The One I want to Remember
Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Pairing : Uchiha Madara dan Hyuga Hinata
Warning : Rate T dan M untuk kata² kasar, crack pairing, sedikit OOC, AU, Typos everywhere, mumgkin juga gaje ceritanya.
Author baru, harap maklum jika banyak kesalahan.
Don't Like Don't Read..!
"Dasar wanita jalang.. Perebut suami orang.. Tidak tahu malu..!" Hardik wanita berambut pink sebahu begitu memasuki pintu apartemen yang terbuka.
Plaaaaak..!
Wanita itu menampar pipi kanan wanita berambut indigo sepinggang yang ada dihadapannya. Wanita indigo itu tidak membalas tamparan atau pun hardikan wanita berambut pink tadi. Ia hanya terdiam, terdiam karena menahan perih dihatinya.
"Kau pikir kau bisa menjerat semua pria dengan kecantikanmu, hah..! Dasar jalang, wanita murahan!" Cacian masih terus keluar dari mulut wanita berambut pink.
"Kau salah paham nyonya, aku ti.." belum selesai wanita berambut indigo itu berkata tamparan telah mulus mendarat dipipi kirinya.
"Kau mau bilang kalau suamiku yang menggodamu, begitu?! Dasar jalang, sudah berapa kali kau tidur dengan suamiku hah?.. Dasar wanita murahan!" balas wanita berambut pink setelah menampar wanita berambut indigo untuk kali kedua.
Wanita berambut indigo berusaha berlari kekamar tidur, namun saat ia berbalik tangannya kirinya diraih oleh si rambut pink dengan sangat kasar, sirambut pink menarik rambut indigo wanita itu hingga ia meringis kesakitan, tidak terima dengan perlakuan wanita berambut pink, si indigo berusaha melepaskan tangannya, tapi si rambut pink menahannya dengan kuat, tubuh mereka limbung dan terjatuh. Kini mereka berdua bagaikan kucing dan anjing yang sedang berkelahi, bergumul dan bergelut, saling cakar, menarik rambut dan menampar. Rambut rontok milik mereka berdua tercecer dilantai.
Entah setan apa yang merasuki tubuh wanita berambut pink, hingga ia bisa sekuat itu dan menduduki perut wanita berambut indigo yang sudah kewalahan dan kembali menghardik :"Aku tak akan pernah membiarkanmu mencuri suamiku jalang!".
Ketika tangan kanan si rambut pink terangkat keatas, bersiap akan melakukan tamparan pada si rambut indigo untuk kesekian kalinya, pintu apartemen terbuka dan menghadirkan sesosok pria berambut kuning terang dengan mata sebiru langit, mengenakan setelan jas hitam. Pria itu berlari menghampiri mereka.
"Sakura.. Hentikan!" pinta si pria rambut kuning kepada wanita berambut pink yang bernama Sakura.
"Oh.. Kau berani juga kemari Naruto?" Jawab Sakura sambil berdiri dari perut wanita berambut indigo dan mendekati pria yang diketahui bernama Naruto.
Wanita berambut indigo ikut berdiri dan mengambil jarak yang lumayan jauh dari mereka berdua.
"Ini semua salahku Sakura, aku mencintai Hinata" Jelas Naruto dengan tatapan lirih.
"Hah.. Apa aku tidak salah dengar, kau mencintai wanita jalang seperti dia, wanita murahan yang tidur dengan suami orang" Bentak Sakura
Wanita berambut indigo tadi hanya terdiam dan menundukan wajahnya.
"Maafkan aku sakura, aku bilang padanya kalau kita sudah bercerai. Makanya dia mau kembali padaku... Aku sudah tidak tahan dengan sikapmu yang seperti ini Sakura.. Aku ingin kita bercerai!" Jelas pria bernama Naruto lagi.
"Kau.. Kau.. Berani- beraninya kau bicara seperti itu kepadaku! Kau pikir siapa dirimu? Kalau kau tidak menikahiku kau tetap menjadi pegawai rendahan diperusahaan ayahku" Jawab Sakura sambil menangis dengan nada tinggi.
"Hinata tak bersalah Sakura, aku mencintainya jauh sebelum kita bertemu. Saat kau memaksaku untuk menikahimu aku masih berpacaran dengannya. Kau yang merebut aku darinya Sakura, dengan kekayaan dan trik licikmu, kau memaksaku untuk menikahimu. Seharusnya kau yang malu Sakura" kata Naruto.
"Kau... Kau...!" Sakura berniat menampar Naruto, tapi tangannya tak dapat bergerak. Airmatanya mengalir deras, nafasnya seperti tercekat mendengar semua perkataan suami yang telah ia nikahi setahun terakhir.
"Kalau kau mau menamparku, tampar saja" Ucap Naruto lagi.
Hinata berlari menuju kamar tidur, mengambil tasnya lalu melangkah keluar. Ia menghentikan langkah kakinya sebentar didepan Naruto. Ia membungkukan badannya.
Dengan suara bergetar Hinata berkata: " Naruto kun, terima kasih atas kebohonganmu selama ini. Aku tidak akan pernah melupakannya".
Hinata bergegas keluar dari apartemen itu. Hatinya hancur berkeping- keping. Pria yang ia cintai selama ini telah melakukan kebohongan yang besar kepadanya. Hinata berjalan gontai dengan tangan kiri yang memegang dadanya, yang entah mengapa seperti ditusuk seribu kunai disana, sangat sakit sekali melebihi sakit yang dirasakan pipi dan seluruh tubuhnya.
Hinata sesekali menghentikan langkah kakinya yang terasa sulit sekali untuk digerakan. Pikirannya kosong, ia bahkan sudah tak mempedulikan penampilannya, rambut indigonya berantakan, air mata masih mengalir dikedua pipinya, blouse putih lengan pendeknya kusut dimana- mana. Untung jeans yang ia kenakan tidak ikutan kusut.
Hinata berjalan tanpa tujuan dan tak tentu arah, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri untuk mengurangi rasa dingin dipenghujung musim gugur, mantel yang biasa ia kenakan tertinggal diapartemen. Hinata tak menyadari langkah kakinya sudah membawanya ke patung anjing setia Hachiko.
"Stasiun Shibuya?" Gumam Hinata.
"Ya Tuhan.. Aku sudah jalan jauh sekali..!?" Gumam Hinata tak percaya.
Hinata memasuki stasiun dan duduk disalah satu bangku panjang yang berada diperon, ia tak tahu harus kemana? Apakah pulang ke kampung halamannya di Takayama, atau ke apartemen kecilnya di Hinata duduk termenung dan kembali menderaikan air mata ketika ingatannya memutar kejadian tadi pagi.
Hinata dan Naruto lahir dan besar di kota Takayama, mereka bersahabat sejak kecil, seiring berjalannya waktu persahabatan diantara mereka berubah menjadi cinta. Naruto yang setahun lebih tua dari Hinata memutuskan untuk kuliah di Tokyo. Meski dengan berat hati, Hinata merelakan kekasih hatinya melanjutkan pendidikan ditempat yang jauh.
Setahun kemudian Hinata pun menyusul Naruto. Hinata mendapatkan beasiswa di Universitas Meiji Gakuin fakultas Ekonomi. Awalnya ayah Hinata, Hyuga Hiashi tak mengizinkan putri pertamanya melanjutkan sekolah ke tempat yang jauh dari kediaman mereka, namun demi masa depan dan cita-cita Hinata yang ingin menjadi seorang akunting, Hiashi akhirnya merelakan sang putri kuliah di Minato, Tokyo.
Walau sama- sama di Tokyo Hinata dan Naruto jarang sekali bertemu, Hinata tinggal di Minato sedangkan Naruto di Shibuya. Hubungan diantara mereka tetap terjalin namun karena kesibukan masing- masing, kisah cinta mereka berjalan ditempat, namun Hinata tetap mempercayakan cinta dan kesetiannya untuk Naruto.
Saat liburan musim dingin Hinata pulang ke kampung halamannya, ia terkejut mendengar kabar bahwa Naruto telah menikah dengan seorang putri konglomerat di Tokyo. Hinata yang sama sekali tidak mengetahui kabar itu terkejut tiada terkira.
Empat bulan yang lalu, Naruto menyambangi apartemen Hinata di Minato, menjelaskan bahwa pernikahannya dengan Sakura ha pernikahan kontrak, untuk menutupi aib keluarga Haruno. Naruto juga mengatakan bahwa tidak ada cinta diantara mereka, mereka pun telah bercerai. Hinata pun kembali ke pelukan Naruto, Naruto membelikan Hinata sebuah apartemen mewah di Shibuya, dekat dengan kantor Naruto, sehingga mereka mudah untuk bertemu. Hinata menjumpai Naruto dua minggu sekali, karena Hinata telah bekerja sebagai staff akunting disebuah televisi swasta.
Hinata tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi dengan Naruto? Namun peristiwa tadi pagi membuatnya tak ingin menjalin hubungan apapun dengan Naruto, lagi.
Kriiiuuuuuk..!
Suara perut Hinata yang kosong membuyarkan lamunannya.
" Ya Tuhan. Aku belum makan apapun dari tadi pagi, tenggorokanku juga haus sekali." Batin Hinata.
Hinata bergegas mencari supermarket atau kedai makanan apapun yang dekat dengannya. Hinata melihat papan nama Seven Eleven dan berjalan mendekatinya, saat akan memasuki pintu Seven Eleven seorang pria mengenakan kemeja kotak- kotak, warna abu- abu putih lusuh berlengan pendek, yang tidak dikancing dengan kaos dalam berwarna hitam, celana hitam dengan noda putih dimana-mana, sepatu safety hitam yang kotor, berambut hitam panjang acak-acakan, menghalangi langkahnya.
Hinata dan pria itu kini berhadap- hadapan. Bukannya minggir melihat Hinata yang ingin masuk, pria itu malah membuka minuman ringan yang ada ditangan kanannya, tak memperdulikan Hinata yang sudah memasang tampang bengis dan tatapan membunuh ingin segera masuk kedalam Seven Eleven.
" Apa seh maksud pria ini? Dia tidak tahu apa aku sudah lapar berat!" batin Hinata.
Pria yang ditatap hanya memandang wajah Hinata tanpa ekspresi dan siap menenggak minuman ringan dari tangannya. Sebelum pria itu menuangkan minuman kedalam mulutnya, dengan kesal Hinata mengambil minuman ringan dari tangan sang pria, dan meminumnya sampai , lalu mengembalikan kaleng kosong minuman itu ketangan kanan si pria lagi. Pria tadi hanya memandang takjub apa yang sedang Hinata lakukan dan tersenyum. Hinata tak membalas senyuman pria itu, ia membalikan badannya dan kembali menuju peron. Rasa kesal Hinata terhadap pria tadi membuat rasa laparnya hilang.
Perjalanan delapan jam yang melelahkan dari Shibuya, tak lagi Hinata rasakan setelah kakinya menapaki pelataraan kediaman Hyuga. Terlebih lagi saat sang ibu menyambutnya dengan senyuman dan pelukan penuh kehangatan.
" Kau pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, Hinata chan? " tanya ibunda Hinata.
Hinata menceritakan semua kejadian yang ia alami. Ibunya kembali memeluk dan menenangkan Hinata. Tanpa Hinata sadari, ayahandanya mencuri dengar semua cerita Hinata dari balik pintu ruang keluarga.
Hinata terlahir dalam keluarga bangsawan yang memegang teguh tradisi dan kesopanan. Sejak lama Hiashi tak menyetujui hubungan antara Hinata dan Naruto, karena menurutnya Naruto berasal dari keluarga yang tidak sepadan dengan mereka. Hiashi cukup berlega hati mendengar putrinya sudah tidak ingin lagi memiliki hubungan apapun dengan Naruto.
Hiashi berjalan mendekati Hinata dan istrinya lalu berkata: " Lusa kau dan ayah kembali ke Minato, ada proyek real estate di Odaiba, perusahaan kita memenangkan tender sebagai jasa kontraktornya. Niisanmu juga akan mulai bekerja dan berkantor disana. Kami membutuhkan tenaga akunting. Jadi ayah harap kau bisa ikut bekerja sama."
" Tapi.. Bagaimana dengan pekerjaanku yang lama ayah?" tanya Hinata.
"Aku sudah membicarakan hal itu dengan atasanmu, ia mengizinkanmu resign dari perusahaannya. Ia pun berterima kasih atas kerja kerasmu selama di Minato TV." Jelas Hiashi lagi.
Hiashi berjalan meninggalkan putri dan istrinya yang masih duduk diruang keluarga dan kembali berkata: " Hinata. Ayah senang mendengar keputusanmu untuk tidak bersama Naruto."
Hinata dan ibunya saling memandang. Mereka tak mengira Hiashi mendengar semua curahan hati Hinata. Ada perasaan malu dihati Hinata, karena ayahnya tahu soal Naruto. Tapi ia pun merasa lega, karena ayahnya merasa senang dengan keputusannya.
Hari pertama Hinata bekerja diperusahaan kontraktor milik ayahnya di Odaiba. Hinata bangun terlambat dan datang kesiangan ke kantor mereka. Hinata sengaja tetap tinggal diapartemen kecilnya, agar tidak terlalu sering bertemu ayahnya yang berkepribadian dingin.
"Gomen.. Aku kesiangan Niisan." Itulah kata pertama yang dikeluarkan Hinata saat memasuki ruangan ayahnya yang ternyata hanya diisi oleh kakak sepupunya, Hyuga Neji.
"Semalam kau tidur jam berapa Hinata chan?. Untung paman Hiashi pergi ke proyek sejak tadi. Kalau dia tahu kau datang terlambat dihari pertamamu, dia pasti akan memecatmu.. Hahahahahah.." jawab Neji sambil sedikit berkelakar.
" Gomen.. Semalam aku tidak bisa tidur Niisan." Sahut Hinata.
" Ya sudah. Ruanganmu disebelah kanan ruangan ini. Ada dua staffmu yang sudah menunggumu disana. Setelah kau berkenalan dengan para staffmu, tolong antarkan dokumen ini ke paman Hiashi di proyek. Iya yang memintamu mengantarkan ini. Oke." Seru Neji kepada wanita dihadapannya.
Hinata tak mengerti kenapa harus ia yang mengantarkan dokumen itu. Namun ia juga tak dapat menolak permintaan wakil direktur yang tak lain adalah kakak sepupunya.
"Oke Niisan." Jawab Hinata simpel dan segera bergegas menuju ke ruangannya disebelah kanan.
Hinata diantar oleh seorang karyawan ayahnya menuju proyek. Hinata berjalan sambil mendengarkan penjelasan dari karyawan itu tentang proyek real estate mereka, tiba- tiba langkah Hinata terhenti saat ada seorang pria yang menegur mereka.
" Kiba.. Siapa wanita disebelahmu? Sepertinya matanya sangat mirip dengan bos- bos kita?" tanya seorang pria yang mengenakan seragam pekerja proyek berwarna hitam- hitam, memakai helm keselamatan berwarna kuning, sepatu boot plastik warna abu- abu dan dibibirnya tersemat rokok yang masih menyala.
Sekali lirik, Hinata dapat mengenali lelaki yang menegur mereka tadi.
" Dia lagi. Mau apa dia disini? Iangan bilang kalau di.." gumam Hinata kesal.
Sebelum Hinata melanjutkan gumamannya ia membaca name tag yang tertera didada sebelah kanan seragam hitam pria itu " Uchiha Madara, Spv. Lapangan ".
Hinata merasakan wajahnya memanas karena kesal bertemu kembali dengan pria yang tidak punya sopan santun itu.
" ini Nona Hyuga, Madara kun. Dia manager akunting Hyuga Corps." Jawab pria bernama Kiba.
Pria itu mendekati Hinata dan menjulurkan tangan kanannya yang terbungkus sarung tangan abu- abu yang kotor dan berkata : " Kenalkan aku Uchiha Madara, supervisor atau mandor lapangan proyek ini."
Hinata tak membalas uluran tangan Madara, ia malah mendengus kesal dan menyahut dengan nada tinggi :" aku sudah membaca name tagmu, dan kau pun sudah tahu namaku, jadi kita tak perlu bersalaman!"
" Ooooh.. Kau kasar sekali nona, setidaknya beri tahu aku siapa namamu, bukan hanya nama keluargamu!" tanya Madara lagi.
" Kau bisa memanggilku Hinata tuan. Maaf kami harus pergi! Mari tuan Kiba!" jawab Hinata tegas dan berlalu meninggalkan Madara bersama karyawan yang bernama Kiba tadi.
" Silahkan Nona Hinata." Jawab Madara dengan tersenyum.
Madara masih memandangi punggung wanita yang baru saja ia ketahui bernama Hinata. Wanita yang menurutnya sangat cantik dengan rambut indigo panjang, mengenakan blazer biru muda dengan dalaman putih, celana panjang berwarna biru muda dan sepatu wedges biru dongker.
Hinata merapikan dokumen- dokumen diatas meja kerjanya, ia tak menyadari seorang pria memperhatikannya dari balik jendela. Pria itu masuk keruangan Hyuga Hiashi dan Neji. Setelah beberapa menit ia keluar dari ruangan itu dan hampir bertabrakan dengan Hinata yang akan memasuki ruangan ayahnya.
" Ya Tuhan.. Kau lagi.. Kau lagi..!" seru Hinata ketika melihat pria dihadapnnya itu.
" Maaf nona Hinata, aku tidak melihatmu tadi." Jawab pria itu sambil senyum- senyum sendiri.
" Minggir aku mau masuk!" perintah Hinata dengan nada kesal.
" baiklah nona. Aku tidak akan menghalangimu kali ini." Jelas pria itu sambil berlalu meninggalkan Hinata dan masih tetap tsrsenyum.
" Dasar pria bodoh.. Menyebalkan!" gerutu Hinata sebelum memasuki ruangan ayahnya.
Sirene tanda jam kantor berakhir telah berbunyi. Hinata mematikan laptopnya dan merapikan beberapa dokumen yang masih tercecer dimejanya dan memasukannya kedalam map. Menyisir rambutnya yang indah dan bergegas pulang.
Hinata bertemu Neji dilobby. Neji berniat mengantarnya pulang ke apartemennya, namun Hinata menolak. Hinata beralasan ingin membeli perlengkapan mandi yang habis sebelum pulang dan ingin jalan- jalan melihat suasana Odaiba.
Hinata berjalan sambil melihat pemandangan yang indah disamping kanan kirinya, menikmati dinginnya penghujung musim gugur yang akan berganti musim dingin. Ia tidak pernah merasakan sebahagia ini. Melihat raibow bridge dari kejauhan dan hiruk pikuk suasana Odaiba menjelang malam, membuatnya melupakan kisah cintanya yang pedih.
Dua bulan sudah Hinata bekerja sebagai akunting diperusahaan ayahnya sendiri. Hinata mulai terbiasa dengan ledekan dan gurauan yang sering Madara lakukan terhadapnya. Menurutnya Madara pribadi yang hangat, walau kadang menyebalkan. Hinata juga merasakan kalau Madara menyukainya, namun ia mencoba mengabaikan perasaan Madara terhadapnya, karena Hinata sendiri tidak menyadari perasaan apa yang ada didirinya untuk Madara. Trauma akan kegagalan dan pengkhianatan terus bergelayut ditiap inchi pemikiran Hinata.
Hinata memutuskan untuk tidak pulang ke Takayama bersama ayah dan kakak sepupunya dihari libur. Hinata mengenakan mantel hoody berwarna cream dengan bulu- bulu halus di hoodynya. Jeans biru dan boot sebetis berwarna cream menambah cantik penampilannya saat itu. Hinata mengeluarkan sepeda dan mengayuhnya perlahan. Hinata tiba di alun- alun Odaiba. Memarkir sepedanya dan berjalan memasuki alun- alun yang ramai dikunjungi pengunjung remaja.
Hinata menikmati pemandangan teluk yang indah dihiasi lampu warna warni dr gedung pencakar langit. Sampai ia menyadari ada seseorang dibelakangnya berdeham kencang.
"Ehmm.. Ehmmm.. Sedang apa disini sendirian Nona?" tanya pria yang tidak lain adalah Madara.
" Tuan. Anda juga sedang apa disini?" Hinata balik bertanya.
" Aku bosan dirumah. Jadi pergi kesini." Jawab Madara santai.
" Aku juga bosan dirumah, tiba- tiba sudah terdampar disini." Jelas Hinata sambil memandang pria disampingnya dan tersenyum kecil.
" Boleh aku duduk?" tanya Madar sambil melihat bangku kosong disebelah Hinata.
" Silahkan Tuan." Jawab Hinata ramah.
Mereka pun bercakap- cakap, sesekali tawa mereka terdengar di udara. Hinata merasa ada sesuatu yang mengisi kekosongan dihatinya ketika ia bersama Madara. Hinata menatap lekat- lekat wajah pria disampingnya. Ia baru menyadari bahwa Madara cukup tampan bila tidak sedang mengenakan seragam proyek.
" Tuan.. Kiba Kun pernah bercerita padaku, dia bilang kau seorang arsitek? Kalau kau seorang arsitek kenapa bekerja seperti itu?" tanya Hinata.
Madara hanya terdiam seribu bahasa. Ekspresi wajahnya yang tenang dan gembira berubah menjadi dingin seketika.
" Maaf bila aku lancang tuan!" Hinata menyesali pertanyaannya barusan.
Madara tersenyum dan berkata :" jangan meminta maaf jika kau tidak tahu kesalahanmu nona. Aku akan menceritakannya padamu. Itu pun jika kau punya waktu untuk mendengar."
" Aku akan mendengarkan." Jawab Hinata.
Madara tertawa terbahak- bahak mendengar jawaban Hinata. Hinata memandangi Madara dengan tatapan aneh. Belum selesai Hinata tertegun dengan keanehan yang dilakukan Madara, Madara malah meninggalkan Hinata tanpa kata- kata.
" Dasar pria aneh." Gerutu Hinata yang kesal ditinggalkan begitu saja.
Hinata kembali menatap pemandangan yang ada dihadapannya dan terkejut dengan kehadiran tiba- tiba Madara disampingnya yang membawa dua kaleng kopi hangat. Madara menyodorkan satu kaleng kearah Hinata. Hinata mengambilnya dan terkenang pertemuan pertama mereka beberapa bulan yang lalu.
Madara pun teringat pertemuan pertama mereka di stasiun Shibuya dan berkata: " Sejak pertemuan itu, aku tak pernah berhenti memikirkanmu. Ketika Sepupumu meminta aku untuk bergabung diprojeknya, aku langsung setuju. Karena aku yakin akan bertemu denganmu lagi."
" Kenapa kau bisa sangat yakin tuan?" tanya Hinata.
" karena aku yakin kau jodohku.. Hahahahaha.. Tidak.. Tidak.. Maksudku karena kau memiliki iris yang sama dengan Neji, aku berharap kalian keluarga. Dan BINGO.. Kalian malah bersaudara." Jelas Madara.
" Oh.. Jadi seperti itu." Jawab Hinata dengan sedikit kecewa.
Madara mengalihkan pandangannya ke arah Hinata dan menyahut pelan : " kau kecewa ya. Karena aku tidak bilang karena aku menyukaimu?"
Hinata tergagap dan wajahnya merona merah dan dengan terbata- bata menjawab lirih :" bu.. Bu kan itu maksudku tuan.. A.. Aku hanya.."
" Aku mencintaimu Hyuga Hinata." Ucap Madara lalu mencium lembut bibir Hinata.
Hinata terkejut dan untuk sepersekian detik tak membalas ciuman Madara. Setelah ia menyadari bahwa selama ini ia sangat nyaman didekat Madara dan betapa ciuman Madara membuat hatinya yang dulu beku kian menghangat. Hinata membuka mulutnya dan mempersilahkan Madara memperdalam ciumannya.
Lebih dari lima menit bibir mereka saling terpagut. Madara akhirnya melepaskan ciumannya. Wajah mereka bersemu, mereka pun saling membuang muka, berharap kecanggungan setelah adegan ciuman tadi menghilang. Mereka tertawa, menertawakan kebodohan mereka yang bersikap seperti remaja yang baru pertama kali melakukan hal seperti itu.
" Hinata.. Seingatku.. Kau belum mengatakan kalau kau juga mencintaiku tadi...?" goda Madara kepada wanita disebelahnya.
" A.. Aku kan sudah membalas ciumanmu tadi, jadi.. Itu.. Sama saja!" jawab Hinata gelagapan.
Madara tertawa menyaksikan Hinata yang malu dan gugup seperti itu. Ia tidak menyangka wanita yang saat pertama kali mereka bertemu sangat galak, ternyata pemalu.
" Sudah malam Hinata, bagaiman kalau kuantar pulang?" tanya Madara.
" tidak usah repot- repot tuan. Aku bawa sepeda." Jawab Hinata.
" Sudahlah kau kuantar saja. Nanti sepedanya aku antar juga keapartemenmu. Oh iya satu lagi. Jangan pernah panggil kekasihmu dengan sebutan Tuan. Panggil aku dengan sebutan Mada kun oke!" seru Madara dengan senyuman menggoda.
" Iya... Mada kun" sahut Hinata dengan senyuman menggoda juga.
" Ayo naik!" perintah Madara ketika mereka sampai disebuah mobil jeep tua yang dipenuhi perkakas, perlengkapan tukang".
" Aku duduk dimana Mada kun? Kau tak lihat mobilmu penuh seperti itu?" tanya Hinata dengan sedikit merajuk.
Madara segera membereskan perkakas dan teman- temannya, agar Hinata dapat duduk dibangku sebelahnya. Akhirnya mereka pun tiba didepan apartemen Hinata. Madara segera mengemudikan mobilnya menuju rumahnya.
Enam bulan berlalu, musim panas pun tiba. Hinata berniat mengenalkan Madara kepada ayah dan ibunya nanti malam disebuah restaurant. Pada awalnya Madara menolak keinginan Hinata, Madara takut kalau orang tua Hinata akan menolaknya, namun Hinata tetap bersikeras akan memperkenalkan Madara kepada orangtuanya terlebih lagi Ibu dan adiknya sedang berlibur di Odaiba, sehingga Madara pun bisa berkenalan dengan mereka. Akhirnya Madara tidak bisa menolak keinginan Hinata.
" Kakak.. Pacarmu koq belum datang- datang?" tanya Hanabi kepada Hinata.
" Sudahlah Hanabi. Habiskan saja makananmu, jangan banyak tanya!" jawab Hinata ketus.
" Hinata chan. Betul kata adikmu, dia jadi datang atau tidak? Sudah sejam kita menunggu disini." Tanya ibunda Hinata.
" aku juga tidak tahu ibu. Dia bilang dia akan datang." Jawab Hinata dengan ekspresi sedih diwajahnya.
" Habiskan makanan kalian. Jika lima belas menit lagi dia tidak datang kita pulang!" Jelas Hyuga Hiashi.
Hinata, Hanabi dan ibu mereka mengangguk tanda mengerti.
" Hinata chan.. Maaf aku terlambat. Mobilku mogok dija.." ucap pria yang tiba- tiba menghampiri meja dimana Hinata dan keluarganya sedang menikmati makan malam.
Hinata terkejut sesaat dan menjawab : " Mada kun.. Akhirnya kau datang juga. Silahkan duduk."
Hanabi terus memandangi Madara yang saat itu mengenakan kemeja putih dan celana katun berwarna hitam. Rambutnya panjangnya berantakan, keringat masih membasahi kening dan pipinya. Begitu juga dengan ibunda Hinata, ia memperhatikan tiap detil penampilan Madara malam itu.
" Kau.. Kau kan?" tanya Hiashi tajam.
Nampak jelas sekali keluarga Hinata, terlebih ayahnya kaget dengan kehadiran Madara. Hiashi tak menyangka bahwa pria yang dicintai putrinya selama ini adalah karyawannya sendiri, lebih tepatnya mandor proyek.
Suasana tegang diantara mereka membuat Hinata gelisah. Terlihat jelas keluarganya terutama ayahnya tidak menyukai Madara. Jantung Hinata berdegup kencang. Pikirannya menerka- nerka apa yang akan ayahnya lakukan dengan hubungan mereka. Hinata merasa badannya dan wajahnya panas, ia pun pamit untuk ke kamar kecil. Hinata berjalan dengan gontai menuju kamar mandi.
" Ya Tuhan.. Apa yang akan ayah lakukan setelah tahu aku dan Mada kun berpacaran?" tanya Hinata dalam hati sambil berulang- ulang membasuh wajahnya.
Hinata keluar dari kamar mandi, kembali menuju meja tempat keluarganya berkumpul dilantai dua restoran itu. Hinata tak menyadari ujung rok gaun ungu mudanya basah terkena air dikamar mandi, ia berniat kembali kekamar mandi untuk mengeringkan gaunnya. Hinata hendak masuk ke kamar mandi dengan terburu- buru, ia tak menyadari ada air tergenang dilantai depan pintu kamar mandi. Hinata terpeleset dan jatuh dengan kepala terlebih dahulu. Tubuhnya lunglai seketika. Orang- orang berkerumun menyaksikan Hinata yang pingsan.
Madara mendengar suara ribut- ribut dibawah. Ia mendengar seorang wanita dengan gaun ungu pingsan didepan pintu kamar mandi. Madara langsung berlari menuju kamar mandi dilantai bawah, Hyuga Hiashi, Hanabi dan ibunya mengikuti Madara dari belakang. Madara berlari dengan cepat dan terkejut menyaksikan wanita yang dicintainya tak sadarkan diri didepan kamar mandi. Madara panik saat itu, matanya mulai berkaca- kaca. Madara langsung mengangkat tubuh Hinata dan membawanya kerumah sakit.
Hyuga Hiashi takjub dengan tindakan spontanitas Madara, ia tak menyangka Madara bertindak sangat cepat melihat Hinata tak berdaya. Ia merasa Madara bisa menjaga putrinya dengan baik.
Hinata mulai sadar, ayah, ibu dan Hanabi mendampinginya diruangan perawatan. Madara memilih menunggu diluar dan merokok untuk menghilangkan rasa panik dan terkejut yang masih melanda.
" Ayah.. Dimana Mada kun?" tanya Hinata ketika ia melihat tak ada Madara didekatnya.
" Hanabi. Panggilkan Madara san didepan!" perintah Hiashi.
" baik ayah." Jawab Hanabi yang langsung bergegas keluar ruangan untuk mencari Madara.
Ibunda Hinata memegangi tangan kanan putri tertuanya sambil menangis ia berkata: " kenapa kau bisa seperti ini Hinata?"
" aku tak tahu bu. Pikiranku benar- benar kacau tadi. Aku tak melihat ada genangan air disana. Dan aku.. Lupa aku harus kemana? Aku benar- benar kacau bu." Jelas Hinata.
" Tuan Hyuga anda memanggil saya?" tanya Madara yang baru saja masuk ke ruangan perawatan Hinata.
" Madara. Aku menyetujui hubungan kalian. Aku tidak akan melarang Hinata ataupun meghalangi hubungan kalian." Jawab Hiashi.
Madara mendapatkan kejutan bertubi- tubi malam itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Madara membungkukan tubuhnya dan mengatakan :" terima kasih banyak tuan Hyuga."
Hinata yang mendengar perkataan ayahnya menangis bahagia saat itu juga. Ia tak pernah menyangka ayahnya akan menyetujui hubungannya dengan Madara.
" Tuan.. Jika anda berkenan. Aku ingin menikahi Hinata.. Karena aku sangat mencintainya tuan." Pinta Madara.
" Jawabannya semua saya serahkan kepada Hinata.. Bagaimana Hinata, kau mau menikah dengan Madara?" tanya Hiashi kepada Hinata.
Hinata hanya dapat mengangguk tanda ia bersedia menikah dengan Madara.
" Baiklah. Hinata telah setuju, untuk detailnya kapan kita bicarakan dirumah. Oh iya nanti setelah menikah kalian akan tinggal dimana? Jika kalian mau, kalian bisa tinggal di apartemenku disini." tanya Hiashi lagi.
" nanti kami akan tinggal dirumahku tuan. Mungkin rumahku tidak seindah rumah atau apartemen anda. Tapi aku ingin istriku tinggal dirumahku sendiri." Jawab Madara tegas.
" bagus. Kau memang pria yang bertanggung jawab." Kata Hyuga Hiashi.
" Baiklah kami akan pulang. Tolong jaga Hinata selama kami tidak ada. Besok pagi istriku akan datang kesini." Jelas Hiashi lagi.
" Baik tuan." Jawab Madara.
Madara mengantar Hiashi, istrinya dan Hanabi sampai luar ruangan. Ia kembali menemani Hinata yang harus dirawat inap, untuk mengetahui apakah Hinata mengalami gegar otak atau tidak akibat terjatuh tadi.
** TBC **
Fanfict IF I HADN'T MET YOU belum rampung.. Eh udah publish judul lain. Entah mengapa akhir- akhir ini saya mengalami kebuntuan untuk melanjutkan cerita fanfict IF I HADN'T MET YOU. Ada ide untuk bikin judul ini dan mengalir begitu aza nulisnya.
Terima kasih untuk yang sudah berkenan membaca fanfict saya. Semoga anda terhibur.
Kritik dan saran yang membangun tetap saya harapkan.
