Disclaimer : Bleach © Tite Kubo
Warning : OOC, Typo, perusakan karakter, shinigami life, tulisan berantakan *seperti biasa, author ga pernah meriksa ulang*, etc.
.
Aku Rukia.
Seorang geladangan dari Rukongai distrik 59.
Awal hidupku memang sudah tidak beruntung. Aku dibesarkan ditengah-tengah lingkungan yang mengerikan, setiap harinya harus mengais tong sampah ataupun mencuri bersama temanku Renji agar dapat bertahan hidup. Yang kupunya hanya Renji dan seorang kakak perempuan sakit-sakitan yang harus ku urus. Menyedihkan.
Hidup mulai berubah saat kakak bertemu dengan seorang pria dari keluarga bangsawan, Kuchiki Byakuya. Pria itu seperti jatuh cinta pada kakak, terbukti tidak lama setelah pertemuan dengan kakak, mereka berdua langsung menikah. Ternyata kakak jauh lebih cerdas, menerima lamaran keluarga bangsawan untuk melepas jerat kemiskinan kami. Aku bahkan tidak tahu apakah kakak tulus mencintai pria itu atau tidak.
Aku resmi menyandang nama Kuchiki sejak saat itu. Sebagai adik angkat, aku juga disekolahkan di akademi shinigami, semua orang mulai menghormatiku. Hidupku seharusnya sempurna kalau saja tidak mengetahui semua yang kuperoleh adalah palsu. Beberapa bulan setelah menyandang nama Kuchiki, baru aku mengetahui para tetua Kuchiki menganggap aku dan kakakku sebagai benalu. Rasa hormat yang mereka perlihatkan hanyalah kamuflase dari pencemoohan serta ketakutan terhadap benalu seperti kami. Mereka takut, orang miskin seperti kami akan mengotori lahan mereka, mereka takut bau kumuh akan menyebar di tata kesopanan keluarga Kuchiki. Karenanya, mereka menekanku, hidupku mulai di atur, aku kehilangan kebebasan, serta sahabatku—Renji.
Dua tahun hidup dalam kekangan, aku menemukan teman baru di sekolah akademi shinigami. Kurosaki Ichigo.
Orang yang mencolok dengan rambut orangenya, dia sama kerasnya denganku, dan dia—sama-sama tidak punya teman sepertiku. Kami tumbuh dan belajar bersama, kami saling membagi ilmu setiap ada waktu luang. Ichigo selalu mengajariku ilmu pedang, yah—kuakui sejak awal aku memang tidak berbakat dalam ilmu pedang. Tapi prestasi kidou-ku bagus, karena itu Ichigo selalu datang padaku untuk minta di ajari.
Kami sangat cocok walau begitu kontras berbeda, seperti matahari dan bulan. Keduanya memang berbeda, namun saling berhubungan bukan?
Tahun akhir pendidikan di akademi shinigami. Sayangnya—hidupku kembali di tekan. Para tetua Kuchiki mengetahui aku berteman dengan Kurosaki Ichigo yang bukan dari keluarga bangsawan. Mereka memaksaku untuk menjauhi Ichigo, mereka bilang seorang Kuchiki tidak boleh bergantung pada orang lain. Dan benalu harus menempel pada yang lebih kokoh selain pada keluarga Kurosaki.
Dua kali kehilangan sahabat. Aku mengerti bahwa di dunia ini tidak ada orang lain selain aku. Aku hanya boleh melihat diri sendiri, memperdulikan diri sendiri, dan memperkokoh keluarga Kuchiki. Begitulah alur yang seharusnya aku ikuti sebagai garis yang ditentukan oleh para tetua.
Sekarang—aku adalah Kuchiki Rukia.
Anggota elite shinigami divisi 13 yang dingin. Seorang benalu yang telah menancapkan akar pada inangnya dengan kuat. Tidak ada lagi yang berani mendekat serta menggugat posisiku. Hidup telah mengajari bagaimana menjadi benalu tangguh. Dan—meskipun benalu, harus tahu cara berterima kasih kan? Karena sudah dibiarkan hidup... aku juga harus bisa mempertahankan nama baik keluarga Kuchiki. Dan salah satu caranya... dengan pernikahan.
Pernikahanku memang tidak biasa kalau dilihat sejak awal.
Pernikahan karena cinta? Mungkin bisa terjadi kalau aku jatuh cinta dengan seorang keluarga bangsawan. Tapi itu bukan seperti itu situasi yng kuhadapi sekarang.
Pernikahan karena perjodohan? Hal yang wajar, mengingat posisiku yang berada dalam daftar pewaris Kuchiki. Tapi sekali lagi kutegaskan, itu bukan aku.
Pernikahanku lebih tepat bila disebut keterpaksaan karena kesalah pahaman.
Bukan. Bukan karena salah mempelai prianya. Itu salahku. Salahku yang tidak memiliki kekuatan lebih. Salahku karena setelah sekian tahun mencampakkan hubungan baik kami, kini malah melibatkannya dalam situasi rumit keluarga Kuchiki.
Hingga sekarang, aku masih tidak percaya baru melewati ritual pernikahan bersamanya. Kami telah resmi menjadi suami-istri.
"Tersenyumlah, Rukia," kakak perempuanku dengan sengaja menyenggol bahuku, menegurku yang sendari tadi memasang wajah sedingin es. "Lihat, setidaknya suamimu bisa menunjukan ekspresi bahagianya di hadapan orang hari ini," lanjutnya menatap lurus suamiku yang tengah sibuk berbicara dengan tamu undangan.
Aku tersenyum hambar mengikuti pandangan kakak, melihat wajah bahagia—mungkin palsu—dari pria yang sekarang sudah berstatus suamiku.
Aneh.
Tidak ada isyarat kebencian di matanya terhadapku. Aku yang meninggalkannya. Aku yang acuh berlalu membiarkannya dikeroyok saat masih di akademi shinigami. Aku yang tidak mau menoleh lagi setiap dia hampiri. Kenapa?
.
Satu bulan sebelumnya
Malam terang bulan di rumah dinas taichou divisi 5, Sousuke Aizen. Ah, bukan. Bukan dia lagi. Sousuke Aizen telah di cap sebagai penghianat sejak satu tahun yang lalu. Dia membawa pergi benda terlarang Hougyoku, baru beberapa hari lalu penghianat berpenampilan ramah itu ditangkap oleh anak buah kesayangaannya di divisi 5, Kurosaki Ichigo.
Sebelumnya Ichigo memang menduduki posisi penjabat bangku no. 3 di divisi 5. Setelah sang kapten berhianat, Ichigo adalah orang yang paling berusaha keras mengembalikan kaptennya ke Soul Society. Bahkan rumornya sudah tersebar ke penjuru kota. Dan inilah hasilnya, Ichigo berhasil.
Sebagai penghargaan, Yamamoto-taichou menyerahkan gelar taichou divisi 5 kepadanya. Itu sebabnya hingga larut rumah dinas divisi 5 dipenuhi banyak shinigami. Ini adalah pesta perayaan untuk Kurosaki Ichigo.
"Renji, ini sudah malam. Kau tidak ingin pulang?" Renji yang mabuk menoleh dengan setengah sadar, aku bahkan ragu dia masih memiliki kesadaran atau tidak.
Aku tersenyum kecut. Kabar gembiranya, Renji adalah sahabat yang berhasil mendekati garis pembatas keluarga Kuchiki, itupun setelah makhluk berambut merah ini berhasil mengambil hati Byakuya-niisama dengan menjadi wakil kapten divisi 6.
"Renji, kau dengar tidak?"
"Hik, sebentar lagi ya, Rukia-channnnn..." ujarnya mencubit pipiku, nafasnya menyemburkan aroma sake yang kuat ke wajahku.
"Sakit, bodoh!" tinjuan kuat kuarahkan pada muka Renji. "Menjauh dariku, kau mabuk!"
Payah. Rupanya babon itu tidak dapat di andalkan.
Aku melirik sekeliling, mencari 'teman' yang bisa mengantar pulang. Tidak, tidak! Bukannya aku takut pulang sendiri, aku hanya menghindari tetua Kuchiki yang akan mengintrogasiku kalau melihatku pulang sendirian tengah malam begini.
Kulirik Rangiku, huh... dia sudah mabuk. Momo? Gadis lugu itu sudah hilang di bawa Hitsugaya-taichou. Dua orang yang biasa ku andalkan sama sekali tidak bisa membantuku kali ini.
"Aku pulang dengan siapa?"
Ku edarkan lagi pandanganku, seakan berharap masih bisa menemukan sosok Momo dalam kerumunan shinigami-shinigami mabuk. Mataku tidak sengaja tertuju pada Ichigo dan teman-temannya. Yah—kalian pasti bisa menebak siapa temannya. Ishida Uryuu penjabat bangku nomor 3 divisi 12, Yasutora Sado juga penjabat bangku nomor 5 setelah Ayasegawa Yumichika divisi 11, dan—si cantik Inoue Orihime fuku-taichou divisi 4. Entah karena ada magnet atau apa, mataku tiba-tiba tertarik memperhatikan Ichigo.
Ichigo yang sekarang sangat berbeda dengan Ichigo saat di akademi dulu. Sekarang dia lebih tegas dan berkarakter, dia tumbuh menjadi pria yang hebat. Bahkan dengan haori kaptennya sekalipun, dia malah semakin terlihat mengagumkan..
Uwaaa... mataku tidak sengaja bertmu pandang dengannya, cepat-cepat kupalingkan wajahku.
"Pesta bodoh!" gerutuku. Panas serasa merayap di sepanjang pipiku. Tidak! Aku tidak memerah karena Kurosaki Ichigo, ini pasti efek sake.
Ku gelengkan kuat kepalaku. Aku tahu aku harus segera pergi, pikiranku akan semakin kacau kalau terus berada di tengah-tengah orang mabuk. Masa bodoh dengan tetua Kuchiki, masa bodoh dengan jam malam, aku mau pulang!
Aku melangkahkan kaki menelusuri lorong-lorong rumah yang luas. Walau tidak seluas Kuchiki Mansion, tetap saja aku kerepotan menemukan pintu depan. Terlalu banyak ruangan serta pintu-pintu yang berjejer disepangang koridor, membuatku seperti terjebak dalam labirin yang harus kuselesaikan untuk menemukan jalan pulang. Memangnya akau tikus, eh?
"Mau pulang, Kuchiki?"
"Kyaaa!"
Sial! Aku tidak bisa mengotrol emosiku karena terduduk di lantai saking terkejutnya.
Aku mendongak untuk mendapatkan sosok berambut pirang yang menatapku perihatin. "Kau baik-baik saja, Kuchiki? Apakah kau mau pulang?"
"Izuru!"
Orang yang mengejutkanku barusan adalah Izuru Kira. Kulihat dia agak mabuk. Yah—setidaknya dia masih sedikit sadar untuk membantuku berdiri.
"Iya, aku mau pulang."
"Mau ku antar?"
Wah, kebetulan sekali. Mana mau aku menyia-nyiakan kesempatan ini.
Dengan sekali anggukan dariku, Kira merangkul pundakku. Ini aneh, tapi biarlah. Yang penting aku tidak di ceramahi para tetua dan nii-sama.
"Emm... Izuru?"
"Ya?"
"Kenapa kita kemari?" aku bertanya karena merasa Kira tidak membawaku ke pintu depan, langkah kami malah menuju lorong sepi di rumah dinas Kurosaki.
"Ada barangku yang tertinggal, temani aku mengambilnya sebentar."
Meski perasaan tidak enak merayapi, aku tetap mengikuti Kira tanpa rasa curiga. Izuru Kira yang kukenal adalah orang yang baik. Karena itu aku tidak lari meski kami memasuki ruangan gelap, bahkan saking gelapnya aku tidak bisa melihat apapun dalam ruangan.
"Bakudou #1, Sai!" suara Kira menggema dibelakang punggungku, ini jebakan.
Tanpa sempat aku berlari ke arah pintu, aku terlanjur terjerat oleh Kidou milik Kira. Tanganku terkunci kuat kebelakang, tubuhku seketika ambruk ke lantai dengan sekali dorongan.
"Izuru!" suaraku nyaris tercekik ditenggorokan saat tangan Kira mulai merobek kosodeku.
"Tenanglah, Kuchiki. Aku tidak akan lama," suaranya terdengar berat karena pengaruh sake.
"Kau mabuk, sadarlah!"
"Ssst..."
Sekuat tenaga aku bergerak menjauh, namun selalu berakhir dengan kuncian. Sulit rasanya melawan saat kau sendiri berada dalam pengaruh mantra pengikat. Kira kembali merobek hakamaku, sambil menggigit kecil leherku. Aku yakin kalau seandainya lampu ruangan menyala, dia pasti bisa melihat tubuhku yang hampir terbuka semua.
"Singkirkan tangan kotormu dari—plak!
Pipiku terasa terbakar, kurasakan ada sedikit rasa cairan tembaga dari sudut bibirku. Bajingan mabuk ini ternyata membuat bibirku berdarah.
"Ssst... kau yang harusnya tidak banyak bergerak, Kuchiki."
Aku kembali merangkak menjauh, sayang kalah cepat dengan tangannya yang menarikku kembali ke posisi semula dan menghadiahiku dengan hujanan tamparan—lagi.
Kepalaku mulai berdenyut pening, mataku pun mulai berkunang-kunang. Beginikah penambah kisah benalu sepertiku? Kakak bilang hiduplah seperti Kuchiki, dan bertahanlah seperti seorang Kuchiki. Tapi kalau seperti ini, bukankah sama artinya aku dengan sampah Rukongai?
Tanpa terasa air mata mengalir dari sudut mataku. Cih, air mata. Bukan karena takut, aku hanya merasa miris. Tubuhku mati rasa, aku bahkan tidak bisa membedakan lagi entah itu tangan atau bibir Kira yang memaksa menjelajahi tubuhku.
"Kami-sama," bisikku lirih.
Sraaaak!
"Apa yang kau lakukan!"
Seseorang datang. Dia yang membuka pintu. Mata ambernya menatap Kira dengan tatapan marah. Apakah aku sudah terselamatkan?
Kira berhenti menggerayangiku, tangannya bahkan terlepas begitu saja dari tubuh dinginku. "Ku,Kurosaki-taichou!"
Tubuhku mati rasa, pengelihatanku kabur, dan pendengaranku serasa kebas. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam ruangan. Tampaknya orang yang dipanggil Kurosaki-taichou itu tengah berkelahi dengan Izuru Kira. Aku hanya meliriknya sekilas, tubuhku hanya bergerak membetulkan shihakushou yang tak karuan lagi bentuknya. Menganggap tidak terjadi apa-apa, menyamakan situasiku sekarang dengan situasi saat aku dan teman-temanku tertangkap serta diahajar masa karena mencuri di Rukongai. Situasi sekarang, sama kan?
Tubuhku ambruk kembali merasakan gemetar.
Tidak apa-apa Rukia. Kau seharusnya sudah kebal, kau biasa dilecehkan orang lain.
"Rukia, kau baik-baik saja?" kurasakan dua tangan kuat mencengkram pundakku, menutupi tubuh atasku dengan sebuah kain putih.
Ah, suara ini. Rasanya sudah lama dia tidak menyapaku seperti ini. Mulutku ingin bergerak memanggil namanya, namun lidahku kelu. Semua indra seakan tidak mematuhi perintah otakku.
"I,Izuru?" ucapku lirih.
"Tidak apa, dia sudah pergi. Semua baik-baik saja, kau aman bersamaku sekarang."
Aku menggeleng lemah, memaksakan tubuhku berdiri. Aku harus kembali, ini sudah memasuki jam malam keluarga Kuchiki. Tidak akan kubiarkan hal bodoh seperti ini mengacaukanku. Sekuat tenaga aku berdiri namun kembali ambruk ke lantai bersamanya karena terlalu kuat berpeganggan padanya.
Tubuhnya kini berada diatasku, menutupi serta melindungi dengan tatapan yang sulit ku artikan. Apakah kau merasa aku menyedihkan sekarang?
"Berhentilah bersikap sok kuat, Rukia. Tidak apa Rukia. Tidak akan ada yang menghancurkan topengmu disini. Kau tetap Kuchiki Rukia yang kuat, yang kau butuhkan hanya mengumpulkan tenagamu sebentar. Kau tidak boleh pergi sekarang, emosimu belum stabil."
Dia tahu. Yah—aku tidak heran kenapa dia bisa membacaku begitu mudah. Sekian tahun berlalu, meski semua sudah berubah, hanya aku yang tidak berubah. Walau aku tumbuh seperti tanaman berduri, dia tahu aku masih begitu lemah—dibandingkan dia yang sudah begitu kuat sekarang.
Aku terisak pelan, mencengkram kerah shihakushounya kuat-kuat. Ya, aku takut. Aku tahu seluruh dunia telah meninggalkanku, aku tidak memiliki tempat berpenggang sejak dulu.
"Beraninya kalian melakukan perbuatan tidak senonoh yang mencoreng nama baik keluarga Kuchiki!"
Secara bersamaan, kami menoleh ke sumber suara. Diambang pintu, dengan tatapan tajam menghakimi. Aku membuat kesalahan besar.
Terkejut, aku mencoba berdiri. Namun kekuatan kakiku masih belum berhenti gemetaran, membuatku dengan drmatis kembali jatuh ke pangkuannya.
Beri sambutan pada tamu kehormatan ini. Mereka disini karena aku telah melewati jam malam, mereka mencariku, lebih tepatnya mereka mencari kesalahanku. Dan semua menjadi kesalahan lengkap ketika mereka melihatku hanya mengenakan haori bertuliskan huruf kanji 5 di punggungnya, serta berada dalam pelukan pemilik haori tersebut.
"Lihat perilaku adik angkatmu, Byakuya! Benar-benar rendah!"
Ya, aku memang selalu rendah.
Tubuhku gemetaran dengan menggila.
"Tidak ada yang salah disini!" jawab pria yang dengan kokoh masih memelukku dari tadi. Kulirik wajah seriusnya yang menatap tajam para tetua Kuchiki, reiatsunya serasa menebal disekitarku, seolah-olah menjadi pelindung agar tidak ada yang bisa menyentuhku saat ini.
"Ikut kami, kalian berduaa perlu bicara di hadapan semua tetua Kuchiki," ujar Byakuya-niisama dingin.
Tidak! Apapun di dunia ini, aku tidak ingin berurusan dengan tetua Kuchiki saat ini.
"Izinkan Rukia kembali ke rumah dan beristirahat. Biar aku saja yang ikut kalian."
Aku terperangah mendengar pernyataan darinya. Menghadapi anggota keluarga Kuchiki bersama saja sudah menjadi pilihan terburuk. Apalagi kalau harus ia sendiri. Aku menggeleng kuat, mencoba memberi isyarat tindakannya bukan hal yang tepat.
"Apa maksudmu dengan kau sendiri yang ikut dengan kami, Kurosaki-taichou?"
"Aku yakin kau adalah orang yang menjunjung tinggi peraturan dan rasa tanggung jawab, Kuchiki-taichou. Jadi izinkan aku melakukan kedua hal itu sekarang."
Dia dan nii-sama saling melempar tatapan. Kedua reiatsu mereka terasa berbeda, perang reiatsu terasa jelas disini. Reiatsu nii-sama terasa tegas dan menakutkan, sementara dia begitu kuat tetapi terasa hangat disekitarku. Mereka berdua sama-sama taichou yang saling bersebelahan divisinya, tentu zapakutou tak mereka perlukan lagi untuk menggertak lawan. Dan bagi yang memiliki reiatsu lemah, sebaiknya jangan coba-coba memasuki area.
"Anak ini cukup bernyali, Byakuya," salah seorang tetua Kuchiki angkat bicara. "Ikuti saja keinginannya, kita lihat sejauh mana keberaniannya itu."
Sekali lagi aku menarik lengan shihakushounya, aku mencoba meyakinkan kembali tekadnya untuk menghadapi tetua Kuchiki. Namun hasilnya, nihil. Dia sama sekali tidak menatapku. Meninggalku ke tangan pelayan-pelayan kediaman Kurosaki untuk mengurusku sebelum mengantarkan aku pulang. Tidak ada yang bisa kulihat selain punggungnya yang kian menjauh. Perlahan dingin merayapi tubuhku. Ternyata aku terlalu terbuai oleh reiatsu hangatnya sehingga tidak sadar ada angin dingin yang siap menyerangku kapan saja.
.
"Lihat betapa cantiknya dirimu dengan yukata tidur ini," Rangiku sibuk memutar-mutar badanku, mengagumi hadiah pernikahan darinya. Sebenarnya itu lebih pantas di sebut kain tipis ketimbang yukata. Jujur, aku seperti tidak mengenakan apapun ketika memakainya.
"Aku rasa kainnya terlalu tipis, Ran-chan." Lihat, Momo saja bilang begitu.
"Sudahlah, Rangiku. Aku pakai yukataku yang biasa saja."
"Hei, Rukia-chan!" Rangiku mencubit pipiku dengan geram. "Ini malam pengantinmu. Sediakan yang istimewa untuk Kurosaki-taichou."
Aku menggosok-gosok pipi bekas cubitan Rangiku, dia ini punya dendam apa sih padaku? Rasanya benar-benar sakit. "Yukata ini bisa membuatku kedinginan."
"Tenang saja, kau tidak akan kedinginan lagi ketika Kurosaki-taichou melepasnya. Sepanjang malam dia akan menghangatkanmu karena kulihat dia orang yang berstamina hebat."
Ah, kenapa aku punya teman semesum ini ya?
"Berhenti meracuni Rukia dengan pikiran kotormu itu, Ran-chan!" Momo ikutan memerah sepertiku.
"Ah, Momo... kau juga tenang saja waktu nanti menikah dengan Hitsugaya-taichou, dia itu jenius. Ku dengar orang jenius sangat hebat di tempat tidur."
"Rangiku!" aku dan Momo berteriak bersamaan. Demi tuhan, kalimatnya itu kadang terlampau deskriptif. Meracuni kami berdua yang tidak tahu apa-apa, dia sendiri malah asyik menertawakan kami.
"Toushiro tidak akan suka bila tahu fuku-taichounya mengatkan hal itu di hadapan kekasihnya."
Secara serentak kami bertiga menoleh ke arah pintu. Ternyata sudah ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami. Memalukan.
"Oww... pengantin prianya sudah datang. Ayo kita pergi, Momo—oh, iya. Jangan takut bermain lama, Kurosaki-taichou. Rukia memiliki kekuatan hebat di balik tubuh mungilnya. Nikmati malammu,Taichou..."
Dia cuma tertawa menanggapi kalimat mesum Rangiku, sementara aku jadi bertambah malu.
"Aku pergi mandi sebentar, kau duduk santai saja dulu," tangannya menekan pundakku agar duduk di ranjang. Aku terlalu gugup hingga tidak sadar langkahnya sudah menghilang di balik kamar mandi.
Beberapa menit kemudian dia telah keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Pakaiannya juga telah berganti dengan yukata tidur. Langkahnya terhenti ketika duduk di sebuah kursi yang berada di pojok ruangan. Matanya terus mengamatiku walau tangannya masih sibuk mengeringkan rambut.
Aku semakin salah tingkah di amati olehnya. Aku tahu ini adalah malam pengantin kami, tapi aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
"Buka pakaianmu."
"Wha, apa?" dia bilang apa barusan? Jangan bilang dia bisa membaca pikiranku.
Ia menghela nafas , meletakkan handuknya di atas meja lalu berjalan kehadapanku.
"Berdiri."
Aku patuh berdiri.
"Buka pakaianmu."
Kali ini aku benar-benar yakin kalau tadi aku tidak salah dengar. Tanganku memang bergerak untuk menarik obi pengikat yukata, tapi tanganku terlalu kikuk hingga tidak berani menariknya hingga lepas. Hhh... bagaimana ini?
Lagi-lagi dia seperti bisa membaca pikiran, seakan tahu aku sedang gugup, dia tidak lagi memberi instruksi dengan kata-kata. Dia hanya tersenyum hangat sembari membimbingku ke dalam pelukannya.
Tangan kanannya mendekap erat tubuhku, dan tangan kirinya memijat pelan belakang leherku. Seperti tidak ingin kehilangan pengangaan, kedua tanganku mencengkram erat kerah yukatanya. Kepalaku juga dalam keadaan miring ke kanan, membiarkan bibirnya dengan leluasa menelusuri leher serta pundaku. Tapi—kenapa begitu mudah?
Oh, rupanya yukataku sudah teronggok begitu saja di ujung kaki. Sejak kapan?
Entahlah, aku tidak bisa berpikir lagi. Yang kutahu perasaan hangat tengah menyelubungiku saat ini.
"I,Ichigo..."
.
.
Okeh hasil karya yang ternyata sudah teronggok selama 4 tahun dan tidak pernah sempat mempublishnya...
Yah—just show up your mind...
Arigatou... ^^
