan Hime-samanya, maka dia akan mencari roh lain dan mulai melampiaskan amarah yang tak kunjung reda selama 10 tahun ini.

Itu tidak baik, Hime-samanya bisa dibunuh oleh roh yang menerima kegelapan hatinya, dan sejauh ini Naruto tidak mau meninggalkan Hime-samanya. Walau hanya sebagai pelayan, walau hanya sebagai penampung kegelapan hatinya.

Suara teriakan sayup terdengar, jauh dilantai atas sana, dimana para manusia tinggal. Teriakan yang hanya bisa didengar oleh para Roh. Naruto mencoba bangun dan membuang rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya, bibirnya merapal beberapa mantra pendek yang diajarkan leluhurnya.

"Die kraft, das unsichtbare, das feur, das wasser, die luft zu bringen"

Titik titik bola api merah menyala mulai bermunculan, setiap satu darinya mengeluarkan dua benang merah jingga, Menari dan berpilin pilin membentuk ekor rubah kemudian berakhir di belakang tubuhnya. Bibirnya terus merapal hingga kegelapan disekelilingnya terkena sinar merah jingga.

"Naruto-sama" ucap samar dua suara.

Dalam keremangan, Naruto dapat melihat mereka yang tak mampu menahan kegelapan yang sedang disalurkan Hime-sama. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya sembari mengelus surai keduanya.

Mereka menggeleng sembari memeluk tubuh mereka sendiri. Buah dari apa yang mereka Manusia sebut cinta adalah mereka berdua. Jika Naruto dapat mengulang waktu kembali yang bahkan bagi mereka para roh Kyuubi mustahil, maka Naruto ingin mengulangnya.

"Papa" ucap keduanya sembari memeluk tubuh Naruto, kedua telinga menyembul dan ekor yang yang masing masing 4 dan 5 keluar dari tubuh mereka, tidak seperti Naruto yang telah mampu membiaskan telinga dan ekornya, milik mereka nampak nyata.

"Sudah berapa hari Papa tidur, Boruto?" tanya Naruto pada anak laki-laki yang menyembunyikan wajahnya dari pandangannya, jemari yang ditumbuhi kuku panjang miliknya menyentuh dagu anak laki-laki itu untuk dia lihat.

"Papa jangan lihat" ucapnya sembari terisak.

Pasti sulit baginya, bagi tubuhnya yang setengah manusia menahan rasa sakit seperti ini, darah yang mengalir terikat bersama antara darah Naruto dan Hime-sama. Kalau tak ada darah Naruto yang mengaliri tubuh mereka, maka mereka pasti sudah lama mati.

"Himawari" tanya Naruto beralih pada anak perempuan yang sama-sama menyembunyikan wajahnya dari pandangan Naruto.

"6 Hari" jawab Himawari.

Baik bagi bangsa roh maupun bangsa manusia, setengah manusia tak punya tempat, tak punya harkat, tak punya apapun. "Maafkan papa. Pasti sulit bukan?" tanya Naruto sembari berjongkok memeluk kedua tubuh itu. Karena Naruto tak ingin ada korban lain. Karena Naruto tak mau seorangpun merenggut Hime-samanya,

Dalam ritual yang berlangsung seminggu lebih, Naruto menanamkan apa yang disebut manusia sebagai sperma, pemberi kehidupan. Dia menarik energi terkecilnya dari tulang paling keras di pangkal ekornya dan menanamkannya dalam rahim Hime-sama.

Awalnya, Naruto tidak akan memusingkan apa yang akan terjadi pada calon setengah manusia yang ada dalam tubuh Hime-sama, dia hanya butuh tubuh untuk dialihkan kegelapan saat Naruto tak sadarkan diri setelah dia membagi energinya dengan Hime-sama, namun sekarang penyesalan menghinggapi hatinya. Entah mengapa, yang dikatakan leluhur para roh tentang "Roh murni tak akan merasakan simpati meski sudah menjalani ritual" ini tak berpengaruh padanya, mungkin jika saja dia hanya melakukan ritual dan meninggalkan hasilnya, dia tak akan merasakan simpati ini.

Suara teriakan dari atas sana menggema kembali, dan tubuh kecil mereka menggigil, kali ini apa yang diperbuat Nyonya Kaguya pada Hime-sama?

"Hime-sama.. sedang disiksa sekarang." Ucap Bolt, "Rasanya ada cambuk yang menghantam perutku"

Ah, lagi? "Papa akan memeriksa Hime-sama" ucap Naruto, tangannya bergerak seolah menarik apa yang mereka rasakan. Belum semua energi itu sepenurhnya berpindah, Naruto terhentak, luka memar kemerahan langsung tercipta dipipinya. Sedikit saja terlambat maka kedua anaknya yang akan menerima yang satu ini.

Wajah keduanya nampak kaget, yang mereka rasakan hanyalah rasa sakit dan ketakutan, kegetiran akan kegelapan. Tapi saat energi itu ditarik kembali, papa mereka menerima sekaligus luka milik Hime-sama.

"Aku tidak sepenuhnya membagi kegelapan milik Hime-sama pada kalian" Ucap Naruto sebelum menghilang dari hadapan mereka berdua.

oOo

Suara jeritan menggema, menyatu dengan ruang penyiksaan. "Apa yang kau lakukan pada putraku?!" teriak wanita yang meluapkan amarahnya dengan seutas cambuk. Dihadapannya, seorang gadis dengan kaki dan tangan terikat tersenyum sinis.

"Apa ya? Kau fikir apa?" tanya gadis itu sembari meludah. Dia mungkin terluka, namun rasa sakit itu cepat sekali menghilang.

"Kau berani mempermainkanku? Gadis haram?!" murkanya sembari mengayunkan cambuk miliknya.

"AAAA" teriaknya, nafasnya memburu, bukan karena sakit, bukan karena sedih tapi karena amarah yang telah dia pendam dalam hatinya selama bertahun – tahun. Tak bisa, belum cukup itulah yang dikatakan si Roh Kyuubi. Dirinya harus memupuk rasa sakit dan dendam sebanyak mungkin untuk mengalahkan roh milik wanita dihadapannya ini.

"Cih" umpatnya melempar cambuk itu sembarangan dan pergi. "Lepaskan dia, Obito" perintahnya.

"Baik, Nyonya Kaguya" jawab Obito muncul dihadapan gadis itu.

Suara pintu tertutup menggema, meninggalkan gadis itu bersama Obito, si Roh Juubi. Kegelapan dalam hatinya menari dan menggelitik, membuat tubuhnya bergairah tinggi. Nyonya Kaguya sedang bernafsu membunuh gadis dihadapannya, gadis yang lahir dari hubungan gelap sang suami. Namun, bagi Roh Juubi sendiri sulit mematikan manusia yang satu ini. Karena Roh Kyuubi yang diwariskan Tuan Besar, bukanlah pada Tuan muda Toneri melainkan pada Nona Hinata dihadapannya.

"Biarkan aku yang mengurusnya mulai dari sini" ucap Naruto muncul tepat dibelakang Obito.

"Silahkan, lagipula Nyonyaku juga tak ingin mengotori tubuhnya dengan darah anak haram" ucap Obito menyingkir dari jalan Naruto.

"Terima kasih"

"Keparat!" ucap Hinata sembari meludah, mengotori pakaian milik Roh Juubi.

"Kalau saja, Nona Muda. Anda tak diwariskan Roh Kyuubi, anda pasti sudah mati" ucapnya kemudian melirik Roh disampingnya "Apa kau merasakannya Roh Kyuubi? Setiap cambukan milik Nyonyaku?" tanya Obito. Ah rasanya begitu nikmat.

"Roh Kyuubi berbeda dengan Roh Juubi" ucap Naruto.

"Ah kau benar. Roh Juubi, merasakan nikmat dari kegelapan manusia sementara roh kaummu merasakan penderitaan dari kegelapan manusia, sayang sekali. Kau pasti ingin segera memakannya sampai tiba waktunya manusia ini mati" ucap Obito kemudian menghilang meninggalkan mereka berdua.

"Maafkan saya Hime-sama. Saya mampu sepenuhnya menghilangkan rasa sakit yang ada ditubuh anda" ucap Naruto dengan wajah menyesal. Tangannya bergerak membuka semua ikatan ditubuh Hinata.

"Maaf? Kau bilang dengan dua roh tambahan yang tercampur darahku dan darahmu, aku tidak akan merasakan sakit lagi? Pembohong!"

"Mereka hanya sebagai penggantiku saat aku tak sadarkan diri" Jawab Naruto.

Hinata menggerakan pergelangan tangannya yang terasa kebas, memang tak ada bekas luka, namun dapat Hinata lihat, luka merah menyelubungi pergelangan tangan Roh Kyuubi dihadapannya yang segera Naruto tutup kembali dengan lengan bajunya. "jangan bersedih seperti itu, harusnya kau lebih berguna lagi. Berapa lama lagi sampai aku mendapat cukup kebencian untuk merapal mantra pada Kaguya?" tanya Hinata mengelus pipi Naruto.

"2 nyawa, lagi. Hime-sama" ucap Naruto tertunduk. Tubuhnya mengigil, dengan niat saja kegelapan hati Hime-sama mulai mengerikan.

"Aku tidak senang Naruto, aku tidak senang." Rapal Hinata sembari bergelayut dileher Naruto. "Mau kah kau mengenakan ini?" tambahnya sembari memperlihatkan kalung anjing dan menarik rantainya.

"Silahkan." Jawab Naruto.

Dengan sekali gerakan tangan Hinata mengalungkan kalung itu dileher Naruto, Kaguya itu beraninya memukul tubuhnya seperti ini. Tak bisa dimaafkan. Tak harus dimaafkan. Hanya kematian yang pantas baginya "Dengar, aku butuh cambuk juga. Ayo ambilkan sembari merangkak."

"Baik, Hime-sama" jawab Naruto patuh dan mulai merangkak.

"Tunggu, tunggu. Mana ekor dan telingamu? Mana?" tanya Hinata.

"Die kraft, das unsichtbare, das feur, das wasser-" rapal Naruto, namun belum sampai mantra itu selesai terucap, wajah Naruto menghantam lantai dengan keras. Diatas kepalanya, kaki Hinata bergerak menggesek. "Kau tahu bagaimana rasanya dipandang rendah? Rasanya seperti kau saat ini. Saat kakiku ada diatas kepalamu" ucap Hinata. "Bagaimana rasanya hah? Bagaimana rasanya ada dibawah kakiku?."

"Saya hanya pelayan anda" jawab Naruto.

"Makanya kau harusnya merasakan bagaimana amarah ini terbangkitkan. Bagaimana mereka tercekat, kau ingin marah tapi kau tak bisa melakukannya." Ucap Hinata, kali ini tangannya bergerak menangkap ekor Naruto yang mulai bermunculan dan menariknya, seolah itu adalah rambut Kaguya. Wanita jalang itu, Hinata ingin menarik satu per satu rambut yang ada dikepalanya, tidak itu tidak akan terasa sakit, harus semuanya. Semua rambutnya sekaligus, hingga kulitnya robek dan tengkoraknya terlihat.

Tak bisa, Naruto meringis tanpa suara. Sekali saja dia mengatakan sakit atau bahkan hanya mengerang pelan, maka para leluhur akan mendengarnya dan menjatuhi hukuman pada Hime-samanya. Tidak bisa. Naruto harus bertahan sebanyak waktu siksaan yang dia bisa.

"Sial" umpat Hinata melepaskan Naruto, bermain dengannya sungguh tak menyenangkan. Dia tak pernah berteriak, dia hanya diam saja. Ayo Meringis atau menggeram atau bahkan marahlah pada Hinata.

"Cambukmu Hime-sama" ucap Naruto sembari menyerahkan cambuk yang dia ambil.

"Ah! Sialan! Kenapa aku merasa tidak puas seperti ini?!" teriak Hinata menepis cambuk itu, tangannya memang gatal ingin menyiksa orang yang bisa berteriak kesakitan tapi mencambuk Naruto tidaklah menyenangkan. Bukan boneka roh yang patuh dan hanya diam saja saat disiksa yang dia inginkan. "Rasanya. Rasanya. Apa kau merasakannya?"

"Iya, Hime-sama" jawab Naruto, kegelapan dalam dirinya mengalir deras, ekor Naruto sampai menari dengan liar, ah rasanya menyakitkan. Hime-sama.. lebih baik Hime-sama menyiksanya daripada memberinya kegelapan..

"Bagaimana aku menyalurkannya? Amarah ini? Rasa sakit ini?" ucap Hinata memeluk tubuhnya yang terasa tak nyaman, darahnya berdesir namun dia tak mampu menenangkannya.

oOo

Hinata hampir menguap lebar, dagunya ditopang oleh tangannya. Matanya sesekali memerhatikan setiap pengunjung bar yang mulai berdatangan.

"Siapa gadis yang sedang duduk sendiri ini?" tanya seorang pria tua sembari duduk disamping Hinata.

"Aku hanya berkunjung sebentar" jawab Hinata ramah.

"Oh kebetulan aku juga sedang berkunjung, mau menikmati malam hanya berdua?" bisiknya, mencoba menggoda Hinata.

Hinata tertawa kecil menanggapi ajakan pria tua itu. "Kau? Hmm"

"Ayolah, aku bisa bayar 6 digit jika kau mau" ucapnya sembari mengelus tangan Hinata.

"Hmm hanya 6?" ucap Hinata sembari mendorong tubuh pria tua itu menjauh. "Aku lebih dari 6 digit"

"Ish, lain kali akan aku beri lebih" tawarnya lagi.

"Dia bilang tidak, kakek tua" ucap seorang pria yang sejak tadi duduk disamping Hinata.

"Hmm, kau tahu berapa aku?" tanya Hinata dengan wajah polos, sejak tadi dia menunggu tawaran dari pria disebelahnya ini.

"Bagaimana kalau gratis?" ucapnya sembari memeluk pinggang Hinata dan meniupkan hawa panas keleher Hinata.

"Gratis?" tanya Hinata sembari bergerak merasakan geli yang menerpanya, "Tidak tuan, selalu ada bayaran untuk pekerjaanku"

"Tapi sepertinya kau menunggu penawaranku sejak tadi?" tambahnya.

"Ah, kau mengetahuinya?" tanya Hinata malu-malu.

"Gerak gerikmu sayang. Gerak gerikmu" bisiknya lagi.

Naruto berdiri tak jauh dari mereka berdua, tubuhnya merasakan getaran kegelapan, Hime-sama kurang puas dengan pria di bar ini, tapi dia ingin memuaskan rasa ketidak nyamanan yang mengaliri seluruh tubuhnya malam ini juga.

Mereka berdua mulai berjalan keluar bar sembari bermesraan, setiap kuku jari Naruto menusuk kulitnya sendiri, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya sekarang, perasaan dimana dia tak suka melihat Hime-sama menambah nyawa dengan merayu pria.

Rumah keluarga Otsutsuki terlihat dibawah sinar rembulan, rumah bangsawan yang paling mewah yang pernah ada. Kepala keluarga telah dipegang sementara oleh nyonya besar, Kaguya Otsutsuki yang akan diwariskan kepada anak laki-laki satu-satunya, Tuan muda Toneri.

Hinata yang dibawa sebagai aib, masih bisa tinggal disini karena, kepala keluarga belum diangkat secara resmi, Toneri terus-terusan sakit dan tak mampu melakukan apapun selain duduk dikursi rodanya. Perangainya tak jauh beda dari Kaguya, dan setiap saat dia bisa melakukan banyak tipu muslihat hanya untuk Hinata seorang.

Hinata mengiring pria yang ditemuinya masuk keruangannya. Ruangan yang terletak dibagian kiri dan turun kebawah tanah. Tak ada seorangpun yang melarang perangainya, tentu saja kalau mereka melihat Hinata mereka sudah mengusir Hinata sejak lama.

Ada ruang dibawah tanah ini, tempat yang hanya ayah dan dirinya saja yang tahu, penuh dengan buku dan alat siksa yang muncul beberapa tahun belakangan.

"Kenapa disini?" tanya si pria mulai mengerayangi Hinata.

"Hmm, agar tak seorangpun mendengar kita." Ucap Hinata menelusuri tubuh dibalik kemeja milik si pria. Telinganya mendengar deru nafsu yang mulai membakar si pria. ' Ya sedikit lagi, biar aku cicipi rasa cinta sesaatmu ini.'

"Ah Sa- Si-siapa dia?" teriaknya menjauhkan diri dari Hinata. Tiba-tiba saja ada sosok manusia berdiri dikegelapan di sebrang mereka.

Naruto menatap pria itu dengan ekor yang mulai bergerak berirama. Sinar matanya berubah semerah darah, langkah kakinya terdengar hingga dia berhenti ditempat yang lebih terang.

"Hime-sama, cukup sampai disini saja" ucap Naruto, awalnya Naruto merasakan kegelapan Hinata, namun ada selipan aneh yang mengalir bersama kegelapan yang tak Naruto sukai, dan dia tak ingin Hime-samanya sampai melakukan hal yang dapat merugikan dirinya seumur hidup.

"Sialan." Umpat Hinata berjalan ke arah Naruto dan menampar pipinya dengan sekuat tenaga. "Apa hakmu melarangku hah?!"

"Saya berjanji untuk menjaga anda, Hime-sama" jawab Naruto, dan itu termasuk hubungannya dengan para pria dan 'Aku jatuh hati padamu' yang hanya mampu Naruto ucapkan dalam hatinya.

"Akan aku buat kau menyesali perkataanmu setelah melarangku malam ini" ancam Hinata.

"Saya akan menerimanya, namun hal itu tak akan mengubah apapun, saya akan tetap menjaga anda dan memperingatkan anda, jika anda berniat melakukannya kembali"

"Cih, kau itu hanya Babu, brengsek!" umpat Hinata kemudian meninggalkan Roh Kyuubi yang tidak berguna dihadapannya.

"A-ada apa ini?" tanya si pria tak mengerti, "aku, aku sebaiknya pergi" tambahnya sembari berlari ke arah pintu masuk.

Hinata mengambil cambuknya, dan mulai mencambuk ke arah si pria yang berlari kearah pintu. "AAA" jeritnya membuat gendang telinga Hinata merasa nyaman.

"Siapa bilang kau boleh pergi?" ucap Hinata, "Kita bahkan belum sampai ke menu utama,dan aku sekarang benar-benar marah karena si brengsek itu" langkahnya mendekati si pria.

"To-tolong!!" teriak si pria, berharap ada yang mendengar suaranya. Tadi dia melihat beberapa pelayan diluar sana.

"Sayangnya mereka tak bisa mendengarmu" lagi Hinata mencambuk si pria yang kembali berteriak pilu.

"Ikat dia" perintah Hinata.

"Baik, Hime-sama" ucap Naruto, dengan sekali hentakan Naruto menarik pria yang sedang meringis itu dan mengikatnya di dinding yang memang sudah dipersiapkan sejak awal.

"Nah, menu pembukanya baru saja kita mulai" ucap Hinata, perampian disudut ruangan tiba-tiba saja menyala, 5 buah tongkat besi dengan ujung melebar menyerupai bentuk teratai terbakar hebat oleh api biru. Api yang diciptakan Naruto, Roh Kyuubi.

Hinata mengambil salah satunya "Ini belum panas. Belum loh" ucap Hinata "Ke-na" tambahnya sembari menempelkan besi yang baru terbakar itu, ekspresi ketakutan pria dihadapannya membuat Hinata menyeringai. "Jangan meringis dulu, inikan belum panas"

"Kumohon lepaskan aku!" pintanya,

"Tidak. Tidak mau, aku sedang marah sekarang. Sangat Marah! Padahal aku mengatakannya berulang kali, tapi kau tak juga mengerti? AKU MARAH!" teriak Hinata, seringainya menghilang dan ekspresinya menggelap "hati dan tubuhku merasakan tak nyaman, bagaimana? Bagaimana aku membuat orang lain merasakan hal yang sama denganku?"

"Kumohon…"

"Panaskan ini pelayan brengsek." Perintah Hinata mengangkat tongkat besinya.

"Baik, Hime-sama" ucap Naruto, sembari merapal, tangannya bergerak memanaskan tongkat besi. Nyala besi hitam perlahan berubah kemerahan semakin lama semakin merah membara.

"Tidak. Tidak.." pinta si pria memelas, "Tidak!!"

"Ke-na" ucap Hinata sembari menghirup bau daging terbakar menguar dari tubuh si pria, jeritan kesakitan menggema, ah rasanya begitu enak didengar, tak hanya sekali, Hinata menempelkan besi itu berkali-kali menciptakan nada teriakan yang membuat hati dan tubuhnya perlahan rileks. "Tato yang indah" tambahnya sembari memperhatikan karya tangannya yang tercipta ditubuh si pria. Darah mengalir dari setiap luka itu, meluncur turun menuju tanah.

"Tolong lepaskan aku" pintanya dengan suara lemas.

"Inikan belum selesai, hm baiklah jika kau bisa selamat setelah menu utama kita. Aku sebagai Bangsawan Negara, akan melepaskanmu."

"Be-benarkah? kau berjanji?"

"Janji. Jika kau berhasil selamat" ucap Hinata, kakinya melangkah ke arah laci disudut ruangan dan mengambil kotak persegi miliknya. "ketatkan ikatan tangannya"

"Baik. Hime-sama" ucap Naruto, tangannya menarik tali yang mengikat kedua tangan si pria malang ini diselingi dengan jeritan kesakitan dari bibirnya.

"Menu utamanya adalah aku membunuhmu," ucap Hinata sembari menyentuh kulit leher si pria dan decapan lolos dari bibir Hinata begitu saja "jangan, jangan lihat aku seperti itu"

"Tidak, kumohon, tolong lepaskan aku."

"Kau harusnya tahu, aku mengatakan itu ratusan tidak ribuan kali. Memohon. Memelas. Tapi, jawabannya tidak. Slalu saja tidak. Jadi jawabku malam ini adalah tidak."

CROK!

"AAAARGH! MATAKU! MATAKU!"

"Dan jangan tatap aku dengan mata busukmu itu" tambah Hinata, darah mengalir menuruni pisau Hinata dan mengotori tangannya,

"Aku suka saat ternoda darah seperti ini, aku bukan Nyonya Besar yang slalu menggunakan kaos tangan dan menodai tangan pelayannya untuk hal sekecil ini"

"Mataku.. mataku.."

"Kau berani mengabaikan aku?!" teriak Hinata. "Kau-tidak –boleh-mengabaikan-aku" tambah Hinata sembari menhujamkan pisaunya berkali-kali ditempat yang sama, dimata yang sama milik si pria.

"ARGH!!! AA-AA"

"Hime-sama" panggil Naruto, tidak dia harus dihentikan. Harus dihentikan.

"Diam kau pelayan brengsek! Kau tidak lihat, dia sudah mengabaikan aku?!" teriak Hinata disusul tawa hambar dari bibirnya.

"Hime-sama!"

"AH! URUSAI! URUSAI! URUSAI!" rapal Hinata. Ayunan pisaunya semakin menjadi, teriakan si pria tak menghentikannya barang sedetik pun.

"Erholen" rapal Naruto, tongkat besi yang telah membara dalam perapian, melayang layang. Tangan berkukunya mengarahkan semua tongkat besi itu ke arah si pria. Kepala. Tangan kanan. Tangan kiri. Kaki Kiri. Kaki Kanan.

CROK! Seketika jeritan kesakitan itu terhenti, darah segar mengalir dari dahinya, melewati mata yang dengan jelas melihat dan ketakutan pada Roh Kyuubi yang merapal mantra untuknya, untuk kematiannya.

"KAU- BERANINYA KAU?!!"

Himawari mendekatkan dirinya pada sang kakak, tangannya bergerak menutup kuping rubahnya, meski tak mendengar suara papa diatas sana, tapi mereka merasakan kemarahan Hime-sama dalam diri mereka.

"Kakak" ucap Himawari.

"GRR- tahanlah sebentar lagi Hima." Ucap Boruto memeluk bahu Himawari, dirinya sendiri berada antara sadar dan tidak sadar. Taringnya mencuat semakin panjang dan matanya berubah kemerahan. "Hanya sebentar lagi."

oOo

Rapalan mantra sayup terdengar dari kamar Nyonya Kaguya, konstan dan tak putus putus."Der todliche fluch der blutblume"

Hinata menarik nafasnya yang terasa berat, sesekali bibirnya meringis dan merintih diatas tempat tidur. Hari ini Nyonya Kaguya mengirim mantra lagi.

"Der todliche fluch der blutblume"

"Naruto.." lirih Hinata.

"Ya, Hime-sama" ucap Naruto patuh, kakinya melangkah mendekati Hinata, sungguh kasihan. Kali ini serangannya lebih kuat dan intens dari serangan sebelumnya, sekali lagi Nyonya Kaguya mengirim mantra, Hime-sama akan kehilangan nyawanya.

Tubuh Naruto merunduk untuk mencium bibir Hime-sama, dengan begitu, Naruto dapat menyalurkan energinya untuk mengurangi rasa sakit dari serangan mantra Roh Juubi. Dia mampu melakukan ini karena darah mereka tercampur dalam diri Boruto dan Himawari. Tubuh Naruto segera mundur, nafas Hinata kembali teratur dan ringan. Sayangnya, pemberian energi ini tidak berlangsung lama, semakin intens serangannya maka Naruto semakin sering membagi energinya, namun efeknya Naruto akan kehilangan kekuatannya perlahan-lahan. Ya dan efek mantra yang dikirim sebelumnya membuat Naruto tak sadarkan diri selama 6 hari.

"Hime-sama" panggil Boruto dan Himawari.

Naruto menoleh kearah keduanya, kapan mereka menyelinap ke atas sini? "Bagaimana keadaan Hime-sama, papa?" tanya Himawari.

Naruto tertunduk, merasa malu pada dirinya sendiri. Diruangan para manusia yang terang benderang, dia dapat melihat keduannya dengan jelas. Tubuh mereka kotor. Baju yang lusuh. Ekor dan telinga yang belum mampu mereka sembunyikan.

Tanpa menunggu larangan dari Naruto mereka segera mendekati Hime-sama dan mengenggam tangannya, berharap mereka dapat memberikan energi seperti yang Naruto lakukan, mereka juga kesakitan, jadi Hime-sama harus kuat dan sembuh.

"Papa?" tanya Himawari sekali lagi.

"Ugh" Naruto menahan erangannya dengan kedua tangannya, kekuatannya hampir habis, dan mantra kiriman Nyonya Kaguya ini belum juga selesai dirapalkan.

"Kenapa, Papa tidak menyerang mereka? Kenapa papa diam saja? Hime-sama. Hime-sama sangat menderita" ucap Boruto.

Naruto menggeleng pelan, "Heilen und erholen" rapalnya, setidaknya dia masih bisa bertahan 1-2 jam lagi. "Papa juga ingin melakukannya, tapi ketika seseorang mengirim mantra pada tuan kita, para roh tidak bisa melakukan apapun. Sesama roh tak diizinkan untuk bertarung satu sama lain, seberapapun bencinya kita pada tuan mereka."

"Lalu apa yang akan dilakukan Hime-sama?" tanya Himawari, rasanya, mantra-mantra itu melilit tubuhnya seperti sulur berduri, menghimpit sekaligus menusuknya.

"Satu nyawa lagi, maka Hime-sama dapat merapal mantra pada Nyonya Kaguya." Jawab Naruto.

"Apa itu akan membunuhnya? Apa kita akan segera terbebas dari kegelapan yang Hime-sama alirkan pada kita?" tanya Boruto.

Apa ini akan membunuhnya? Naruto tak bisa menjawabnya, sebenarnya bisa saja Hime-sama menyerang Nyonya Kaguya selama bertahun-tahun ini, namun Hime-sama ingin langsung menyerangnya dengan kekuatan besar sekaligus, Naruto sudah mengatakannya, bisa saja mantra yang akan dia kirimkan tak membunuh Nyonya Kaguya.

"Sakit" rintih Hinata. "Naruto-" panggilnya.

Himawari dan Boruto segera menjauh dari tubuh Hinata, tersentak kaget sekaligus takut. Hime-sama mungkin saja tidak senang mereka sentuh.

"Harusnya masih tersisa lama?" ucap Naruto mendekati tubuh Hinata, kalau seperti ini kekuatannya hanya cukup kurang dari satu jam saja. "Ya, Hime-sama aku ada disini"

"Cepat, sakit!" perintah Hinata tak sabar, rasanya sesak dan sakit.

Naruto segera mendekati Hinata namun Hinata bangun dan tangannya segera menyambar baju pelayan Naruto. Menempelkan bibirnya dan bibir Naruto secara kasar. Menghisap energi Naruto secara paksa.

'Tidak Hime-sama, kalau seperti ini, kekuatanku tidak akan cukup' batin Naruto, tangannya sudah menahan bahu Hime-sama, namun bukannya mendorong tubuh Hime-sama menjauh, Naruto malah membiarkannya menguras kekuatannya. Mantra kirimannya sudah hampir selesai, suara Roh Juubi semakin pelan terdengar.

"Haah" suara itu keluar setelah Hinata tak lagi merasakan sakit dalam tubuhnya, dia segera menjauh dari Naruto.

Naruto sendiri terengah engah dan segera berdiri. Sedikit saja lebih lama, Naruto akan pingsan dihadapan Hime-sama. "Heilen und erholen." Rapal Naruto.

"Sialan!" rutuk Hinata, dia tahu setiap kali Nyonya Kaguya mengirim mantra, serangannya semakin lama dan semakin menyakitkan.

"Hime-sama, anda baik-baik saja?" tanya Himawari mendekat namun Boruto segera menahan tangannya dan membawanya untuk bersembunyi dibelakang Naruto.

"Ta-tapi?!" protes Himawari, mereka biasanya ada disini ketika Hime-sama tak sadarkan diri setelah dikirimi mantra. Membersihkan tubuhnya dan mendoakannya.

"Apa kau tidak lihat, Hime-sama sedang sadar sekarang?" bisik Boruto, genggamannya mengerat, "kalau Hime-sama sampai menghukum Papa karena membawa kita, bagaimana?"

Tangan Himawari bergerak menutup mulutnya yang bersiap terisak, tidak mungkin. Dengan takut-takut mereka menatap Hime-sama yang masih mengumpat.

Telinga Hinata tidak tuli, dia jelas mendengar suara anak kecil dan segera melihat ada dua makhluk yang sedang berusaha sembunyi. Dua ekor roh kyuubi menatapnya takut. "Siapa mereka?" tanya Hinata pada Naruto yang sibuk merapal mantra penyembuh untuk mereka berdua.

"Mereka pelayan yang membantuku dibawah sana" jawab Naruto merasakan eratnya tarikan tangan Boruto dan Himawari di celananya.

"Lusuh!" komentar Hinata dengan nada jijik, dan mereka juga kotor.

"Ma-maafkan kami Hime-sama. Kami fikir datang kemari akan membantu Naruto-sama. Tolong jangan hukum Naruto sama" ucap keduanya hampir bersamaan. Mereka berlatih bertahun-tahun dimulai saat mereka tersadar dan membuka mata, dihadapan mereka berdiri tepat Roh Kyuubi yang menciptakan mereka. Mereka selalu ingat kalau dihadapan siapapun, mereka hanya pelayan Naruto-sama dan Hime-sama. Walau Naruto sama membiarkan mereka memanggilnya papa.

"Kenapa minta maaf?" tanya Hinata bingung, tangannya melambai memanggil keduanya. "Kemarilah jangan takut, aku tidak akan memakan kalian"

Masih dengan takut-takut dan sesekali melihat Naruto mereka melangkah mendekati Hime-sama yang masih duduk dikasurnya. "Hi-hime-sama"

"Duh lihat penampilan kalian berdua." Omel Hinata sembari mencolek pipi keduanya, benar-benar kotor. "Naruto siapkan air hangat dan belilah pakaian seukuran tubuh mereka" tambahnya.

"Baik, Hime-sama" jawab Naruto, bibirnya tersenyum tipis, setidaknya masih ada rasa kemanusiaan dalam diri Hime-sama yang dulu. Gadis yang kebingungan mendapati pintu yang 4 kali besarnya pintu rumahnya sendiri, tak tahu adab di meja makan, berceloteh bersama para pelayan dan membuat mereka kerepotan. Melarang para pelayannya memanggil dirinya dengan akhiran sama. Gadis polos yang mampu membuatnya jatuh hati.

Andai saja, namun Naruto tak dapat mengulang kembali waktu, semua karena salah dirinya yang membiarkan semua tragedi ini terjadi. Kepolosan yang dulu membuat siapapun terpikat dan terkagum-kagum, berubah menjadi kekejaman penuh dendam yang tak berkesudahan.

oOo

Kaguya tersentak dengan rasa sakit yang tiba-tiba menyelubunginya. "Obito! Obito!" panggilnya.

"Ya, Nyonya" jawab Obito muncul tak jauh dari tempat tidur milik Kaguya.

"Ada apa dengan tubuhku ini?!" tanyanya sembari meringis, sakit. Sakit.

"Seseorang sedang mengirimi anda mantra, Nyonya" jawab Obito.

"A-La-lakukan sesuatu, rasanya sangat sakit." Perintah Kaguya.

"Saya tidak bisa melakukannya, bukankah sudah saya katakan sebelumnya, Saya bisa mengirim mantra orang lain, namun tidak bisa melakukan apapun ketika Nyonya dikirimi mantra oleh roh lain."

"Sakit. Sakit. Obito." Teriak Kaguya mulai menggeliat diatas tempat tidurnya. "Sakit."

"Mantranya tidak akan mematikan anda, Nyonya. Anda berada ditingkatan yang lebih tinggi dibandingkan-" kata-kata Obito terhenti dan langsung melihat pintu yang perlahan terbuka.

"Der Fluch der Lavendernacht" rapalan mantra itu bukan dirapalkan oleh Naruto, Roh Kyuubi.

"Bagaimana bisa? Jangan-jangan- menjijikan." Ucap Obito melihat ke arah Naruto.

"Yah memang pengorbanan yang sangat besar" ucap Hinata menghentikan rapalan mantranya, "Demi hari ini, aku mengorbankan semua yang aku punya. Asalkan bisa membunuh kalian berdua, tak masalah tanganku ternoda darah"

"Toneri?!!" Kaguya segera bangun dan menatap Hinata dengan pandangan membunuh, "Apa yang kau lakukan pada putraku?!"

"Tidak ada" ucap Hinata sembari memperlihatkan tangannya yang bersih. "Tak perlu mantra ataupun tanganku untuk membunuh laki-laki arogan itu, aku hanya perlu membuka kunci di salah satu pintu rumah ini dan membiarkan para tamu yang ingin berkunjung masuk dan melakukan tugasnya."

"Toneri, putraku… akan aku cambuk tubuhmu itu!! Akan aku potong potong dan aku berikan pada anjing liar!!"

"Kalau kau bisa, Der Fluch der Lavendernacht" rapal Hinata, dan Kaguya mulai berteriak kesakitan. "Aku berdiam diri bukan tanpa alasan, aku mencari dan memperdalam ilmuku setiap saat, bagaimana caranya untuk membunuh dirimu, sedikit demi sedikit akhirnya aku bisa mendekatimu seperti ini."

Naruto memejamkan matanya, tak disangka Hime-sama menjadikan Toneri sebagai korban terakhirnya. Saat Naruto bersiap merapal mantra, Hinata melarangnya. "Bukan tanpa alasan aku tak merapal mantra selama ini. Akan aku lakukan sendiri, aku sudah memenuhi semua syarat untuk merapal mantra sendiri bukan?"

Dan saat itulah Naruto tersadar, bahwa selama ini Hime-sama rela melakukan ritual dan membunuh sendiri korbannya hanya untuk bisa membunuh Kaguya dengan tangannya sendiri. "Darimana anda mengetahui semua itu, Hime-sama?"

Dan jawaban yang diterima Naruto hanya "Aku hanya pura-pura bodoh"

Jeritan Kaguya terdengar kembali. "Bagaimana rasanya? Kau bisa rasakan sakitnya cambuk yang kau ayunkan padaku?" tanya Hinata sembari mendekati Kaguya.

"Sakit!!" Kaguya bahkan tak mampu mengendalikan dirinya, rasanya dia lebih baik mati daripada menderita seperti ini.

"Der Fluch der Lavendernacht" rapal Hinata semakin cepat. Mulut Kaguya terbuka, tak mampu lagi bersuara. Kesakitan yang teramat sangat. Hinata merangkak naik keatas tubuh Kaguya dan duduk "Sentuhan terakhir ini, akan membuatmu langsung masuk neraka!" teriak Hinata, ditangannya tergenggam sebuah pisau. "Kau ingat pisau ini, pisau yang telah membunuh IBUKU! KELUARGAKU! AYAH ANGKATKU! Susah payah aku mencarinya hari ini dengan benda yang kau gunakan untuk membunuh keluargaku, aku akan membunuhmu."

"Tidak. Tidak"

"Der Fluch der Lavendernacht" rapal Hinata sembari menghujamkan pisau ditamgannya ke tubuh Kaguya. Berkali kali. Berkali-kali. Hujaman yang dipenuhi rasa dendam dan amarah yang Hinata tahan selama bertahun-tahun.

"Sepertinya, sudah waktunya" ucap Obito, "Selamat makan" tambahnya sembari mendekati tubuh Kaguya dan menghilang.

"Mati. Mati. Mati. Mati. Mati!" rutuk Hinata, cairan darah terciprat keseluruh pakaian dan wajahnya. "Mati! Mati!!!!"

"Hime-sama, dia sudah mati!" ucap Naruto.

"Mati!" tangan Hinata berhenti bergerak, bahunya bergetar, suara tawa keluar dari bibirnya. Bukan tawa kepuasan. Hanya tawa, tawa yang tak mengambarkan apapun.

"Hime-sama"

"Lalu setelah dia mati, apa yang harus kulakukan? Apa? Kenapa aku membunuhnya? Kenapa hatiku masih merasa tak terima dia mati?!"

"Hime-sama, sebuah dendam tak akan pernah memuaskan keinginan manusia."

"Lalu bagaimana aku menghilangkan dendam ini?! Bagaimana?! Katakan Roh Kyuubi?!"

"Mulailah hidup dengan lembaran kosong, lupakan semua ini, lupakan semua dendam anda dan tahun-tahun penyiksaaan anda"

"Tidak" tolak Hinata, setelah Kaguya mati, dia ingat semua manusia yang dia bunuh, bagaimana dia menikmati caranya menyiksa mereka. "Berapa, Berapa banyak nyawa yang aku korbankan?!"

"Hime-sama"

"Katakan berapa?!"

"50."

Hinata kembali tertawa, 50 nyawa dan semuanya hanya demi membunuh wanita ini?! Apa yang telah Hinata lakukan? Apa yang Hinata lakukan?! Kepuasan dalam dirinya belum berakhir. Dendamnya masih membara."Bunuh."

"Ya, Hime-sama?"

"Bunuh aku"

"Hime-sama"

"Aku tidak pantas hidup, bunuh aku, Naruto, hentikan dendam yang masih membara dalam hatiku"

"Tidak, Hime-sama itu tida-"

"Tote mich, tote Lavendelnacht-"

Mata Naruto melebar, lagi Hime-sama memberinya kejutan. Mantra itu, "Hime-sama jangan! Jangan rapalkan mantra itu!" cegah Naruto namun bibir Hinata bergetar dan masih bergerak.

"-O Diener der Finsternis"

Api jingga kemerahan melahap tubuh Naruto, tanpa dia rapalkan mantra, ekor dan telinganya mulai terlihat. Matanya perlahan berubah merah, dan taringnya mencuat. "Hime-sama" lirih Naruto sembari mengeluarkan air mata dan menggeleng pelan.

Hinata hanya membalasnya dengan senyuman kecil ketakutan. Namun dia tak mampu menarik kata-katanya kembali. Tak mampu berjalan di atas bumi dengan dosa yang telah dia perbuat.

Ekor Naruto bergerak meraih dan mengangkat tubuh Hinata menjauhi bumi. Salah satu ekornya bersiap tepat didepan jantungnya. "Nach Deinem Befehl" jawab Naruto akhirnya.

Cras!!

"Hime-sama" Naruto kembali melantunkan panggilan untuk Tuannya, ekornya bergerak membawa tubuh itu mendekati Naruto. "Oh, Hime-sama…" perlahan matanya kembali normal. Kematian yang sama seperti Tuan besar, yang memilih mati daripada membunuh Kaguya yang dia tahu telah membunuh ibu kandung dari Hime-sama.

"Jangan.. tangisi manusia penuh dosa sepertiku" ucap Hinata terbata.

"Darimana anda tahu mantra itu?" tanya Naruto sembari membersihkan darah yang menempel di wajah Hime-sama, namun darah dari hidung dan mulutnya tak mau berhenti mengalir.

"Aku melihat ayah disaat terakhirnya, dia memilih mati daripada membiarkan dirinya termakan dendam bukan?"

"Ya, Hime-sama. Maafkan aku yang tak mampu membawamu ke jalan kebaikan, saya fikir anda akan mampu memutuskan dendam yang ada dihati anda."

"Kau harusnya lebih tahu ini, bahwasannya manusia itu sebenarnya makhluk yang bodoh"

"Hime-sama.."

"Jangan sedih seperti itu, bukankah kau yang bilang sendiri, bahwa takdir manusia selalu berulang, ketika itu terjadi, kau harus pastikan aku tidak menjalani takdir yang sama."

"Hime-sama. Ada yang harus kuberi tahu, pelayan yang waktu itu…"

"Aku tahu.. sudah kukatakan manusia itu sebenarnya makluk yang bodoh. Jagalah mereka, karena tak akan ada lagi yang menyayangi mereka selain dirimu."

"Ya, Hime-sama"

Tragedi yang sama terulang, tragedi yang tak bisa Naruto cegah. Baik itu pada Tuan Besar ataupun Hime-samanya. Ketika takdir terulang kembali, Naruto akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk membawa Hime-sama kejalan kebaikan.

Epilog

"Papa, lihat. Papa lihat itu Hime-sama." Seru Himawari, tangannya menunjuk keluar jendela, tepat ke arah gadis yang sedang berjalan paling belakang.

"Benarkah itu Hime-sama?" tanya Boruto, ikut melihat keluar jendela.

"Kali ini, Hime-sama akan bersama kita selamanya" ucap Naruto mengelus surai Himawari dan Boruto yang sudah setinggi dadanya, 200 tahun telah berlalu. Walau jaman telah berubah, walau manusia telah semakin maju, Naruto terus menanti dirumah ini, rumah yang berulang kali dibangun dan dihancurkan. Yang dia jaga dengan selubung mantranya, tipu muslihatnya agar tetap seperti ini. "Akhirnya"

Gadis bersurai gelap sebahu itu menatap ke arah jendela atas rumah yang baru dibeli ibu tirinya ini, sekilas tadi dia melihat 3 bayangan berdiri disana. Wajahnya nampak khawatir, tetangga terdekat berjarak 1 km dari rumah ini, tangannya meremas lengan bajunya sendiri, bisakah dia bertahan?. Kembali dia menatap rumah dihadapannya, walaupun nampak tua, tapi taman dan bangunannya masih terawat.

"Hinata. Sampai kapan kau akan berdiri disana" teriak suara perempuan dari dalam rumah.

"Maaf," teriak gadis itu segera berlari masuk.

-End-