Disclaimer : Naruto and all the characters mentioned in the story they're all belongs to Masashi Kishimoto. I do not take any financial benefits from this.


The Crown of Journey


Di sebuah desa kecil yang terletak di tengah hutan ke arah utara, ada seorang pria yang berstatus sebagai Blade Master bernama Uzumaki Naruto. Dia memiliki paras yang menarik; surai pirang, iris biru, tubuh atletis dengan bahu bidang, dan kulit kecoklatan. Namun, di usianya yang ke 22 ini, ia sama sekali tidak berminat untuk memiliki kekasih.

Sebenarnya tidak sulit bagi Naruto untuk mendapatkan seseorang yang mencintainya, ia tidak perlu bersusah payah karena semua wanita, maupun pria tidak ada yang bisa menolak pesonanya.

Minato dan Kushina sebenarnya tahu akan peraturan yang berlaku. Jika seorang Blade Master sudah berusia di atas 20 tahun mereka harus menjalani kehidupannya sendiri untuk membangun keluarga, dan menghasilkan banyak keturunan sebagai calon penerus Blade Master lainnya, tetapi melihat bagaimana Naruto tampak tidak peduli, Minato dan Kushina hanya bisa menunggu dengan pasrah, meskipun mereka tahu hukuman berat menanti jika kerajaan mengetahui apa yang Naruto lakukan.

.

Naruto mendorong pintu kayu tua yang mungkin seumuran dengannya. Suara decitan terdengar seperti biasa, lalu ia melangkah ke arah dapur, di mana mereka; Naruto, ayah, dan ibunya berkumpul untuk sarapan bersama setiap pagi. Namun ada yang berbeda hari ini, saat iris birunya hanya menangkap sosok wanita tanpa didampingi sosok pria di sebelahnya.

"Ibu, di mana ayah?" tanya Naruto.

Menyadari kehadiran putranya, Kushina sengaja mematikan kompor, lalu menoleh dengan senyum termanis khasnya. "Selamat pagi, tidurmu nyenyak?"

Naruto mengangguk, ia menguap lebar seraya duduk di salah satu kursi meja makan.

Kushina mengambil beberapa mangkuk, dan sendok yang terbuat dari kayu hasil pahatan Minato dari dalam lemari. "Ayahmu sedang mencari beberapa herbal di hutan," jawabnya singkat, menyediakan beberapa macam hidangan yang terlihat sangat menggiurkan ke atas meja.

"Sendiri saja? Untuk apa?" tanya Naruto menyelidik.

"Persediaan herbal sudah mulai menipis, dan kau tahu apa jadinya jika kita tidak memiliki persediaan yang cukup, bukan?" sahut Kushina, balik bertanya.

Naruto mengacak surai pirangnya. "Aku tahu," jawabnya cepat, "hanya saja akhir-akhir ini hutan sangat berbahaya."

Kushina menghela napas, lalu mengangguk mengerti. "Kalau begitu cepat makan, pergi ke hutan, dan bantu ayahmu."

Senyum lebar terkembang di bibir Naruto. Ia tahu jika Kushina sebenarnya sangat mengkhawatirkan kondisi Minato. Namun enggan menyuarakan isi hatinya.

"Serahkan semuanya padaku ibu," sahut Naruto.

.

"Kau sudah membawa semua barang keperluanmu?" tanya Kushina khawatir.

Naruto mengangguk, lalu menepuk kedua pedang yang tersampir di pinggulnya. "Tidak ada yang tertinggal," sahutnya meyakinkan, "kalau begitu aku pergi."

"Hati-hati." Kushina mengangguk mengerti, lalu mengecup Naruto tepat di dahi.

"Tentu saja, ibu," sahut Naruto tersenyum lembut, sebelum melangkah masuk ke dalam hutan arah selatan, meninggalkan Kushina yang tersenyum setengah hati.

10 menit berjalan, ia berhenti tepat di tepi sungai yang menghubungkan desa dengan hutan. Tahu jika pakaiannya akan basah, ia menggulung celananya hingga sebatas lutut sebelum menyebrangi sungai, dan melompati beberapa batu.

Pohon besar berdaun lebar menutupi cahaya yang masuk sehingga membuat hutan tampak lebih gelap meskipun masih di pagi hari.

"Hmph!" ujar Naruto memanjat ke atas batu yang cukup tinggi untuk melihat lebih jelas. Namun ia tidak menemukan sosok pria yang memiliki warna rambut sama sepertinya.

Ia melompat turun, berlari kembali ke jalan utama untuk menyusuri jalan setapak yang sengaja ia lewati sebelumnya. Dan benar saja sesuai dugaannya, ketika ia menemukan tumpukan biji chia kering di atas tanah, pria dengan surai pirang sama sepertinya berdiri setengah menyandar di bawah pohon yang cukup rindang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Hey pak tua!"

Minato mengernyit, ia menoleh bingung ketika Naruto berlari menghampirinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Menemanimu?" sahut Naruto balik bertanya.

Minato memincingkan kedua matanya, hingga kerutan di kedua matanya tampak sangat jelas. "Apa ibu yang memaksamu untuk datang?"

Naruto menggeleng. "Aku tidak bisa membiarkanmu mengumpulkan herbal sendiri seperti ini."

"Tsk, kau ini datang disaat yang tidak tepat," ujarnya, "ayo kita pulang."

"Pulang?" Naruto balik bertanya, "bagaimana dengan herbalnya?"

Minato tidak menyahut, ia mengangkat keranjang besar yang berada di genggaman tangan kanannya memperlihatkan daun hijau bertotol merah, dan ungu yang terlihat menyumbul dari atas keranjang.

Naruto tertawa malu. "Maaf ayah, seharusnya aku datang lebih cepat."

Minato tersenyum lembut lalu mengacak surai pirang Naruto. "Sudahlah, ayo kita pulang."

Mereka terlihat melangkah bersama setelah itu, membicarakan hal yang tidak penting hingga membuat Naruto tertawa terbahak-bahak.

"Ayah," panggil Naruto. "Kau pulang saja lebih dulu, ada hal yang harus kulakukan."

Minato diam di tempat dengan wajah tampak tidak senang di tepi sungai. "Kau mau apa?"

"Membeli makanan dan keperluanku, sudah ya!" ujarnya melambaikan tangan, meninggalkan Minato jauh di belakangnya.

.

Siulan Naruto terhenti ketika iris birunya menangkap kuda hitam yang terasa cukup familiar, sedang memakan rumput di depan rumahnya saat ia kembali.

"Kuda kerajaan? Apa yang mereka lakukan di sini?" gumam Naruto sangat pelan, hampir tidak terdengar.

Tidak ingin menebak-nebak, ia segera berlari menghampiri, lalu mendorong pintu rumahnya sekuat tenaga. "Ayah? Ibu?" panggil Naruto.

Tidak ada sahutan, rumahnya sepi terasa seperti kosong.

Naruto merasa aneh, lalu ia berlari untuk melihat seisi ruangan. Namun tidak menemukan siapa pun.

"Ibu?"

Tiba-tiba saja sosok pria berjubah hitam menutupi seluruh tubuh, dan wajahnya berbisik tepat di telinga Naruto dari arah belakang. "Halo tuan Blade Master yang terhormat."

Tubuh Naruto terlonjak kaget. Ia berbalik waspada, lalu menarik kedua bilah pedang yang tersampir di pinggulnya.

Pria berjubah itu terkekeh geli. Suaranya terdengar berat dan parau, selayaknya pria paruh baya yang hobi minum alkohol, dan merokok. "Senang bertemu denganmu, ternyata kau lebih tampan dari yang kubayangkan, tetapi sayang sekali kau tampak tidak peduli dengan statusmu, huh?"

Pertanyaan yang terdengar seperti ejekkan.

"Kau tahu bukan? Jika seorang Blade Master seusiamu seharusnya sudah berkeluarga dan mulai memproduksi Blade Master kecil calon penerusmu? Itu permintaan kerajaan yang seharusnya kau patuhi."

Tidak mempedulikan tajamnya pedang yang kini hanya berjarak beberapa senti dari lehernya, pria berjubah itu melangkah mendekat ke arah Naruto.

"Di mana ayah, dan ibuku?!" tanya Naruto memincingkan mata.

Pria itu hanya terkekeh.

"Kubilang di mana ayah, dan ibuku?!" bentak Naruto. Iris matanya berkilat emosi.

Dengan gerakan secepat angin, hampir tidak terlihat, pria berjubah itu menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Naruto. "Shh," ujarnya sedikit mendesis. "Uzumaki Naruto, kau seharusnya sudah mengetahui sejak awal hukuman apa yang menanti keluargamu jika melanggar peraturan kerajaan yang berlaku."

"A-apa maksudmu?" tanya Naruto menyelidik. Secara tidak sadar ia menggenggam kedua bilah pedangnya lebih kuat, seakan bersiap dengan serangan tiba-tiba yang bisa saja melukai tubuhnya nanti.

Pria berjubah itu kembali terkekeh geli. Ia melangkah mundur, lalu berbalik memunggungi Naruto. "Kau tidak mengetahuinya? Sayang sekali."

"Jelaskan padaku apa maksud semua ini?!"

Dengan sekali dorongan yang dilayangkan pria tua berjubah itu, Naruto harus merasakan sakit, dan kerasnya dinding batu yang menghantam punggungnya kuat.

"Kau!" desis pria berjubah hitam. Tangan yang kurus, keriput, dan pucat mengusap lembut pipi Naruto dengan rasa penuh kasih. "Harus belajar sopan santun anak muda."

Tubuh Naruto gemetar, ia menyadari jika pria tua di hadapannya ini bukanlah orang biasa.

"Sekarang sampai di mana kita tadi?" ujar pria berjubah itu. "Oh!" Ia menarik tangannya dari wajah Naruto lalu kembali terkekeh geli. "Hukuman untuk ayah dan ibumu."

Dengan sisa kekuatan miliknya, Naruto berusaha bangkit dan kembali mengacungkan ujung pedang ke arah pria berjubah hitam itu.

Pria itu kembali terkekeh. "Kau bisa memilih untuk merelakan nyawa kedua orang tuamu." Pria berjubah itu melangkah ke arah pintu. "Atau menjadi Sacred Berserker."

"A-apa?" Jantung Naruto berdetak sangat cepat. Semuanya terjadi begitu cepat, ia bahkan tidak bisa berpikir dengan jernih.

"Semua keputusan ada di tanganmu," kata pria berjubah hitam menyentuh tepi pintu. "Aku akan datang lagi besok, dan berikan jawabanmu."

"T-tunggu! Hey! Berhenti!"

.

Semalaman Naruto habiskan menanti pria berjubah hitam itu kembali. Rasa kantuknya hilang saat ia terlarut dalam pikirannya. Ia menyayangi Minato dan Kushina melebihi dirinya sendiri, tetapi menjadi seorang Sacred Berserker bukanlah hal yang mudah.

Karena itulah sampai saat ini tidak ada seorang pun yang mampu menjadi Sacred Berserker, ataupun seorang Blade Master yang berani melanggar peraturan kerajaan.

Naruto menghela napasnya berat, lagi. Wajahnya menunduk dalam tampak lesu, sehingga ia tidak menyadari adanya sosok berjubah hitam yang memperhatikannya dari balik semak sejak tadi.

"Apa kau tidak tahu dengan pilihanmu?"

"K-kau?" ucap Naruto terbata.

Pria berjubah itu terkekeh geli, sebelum melangkah menghampiri untuk melempar sebuah kertas usang yang tergulung ke arah Naruto. "Peta ini menunjukkan letak di mana kau bisa mendapatkan Sacred Stone ... itu jika kau membutuhkannya."

"Aku membutuhkannya!" sahut Naruto cepat. Ia tidak bisa lagi mengulur waktu, keputusannya sudah bulat.

"Pilihan yang bijak Uzumaki Naruto."

Iris biru Naruto mengamati gulungan kertas usang yang berada dekat dengan kakinya. Sedikit menunduk, ia segera memungut kertas itu, lalu membuka seutas tali ikatan dengan paksa.

"5 buah Sacred Stone yang harus kau kumpulkan dijaga masing-masing oleh monster. Jadi setelah mendengar ini, katakan padaku sekali lagi Uzumaki Naruto, apakah kau bersedia untuk menjadi Sacred Berserker?" tanya pria berjubah itu meremehkan, menyentuh 3 goresan bekas luka yang berada di masing pipi si pirang.

Naruto menepis tangan pria berjubah itu dengan kasar. Pupil birunya berkilat penuh emosi ketika ia mengacungkan kedua bilah pedangnya. "Akan kupastikan," desis Naruto penuh emosi, "tidak akan kembali ke hadapanmu sebelum mengumpulkan kelima Sacred Stone."

Pria tua berjubah hitam hanya diam memperhatikan, ketika Naruto berbalik memunggunginya lalu berjalan menjauh. "Anak yang menarik," batinnya dalam hati.

.

Naruto bisa merasakan tenggorokannya terasa kering, ia sudah berjalan cukup lama, dan rasa lelah sudah mulai menyerang seluruh anggota tubuhnya.

Ia menyeka keringat menggunakan sebuah kain yang dirajut oleh Kushina, kain berwarna oranye dengan corak spiral berwarna hitam di setiap sudutnya.

"Ah," desah Naruto lega bersandar pada pohon oak yang rindang, merogoh isi tasnya untuk mengambil peta yang ia simpan sangat hati-hati.

"Konohagakure," gumamnya pelan. "Monster macam apa yang harus kuhadapi di Konohagakure nanti? Seandainya saja aku memiliki kuda."

Sinar matahari yang hangat, segarnya udara, dan tubuhnya yang lelah, membuat Naruto sedikit mengantuk.

Ia mengamati lingkungan di sekitarnya yang dipenuhi pepohonan rindang, dan juga semak hijau, sebelum memutuskan untuk beristirahat mengisi seluruh energinya yang hilang.

.

Sesosok wanita bersurai hitam legam dengan kuda putih miliknya melintas di tengah hutan. Jubah satin panjang biru tua yang ia kenakan menutupi bahu, terlihat sangat kontras dengan kulit putih pucat miliknya.

"Di mana aku harus mencari herbal?" gumam wanita itu turun dari atas kuda yang ia tunggangi. Menggelengkan kepalanya pelan, lalu mengernyit saat menoleh ke arah Naruto yang tertidur pulas di bawah pohon.

"Oh tidak!"

Insting keibuannya memaksa untuk berlari mendekati Naruto. Mencoba membangunkannya berulang kali. Namun tidak mendapat respon.

"Tidak mungkin."

Cepat-cepat ia mengayunkan tangannya. Mengucapkan mantra yang membuat tubuh Naruto terbalut oleh cahaya terang berwarna biru bagaikan selimut.

"Aku akan menyelamatkanmu, bertahanlah!"

.

Sayup-sayup Naruto bisa mendengar suara lembut seorang wanita, dan pria saling berbisik.

"Kau yakin dia baik-baik saja?"

"Sebenarnya tidak terlalu yakin. Aku menemukannya tergeletak begitu saja di bawah pohon oak."

Naruto tidak tahu jika ia sedang bermimpi ataupun dalam keadaan sadar, tetapi suara itu sangat jelas di telinganya.

"Ayah, ibu? Apa yang kalian lakukan di kamarku?"

Sontak saja Naruto membuka matanya spontan secara paksa, lalu menoleh kaget ke arah tiga sosok di sampingnya yang memiliki ciri fisik hampir sama; rambut hitam seperti bulu gagak, pupil hitam seperti batu obsidian, dan kulit putih pucat seperti salju.

"Siapa ... kalian? kenapa aku di sini?" tanya Naruto meminta jawaban.

Seingatnya ia sedang beristirahat di bawah pohon oak yang rindang, bukannya di atas kasur empuk, dan langit beratap.

"Syukurlah kau baik-baik saja."

Wanita bersurai hitam itu tersenyum lembut melepas rasa khawatir, jemarinya yang lentik menyentuh puncak kepala Naruto, dan mengacak surai pirangnya.

"Namaku Uchiha Mikoto, ini suamiku Uchiha Fugaku, dan anak pertamaku Uchiha Itachi."

Naruto diam tidak mengerti ketika tiga sosok manusia dengan ciri fisik hampir sama tersenyum ke arahnya. Otaknya seakan melambat, dan tidak bisa memproses jelas kata-kata yang di dengar telinganya.

"Aku menemukanmu tidak sadar di bawah pohon oak. Aku khawatir jika monster atau bandit akan membunuhmu nanti, karena itu aku membawamu ke rumahku," jelas Mikoto.

"Tidak sadarkan diri?" Naruto mengernyit, balik bertanya. "Tidak nyonya, saat itu aku sedang beristirahat." Ia mencoba menjelaskan seraya bangkit dari atas kasur yang sangat lembut, berbeda dengan kasur miliknya di rumah.

Mikoto menatap Fugaku, dan Itachi bergantian lalu tersenyum malu. "Eh? Sepertinya aku telah membuat kesalahan kecil?"

"Namaku Uzumaki Naruto." Naruto tersenyum ramah, lalu menunduk dengan sopan. "Terima kasih banyak nyonya atas kebaikanmu, tetapi aku harus pergi."

Fugaku menghela napasnya lalu menepuk bahu Naruto "Ini sudah larut, lebih baik kau beristirahat di sini," ucapnya. Diikuti anggukkan kepala dari Mikoto, dan Itachi.

"Anggap saja sebagai permintaan maaf, karena aku membawamu ke sini tanpa persetujuan," lanjut Mikoto meyakinkan.

"Sekali lagi terima kasih atas kebaikan kalian, tetapi aku benar-benar harus pergi ke Konohagakure secepatnya," sahut Naruto sopan tidak ingin mengecewakan siapa pun.

Sontak Itachi tertawa lebar lalu menepuk-nepuk pundak Naruto beberapa kali. "Hey, aku tahu kau ini lelah, jadi santailah sedikit."

Naruto menatap Itachi bingung, sama sekali tidak mengerti kenapa pria bersurai hitam, berjubah putih satin itu tertawa.

"Kau tidak sedang bergurau 'kan Naruto?" tanya Itachi menaikkan sebelah alisnya.

"Aku tidak bergurau sama seka—"

"Kau sudah ada di Konoha Dobe," sela seseorang dari balik pintu.

Naruto menoleh. Iris birunya menangkap sosok pria bersurai hitam, berkulit pucat, dengan jubah satin hitam menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Ia tertegun untuk sesaat, ketika menatap wajah pria asing itu yang bahkan ia tidak tahu siapa namanya. "Uh ... apa?"

"Kau ini tuli? Kubilang kau sudah ada di Konoha, Dobe," ulang pria bersurai hitam tersebut meremehkan.

"Hey ... hey ... hey," ucap Itachi, menarik lengan Naruto, dan pria berkulit pucat yang memiliki ciri fisik sama sepertinya. "Ayolah Sasuke, apa itu cara yang benar menyambut tamu?"

"A-aku sudah di Konoha?" tanya Naruto masih tidak percaya dengan kedua alis mengeryit.

"Kau sudah di Konoha, Naruto," ujar Mikoto tersenyum. "Dan ini Sasuke. Sasuke ini Naruto. Kuharap kalian bisa berteman dengan baik, sekarang aku akan menyiapkan makan malam, jadi kosongkan perut kalian," lanjut Mikoto, melangkah ke dapur disusul oleh Fugaku dan Itachi.

Naruto melirik ke arah Sasuke lalu mengulurkan tangannya, dan tersenyum ramah. "Senang berkenalan de—"

"Aku tidak tahu alasan kau di sini, tetapi setelah makan malam selesai, pergi dari rumahku," potong Sasuke kasar, suaranya terdengar sangat tidak ramah. "Kau pria asing, dan aku tidak meyukaimu."

Naruto membuka mulutnya lebar-lebar, baru kali ini ia merasa sangat terhina. "A-apa? Sombong sekali!" geramnya. Namun sedetik kemudian ia terdiam dan sedikit menunduk. "Tenanglah Naruto. Ini semua untuk ayah dan ibu, aku akan menyelamatkan kalian berdua," gumamnya pelan. Namun sosok berjubah hitam itu masih bisa mendengar dengan jelas dari balik pintu.

.

"Aku sudah menunggumu," ujar Mikoto lembut saat melihat Naruto melangkah mendekat ke arah mereka. "Kau pasti lapar, makanlah."

Naruto tersenyum lebar menatap bubur gandum, roti, dan minuman dari herbal. Perutnya memang keroncongan sejak tadi, lalu ia duduk di hadapan Sasuke. Sesekali pandangan mereka bertemu, tetapi pria yang menurutnya angkuh itu hanya diam selayaknya patung, tidak ada ekspresi di wajahnya.

"Sayang sekali, wajah dan sifatnya sangat tidak cocok," batin Naruto dalam hati. Meskipun sejujurnya ia merasa tertarik dengan sosok angkuh itu.

Mikoto duduk persis di sebelah Fugaku, rambut hitam panjangnya kini terikat rapi dengan seutas tali. "Naruto," panggilnya lembut, "sebenarnya, apa tujuanmu datang ke Konoha?"

Naruto meletakkan sendoknya ke atas meja, ia terlihat ragu ingin menjawab. Namun tidak ingin mengecewakan seseorang yang telah memperlakukannya dengan baik.

"Aku ke sini untuk mencari Sacred Stone."

Mikoto dan Fugaku saling menatap bingung.

"Sacred Stone?" tanya Mikoto balik bertanya. "Kau ingin menjadi Sacred Berserker?"

Naruto menundukkan wajahnya lesu. "Untuk ... menyelamatkan kedua orangtuaku."

"Kau akan mati, bahkan sebelum menemukan kelima batu itu, Dobe," sela Sasuke. Raut wajahnya terlihat meremehkan.

"Aku tahu," sahut Naruto singkat, "itu pasti tidak akan mudah, tetapi, setidaknya aku harus mencoba dan berusaha untuk melihat kedua orangtuaku bersama," ada jeda sesaat, "sama seperti keluarga kalian."

Sasuke terdiam, mulutnya terkatup rapat. Sedangkan Mikoto, dan Fugaku kembali saling bertatap.

"Naruto, menjadi seorang Sacred Berserker itu tidaklah mudah, dan kau membutuhkan seorang Sorcerer untuk membantumu," jelas Mikoto.

"Sorcerer?" Naruto balik bertanya, tidak mengerti sedikit pun tentang apa yang sedang mereka bicarakan.

"Kau tidak tahu? Sacred Berserker membutuhkan seorang Sorcerer layaknya ikan membutuhkan air," jelas Itachi menunjuk ke arah Sasuke, dan membuat pria berjubah satin hitam itu memberinya tatapan tajam.

Naruto melihat ke mana arah Itachi menunjuk. Namun ia sama sekali tidak mengerti maksud pria yang memiliki kerutan di kedua matanya itu.

Mikoto tersenyum melihat tingkah laku kedua putranya, ia bangkit dari atas kursi lalu melangkah mendekati Sasuke dan menggenggam tangannya. "Kau harus membantu Naruto mendapatkan kelima Sacred Stone."

Raut wajah datar Sasuke berubah menjadi tidak suka. "Kenapa harus aku? Itachi saja!" sahutnya.

Itachi memutar matanya malas, lalu menyendok bubur dari mangkuknya. "Aku bukan Sorcerer sepertimu, apa kau lupa?"

Sasuke menatap Naruto, dan Mikoto bergantian. "Bagaimana mungkin aku bisa bersama pria bodoh ini untuk waktu yang lama?"

Tidak merespon pertanyaan putranya, Fugaku bangkit dari kursi lalu menepuk bahu Sasuke beberapa kali. "Tidurlah, ini sudah malam, lagipula besok pagi kalian harus berangkat ke barat hutan Konoha, dan merebut Sacred Stone dari para bandit."

"Lihatlah Sasuke, bahkan ayahmu menyetujui hal ini," timpal Mikoto, "dan karena kalian akan bersama cukup lama, mulai malam ini tidurlah sekamar dan biasakan diri kalian masing-masing."

"APA?!" teriak Sasuke menggebrak meja. Namun Fugaku, Mikoto, dan Itachi bersamaan meninggalkannya bersama Naruto.

.

Sasuke menghela napasnya berat. Ia masih tidak percaya dengan bagaimana ibu, ayah, dan kakak kandungnya mengusirnya pergi meninggalkan rumah hanya untuk membantu pria bodoh yang bahkan belum dikenalnya dengan baik.

"Kau, tidur di bawah, Dobe," perintahnya melepas jubah yang ia kenakan sebelum berbaring ke atas kasur.

Naruto sempat mencuri pandang ketika pria tanpa ekspresi di sampingnya melepas jubah, sejak awal bertemu jujur saja ia merasa tertarik untuk melihat apa yang tersembunyi di balik jubah satin itu.

"Sasuke," panggil Naruto pelan, menoleh ke arah pria bersurai hitam yang saat ini menyamankan tubuhnya di atas kasur. Tanpa jubah, lekuk tubuhnya kini terlihat sangat jelas; pundaknya bidang, kedua lengan berotot, dan kaki jenjangnya.

Ini untuk pertama kalinya Naruto bertemu dengan seseorang yang memiliki tinggi tubuh setara dengannya.

Sasuke tidak merespon, kelopak matanya tertutup rapat, dan dengkuran halus mulai terdengar dari mulutnya.

Melihat Sasuke tertidur pulas, Naruto melepaskan kedua pedang yang tersampir di pinggangnya untuk bersandar pada sisi lemari.

"Terima kasih sudah membantuku," bisiknya pelan memejamkan mata, lalu tiba-tiba saja gulungan selimut tebal telempar ke arahnya dari arah kasur.

"Jangan banyak tanya," ujar Sasuke singkat memunggungi Naruto.

Dan si pirang tersenyum lebar.

.

Hangatnya sinar matahari yang masuk melalui celah jendela, membuat Naruto membuka kelopak mata. Ia bangkit dengan perlahan, alisnya mengeryit ketika menyadari kejadian tadi malam bukanlah sekedar mimpi.

"Tutup jendelanya, Dobe. Kau mengganggu," protes Sasuke menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Naruto menaikkan sebelah alisnya. "Pantas saja kulitmu sangat pucat," ucapnya setengah berbisik.

Ia melipat selimut yang digunakannya semalam dengan rapi, lalu melangkah mendekat untuk menatap tubuh Sasuke yang terlihat seperti gulungan kain. "Teme," panggilnya pelan. "Bukankah seharusnya kita bersiap?"

Menunggu cukup lama. Namun Sasuke tidak juga merespon, secara tidak sadar Naruto menyentuh tubuh berkulit pucat itu. Beberapa sentuhan pertama tampaknya tidak disadari oleh Sasuke yang terlelap pulas. Namun saat sentuhan menjadi lebih intens, sontak saja ia terbangun untuk merapalkan mantra hebatnya.

Cahaya biru yang berasal dari tangan Sasuke, mendorong tubuh Naruto hingga ia terpental ke belakang, menghantam sebuah lemari kayu.

"Apa yang kau lakukan, Dobe?!" geram Sasuke.

Sedikit merintih, Naruto berusaha bangkit dan mendekat. Ini bukan kali pertama tubuhnya terpental dan mengantam benda keras. "Untuk ukuran seorang pria, tubuhmu tidak terlalu bagus, Teme, kau tidak pernah berlatih, ya?"

"A-apa?" Sasuke menatap Naruto tajam, tidak percaya jika si pirang berani dengan lancang berbicara soal bagaimana kondisi tubuhnya saat ini.

"Sasuke, Naruto? Apa yang kalian lakukan? Dentuman apa itu?"

Perhatian Sasuke teralih oleh suara Mikoto dari balik pintu. Cepat-cepat ia bangkit dari atas kasur lalu menatap Naruto tajam sekali lagi. "Akan kubunuh kau," ancamnya, "jika kau menceritakan hal ini kepada siapa pun, akan kubunuh kau saat itu juga."

Naruto hanya bisa mengedikkan bahunya bingung ketika Sasuke pergi meninggalkannya. "Memangnya aku salah jika menyentuhnya? Kita ini sama-sama pria ... apa mungkin Sasuke itu?"

.

Setelah selesai mempersiapkan kebutuhan mereka, Naruto menunggu Sasuke di danau yang terletak di timur Konoha. Ia duduk di tepian untuk mencelupkan kakinya ke dalam air jernih dan tenang itu.

"Jadi ini Konoha? Kota yang cukup besar dan didominasi oleh para Mage," gumam Naruto pelan.

"Jadi, kau sudah melihat-lihat Konoha?"

Suara dari arah belakang menyita perhatian Naruto, ia menoleh lalu mendapati Itachi mengenakan jubah satin yang menutupi seluruh tubuhnya. Sama seperti Sasuke.

Naruto mengangguk. "Kota yang sangat besar dan indah," jawabnya singkat.

Itachi tertawa. Kerutan di matanya terlihat semakin jelas. "Naruto, kau tahu? Sasuke mungkin terlihat angkuh dan egois, tetapi sebenarnya dia anak yang sangat baik, jadi kuharap kalian bisa berteman."

Naruto terdiam dan menatap Itachi. Ia mungkin belum mengenal Sasuke dengan baik, tetapi ia tahu seorang kakak tidak mungkin berbohong atas perilaku adiknya. "Kuharap kami bisa berteman, dan jangan khawatir Itachi, aku akan menjaga Sasuke."

"Pfffft."

Naruto menggaruk belakang kepalanya bingung. "Apa ada yang lucu?"

"Naruto, Sasuke itu Sorcerer dengan kemampuan tertinggi di Konoha," sahut Itachi menahan tawa. "Kau tidak perlu menjaganya. Mungkin saja dia yang akan menjagamu."

"B-benarkah?" Wajah Naruto sedikit memerah malu.

Itachi mengangguk mantap lalu tersenyum. "Itu benar, tetapi aku akan selalu memegang janjimu Naruto. Jika Sasuke pulang dalam keadaan yang buruk," ada jeda sesaat, "aku yang akan membunuhmu."

Belum sempat Naruto menyahut, sosok pria berjubah hitam itu menyela dari belakang.

"Hentikan ocehan bodohmu Itachi," ujarnya datar, "dan cepatlah, Dobe. Kau membuang waktu."

Naruto mengangguk, bangkit dari atas tanah, lalu berjalan ke arah Sasuke seraya melambaikan tangannya pada Itachi.

"Teme," panggil Naruto.

"Hn."

Entah sejak kapan mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan itu.

Naruto menggaruk belakang kepalanya gugup. "Kuharap kita bisa berteman baik."

"Jangan bermimpi Dobe," ketusnya tersenyum sinis, "aku tidak mungkin berteman dengan seorang Blade Master lemah sepertimu."

"Apa kau bilang?" tegas Naruto mengeryitkan alis.

Sasuke menoleh dengan seringai di bibir. "Aku tidak mungkin berteman dengan seorang Blade Master lemah sepertimu."

Iris birunya yang berkilat emosi menatap iris hitam Sasuke dengan lekat lalu menarik jubah hitam itu mendekat, hingga jarak mereka hanya tersisa 3 senti. "Aku tidak lemah," geramnya.

"Hn, benarkah? Kau ti—"

"Hey lihat! Mereka berdua akan berciuman!" potong salah seorang bocah yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka.

Sasuke mengernyit tidak suka, ia menepis tangan Naruto kasar lalu berjalan dengan cepat menuju perbatasan kota dengan hutan.

"Hey, Teme! Tunggu! Urusan kita belum selesai!" teriak Naruto. Namun Sasuke tidak mempedulikannya dan tetap berjalan.

.

1 jam berjalan ke dalam hutan, Sasuke menghentikan langkanya tiba-tiba untuk melepas jubah satin yang ia kenakan.

Naruto yang berada di belakangnya hanya bisa mengernyit bingung. "Teme apa yang kau lakukan?"

Tubuh Sasuke terbalut oleh baju dan celana hitam yang terlihat cukup ketat. Kakinya yang jenjang dipadu dengan boots hitam selutut membuat Sasuke tampak sangat menarik menurut Naruto. Ia tahu jika Sasuke adalah seorang pria. Namun ia tidak memungkiri jika Sasuke mampu membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

"Hutan ini sangat berbahaya, jubah hanya akan membuatku lambat," jawab Sasuke.

Naruto membalikkan tubuhnya memunggungi Sasuke. Jantungnya yang lepas kendali membuatnya cukup kewalahan. Ia tidak mengerti, bagaimana mungkin bisa tertarik dengan sosok itu. Ia sudah hidup selama 22 tahun, dan baru kali ini merasa tertarik pada seorang pria.

Sasuke menghentikan langkahnya ketika menyadari Naruto tidak lagi mengikutinya. "Dobe?"

Tidak ada jawaban.

Sasuke berdecak kesal, ia mendekat lalu menyentuh pundak Naruto. "Dobe!"

Naruto membalikkan tubuhnya perlahan, lalu menatap Sasuke ragu-ragu. "Teme, bolehkah aku menciummu?"

Sasuke membelakkan kedua matanya tidak percaya. "H-huh?"

Wajah Naruto bersemu merah. Ia terlihat sangat gugup. "A-aku hanya ingin memastikan, meskipun kujelaskan kau pasti tidak akan mengerti."

Ekspresi terkejut di wajah Sasuke menghilang, tiba-tiba saja ia terdiam layaknya patung saat menatap iris biru Naruto tanpa berkedip. "Kau ingin menciumku? Boleh saja." Ia bertanya dengan nada sangat datar, lalu perlahan api berwarna biru terang mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, hingga membuat Naruto melompat mundur ketakutan.

"Itu jika kau bisa mengalahkanku terlebih dahulu, Dobe."

Naruto membuka mulutnya. Namun tidak ada satu patah kata pun yang terlontar, di detik itu juga ia menyadari jika perkataan Itachi benar adanya.

Sasuke bukanlah Sorcerer biasa.

"L-lupakan saja, Sasuke." Naruto tersenyum kaku dengan lebar, takut-takut ia berusaha menggandeng tangan putih pucat itu. "Ayo, kita cari bandit sialan itu."

Sasuke hanya menyeringai tipis, dan membiarkan Naruto menggandeng tangannya.

.

20 menit berjalan tiba-tiba saja Sasuke menarik lengan Naruto lalu menghentikan langkanya.

Naruto tidak mengerti, ia mengernyit lalu menoleh ke kiri dan kanan. "Ada apa? Aku tidak melihat hal an—"

"DI SANA!"

Lapisan tipis seperti kristal berwarna biru terang mengelilingi tubuh Sasuke dan Naruto, lalu sebuah anak panah berhenti tepat di hadapan mereka sebelum terjatuh ke atas tanah.

"Whoa." Mulut Naruto terbuka lebar. "Itachi benar, kau sangat hebat," ucapnya terkagum-kagum.

Sasuke berdecak kesal. Tidak percaya jika Naruto masih bisa terlihat santai, dan tidak waspada sama sekali. "Bukan saatnya untuk kagum! Angkat senjatamu dan bersiaplah. Para bandit itu menyadari kedatangan kita."

Naruto mengangguk mengerti. Ia menarik kedua bilah pedangnya lalu berdiri di hadapan Sasuke. Kedua pedang sangat tajam. Namun terlihat ringan saat digenggam.

"Menyingkir dari hadapanku."

Naruto menoleh memamerkan cengiran khasnya. "Aku tahu jika kemampuanku tidak sebanding denganmu, Teme, tetapi aku harus menepati janji pada Itachi untuk membawamu pulang dengan selamat."

Sasuke terdiam. Untuk sesaat ia bisa merasakan dadanya memanas dan berdetak lebih cepat.

"Hahahahahaha."

Tawa seseorang yang berasal dari balik semak-semak menyita perhatian Sasuke dan Naruto.

"Jika kalian ingin berkencan, sebaiknya jangan di tengah hutan berbahaya seperti ini love birds."

.

Continued