HAAAI minna-chamaaa~ apa kabar semuanya? Masih puasa? :) Kalo iya, alhamdulillah yaa~ susuhantu(?) #dibuangkecomberan.

Ehem, jadi ... sesuai permintaan beberapa reader, saya "menghadiahkan" trikuel The Book of Love Story. Kuel-kuelnya banyak banget ya? #cumaduawoi #disepak. Dengan judul yang sama, dengan nomor urut terakhir dari trilogi The Book of Love Story :) sejujurnya aku senang banget nulis genre kayak gini! Action-Romance itu selalu enak ditulis dan dibaca, dechu~ #apanya.

Tadinya saya mau publish ini awal Juli, tapi karena sesuatu terjadi, yah ... jadi saya menundanya hehe #plok.

HENTAI!

Saya sudah mendapat perhatian Anda. Baca WARNING-nya ya :) yang gak kuat sama crack-pair, silakan pencet tombol back~

Enjoy minna!


The Book of Love Story 3

a VOCALOID FANFIC

By : EcrivainHachan24

Desclaimer : Yamaha©Crypton Future Media

Trikuel of "The Book of Love Story"

Leon x Meiko

WARNING!

Abal, nggak jelas, sungguh absurd, (maybe) CRACK-PAIR, disarankan membaca The Book of Love Story 1 & 2 ada di profile saya silakan dicek ;)

DON'T LIKE, DON'T READ!

1 of 8

.

.

.

.

.

"Selamat atas pernikahannya!"

Suara letusan balon, pita-pita dan bunga-bungaan yang berhamburan memenuhi ruangan suci itu. Tempat di mana kedua orang yang saling mencintai mengikat janji sehidup semati. Saling memasang cincin satu sama lain. Memulai hidup baru dengan orang yang kaucintai. Sungguh membahagiakan, bukan?

Seperti pasangan di altar itu.

Sang mempelai pria menggenggam erat jemari sang mempelai wanita. Tatapan mereka berdua sama—bahagia. Binar mata yang mereka tunjukkan benar-benar jernih. Siapapun yang melihat mereka, pasti akan ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar begitu kentara.

"Nggak kusangka, akhirnya Len menikah juga…," ringis seorang lelaki berambut blonde terang dengan pandangan sok terharu dan mengusap kedua matanya seolah-olah dia menangis. Di sebelahnya, lelaki berambut keperakan hanya memutar kedua bola matanya terhadap reaksi teman sekaontornya yang menurutnya lebay dan berlebihan tersebut.

"Hentikan itu, Leon," tegur lelaki berambut keperakan itu jengah. "Kau berkata seolah-olah Len bakal langsung punya anak besok."

Leon Koejima terkekeh. "Bukan hal yang mustahil sih."

Piko Utatane, nama lelaki itu tertawa. "Dasar jomblo."

Mendengar 'kata sakti' itu, Leon sontak memelototi Piko yang dengan tenangnya malah meneguk sampanye yang disediakan di konter minuman. "Kau juga samanya. Jomblo."

Piko hanya mengangkat bahunya. "Jomblo antara kau dan aku itu berbeda."

Leon mengernyit. "Maksudnya?"

Piko nyengir. "Beda kasta. Kau jomblo merana, kalau aku jomblo terhormat."

Lelaki beriris biru itu meringis lalu memelototi temannya itu dengan death glare khasnya. Enak saja, sejak kapan pula status jomblo memiliki kasta? Bagaimana jika yang sudah memiliki pasangan? Ada kasta pasangan merana dan pasangan terhomat juga, gitu? Terkadang, Leon sungguh tidak mengerti logika Piko di sebelahnya.

"Sekarang waktunya pelemparan bunga!" suara MC wanita di depan sana menyadarkan kedua lelaki tampan itu. "Ayo, gadis-gadis yang masih sendiri, marilah ikut bergabung! Siapa tahu jika kau mendapatkan bunga, kau akan segera mendapatkan jodohmu!" promosinya lagi.

Sontak, para gadis yang kelihatannya memang ehem, jomblo, segera maju ke depan—tempat di mana Miku Hatsu—ah bukan, Miku Kagamine akan melemparkan bunganya. Gadis toska itu tersenyum lebar melihat keantusiasan para gadis itu, langsung memprovokasi mereka dengan suara manisnya, "Ayo! Lomba dapat, ya! Berdesak-desakan juga nggak apa kok! Ahahaha!"

Leon menghela nafas prihatin. "Aku tidak mengerti. Mana ada dapat jodoh hanya karena mendapatkan sebuket tanaman yang bisa kaubeli di toko bunga sebrang kantor? Menggelikan."

Piko mendengus tertawa. "Namanya juga cewek. Mereka lebih senang pakai hati dibanding logika, kan?"

"Ya sih," aku Leon. "Tapi kali ini aku sungguh tak habis pikir."

"Apanya yang tak habis pikir?"

Suara seksi itu membuat kedua lelaki tadi terlonjak—dan menatap ke sumber suara. Segera saja manik mata mereka mendapati seorang wanita berambut cokelat—dengan iris sewarna yang cantik. Terlihat sangat-amat memesona dengan gaun merah satin yang dipadukan dengan sepatu tingginya—menambah kesan dewasa. Terlihat sangat mencolok, karena dia adalah—

"Meiko!" desah Piko dengan nada memuja. "Kukira kau tidak akan datang!"

"Mana mungkin 'kan," Meiko Sakine menaikan sebelah alisnya. "Masa' aku tidak datang ke pernikahan Len, si teman seruanganku itu? Haha." Lalu dia menyunggingkan sebuah senyuman cemerlang yang memamerkan gigi-gigi putih dan rapinya. Membuat kecantikannya berkali-kali lipat lebih terlihat.

Leon Koejima terdiam. Tidak tahu harus bagaimana di hadapan wanita yang selalu menjadi pujaan hatinya. Belum lagi, Meiko benar-benar terlihat cantik. Yah, di hari-hari biasa, polisi wanita paling cantik se-Tokyo itu memang selalu memesona. Tetapi hari ini, dia luar biasa.

"Jangan berpikiran mesum tentangku, Botak."

Terkesikap, Leon mengerjap. Lalu menelengkan kepalanya menghadap wanita itu ragu—apakah benar 'Botak' itu ditujukan untuknya atau bukan. "Aku?"

Meiko memutar kedua bola matanya. "Botak dan bodoh, kalau begitu."

"Aku tidak botak!" geram Leon setengah merenggut. "Dan … apa katamu tadi? Bodoh? Kaulupa ya, aku akan dinaikkan pangkat sebentar lagi?"

Meiko nyengir. "Apa hubungannya dengan IQ, hah? Hahaha," wanita cantik itu menepuk bahu Leon dengan sikap bersahabat. "Aku hanya bercanda kok."

Leon menghela nafas, pasrah. "Maaf, aku tidak bisa membedakannya."

Meiko memutar badannya—menghadap Piko yang masih memandangi kerumunan gadis di depan sana. "Pelemparan bunga, eh?"

Piko mengangkat bahunya. "Begitulah. Dan menurut Leon, hal itu menggelikan."

Meiko mengangkat kedua alisnya—menatap Leon dari ekor matanya. "Oh? Dan kenapa itu?"

"Karena," jawab Leon dengan nada menjelaskan. "Tidak masuk akal, bukan; kau menangkap bunga demi mendapatkan jodoh? Rasanya agak terlalu …"

"Kau hanya tidak habis pikir, eh?" tebak Meiko. "Aku juga."

"Wow," Piko bersiul takjub. "Saat anjing dan kucing satu pikiran. Keren."

Leon menahan tawanya, sementara Meiko sudah siap meradang. "Aku tidak sepikiran dengan orang bodoh!"

"Yeah, yang benar saja, Meiko," cengir Leon. "Tidak ada salahnya bodoh … walau hanya kadang-kadang."

"Aku menolak." tegas Meiko.

"Baiklah, baiklah." Leon pura-pura lelah. "Bagaimana kalau kita membuat taruhan, hm?"

Leon menyeringai saat Meiko menunjukkan ekspresi tertarik. "Apa?"

"Well, kaubilang, aku hanya tak habis pikir, eh?" Leon manggut-manggut menatap kerumunan gadis itu yang berteriak kecewa saat Miku mengerjai mereka dengan menarik kembali bunga yang hendak dilemparkannya. "Bagaimana kalau isi taruhannya, jika kau mendapatkan buket bunga itu, berarti kau bukan orang bodoh sepertiku, dan aku mengakui bahwa akulah yang bodoh?"

Meiko tertawa. "Kau? Mengakui dirimu bodoh? Kau baru saja melakukannya!"

"Ayolah," Leon masih mempertahankan senyumnya. "Jangan bilang kautakut?"

Mendengar 'kata sakti' itu, sontak Meiko menggeram. "Aku tidak takut."

Leon melipat tangannya di dada. "Lakukanlah kalau begitu."

Meiko memutar kedua bola matanya—lalu mengangsurkan gelas sampanyenya pada Leon. "Watch, and learn, okay?"

Leon menerima gelas sampanye wanita itu dan menyeringai. "Wish you luck."

Meiko melenggang pergi, "I don't need a wish from you. I can wish it myself."

Leon bersiul mendengar jawaban pedas wanita itu—dan menatap punggungnya menjauh—mendekati kerumunan gadis itu.

"Gila, Leon," Piko menggeleng-gelengkan kepalanya. "Menantang Meiko Sakine, sama saja menantang macan utusan Tuhan."

Leon tertawa mendengarnya. "Aku tahu."

Piko memutar kedua bola matanya. "Kau memang bodoh."

Leon menyeringai. "Bodoh saat jatuh cinta itu indah lho. Tahu tidak?" lalu lelaki itu menyulangi Piko dengan sampanye milik Meiko, dan meneguknya sampai habis.

Piko mendengus. Konyol. "Menurutmu begitu? Menggelikan."

"Katakan itu lagi ketika kau tidak sedang memandangi Rin Kagamine, Piko."

Skakmat.

Piko terdiam dan memicing pada temannya itu. Sungguh, terkadang Leon Koejima bisa mematikan suatu opini hanya dengan satu-dua kata.

Di sisi lain, wanita berambut cokelat itu memerhatikan buket bunga yang dipegang Miku di depan sana. Tatapannya fokus—seperti elang yang hendak memangsa buruannya.

"Dalam hitungan ketiga, yaa! Satu … dua … Tiga!"

Buket bunga di pegangan Miku terlempar begitu saja dari atas altar. Membuat gadis-gadis itu langsung menyerbu ke depan dengan heboh dan berisik.

"Kyaa! Bunga itu milikku!"

"Minggir!"

"Bunga itu milikku!"

"Jangan sikut bajuku!"

Ribut-ribut yang biasa, namun wanita berambut cokelat itu hanya menatap buket bunga yang melayang di udara itu dalam diam; sibuk membuat perhitungan di kepalanya. Ketika bunga itu hendak diraih, segera saja wanita berambut cokelat itu melengsek masuk ke dalam—ke dalam kerumunan itu dan mendorong dengan halus para gadis di depannya, lalu dia meloncat menyentuh pita yang menjadi penyangga buket bunga itu—

Dan dia mendapatkannya.

"Horee! Meiko-san!" seru Miku yang bahagia melihat wanita seperti Meiko mau memperebutkan bunga. Wanita toska itu menepuk tangannya.

Meiko mendarat dengan anggun di tengah ruangan. Lalu memamerkan buket bunga yang didapatnya kepada para penonton yang bertepuk tangan dan bersorak untuknya—tidak mengindahkan para gadis lain yang merenggut kecewa karena tidak berhasil mendapatkan bunga tersebut.

Leon Koejima hanya tersenyum saat Meiko mengacungkan tinju pada dirinya. Sebenarnya, Leon juga sudah tahu kalau Meiko pasti bisa mendapatkannya.

"Bagaimana?" tuntut Meiko saat berada tepat di depan lelaki blonde itu. Memamerkan buket bunga di depannya; dia mengangkat kedua alisnya. "Aku menunggu."

Leon menghela nafas putus asa. "Kurasa, ini yang namanya senjata makan tuan."

Meiko tertawa. "Lakukan."

Leon menatap manik mata kecokelatan di hadapannya. Mata cantik yang membuatnya jatuh cinta saat pertama kali menginjakkan kaki di kepolisian Tokyo. Mata yang selalu menemani mimpi-mimpi indahnya. Mata yang selalu menatapnya dengan tatapan mengintimidasi yang khas dan … anggap saja Leon masokis, tapi tatapan itu yang selalu dirindukannya.

Dia jatuh cinta pada wanita yang bahkan lebih superior dibanding dirinya.

Dan Leon tahu, hal itu bodoh.

Jadi, lelaki itu tersenyum. "Aku memang bodoh."

To Be Continue

Ini ceritanya pas Len-Miku baru nikah ya :'D (p.s : Baca The Book of Love Story 2 untuk lebih jelasnya)

Sejujurnya, pas nulis ini, aku agak nggak pede, karena pairingnya JARAAANG banget. Aku pembuat LeonMeiko pertama (setelah membuat GakuAoki pertama hiks- *nasib sering naksir crack-pair*) dan gatau harus bangga apa kagak (hahaha XP)

Oh, ya. Saya akan menampilkan konflik yang mungkin agak mirip dengan The Book of Love Story yang pertama (yang Kaito x Miku) jadi, bersiaplah! #pukulpukulgong (?)

Sip, berminat mereview? :)

V

V