.
.
Sayap dan Pena
.
Naruto belongs to Masashi Kishimoto I take no profit of this and all the characters inside. All of the purpose for making this is just for fun and entertaining.
Uchiha Sasuke/Haruno Sakura (minor!Naruto/Hinata), T, Fantasy/Romance
© kazuka, april 18th, 2013
.
.
"Pertemuan si miskin Uchiha Sasuke dan si peri Haruno Sakura, menandakan bahwa sebuah pertaruhan besar antara perasaan dan perbedaan dunia akan terjadi."
.
.
"Ibuuu~~"
Hinata meletakkan piring terakhir yang ia cuci—dan lekas-lekas mengelap tangannya untuk menyambut sang putri yang menerobos pintu luar dengan langkah seribu dari kaki lincahnya. Betapa ia begitu mirip dengan ayah juga neneknya; seorang yang sangat bersemangat dan nyaris tidak pernah kehabisan energi.
Ya, meski ia adalah seorang perempuan.
"Selamat datang, sayang," Hinata mengelus puncak kepala putri tunggalnya. Meski anaknya telah terhitung akan beranjak remaja—anak kelas 6 SD sudah mengerti lebih banyak hal, bukan?—ia tidak bosan menunjukkan kasih sayangnya.
"Hei, aku tidak disambut?" rupanya sang ayah—yang baru masuk—terlihat cemburu.
"Selamat datang, sayang," Hinata tersenyum kecil, menyambut Naruto dengan suaranya yang pelan namun tetap membalas pelukan sang suami.
"Ibu, ibu! Aku menemukan buku menarik di perpustakaan sekolah, lho!" anak itu lekas-lekas mengeluarkan sebuah buku dari tas merahnya.
Hinata mengerutkan keningnya ketika memperhatikan buku apa itu.
"Aku penasaran dengan buku ini. Kelihatannya tua sekali ... aku belum membaca isinya, sih ... tapi aku tahu ini pasti menarik!"
Akhirnya, Hinata tersenyum. "Bersihkan dirimu dulu, dan ibu akan menceritakan tentang buku itu padamu, Shina-chan."
"Heee? Aku bisa membacanya sendiri, kok! Aku 'kan bukan anak kecil~"
Hal itu mengubah senyum Hinata menjadi tawa kecil. "Bukan. Buku itu punya legenda sendiri. Ibu yakin kau belum pernah mendengarnya. Ceritanya benar-benar menarik."
"Benarkah?" Kushina—putri manis berambut merah dan bermata lavender pucat itu pun mulai mengembangkan pandangannya menjadi beraura antusias. "Baik! Ceritakan setelah ini ya, bu!"
"Iya, sayang."
Dan Kushina segera melesat lari ke kamarnya. Naruto mengangkat alis, "Kelihatannya, buku yang dipegang Kushina itu asli ... sampulnya sudah jelek sekali, hahaha~"
Hinata mengangguk. "Aku juga tidak mengira kalau ternyata yang asli masih ada. Di perpustakaan sekolahnya, pula."
"Mungkin buku itu ada sihirnya," Naruto menerka sekenanya. "Bukannya yang asli saja bahkan sudah tidak bisa ditemukan sejak kita kecil dulu?"
Hinata kemudian mengangkat bahu. "E-entahlah. Semoga saja tidak terjadi apa-apa ..."
Naruto kemudian terkekeh. "Mungkin takdir? Supaya Kushina kita bisa mengetahui cerita sang penulisnya? Hahaha~"
Hinata memang berpikir bahwa analisa suaminya yang barusan terkesan 'asal' lagi ... tapi ia pikir juga bahwa ia tidak punya alasan untuk menentang itu. Siapa tahu saja benar, 'kan?
Sebab dibalik pembuatan buku itu—Hinata menemukan kisah rasa kasih yang paling indah yang pernah ia dengar.
.
.
xxx
.
"Bu, aku sudah siap!" Kushina mendudukkan dirinya di sofa dengan bersemangat, membuat ibunya berhenti membaca majalah di ruang tengah tersebut.
"Baik," Hinata meletakkan majalahnya. "Begini, Kushina ..."
.
~~~~::~~~~
Let the fire burns, let me see your desiring smile throughout the light of flickering fingers of fire.
~~~~::~~~~
.
Lemari, kosong.
Bagian atas meja, apalagi.
Sasuke memandang sekeliling. Tidak ada yang bisa ia gunakan untuk meredakan perih laparnya yang harus ia tahan dari kemarin pagi. Bahan mentah tidak punya, apalagi yang sudah jadi untuk segera dimakan.
Otaknya memerintahkan dirinya untuk segera menyeret langkah ke luar, mengusahakan makanan. Berdiam di rumah tak menghasilkan apapun.
Tapi, sejenak ia ragu. Uang saja tidak punya, mau cari apa dia diluar? Cari kerja? Ia rasa ia tidak punya tenaga atau kemampuan khusus yang bisa diandalkan. Ia pernah kerja membantu seorang tukang kayu namun berhenti satu minggu kemudian—katanya kerjanya lamban. Sasuke hampir tidak bisa menerima alasan itu—heh, ia sudah berusaha semampunya tapi ternyata dianggap tak becus juga? Tidak dihargai itu namanya.
Kepalnya lantas berganti memikirkan sekiranya siapa saja yagn bisa menolongnya. Setidaknya untuk hari ini. Ia tidak punya banyak kenalan.
Oh, tidak. Ada satu.
Dan itulah yang membuat Sasuke sedikit lebih yakin untuk mengikuti perintah otaknya untuk keluar.
.
xxx
.
"Maaf, Nak ... aku bukannya tidak ingin menolongmu ... tapi penghasilanku bulan ini saja menurun sangat drastis. Kau punya banyak utang denganku dan belum kau lunasi, aku sekarang juga terpaksa harus meminjam uang untuk modal tambahan. Maaf, ya."
Sasuke cuma menghembuskan nafas panjang dengan bunyi yang tipis, matanya terangkat sedikit menuju paman itu, kemudian mengangguk satu kali. "Hn. Aku permisi. Maaf belum bisa melunasinya."
"Ya. Usahakan secepatnya ya, Nak ..."
Laki-laki itu pasti ingin memaksa dirinya untuk segera membayar tunggakannya—tapi menyampaikannya dengan cara yang lebih halus saja. Sasuke balik badan, dan menata langkah pulang kembali.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Mencuri?
Tidak. Sasuke tahu dirinya adalah orang yang cuek pada sekitar namun tidak juga ia sampai berniat licik seperti itu. Dari luar ia memang terlihat dingin namun bukan berarti otaknya dipenuhi oleh rencana-rencana tak halal.
Langkahnya tidak lagi secepat yang biasa. Salahkan absennya asupan gizi dari kemarin yang menyebabkan tubuhnya tidak bisa digerakkan dengan baik lagi.
Tap, tap, tap. Berhenti. Langkahnya berhenti di jalanan pasar itu. Di depan toko yang cukup besar dan memajang banyak buku.
Ia jadi memikirkan tentang negaranya sekarang.
Negara yang mempunyai raja yang begitu tergila-gila dengan buku. Hobi membaca. Otomatis, buku menjadi hal yang paling dihargai di sini. Apapun isinya. Sajak, puisi, dongeng-dongeng, pengetahuan alam, ilmu pemerintahan, ilmu sosial, filsafat, dan sebagainya—semuanya disukai sang raja dan tentu saja, itu akan menjadi penghasilan besar bagi sang penulisnya. Raja berani membayar mahal untuk itu.
Sayangnya, di negara ini sedikit sekali yang menjadi penulis. Kebanyakan lebih suka berdagang atau menjadi buruh. Jadi—mayoritas buku yang beredar di sini adalah buah karya dari penulis yang sama. Seandainya ada yang lain, pasti dia akan kaya juga karena tentunya raja pasti antusias untuk membaca karya dari penulis yang berbeda.
Sasuke diam terpaku.
Kemudian menyeringai tipis.
Bukannya terlalu pede atau apa—ia yakin ia bisa jadi penulis yang seperti itu. Ia tidak tahu apakah ia punya garis keturunan pujangga atau apa—namun baginya ... ia pikir tak terlalu sulit untuk merangkai kata-kata—untuk mengubah apa yang ada di pikirannya menjadi ukiran pena di atas kertas.
Pena.
Oh, pena, ya?
Sasuke meneruskan langkahnya lagi. Khayalannya untuk menjadi penulis buyar sudah. Ia tidak punya pena. Pena termasuk barang yang tidak murah, apalagi kalau harus membeli tintanya juga.
Ia miskin. Uang untuk mengisi perut saja tidak punya.
Sasuke jadi terpikir untuk menjual barang yang ada di rumahnya, mungkin bisa untuk membeli makanan atau malah pena baru beserta tintanya.
Haha.
Memangnya apa yang bisa diharapkan dari sepetak rumah kecil itu?
Hanya ada satu selimut tua di atas dipan kayu yang mulai rapuh. Sebuah gelas dari sejenis logam yang sudah usang, sebuah piring yang tepiannya sudah tak mulus lagi. Sebatang lilin yang sekarang panjangnya tak lebih dari separuh jari tengahnya.
Sasuke semakin ingin menertawakan dirinya sendiri.
Mungkin dua-tiga hari lagi tetangganya akan menemukan mayat yang mati kelaparan di gubug tak berharga itu.
Srak, srak.
Sasuke terus berjalan.
Sraaakk—BRUK!
Sasuke membatalkan niat untuk melangkah.
Suara apa tadi?
Dia menoleh ke kanan-kiri, tapi jalanan sepi. Ia sudah keluar dari komplek pasar yang riuh rendah dan cuma ada jalan berbatu yang di sampingnya cuma ada tembok-tembok dari batu yang membatasi pekarangan rumah-rumah warga yang tampaknya penghuninya sibuk.
Bunyi tadi tidak ada lagi, namun Sasuke bisa mencium aroma wangi yang lembut.
"Ugh ..."
Ia bisa menerka sumber dari suara yang masuk ke telinganya barusan. Ia batal berjalan maju dan mencari-cari ke sela-sela tembok sempit di tepi jalan.
... Ia tidak mempercayai penglihatannya sekarang.
Um ... apa ia sudah terlalu lapar dan sudah tiba waktu untuk nyawanya dicabut?
.
.
.
Sasuke tidak mengerjapkan matanya sama sekali selama beberapa detik.
Ya, asumsinya benar-benar telah sampai di satu kesimpulan: mungkin sudah saatnya ia dijemput ke akhirat karena mungkin ia juga tidak berguna di dunia ini.
Karena bisa melihat makhluk asing ini.
"... Kau bisa melihatku?"
Setelah sekian lama jade dan onyx bertukar sinar pandang, barulah sang pemilik manik jade itu buka suara.
Sasuke tidak bersuara, ia masih sibuk bertanya-tanya pada dirinya sendiri—makhluk apa ini?
Sayap putih lebar yang terbuka sempurna—tampak lembut dengan bulu-bulu halusnya yang berkilauan terkena matahari. Beberapa dari bulu itu berserakan di jalan berbatu. Tubuhnya agak mungil namun kakinya terlihat jenjang.
Kulitnya pucat—hampir sepucat milik Sasuke. Bibirnya merah jambu cerah dan berisi, perpaduan serasi dengan matanya berkilat hijau muda cerah. Rambutnya juga merah muda, pendek sepanjang leher dan ada pita merah yang melingkari bagian atas kepalanya.
Bajunya putih, tak berlengan dan menutupi sampai lutut. Tampaknya dari sutra, halus sekali kelihatannya.
Sasuke ... harus mengakui bahwa dirinya terpana saat ini.
"Oh, baiklah, maaf membuatmu bingung. Dan maaf mengganggu waktumu. Jaa, aku pergi dulu!"
Srak-srakkk—bruk!
"Aduh!"
Sasuke mendekat, agak kaget (—sekaligus khawatir juga) mendapati gadis itu yang barusan melebarkan sayapnya untuk terbang—namun jatuh kembali ke tanah.
"Adududuh—sakit!"
Sasuke berjongkok, memicingkan mata—baru ia sadari bahwa ujung sayap kiri gadis itu bengkok dengan ganjilnya, dan ada rembesan merah dari sana.
"Kau siapa?" Sasuke bertanya singkat.
"Haaah, pantas saja. Benar-benar cedera. Duh, lama, nih baru sembuh ... o-oh? Kau bertanya aku siapa? Ummm~~" gadis itu memejamkan matanya sebentar, kemudian—SRAKK—sayapnya lenyap hilang, seolah bisa masuk ke dalam punggungnya. "Aku Haruno Sakura. Karena kau dengan ajaibnya bisa melihatku—kukatakan saja padamu bahwa aku adalah seorang peri. Kami adalah penjaga wilayah-wilayah di dunia manusia ini."
Dua alis hitam Sasuke nyaris menaut.
"Kukira mereka hanya dongeng."
"Tidaaaak," gadis itu—Sakura—mengibaskan tangannya di udara sambil tersenyum manis, "Kami nyata, kok. Tidak percaya?"
Sakura kemudian mengangkat tangannya, mengarahkannya ke sebuah tanaman kecil yang berada di dekatnya. Ia menjentikkan jarinya, dan hamburan bulir-bulir halus berkilauan langsung melayang di udara—dan kemudian tanaman itu dengan ajaibnya langsung menumbuhkan bunga cantik berwarna putih gading.
Sasuke masih merasa bahwa dirinya sedang berada di ambang dunia nyata dan khayal.
—Tapi, untunglah. Sepertinya gadis ini bukan malaikat maut yang ia kira akan menjemput nyawanya.
Ia merasa bahwa tadi dirinya memikirkan hal konyol. Memangnya malaikat maut berwujud perempuan cantik yang bersinar?! Otak orang kelaparan mungkin perlu sedikit diobati.
"Pasti gara-gara aku tersangkut di pohon milik Tuan Ratu di atas sana. Aaah, aku harus bagaimana? Mana hari ini aku tugas sendiri, lagi," ia mengomel sendiri.
"Lalu?"
Sakura mengerjapkan matanya bingung. "... Hah?"
"Kau mau apa setelah ini?" tegas Sasuke, dengan kata yang lebih panjang—namun masih terkesan terlalu hemat.
"Apa ya ..." Sakura menggaruk kepalanya dengan satu jari. "Entahlah. Aku tidak bisa terbang, sedangkan rumahku di atas sana."
Sasuke pun bangkit berdiri. Sakura mengangkat kedua alisnya, matanya mengikuti gerak Sasuke.
"Hn," Sasuke mengulurkan tangannya—kepada Sakura yang masih duduk bersimpuh dengan wajah bingung.
"Ikut denganku."
"Heee? Ke rumahmu? Apa boleh?"
" ... Kau mau tetap di sini, kebingungan dan dilihat orang-orang?"
Sakura meletakkan telunjuk di dagunya, kemudian mengangguk cepat, sembari menerima uluran tangan Sasuke. "Ba-baik!"
Sakura menggenggam tangan Sasuke, dan mengikuti langkah Sasuke yang sepertinya lebih cepat dari biasanya. Walau tak lama kemudian pemuda itu melepaskannya dan membiarkannya jalan sendiri di balik punggungnya—dia tidak bisa menghentikan ukiran senyuman yang mulai dibentuk bibirnya.
Sasuke tahu sebenarnya ia bodoh. Mengajak gadis ini ke rumahnya yang tak punya apapun itu? Dia cuma akan membuat peri ini tambah menderita!
Tapi ... ia juga tidak bisa membiarkan Sakura yang terluka sendirian di tempat seperti ini dan kemudian ditemukan orang-orang yang mungkin akan 'memanfaatkannya'.
Ya sudahlah! Yang penting ia punya masih punya niat baik untuk menyelamatkan, ya tidak?
.
.
xxx
.
"Oh ... jadi ini rumahmu ..." mata Sakura berkeliling. Hanya sepetak rumah kayu sederhana yang ada beberapa lubang pada tembok dan atapnya, sebuah dipan kayu sempit pada sisi kanannya—dengan selimut lusuh yang penuh tambalan, meja rapuh yang cuma berisi sebuah piring dan gelas yang tidak ditutup, tak ada yang istimewa.
"Kau tinggal sendirian?" tanya Sakura, setelah pembicaraan yang ia mulai sebelumnya tak disahut Sasuke.
"Hn."
Sakura melirik dari sudut mata, Sasuke sedang menarik sebuah kursi di hadapan mejanya dan tampak sedang memperhatikan dirinya.
"Kalau hujan, memangnya tidak banjir, ya?" Sakura berusaha menghindarkan diri dari tatapan yang ia rasa cukup tajam itu—memandang ke atap.
PIK! Satu kali jentikan jari, serbuk kecil berkilau beterbangan. Dalam sekejap, beberapa lubang pada atap rumah langsung tertutup.
Sasuke tidak berkedip untuk beberapa waktu. Hm, gadis ini melakukannya dengan senang hati dan sukarela atau punya maksud tertentu?
Heh, memangnya siapa yang mengajaknya ke sini, itu kau, 'kan, Uchiha?
"Kupikir kau tinggal dengan ayah-ibumu, atau saudara, atau mungkin ..." Sakura mengangkat bahunya, "istri?"
Sasuke mendengus. "Mereka semua sudah mati."
" ... Eh?"
"Tapi aku belum pernah menikah. Catat itu."
"O-oh ... ma-maaf," Sakura membungkuk sopan, memohon maaf. "Aku tidak tahu dan tidak bermaksud untuk membuatmu sedih."
"Mungkin aku akan segera menyusul mereka juga."
"Heeeee?" Sakura membelalak terkejut, "Apa maksudmu? Hush, jangan bicara begitu!"
"Aku tidak punya makanan. Mungkin sebentar lagi aku akan mati."
Sakura diam sejenak.
Oh, tidak. Agak lama.
"Hahahaha!" ia malah tertawa. "Bilang, dong! Hihihi, kau ini pemalu, ya?" Sakura pun mengangkat tangannya lagi, kemudian dengan satu kali petikan jari—meja yang tadi kosong sekarang penuh sekali dengan makanan, berbagai macam menu dan masih hangat. Plus aromanya yang langsung membangkitkan selera.
Sasuke balik menatapnya tajam, lagi.
"Apa maksudmu?"
"Hm?" Sakura menelengkan kepalanya. "'Maksud' apanya? Aku cuma mau membantumu, kok."
Sasuke tidak melanjutkan, namun sorot matanya makin mengintimidasi.
Sakura terkikik. "Oh ayolah, aku cuma mau membantumu, tidak boleh ya? Atau kau perlu alasan? Alasannya? Karena kau sudah dengan baik hati membawaku ke sini~ aku senang, hihihi—bisa saja aku ditemukan orang jahat saat sedang terluka di luar sana, ya 'kan?"
Sasuke masih bungkam, namun aura dari pandangannya sudah menunjukkan perubahan; melembut.
"Tapi—aku boleh ya, tinggal di sini? Hanya sampai lukaku sembuh, kok," Sakura memejamkan mata sebentar, dan kilauan cahaya menembus pandangan Sasuke. Sayap indah lebar itu kembali muncul. "Yah, ini kelihatannya cukup parah, sih."
"Sampai kapan lukamu akan sembuh?"
Sakura berpikir sebentar, mengetukkan jarinya di dagu. "Mungkin butuh waktu sampai tujuh hari hingga sembuh total. Cukup lama, ya? Tapi kalau sayap yang terluka, itu memang fatal sekali untuk para peri. Ini bagian tubuh kami yang paling sensitif sekaligus berharga."
"Cukup lama?" ulang Sasuke. "Tujuh hari adalah waktu yang normal untuk sembuhnya luka."
"Normal? Bagi kami itu lama, lho! Sebab kalau luka biasa, kami punya kekuatan khusus untuk dapat segera sembuh. Hm, coba kau ambil pisau itu dan lukai tanganku," Sakura mendekat.
Sasuke mengerutkan kening. Sakura mengarahkan pandangan pada pisau yang tersaji bersama seekor ayam panggang di atas meja.
"Jangan takut, tidak apa-apa. Aku cuma mau membuktikan padamu."
Sasuke ragu, tapi tangannya tetap mengambil pisau itu.
"Tidak apa~"
Akhirnya, dengan satu gerakan pelan—karena ia masih agak bimbang (plus takut!)—Sasuke menorehkan ujung pisau itu pada telapak tangan yang disodorkan Sakura.
Beriringan dengan masuknya ujung pisau itu pada kulit halus Sakura—darah merah pucat merembes. Sasuke sempat terkejut karena warna darah itu ... abnormal. Pucat dan tidak pekat seperti layaknya darah yang biasa ia lihat. Tapi yah—Sakura bukan manusia, 'kan?
Sasuke mengakhiri goresannya di dekat nadi pada pergelangan tangan Sakura. Dan baru saja ia mengangkat pisaunya, bagian pangkal luka itu perlahan mengeluarkan semacam asap dan kemudian menutup dengan sendirinya. Begitu cepat, sampai ke ujungnya dan kulit itu kembali seperti sediakala.
"Nah, kau percaya, bukan? Beda dengan sayap. Sekali sayap kami terluka, sembuhnya jauh lebih lama."
Dan mata hijau jernih gadis itu semakin meyakinkan Sasuke bahwa ia bisa mempercayai peri ini dengan sepenuhnya. Ia polos dan jujur, tampak dari cahaya matanya serta simpul senyumnya yang tipis namun manis.
"Aku belum tahu namamu. Kau siapa, tuan tampan?" puji Sakura dengan pipi yang lebih merona.
"Sasuke. Uchiha Sasuke."
"Oh—nama yang bagus. Salam kenal, Sasuke-kun!"
Mata Sasuke tidak beralih dari Sakura sesudah kalimat itu berakhir. Ah, jika saja tidak ada rasa lapar yang membuatnya lantas mengalihkan mata kepada sajian makanan di atas mejanya—ia akan memanfaatkan lebih banyak waktunya untuk memandang gadis itu.
Hari ini, Uchiha Sasuke—menemukan jalan lain dari hidup yang ia kira akan segera berakhir tanpa makna.
.
.
.
xxx
.
"Kau tidak bekerja, Sasuke-kun? Atau kau tidak suka melakukan sesuatu?" Sakura duduk pada dipan milik Sasuke sementara pemuda itu membereskan bekas makanan di atas meja. "Uhm, taruh saja di situ. Aku akan membersihkannya. Bukan hal yang susah untuk kami, kok, hihi~"
Sasuke menghentikan gerakannya berberes, menurut. "Aku dipecat."
"O," mulut Sakura membundar. "Hm, kau tidak mencoba jadi seseorang dengan pekerjaan yang begitu dihargai di kota ini? Raja sangat menyukai buku, bukan?"
Sasuke mendelik.
"Hei, jangan heran kenapa aku tahu seluk-beluk kota ini. Aku 'kan peri yang ditugaskan di sini, hehehe~ jadi wajar kalau aku mengamati banyak hal."
Sasuke mengangguk satu kali. Kemudian, ia duduk pada sudut lain depan, sejajar dengan Sakura namun agak berjauhan. "Aku mau, tapi aku tidak punya pena. Atau uang untuk membeli tintanya. Dan kertas untuk menulis."
Sakura memandang lawan bicaranya. "Oh, jadi kau sebenarnya suka menulis?" ia tersenyum cerah. "Baiklah~"
Sakura memejamkan mata—SRAAAKK!—bunyi dari sayapnya yang dimunculkan dengan magis dan kemudian direntangkan lebar-lebar terdengar. Gadis itu kemudian mencabut salah satu bulu dari ujung sayapnya yang tidak cedera.
PIK—sayap itu tercabut dengan mudah olehnya. Butir kilau berhamburan sesaat.
"Ini. Pakailah."
Sasuke mengangkat alisnya. "Tinta?"
Sakura terkekeh. "Tidak perlu. Kau tidak usah repot-repot membeli tintanya, itu pena ajaib dari sayapku. Sayap para peri adalah hal paling magis yang kami miliki, kami bisa memanfaatkannya sesuai keinginan kami. Dalam hal ini, aku ingin memakainya untuk memberikanmu pena. Silahkan kau coba kalau tidak percaya."
Sasuke menerima pena itu. Kemudian dahinya mengerut. "Dimana aku harus menulis?"
Sang peri diam sebentar, lantas tertawa lepas. "Hahahaha! Maaf, maaf, aku lupa! Hehehehe~ kau bisa temukan di bawah dipan ini. Tidak perlu takut kau akan kehabisan, kau bisa mempercayakannya padaku. Sekarang, menulislah sesukamu."
Meski ketika ia melihat ke bagian bawah tempat mereka duduk itu—telah ada bertumpuk-tumpuk kertas putih polos seperti yang ia ingini—Sasuke tidak langsung menulis. Alih-alih, ia kembali menatap Sakura.
"Kenapa kau melakukan ini?"
Sakura tersenyum simpul. Kemudian pandangannya ia lemparkan pada bagian luar rumah—yang terlihat pada jendela kecil di balik punggungnya. "Ketika hatimu tulus menolong seseorang, kau tidak bisa merasakan apapun selain keinginan untuk membuatnya senang. Jadi maaf, aku tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu."
Ini adalah dua hal yang sangat jarang dilakukan Sasuke—namun terbentuk dengan perlahan ketika ia mencerna sepenuhnya kalimat Sakura.
"Terima kasih," beserta sebuah senyum yang tipis.
~~~~::~~~~
When this morning's dew does reflect your beauty, sure I don't need any mornings else.
~~~~::~~~~
"Peneranganmu cukup hanya dengan satu lilin kecil ini?" tunjuk Sakura setelah ia puas berjalan-jalan menjamahi sudut-sudut rumah—dan melihat Sasuke menyalakan sebuah lilin karena sekeliling mulai gelap.
"Aku sudah biasa," Sasuke menarik kursi untuk kemudian dia duduk, dengan selembar kertas dan pena di tangannya.
"Apalagi kau mau menulis, tuh. Cahaya yang begini cuma akan merusak matamu," Sakura meniup lilin tersebut—membuat Sasuke mendengus.
PIK—cahaya putih langsung memenuhi ruangan.
"Lampu yang begini, cukup?" senyum Sakura. Sebuah lampu petromak terang kemudian ia letakkan di sudut meja Sasuke. "Nah, jadi lebih terang, 'kan?" Sakura sedikit menjauh, melompat-lompat kecil dan kembali mengelilingi ruangan.
Sasuke menghela nafas.
Ah, ini adalah sebuah keajaiban yang paling ajaib. Sambil memandang Sakura yang tampak asyik sendiri melipat ulang selimut lusuh miliknya—ia tidak tahu harus berekspresi apa.
Kulit pucat bak pualam itu dijamah cahaya sepenuhnya. Senyum tipis sepertinya terukir permanen pada wajahnya—terulas terus sepanjang hari ini.
Banyak hal yang langsung bermain di pikirannya. Banyak inspirasi yang bermunculan, banyak hal yang tiba-tiba minta ditumpahkan dari hati dan perasaannya.
Ia lupa kapan terakhir ia menulis, tapi ia ingat persis, sebelum ini—masih sering inspirasi-inspirasi itu muncul di kepalanya meski ia tak bisa menuliskannya. Kadang ia harus menahan itu sebab tidak punya sarana apapun untuk mewujudkannya.
Kakaknya dulu pernah mengajarkannya bagaimana cara menulis yang baik. Kakaknya yang sudah samar di ingatannya—orang itu sudah terlalu lama meninggalkannya.
Bebaskan, bebaskan. Lepaskan.
Ah, ya, itu. Sasuke ingat—dan mengerti.
Lalu, penanya mulai bergerak, meski perlahan, tapi goresan-goresan hitam berupa rangkaian huruf mulai tampak memenuhi kertas itu.
.
.
.
xxx
.
"Kau menulis apa, siiiih?" Sakura mengintip dari balik bahu Sasuke.
Lelaki itu refleks langsung membalik kertasnya dan mendecih. "Bukan sesuatu yang harus kau lihat."
"Curang!" Sakura mendelik. Tapi, ia menjauh. Tampaknya ia tak terlalu serius. "Kau lebih suka menulis puisi atau cerita?"
Merasa Sakura telah berada dari jarak aman darinya, Sasuke lanjut menulis. "Manapun yang membuatku lega."
"Hm, jadi menulis itu membuat lega, ya?" Sakura menggoyang-goyangkan kakinya—ia duduk kembali diatas dipan. "Aku belum pernah mencoba."
"Kakakku bilang menulis itu melepaskan diri."
Sakura mengangkat alisnya. "Kakak?"
"Si bodoh yang mengajariku banyak hal. Satu yang paling disayangkan adalah ... umurnya pendek."
Sakura bisa mendengarkan nada yang sendu dari kalimat itu. "Aku ... turut berduka," ia menggumamkannya.
"Hn."
"Kenapa kau suka menulis, Sasuke-kun?"
" ... Karena itu bisa membuatku tenang."
"Hm, benar juga," Sakura mengangguk-angguk. "Menulis itu 'kan menuangkan inspirasi ke dalam tulisan, melepaskan apa yang mengganjal di kepala. Yaaa~ kalau punya banyak inspirasi sih, itu gampang. Memangnya inspirasimu datang dari mana, Sasuke-kun?"
"Dari mana saja," jawab Sasuke singkat, membagi konsentrasinya pada tulisan dan pembicaraan dengan Sakura. "Dari sekitarmu, orang-orang yang kau perhatikan, pemikiran ketika kau sedang melihat sesuatu."
"Ah, andainya segampang itu untukku, aku mungkin akan mencoba menulis," Sakura menghentikan gerakan kakinya. "Aku tidak ahli dalam hal-hal seperti itu."
Sasuke tidak menanggapi.
"Ah, aku lelah," Sakura turun dari dipan. "Capek juga rasanya, akhir-akhir ini pekerjaanku banyak sekali. Yah, hitung-hitung cuti, nih, hihi. Aku tidur duluan, ya."
Tak lama setelah itu, suara Sakura hilang dan berganti dengan hening. Ada bunyi halus nafas yang teratur, yang membuat Sasuke menoleh.
"Baka."
Pemuda itu beranjak. Mendekat.
"Siapa suruh kau tidur di situ?" suara beratnya agak ia nyaringkan, supaya gadis itu bangun.
"—Hng?" Sakura melenguh, membuka matanya dengan malas.
"Tidur di atas," perintah Sasuke.
"Itu kan dipanmu. Aku cuma tamu."
"Tidur di atas," ulang Sasuke, kali ini lebih keras.
"Aku biasa kok tidur begini ..." Sakura menutup matanya lagi. Kantuk menyerangnya dengan cukup ganas.
"Kubilang tidurlah di atas."
Sakura—dengan malas—mau tidak mau membuka matanya lagi. Sekarang, yang ia lihat adalah Sasuke sedang membungkuk di hadapannya—dan, oh! Sedetik berikutnya ia rasakan tubuhnya melayang dengan kedua tangan hangat berada masing-masing pada punggung dan lipatan lututnya.
"E-eh—Sasuke-kun! Ka-kau tidak perlu ..."
Terlambat. Sasuke telah meletakkan tubuhnya di atas dipan. "Ternyata harus melakukan tindakan untuk membuatmu patuh."
"E-e ... eto ... kau tidur di mana?"
"Bisa di mana saja," jawab Sasuke tenang, kedua tangannya telah tersisip di saku celana hitamnya. "Sayangnya, dipan ini tidak cukup lebar untuk dua orang."
"U-ugh—kau!" Sakura menenggelamkan wajahnya di bantal—merah sekali pipinya. "Kau boleh tidur di sini, kok! Aku di lantai saja."
"Tidak," jawab Sasuke mantap. Lantas, berpaling memunggungi Sakura untuk kemudian kembali lagi ke 'pekerjaan'nya.
Sakura menggenggam sudut bantal sambil terus memandang punggung pemuda berbaju putih itu.
Detik ini, ada rasa yang lebih membuat Sakura terhanyut daripada rasa kantuknya.
.
.
.
| t b c |
.
A/N: hulla everyoneee~ selamat bertemu algi di karyaku yang baru lagi. sedang mencoba dengan fantasi, hihihi. Hmmm, Sasuke jadi orang miskin? ga ada tampang sih ya tapi lagi pengen percobaan aja, hahaha! abisnya masa tokoh cewek terus sih yang dibikin menderita? #dibalang
Semoga suka, ya! tunggu kelanjutannya~ n.n
.
.
p.s: ngebayangin Sakura pakai gaun putih sutra peri begitu—hwaaa, cantiknya! X3 Siapa yang mau bikin fanart-nya? XD
