Prolog: Orientasi


"Ayah, kupu-kupu!"

Kala aku mengucapkan kalimat itu, semuanya sedang baik-baik saja meskipun sosok ibu tidak ada di sisiku.

"Kak, bantu aku tangkap kupu-kupu itu!"

Kala suara lain menyahut, semuanya juga sedang baik-baik saja meskipun sosok ibu tidak bersamaku.

"Berhenti! Jangan!"

Kala suara berat berteriak, semuanya juga sedang baik-baik saja meskipun aku belum mendengar suara ibu. Namun tidak dengan detik-detik kemudian.

Senja hari itu terlihat indah, seperti biasanya jika mendung tidak datang. Gradasi oranye mampu membuatku tersenyum. Langit menjadi turut tampak indah. Aku pikir, nanti malam akan cerah, seperti tampaknya matahari seharian ini. Aku pikir, akan bertambah banyak titik-titik berkelap-kelip bertebaran di langit berwarna gelap.

Nyatanya, halaman rumahku, tempatku melihat kupu-kupu cantik, basah. Semua berbanding terbalik dengan apa yang aku pikir.


Paradigma

by Ayzahra

Boboiboy © Monsta Studio

Warning:

Apdet lama


Aku pikir, semua bintang pergi. Aku memejamkan mata dan berharap. Aku tidak akan mencegah mereka, hanya saja... jangan turut bawa pergi dua bintang yang selama ini membuatku tersenyum. Aku pikir, cukup satu kali aku mengalami kehilangan hingga merapuh. Tidak hanya itu, hanya tersisa boneka-bonekaku yang mungkin bisa diajak mengobrol.

Aku pikir, dunia tidak sekejam seperti apa yang pernah aku pikirkan. Pada akhirnya, aku tidak hanya tinggal bersama para bonekaku. Nenek ada di sisiku, suka mengelus rambutku, seperti aku yang suka menyisir boneka kucingku dengan jari.

Lika-liku kehidupan berhasil aku jalani hingga kini aku telah menginjak usia tujuh belas tahun. Akan tetapi sudah jelas semakin banyak hal yang harus aku pikirkan, seperti perekonomian keluarga dan persiapan olimpiade matematika bulan depan. Beruntung pemilik kedai sangat baik hati. Beliau mengijinkanku untuk sekadar membuka buku sejenak kala pesanan semua pelanggan sudah terpenuhi. Kadang beliau memberiku secangkir cokelat hangat. Katanya, sebagai penyemangat belajar. Kadang beliau rela sebungkus besar bubuk cokelatnya diberikan padaku.

Kedai yang ramai tidak mengherankan andai tutup lebih cepat. Di sore aku berjalan menuju rumah dengan tidak lagi mengenakan seragam sekolah. Wajahku pasti akan lebih berekspresi, apalagi pada senja kali ini karena pemilik kedai memberiku uang lebih. Sebenarnya beliau juga berbaik hati pada pekerja lainnya. Beliau yang rendah hati, yang turut serta melayani pelanggan. Aku pikir, tidak ada salahnya mendoakan yang terbaik baginya.

Setiba di rumah, aku akan menyiapkan makan malam bersama nenek. Hal itu tidak butuh waktu lama karena biasanya kami hanya akan menggoreng dua telur dadar dan dua cangkir cokelat hangat. Nenek dengan senyum tipisnya pasti akan menanyakan kabarku. Yah, beliau benar-benar menanyakan "bagaimana kabarmu?". Jujur memang terdengar kurang tepat.

Aku tidak akan ambil pusing maka aku menjawab, "Baik."

Setelah makan malam usai, aku akan mencuci piring sementara nenek melanjutkan rajutannya yang tak kunjung usai. Kemudian aku akan masuk kamar untuk belajar. Yah, aku serius belajar. Aku tidak berminat mengganti ponselku yang hanya bisa untuk mengirim dan menerima pesan dan menelepon dengan ponsel yang lebih canggih. Ah, bukan tidak berminat, tapi belum bisa. Hah, tidak apa karena aku masih bisa meminjam buku-buku perpustakaan.

Tepat pukul setengah sepuluh, aku akan beranjak tidur. Aku pikir, aku bisa meraih bintang dalam mimpiku. Aku pikir, aku harus langsung terlelap karena perjalananku masih panjang. Oleh karena itu, aku meletakkan kembali sebuah bingkai foto pada meja di samping ranjangku.

Tidak ada hal baru pada keesokan harinya hingga figur asing berada satu kelas dengan Gopal. Dia juga tidak mengganggu rutinitas pagiku yang terdiri dari:

1. Bangun pagi-pagi,

2. Mencuci beberapa pakaian, lalu menggantungnya,

3. Menyiapkan sarapan,

4. Sarapan,

5. Berangkat sekolah mengendarai sepeda,

6. Nomor sebelumnya adalah keinginganku karena sekarang aku harus berjalan kaki. Selalu berharap termasuk rutinitas 'kan?

Arah pukul tujuh dari tempat Gopal duduk dan arah hadapnya menunjukkan bangku pemuda bertopi yang merupakan murid baru dan berita kehadirannya memang sudah sampai ke kelasku. Tunggu, sejak kapan murid boleh mengenakan topi bebas ketika pelajaran? Apalagi di sekolah. Aku kira dia hanya akan memakai topinya di lingkungan rumah saja.

Gopal, temanku, bilang bahwa pemuda bertopi itu memiliki persamaan denganku, yaitu berwajah cuek dan galak. Tidak bisakah Gopal mengatakan sesuatu yang bagus kepadaku? Aku turut memutar kedua bola mata sebagai tanggapan. Yang aku pikirkan adalah bahwa ternyata dia merupakan cucu dari pemilik kedai di mana aku bekerja paruh waktu. Sebenarnya hal itu tidak perlu dipikirkan karena tampaknya dia tidak akan membuang waktunya untuk mengusik hidupku.

Kutatap lagi si murid baru lewat ekor mataku. Mungkin wajahnya yang tampak cuek akan kubenarkan. Sialnya, pandangan kami bertemu dan aku segera mengalihkannya ke Gopal lalu pergi menuju kelasku.


Hai.