Bisa dibilang ini lanjutan kisah Never Say it

Life

NARUTO © Kishimoto Masashi

Hurt/Comfort – Friendship

.

.

.


Suara gaduh laci yang dibuka tutup terdengar selama beberapa menit. Kamar kost yang tak terlalu besar itu kini terlihat berantakan. Parfum, hairdrayer, cukuran, dan entah barang apalagi yang telah tergeletak tak berdaya di lantai.

"Tidak ada. Di sini juga tidak ada. Oh, shit!"

Dan untuk kesekian kalinya Uchiha Sasuke menggeledah isi laci mejanya. Tetap tidak ada. Tidak mungkin. Ia ingat persis kemarin meletakannya di laci meja -satu-satunya. Tapi kenapa bisa sampai hilang.

Maling?

Sasuke menggeleng. Tak mungkin ada pencuri yang berminat pada benda kesayangannya itu. Mungkin benda itu sangat berharga di matanya, tapi sepertinya tidak untuk orang lain.

"Apa aku lupa meletakkannya?" Sang stoic menggigit ujung jari telunjuknya dengan wajah yang terlihat tengah berpikir keras. Di mana terakhir kali ia melihat benda itu? Ah, tentu saja di laci, bodoh! Tidak mungkin Sasuke salah ingat. Si jenius Sasuke nyaris tidak pernah lupa.

Tenang. Tenang, Sasuke. Apa benar kali ini tidak lupa meletakkannya? Owh! Ia mengacak rambutnya, frustasi. Apa yang harus ia lakukan kini? Emh, membeli benda itu di super market? Ide buruk, Sasuke. Sekarang sudah jam 06.35, hampir terlambat pergi ke kampus.

Lupakan! Mungkin ia bisa membelinya selepas kuliah, nanti. Tapi,

Pemuda Uchiha itu mematut dirinya di depan cermin besar yang menjadi bagian dari pintu almari.

Jeans biru tua, sangat serasi dengan gelam kornea matanya, T-shirt putih polos cocok sekali dengan kulit putihnya. Penampilannya sempurna, -seharunya. Tapi tidak! Ia tidak bisa ke kampus dengan penampilan seperti ini. Lihatlah! Rambut lunglainya yang pasrah pada grafitasi. Ini membuatnya terlihat seperti eerr... Sai? Tidak! Cukup sudah lelaki itu memiliki warna mata yang sama dengannya, cukup sudah jika warna rambutnya juga sama, dan cukup sudah gurat wajah pemuda innocent itu serupa dengannya. Maka dari itu, ia tak ingin model rambutnya sama dengan si pucat. Setidaknya itu ciri khas yang mendedakan dirinya dengan Sai.

Krek. Pintu kamar mandi terkuak. Pasti Sai telah selesai dengan urusannya, pikir Sasuke tanpa mengalihkan perhatian pada sohibnya.

"Aaaah! Leganyaaa... Yuk, Sas! Berangkat..." Sai nyengir super innocent seperti biasanya.

"Tunggu sebentar. Aku sedang mencari, ah! Apa kau melihat Ge- oh! Hei! Apa yang terjadi pada rambutmu!"

Sasuke tercengang. Matanya membulat maksimal sedetik setelah ia mengalihkan perhatiannya pada Sai. Jika kau perhatikan pemuda yang baru keluar dari kamar mandi itu, maka akan kau dapati sesuatu yang berdeda darinya.

Spike?

Ah, yang benar saja? Itu gaya Sasuke. Yang merasa model rambutnya diplagiat hanya ternganga tak percaya. Sementara yang bersangkutan malah tersenyum sok cute yang buru-buru menghampiri Saruke. Mensejajarkan dirinya dengan Sasuke yang berdiri di depan cermin.

"Ah, aku keren yah. Mak! Anakmu ini ganteng banget sih?" Sai bergumam pelan sambil tak hentinya senyum-senyum sendiri. Sasuke sweatdrop. Entah reaksi seperti apa yang harus ia tunjukkan. Tenang! Tenang Sasuke! Jangan sampai membenturka kepala ke tembok.

"Sai! Mengapa kau jadi seperti- ah! Pasti kau yang mengambil gel rambutku, hah?" Sasuke melebarkan kelopak matanya yang sipit. Sementara yang ditatap mengerjap tanpa rasa berdosa.

"Pinjem," akunya dengan senyum malaikat.

Sasuke menghela napas panjang sebelum mengacak rambut Sai main-main. "Kau jelek dengan rambut seperti ini. Kembali ke model layermu," ujar Sasuke menggurui. Sementara Sai kembali mematut wajah di depan cermin. Menurutnya, urusan penampilan, cermin tak bisa bohong. Tapi... tapi...

"Sudah. Sisir rambutmu seperti biasa! Kita hampir terlambat."

"Ah, benar juga." Buru-buru Sai membenahi tatanan rambutnya dan membiarkan Sasuke mengambil alih gel rambut yang ia genggam. Memberi kesempatan pada Uchiha bungsu untuk menata diri, Sasuke tampak berantakan pagi ini. Mungkin karena rambutnya yang tanpa gel.

"Siap?"

Dalam beberapa detik saja si pemuda kalem itu sudah melihat Sasuke dengan rambut cepaknya. Hebat! Padahal tadi ia menghabiskan waktu lebih dari limabelas menit untuk membuat pantat ayam dari rambutnya. Merepotkan.

"Lets go, bro!" Sasuke merangkul pundak pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya itu dan segera beranjak. Sai mengerjap. Ada apa dengan Sasuke? Salah makan obat ya? Tak biasanya pemuda ini bersikap bersahabat. Mencurigakan.

"Hey! Hey! Uang transferanku belum masuk, lho!" Sai tersenyum tawar. Dan seketika terlihat beberapa lipatan samar di kening Sasuke.

"Cih! Apa maksudmu? Kau pikir aku sedang butuh pinjaman?" nada suara Sasuke meninggi.

"Kalau bukan itu, apa lagi?" tanya Sai, lugu. Sasuke lantas menurunkan lengannya yang sempat tertender nyaman di pundak Sai.

"Sialan, kau!"

Dan pada akhirnya Shimura Sai hanya mengerjap-ngerjap dengan tampang tolol ketika dilihatnya Sasuke sudah melangkah menjauh dari tempatnya berdiri.

"Oh, hey! Kau marah ya? Kenapa marah? Salahku apa, ya?" Kejar Sai, masih bingung. Sementara sang sobat hanya menahan kesal di dada. Berteman dengan Sai. Oh, ada kekuatan apa pada diri Uchiha muda ini hingga mampu bertahun-tahun hidup bersama si autis Sai.

"Siapa yang marah?" Sasuke mempercepat langkahnya, dan Sai pun tak kalah cepat. Mereka hampir sampai di gerbang rumah. Si gadis cempol putri pemilik kost hanya geleng-geleng kepala ketika dilihatnya dua pemuda yang berjalan cepat di teras.

"Oh, jadi kau tidak marah ya? Syukurlah... tapi, hey! Kenapa wajamu masam begitu? Ah, meski kau tampan, tapi kalau wajahmu begitu juga tidak enak dipandang. Yang kubaca di buku, senyum dapat mencairkan suasanya. Cobalah biasakan dirimu tersenyum sepertiku, pasti kau makin terlihan keren. Dan kesan angkuh pasti juga lepas darimu. Hmm... banyak yang heran melihatmu, tiap hari mukanya kecut begitu. Hati-hati, pakar kecantikan kulit sering memperingatkan, tersenyumlah, sesungguhnya saat tersenyum adalah olah raga yang membuat otot-otot pada wajah kita rileks-"

Si pendengar hanya mendengus sebal.

"Hentikan ocehanmu, Sai. Kau ingin aku menghubungi Chou ji agar dia menjemputmu, hm?" Dan seringaian devil terbit begitu saja di paras Sasuke

Skak mat! Si pucat menelan ludah. Ia mengambil langkah damai dengan memberi isyarat meletakkan telunjuk jari di depan bibir dan seketika itu bungkam.

Dua pemuda itu berakhir berdiri membisu di halte bus. Menanti kendaraan besar yang akan mengantar mereka menuju kampus. Hah! Semoga saja tak harus menunggu lama seperti biasanya.

Tak sampai sepuluh menit mereka sudah sampai di halaman Universitas Shirokane, kebetulan tadi Pick up yang memuat gula premium milik Juragan Jiraya sedang lewat, sekalian numpang. Lumayan dapat gratisan ongkos.

"Iyyuh! Sudah kubilang! Seharusnya kita jangan numpang pick up-nya mang Jiraya! Uh, sekarang aku di krubutin semut."

Sasuke menyeringai. Ingin tertawa melihat teman dekatnya itu mengomel dengan wajah datar.

"Halah! Toh, gratis kan? Gak usah pake ngeluh, -eh? Ada Hinata."

Sasuke mengalihkan perhatiannya pada gadis indigo yang duduk di bangku taman bersama beberapa temannya.

"Lihat apa, sih?" Sai mengikuti arah pandang Sasuke.

"Sudah, kau ke toilet saja dulu. Kurasa semut-semut betina itu lebih menyukaimu," ejek Sasuke.

"Jangan mengolok! Ini semua gara-gara kau! Mentingin gratisan. Untung bukan truk sampah atau pick up pengangkut kambing yang kita tumpangin. Huft." Sai mengerucutkan bibirnya, ngambek. Oh, imutnya. Andai ada Chouji di sini pasti kau sudah habis, Sai. Batin Sasuke nista.
"Ah, apa peduliku. Urus dirimu sendirilah. Aku duluan ya, Sai." Membenahi rambutnya sekilas, Sasuke lantas melirik spion motor -entah milik siapa yang terparkir di sekitar taman. Ah, penampilannya sempurna. Tak perlu khawatir.

"Hei, mau ke mana? Aku ikut," rajuk Sai, dan baru selangkah ia mengikuti Sasuke, si raven buru-buru berbalik. Memegang bahu Sai dan membalikkan arah jalannya. "Jangan ganggu, pergi jauh-jauh sana! Kali ini, aku tak ingin ada obat nyamuk." Sasuke mendorong punggung Sai sekuat tenaga dan,

GEDUBRAK!

"GYAAAAAAAAA..."
Jatuh terpelanting menghantam tong sampah. O,oh! Sepertinya ada yang sengaja, Sai. Dan saat ia menoleh, ia hanya mendapati punggung Sasuke yang tertelan tikungan taman. Awas kau!

"SSAASSUUKKEE!"

Teriakan yang menggema di sekitar taman Universitas Shirokane itu hanya ditanggapi seringaian simpul si pemilik nama yang dipanggil. Hahaha, mudah saja. Ia hanya perlu mengetikkan pesan singkat untuk Chouji agar ia segera menolong Sai di taman. So sweet.

Ah, lupakan masalah pair gila itu. Dan tatap diri sendiri.

Sempurna. Sempurna. Sekali lagi Sasuke mengamati dirinya. Jangan sampai ada cacad di depan Hinata.

Melangkah pasti dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana, ia pura-pura tak melihat Hinata yang duduk di bangku taman.

Satu

.
Dua

.
Tiga

.

Sasuke mondar-mandir di depan si nona Hyuuga. Tapi, eh? Kok, Hinata tidak memanggilnya? Hmm, pasti gadis itu tidak melihatnya tadi. Sasuke mundur beberapa meter dari tempat berdirinya.

Tiga

.
Dua

.
Satu

.

Kembali melangkah pasti.

Satu

.
Dua

.
Tiga

Ayo! Ayo, Hinata panggil. Arrgghh! Apa memang Hinata tidak melihatnya lewat? Dasar, untuk apa gadis Hyuuga itu punya mata sebesar itu jika tidak untuk melihat lebih jelas? Ah, sial! Sepertinya ia memang harus menghampiri pacarnya itu lebih dulu.

"Hay, Hinata..." sapa Sasuke dengan parasnya yang begitu cool. Hinata mengangkat wajahnya dan tersenyum cerah.

"Oh, Sasuke. Kenapa tadi? Maju mundur maju mundur? Ada yang ketinggalan?" tanya Hinata dengan tetap tersenyum. Sementara dua gadis di sebelahnya terkikik geli sambil menunjuk-nunjuk Sasuke. Sang pangeran es terdiam. Dalam angannya, wajah coolnya sudah muncul retakan rapat sebelum pecah menghasilkan es serut yang siap disiram sirup merah.

"Err, nona-nona. Bisa kupinjam Hinatanya?" tanpa peduli rasa malunya, Sasuke tetap memajang tampang stoicnya ketika berbicara pada dua gadis cantik di sebelah Hinata. Dua dara itu saling bertatapan, sebelum mengangkat bahu pasrah. "Yah, dengan terpaksalah."

Sasuke tersenyum ketika dilihatnya dua gadis itu telah angkat kaki dari tempatnya.
Sasuke segera duduk berdampingan dengan Hinata. Dan ia merasa aneh dengan ekspresi si nona Hyuuga yang terlihat seperti menahan tawa.

"Che! Kukira kau mengerjaiku lagi kali ini." Sasuke memutar bola mata. Sementara si lawan bicara sudah tertawa lepas dengan menutup rapat bibirnya dengan kedua telapak tangan.

"Seharusnya kau tahu, Sasuke! Gayamu yang sok keren dan maju mundur itu begitu menggelikan."

Sasuke mendengus kesal ketika didapatinya bahu Hinata makin terguncang oleh gelak tawa.

"Ada apa denganmu? Kau seperti senang sekali menjailiku?" mata Sasuke berkilat marah. Hinata hanya menepukkan kedua tangan dengan tetap tersenyum.

"Yah, Sai telah banyak mengajariku."

Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Oh, pantas sekarang Hinata jadi begini. Ternyata sang masterlah yang mengajarkan hal buruk seperti ini. "Sudah! Kuharap Sai tidak kau apa-apakan setelah ini," kata Hinata. Ia berdiri dari duduknya dan meraih lengan Sasuke.

"Ayolah, jangan marah begitu. Nanti cepat tua," goda Hinata sambil menyenggol lengan Sasuke dengan sikunya. Senyuman hambar yang disajikan Uchiha. Jual mahal, pikir Hinata. Tahu begitu, tak usahlah memohon agar Sasuke tak ngambek.

"Sasuke jelek!" Hinata menjulurkan lidahnya.

"Hanya kau yang memberiku fitnah itu. Pertama dan yang terakhir."

"Norak."

"Semua orang menyebutku keren." Berlagak mengangkat krah baju. Sasuke cukup cool dengan gaya narsisnya.

Hinata pura-pura ingin muntah, "kamseupay deh."

"Kamusutumpay?" Sasuke mengernyit. Baru pertama ia dengar kalimat itu. Bahasa mana ya?

"Bukan, tapi Kamseupay!"

"Kamutupay?"

Hinata sweatdrop. Hah, terserahlah.

"Um, aku tidak melihat Sai. Kemana dia?" mengalihkan topik pembicaraan yang mulai garing, Hinata mengedarkan pandang ke sekeliling. Berharap menemukan seseorang dengan kulit paling putih di sekitarnya.

"Dia ke toilet." Prediksi Sasuke saja.

Hinata manggut-manggut. "Ya sudah! Ayo, kita ke kelas. Aku lupa belum mengerjakan tugas Kakashi-sensei."

Hey? Apa-apaan ini? Lupa mengerjakan tugas? Yang benar saja Hime. Bukankah kemarin hari minggu? Dan kemarin juga tak ada acara kencan. Seharusnya tak mungkin Hinata sampai melupakan tugasnya. Che! Sudahlah, Hinata juga manusia biasa. Ada kalanya ia jenuh menatap buku-buku peer yang menumpuk.

"Kenapa kau bisa sampai melupakan tugasmu, Hinata?" tanya Sasuke ketika keduanya sudah sampai di kelas. Hinata tersenyum, meletakkan buku dan tasnya di atas meja kemudian menatap Sasuke, "umh, sebenarnya tidak lupa. Hanya saja aku tahu kalau Kakashi-sensei tidak akan hadir hari ini."

Sasuke mengernyit, "tidak hadir?"

"Yah, mungkin akan lama. Beliau harus ke luar negri untuk melanjutkan study."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Dari Gaara."

Sasuke mumutar bola matanya. Hah, nama itu lagi. Demi apapun, Sasuke muak mendengar nama pemuda keturunan Suna itu disebut-sebut, apalagi oleh pacarnya sendiri.

Cemburu?

Ah, tentu saja. Siapa yang tak cemburu jika kekasihmu sendiri membahas pemuda tampan, pintar dan cool selain dirimu?

"Mengapa Gaara? Ah- maksudku kenapa Gaara bisa tahu kalau..."

"Selamat pagi, semuanya."

Dan seketika sepasang mata onyx itu membulat sempurna. Menatap tak percaya pada sosok yang berdiri tegap di depan kelas.

"Kenapa dia ada di sini?"


See you next chappy...