Title: EYES NOSE LIPS
Pairing: Wu Yi Fan/Huang Zi Tao
Genre: thriller, angst, tragedy
Warning: possessive!obsessive!Yifan, character death
Summary: "Siapa yang butuh mata kalau kau sudah memiliku, Zitao?"
Yifan tidak pernah membayangkan pertemuan keduanya dengan pemuda yang hanya beberapa hari lalu ia tiduri itu akan terjadi disini. Well, bukan persis kedua. Jangan hitung hari dimana ia pertama kali disihir oleh pemuda berparas ayu dengan tungkai langsing dan senyum secerah sinar matahari yang duduk di hadapannya kini. Juga hari ia mengamati (memata-matai?) kesehariannya yang banyak dihabiskan dengan mempertontonkan tubuh lencirnya, dan hari berikutnya, dan hari berikutnya.
Yifan adalah seorang pebisnis. Tentu ia sibuk. Ia telah menyisihkan waktu demi menemuinya di sela-sela jadwalnya yang padat. Namun lagi-lagi ia keduluan oleh sang ayah yang dengan khusus minta didampingi ke pertemuan formal ini. Kau harus hadir, Yifan, bagaimana mungkin kau tidak hadir? Pintanya.
Ia terpaksa menyimpan imajinasi liarnya tentang pertemuan kedua mereka setelah resmi berkencan. Zitao akan diajaknya ke restoran mewah, menraktirnya anggur terenak dan membawanya ke apartemen untuk mengulangi momen terindah dan panas beberapa hari lalu.
Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu pacarnya itu disini. Duduk berseberangan dengan dirinya. Mengenakan kemeja dan dasi. Rambut disisir ke belakang memperlihatkan dahi yang ingin sekali ia kecup. Amat berbeda dengan penampilan sehari-harinya yang 75% kulit dan sisanya sandang saja.
Ia TIDAK pernah membayangkan akan bertemu pacarnya itu disini. DISINI, di meja reservasi restoran mewah langganan ayahnya—restoran sama yang akan ia gunakan untuk menraktir Zitao anggur sampai mabuk—bersama yang ia duga adalah ibunya.
Memasang wajah sama bingung dengan dirinya, Zitao hanya mengangguk ketika ayahnya bertanya apa ia keberatan kalau mereka memesan steak salmon. Yifan ingin berteriak: Tidak, Zitao tidak suka itu, ia suka steak daging sapi sirloin terbaik dengan saus jamur ekstra pedas dengan kentang buncis dan wortel mentah. Ia ingin berteriak bahwa ya, ia sudah mengenal Zitao sebelumnya. Ia ingin meneriakkan itu semua tapi tidak tahu bagaimana caranya tanpa harus dicurigai dan tidak sengaja mengungkap bahwa sepertinya ia telah tidur dengan calon saudara tirinya.
.
Yifan mulai frustasi. Sejak acara makan malam itu, Zitao sulit dihubungi. Pacarnya juga tidak ada di gym tempatnya bekerja. Satu-satunya kesempatan untuk bicara dengan Zitao hanyalah sabtu ini. Ayahnya sudah gembar-gembor akan mengajak dirinya dan calon keluarga barunya—Yifan mengernyit mendengar kata 'keluarga'—ke desainer langganan keluarga Wu untuk pengukuran seragam pernikahan. Yifan mual mendengar kata yang satu ini.
Maka disinilah ia, duduk manis dan sesekali melempar senyum ke arah calon ibu tirinya karena meski ia membenci ide ini setengah mati, ia tidak mau terlihat seperti orang kurang ajar di hadapan ibu kekasihnya. Meneguk minuman dingin yang sudah disediakan, matanya mengikuti pergerakan lincah Zitao yang memberi saran disana sini tentang bakal gaun yang akan dikenakan ibunya nanti. Seolah dirinya yang akan berdiri di altar. Seolah dirinya yang akan disumpah sehidup semati. Seolah dirinya tidak membenci pernikahan ini.
"Aku mau ke toilet sebentar."
Yifan mendengar Zitao diantara diskusi seru yang sama sekali tidak menarik baginya itu. Tanpa melirik dirinya yang duduk persis di dekat pintu, Zitao berjalan begitu saja melewatinya. Tak ada tanda-tanda bahwa ia mengenalinya. Pun tanda-tanda bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Bertingkah seperti orang asing seolah Yifan tidak pernah menyentuh bagian terintimnya.
Menyelinap keluar mengikuti Zitao, ia menarik tangan kekasihnya dan menyeretnya ke ruangan terdekat. Zitao mengerang kaget ketika berjumpa dengan si penyerang yang tak lain adalah calon kakak tirinya. Tidak diberi kesempatan protes karena yang berikutnya menyapa adalah bibir plum yang amat ia kenal.
Ditekan ke dinding dan dicium sampai tak bisa bernapas, Zitao hanya bisa meraup bagian depan baju Yifan dan mendorongnya lemah."Aku merindukanmu," desah Yifan disela-sela usahanya merusak bibir Zitao. Kekasihnya menggeliat di pelukan. Yifan membelai kedua sisinya agar ia rileks. "Tidak apa-apa, Tidak apa-apa. Kau tidak perlu berpura-pura lagi setelah ini," Tangannya membelit pinggang Zitao dan menariknya semakin erat dada-ke-dada. Masih menciuminya.
"Tidak, dengarkan aku —"
"Kita akan menggagalkan pernikahan ini, tenang saja."
Kedua mata Zitao membulat dan ia mendorong Yifan sekuat tenaga. Bibir merah dan napas memburu. Zitao melindungi diri dengan merangkul sisi tubuhnya. Menunduk memandang sepatu bootsnya yang bertali banyak. Tingkah laku ini hanya bermakna satu bagi Yifan.
"Kita akan menggagalkan pernikahan ini," suaranya tidak seyakin sebelumnya."Ya, Kan, Zitao?"
Menghela nafas panjang, Zitao akhirnya mengangkat wajah dan menatapnya. Memikul beban tak terlihat di pundak yang membuat wajahnya tampak menderita. "Jadi kau gagal menangkap pesanku."
Yifan mengernyit tak paham, "Apa?"
"Hubungan kita harus berakhir, Yifan. Bukankah sikapku sudah jelas?"
Yifan terbahak seperti orang gila mendengar ini."Aku harap kau punya alasan bagus." Ia menyilangkan lengan di dada dan menunggu jawaban. Bibirnya mengatup membentuk garis lurus, tahu benar apa yang akan keluar dari mulut—mantan kekasihnya ini. "Aku tidak menerima alasan bodoh, Zitao."
"Well, maaf, kalau menurutmu pernikahan ini bodoh tapi inilah yang paling ibuku inginkan saat ini dan aku akan mendukungnya penuh," Tegas Zitao.
Yifan dibuat tercengang mendengar pernyataan itu. Tubuhnya limbung. Menggeleng kencang, tawa getir keluar dari bibirnya yang pucat. Ia tidak bisa menerima ini. Ini terlalu sepihak dan tanpa peringatan."Meskipun harus berpisah denganku?" matanya memanas tanpa bisa ia tahan.
"Meskipun harus berpisah denganmu, Ya."
Tanpa berkata lagi, Zitao meninggalkan ruangan yang baru Yifan sadari adalah semacam ruang penyimpanan gaun pengantin. Jumlahnya tak terhitung. Putih bersih dan hiasan permatanya berkelap kelip seolah mengejeknya.
.
Pernikahan tak terelakkan itu akhirnya terjadi. Yifan ingin kabur alih-alih disini dan dicekik dengan dasi kupu-kupu serta atmosfer yang meneriakkan kebahagiaan dari segala penjuru.
Yifan berkali-kali berpapasan dengan Zitao. Di koridor, dapur, paling sering di kebun. Membantu pelayan menyiapkan gelas-gelas berkaki tinggi dan menata kue pengantin di dekat altar. Bekerja keras sambil berhati-hati menjaga setelan jas putihnya dari kotor dan debu. Dirinya harus tampil sempurna.
Oh, Zitao, dirimu adalah kesempurnaan itu sendiri. Yifan termangu menyaksikan Zitao menuntun Ibunya—Ia harus belajar menghafal namanya—menuju altar dimana ayahnya telah menunggu. Berseri-seri. Yifan berpikir apakah wajah ayahnya sebahagia itu ketika menikahi ibunya dulu?
Mengenakan setelan jas putih serupa yang ia kenakan. Rambut hitamnya licin. Helai yang menutupi dahi dibuka menyamping. He's absolutely gorgeous. Akan lebih sempurna apabila dirinya yang menunggu di altar. Alih-alih ayahnya dan ibunya. Hanya ia dan Zitao dan dunia.
Namun itu bukan dirinya. Bukan dirinya yang sekarang mengikrar janji di hadapan pastor dan tamu. Juga bukan mereka yang kini berciuman dan disambut tepukan riuh serta selamat bertubi-tubi.
Air mata bahagia dan lega membanjiri wajah elok Zitao. Berpelukan erat dengan ibunya membisikkan kata selamat. Selesai sudah tugas Zitao mengantar ibunya menjadi seorang wanita yang utuh lagi.
Mereka lupa disini ada yang menangis.
.
Pesta belum juga usai dan Yifan rasanya sudah muak dengan semua ini. Zitao digilir untuk berdansa dengan para tamu yang terpesona olehnya. Sebagian besar adalah teman ayah atau ibu mereka. Yifan menyesap sampanye demi sampanye. Matanya awas, mengikuti mantan kekasihnya sepanjang pesta seperti predator.
"Itu sangat menyenangkan! Kau pandai menari, Nak," Yifan melihat Zitao dan pasangan dansanya—seorang wanita paruh baya bergaun jingga—turun dari lantai dansa untuk mengambil minum dan bergabung dengan mejanya.
"Anda terlalu memuji, Nyonya," balas Zitao tersipu malu. Yifan pasti sudah mendengus terlalu keras daripada yang ia rencanakan karena semua orang di meja itu kemudian menatapnya.
Uh-oh.
"Dan siapa pria tampan ini?" wanita bergaun jingga tadi berseri-seri menatapnya. Yifan harus berterima kasih padanya nanti.
"Itu putraku. Yifan." sambar ayahnya cepat. Suasana kembali mencair dengan sendirinya.
"Tidak mungkin! Kalau tahu kau punya anak setampan ini, sudah lama kukenalkan putriku dengannya," Zitao mengikik dibalik gelasnya. Yifan mengangkat alis. "Tunggu, kau belum menikah, kan?"
"Aku masih lajang," jawabnya, mendengus. Oh ya, ia lupa bilang bahwa dirinya gay.
"Ah, sulit dipercaya untuk pria sepertimu. Pacar?" kejar wanita itu bersemangat.
"Baru saja putus," jawabnya ketus. Semua penghuni meja itu ber-aaaawww simpatik mendengarnya sementara Zitao tersedak kue yang sedang ia kunyah. Yifan memandang lurus kearahnya. Menantangnya untuk berkomentar.
"Ck, beraninya kau menikah sementara anakmu sedang patah hati," wanita itu mendelik kearah ayahnya, bercanda tentunya. Semua ikut terbahak.
"Kalau aku harus menunggunya, entah kapan aku bisa menikah lagi,"ayahnya membela diri. Ibu tirinya berusaha menyudahi tawa tamunya melihat wajah Yifan yang semakin masam.
"Bagaimana dengan Zitao?" wanita itu mengalihkan perhatiannya pada yang termuda, lumayan untuk hiburan. Semua mata tertuju pada Zitao yang salah tingkah. Apa yang harus ia katakan ketika Yifan memandanginya seperti itu?
"Bukankah kau pernah bilang sudah punya pacar, Sayang?" bantu ibunya, ia merangkul putra tersayangnya. Zitao menelan ludah. Ya, dia memang pernah bercerita pada ibunya beberapa bulan yang lalu ketika seseorang menyatakan cinta padanya. Betapa bahagianya ia dicintai oleh pria yang sangat tampan, baik dan perhatian dan ia berjanji akan mengenalkannya pada sang ibu. Diam-diam ia sangat bersyukur tidak pernah menunjukkan foto seseorang itu padanya. Dan bagaimana caranya mengatakan bahwa seseorang itu sekarang sudah menjadi kakak tirinya?
Zitao mulai berkeringat dibawah tekanan dan balas menatap Yifan seolah meminta bantuan. Yifan sendiri menanti jawaban apa yang kiranya keluar dari mulut mantannya ini. Akan sangat aneh kalau ia dan kakak tirinya patah hati di saat bersamaan, bukan? "Kami masih bersama," lontarnya asal setelah beberapa saat."Maaf dia tidak bisa hadir disini, dia sangat sibuk," dustanya. Yifan berpaling dan melengos. Smooth.
"Tapi kau tidak boleh mendahului kakakmu, Zitao. Yang tertua tetap harus menikah lebih dulu," nasehat sang ayah.
"T-Tentu saja, Ayah. Dia bisa menikah duluan, sekarang kalau perlu. Aku tidak keberatan," Zitao tersenyum dan mereka kembali terbahak berhasil mengolok-olok si jomblo di meja itu. Ibu tirinya tidak begitu menyukai ini meskipun ia ikut senang kisah cinta putranya berjalan lancar.
Senyum Zitao memudar ketika Yifan diam-diam beranjak dari kursi dan meninggalkan meja. Tak ada yang memperhatikan kepergiannya, sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang kembali berdansa dan mengobrol. Tapi Zitao memperhatikannya, juga wajahnya yang terluka.
.
Yifan terseok-seok berjalan tak tentu arah di sekitar rumahnya yang luas. Ia harus menemukan kunci mobilnya dan segera hengkang dari sini. Ia tidak mau kembali ke kamarnya dan terbangun tengah malam mendengar aktivitas ayah dan pasangan barunya di kamar pengantin. Ia tidak begitu mabuk tapi mengapa kepalanya sakit sekali? Ataukah itu hatinya?
Wajah Zitao kembali melintas. Bagaimana mungkin malaikat kecil yang ia cintai berubah menjadi iblis mengerikan? Hanya Zitao yang sanggup mengakhiri hubungan secara sepihak kemudian menertawakan lukanya. Dirinya. Hanya Zitao yang sanggup sekejam itu.
Yifan kehausan dan kebetulan melihat air. Berjalan lurus, Ia merasa mendengar suara Zitao memanggilnya sebelum ia tergelincir dan tercebur ke kolam renang.
.
"Astaga apa yang terjadi? Kenapa Yifan bisa basah begitu?" ibunya berlari-lari kecil melihat Zitao menggendong Yifan di punggungnya. Matanya terpejam dan bibirnya menggumam tak jelas di bahu Zitao.
"Entahlah," jawabnya kepayahan. Ia membetulkan tubuh Yifan yang merosot. Gila, dia berat sekali. "Aku akan membawanya ke kamar." Belum sempat melangkah, ia mendengar Yifan menggumam, atau lebih tepatnya merengek.
"Tidak..!" Zitao dan ibunya berpandangan. "Aku ingin pulang."
Mereka melihat sang ayah menghampiri dengan wajah cemas."Ada apa ini? Yifan kenapa?"
"Aku mau pulang!" Yifan mengayunkan kakinya ke udara hingga Zitao terhuyung. Zitao menghela nafas.
"Dia baik. Hanya sedikit mabuk. Aku akan mengantarnya pulang. Kalian lanjutkan pestanya," Zitao kembali berjalan dengan raksasa pingsan di punggungnya. Orang tua mereka melepas keduanya dengan cemas.
"Kasihan anak itu, sepertinya terlalu lama melajang," celetuk ayahnya setelah mereka menghilang ke garasi. Istrinya mendelik dan berkacak pinggang.
"Ini anakmu yang kau bicarakan, Hei, Mister," ia menusuk dada suami barunya dengan jari telunjuk. "Jangan bicara seolah ini masalah anak tetanggamu."
"Masalah 'kita berdua' sekarang," koreksinya manis. Pipi istrinya menyemu merah. Kali ini menjawil sisi mempelainya dengan manja. Suaminya merangkul pundaknya dan pengantin baru itu pun kembali ke area kebun dimana pesta masih berlangsung.
"Tapi tunggu," istrinya berhenti. "Tahukah Zitao dimana apartemen Yifan?"
.
"Stop acting, kau tidak semabuk itu."
Zitao mendorong Yifan kasar ke kursi penumpang di belakang dan berjalan menggerutu ke kursi pengemudi. Wajahnya panas. Jarinya tanpa sadar meraba lehernya yang masih terasa panas. Semua belas kasihan dan permintaan maaf yang sudah ia siapkan menguap begitu saja. Ternyata kakak tersayangnya ini cukup sadar untuk mengigit lehernya.
"Dingin sekali," Zitao melirik kaca spion. Yifan menggigil di belakang.
"Well, sepertinya mandi di tempat terbuka pada jam segini bukan ide brilian, ya," ujar Zitao sinis, sama sekali tak meringankan penderitaannya. "Terima kasih, sekarang kursi mobilku jadi basah semua," tambahnya pelan.
"Kau jahat, Zitao."
Zitao mengernyit dan menoleh cemas ke belakang hanya untuk mendapati Yifan mendengkur. Salah satu tangan menutupi wajah. Ia mengangkat bahu dan kembali memperhatikan jalan. Mungkin ia hanya salah dengar.
Rasanya selamanya sampai mereka tiba di apartemen Yifan. Dengan susah payah, ia membangunkan kakaknya. Memapah, setengah menyeret ketika raksasa itu tak menunjukkan respon. Zitao membuka pintu kamar yang teramat familiar baginya. Menghempaskan tubuh Yifan ke ranjang dan menghela nafas. Malam yang panjang.
"Uh, bajuku juga ikut basah." Zitao menggeledah laci lemari, menemukan handuk dan berlalu ke kamar mandi luar. Mengomel sesuatu yang kedengaran seperti mengancam agar Yifan juga cepat mandi dan ganti baju. Pintu menutup dan Yifan membuka mata. Sepenuhnya terjaga.
.
"Oh my god."
Zitao menghela nafas melihat tubuh raksasa itu masih tengkurap seperti orang mati di tengah ranjang. Ia sudah selesai mandi. Segar, bersih, dan siap pulang. Tapi bayi manja satu ini sama sekali tidak membantu.
"Bangun, Yifan!" teriaknya. Membalik tubuh itu dan melucuti bajunya yang basah satu demi satu. "Kau bisa masuk angin. Aku tidak bisa menjagamu semalaman disini, tahu." Tangannya membeku ketika ia sampai di boxer kakaknya. Wajahnya seketika panas. Bimbang. Ia mendongak ketika lengannya tiba-tiba dicengkeram kuat. Baru sadar bahwa Yifan sudah tidak tidur lagi. Mata yang tadi terlelap kini tak berkedip menatap Zitao. Ada sesuatu yang berbahaya disana.
"Dan kenapa tidak bisa?"
Zitao mencoba menarik diri namun terlambat. Punggungnya dihempas menemui ranjang dan berikutnya bibirnyalah yang dibungkam oleh bibir Yifan. Handuk di pinggangnya pun menyusul. Satu-satunya kain yang ia pakai. Zitao memejamkan matanya rapat. Menolak melihat wajah Yifan yang ia yakini penuh murka.
Ia menarik nafas panjang ketika satu kakinya diangkat ke bahu Yifan. Ia tahu apa yang akan ia terima. Bagaimana rasanya. Tapi tetap saja ia masih tidak terbiasa. Tak ada lube dan persiapan, ia menjerit tanpa suara. Bagian pinggang ke bawah seolah mati rasa. Sakit di tubuhnya menjalar ke dada ketika akhirnya ia berani membuka mata.
Yifan mendorong seluruh tenaga dan perasaan yang masih tersisa dalam dirinya untuk pemuda dibawahnya itu. Seolah ia akan mati malam ini. Seolah ia akan mati di atas ranjang ini, melebur jadi satu dengan tubuh yang amat dicintainya. Dan ia tidak keberatan. Hanya malam ini. Malam pertama bagi yang lain dan malam terakhir bagi mereka berdua.
Zitao tergolek lemah tak melawan. Ia kembali menutup mata dan membiarkan Yifan mengeluarkan amarahnya. Ia pantas menerima ini. Disela-sela desahan nafas kasar di dekat telinga juga perih di leher —Yifan mengigitnya lagi —Zitao mulai kehilangan kesadaran dan meracau.
"Sepuluh tahun lalu,"bukanya, tersenyum getir. " Dia pergi meninggalkan kami. Aku masih kecil. Masih terlalu muda untuk mengerti masalah orang dewasa yang rumit." Ia tahu Yifan mendengar meski ia sibuk memeta titik dan setiap lekuk di tubuh Zitao dengan bibirnya. "Tapi aku lega, Yifan. Karena setelah orang itu pergi, tak ada lagi yang memukul ibuku. Tak ada lagi yang berkata kasar padanya. Aku ingin membalasnya tapi waktu itu tanganku begitu kecil dan hal yang pintar aku lakukan hanya menangis." Yifan mengecup air matanya satu per satu.
"Ibuku pantas menerima yang terbaik di dunia ini," suaranya nyaris hilang bersaing dengan isakan. "Dan aku butuh kerjasamamu, Yifan." Akhirnya, Yifan mengangkat belakang kepala Zitao dan menelan semua kata yang meluncur dari bibirnya yang gemetar dan berdarah. Kedua sisi wajahnya dicengkeram begitu kuat hingga memucat. Zitao menggumamkan maaf maaf maaf seolah menebus dosa. Nafas Yifan tersendat, tubuhnya menegang di atas tubuh Zitao dan pinggangnya berhenti bergerak. Mereka klimaks bersamaan.
Beban di atas tubuhnya terangkat setelah Yifan bangun. Pintu kamar mandi dibanting menyusul kepergiannya. Masih mengatur nafas, Zitao mengernyit ketika ia berusaha bergerak. Ini jauh lebih buruk dari yang Yifan lakukan padanya pertama kali. Tubuhnya kembali kotor dan lengket. Cairan Yifan meleleh dari lubangnya yang menjepit udara kosong. Kalimat terakhir sebelum pandangannya menggelap. "Maafkan aku, Yifan…"
-to be continued
semoga banyak yang baca dan review (・人・) see you next chapter
