Jeon Jungkook, pemuda 20 tahun yang hampir mendefinisikan kata sempurna dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Ia rupawan, berbakat, dan berada. Memiliki apa yang hampir seluruh pemuda di dunia idamkan.
Fisiknya sempurna. Parasnya menawan. Berbakat luar biasa. Dan dilatarbelakangi keluarga terpandang.
Sempurna.
.
.
.
Jungkook sudah melakukan apa yang diinginkan oleh sang ayah, yang menuntutnya untuk menjadi pria serba bisa dan berpotensi besar kelak. Mengikuti segala perintah dan menahan semua tekanan yang diterimanya. Jungkook tidak menolak, ia tahu, ayahnya adalah seseorang yang keras. Namun, itu merupakan salah satu cara ayahnya menyayanginya. Dengan bukti sang kepala keluarga mendukung apapun yang diinginkan sang putra, bersama dengan istrinya yang senantiasa memberi cinta dari belakang.
Impian sederhananya hanyalah menjadi seorang penari. Salah satu keinginan terpendam dalam hati kecilnya. Tehitung kurang dari dua puluh empat jam lagi ia bisa mewujudkan salah satu impiannya.
Sebuah kompetisi dance yang diselenggarakan oleh salah satu agensi besar di Korea Selatan.
Pemuda beriris kelam itu siap, sangat siap untuk mengejar kemana keinginan hatinya itu mengarah.
.
.
.
.
Namun semua tidak mudah, Tuhan mungkin sedang mempermainkannya jauh di atas sana, menggoreskan takdir yang tidak pernah sama sekali dibayangkan oleh pemuda tampan itu.
Mimpi kecilnya direnggut dengan begitu kurang ajar dalam sekejap mata.
Menyumpah serapahi takdir yang membuatnya harus berakhir menetap dalam gedung dengan aroma khas obat di tiap sudutnya.
Dan hanya itu yang dilakukannya hampir setiap hari.
.
.
.
.
.
Jungkook memutar roda kursinya, menyusuri sepanjang koridor yang mulai ramai dengan keluarga pasien yang datang membesuk. Indra penglihatannya menangkap dengan baik bagaimana orang-orang itu bercengkrama satu sama lain, begitu hangat. Dalam hati Jungkook mengumpat, merasa sedikit iri karena sudah dua hari tak ada yang datang mengunjunginya. Bahkan orang tuanya.
Gerakan tangannya memutar semakin cepat, cepat, dan cepat. Sedikit lagi mencapai ujung koridor jika saja sebuah tangan tidak segera menghentikannya. Decit roda karet kursi rodanya menggema seiring gerakan tangan refleks menarik wheel lock yang berada di sudut bawah sisi kanan.
Sebuah telapak tangan kini sejajar dengan paras tampan sang pemuda bersurai kelam. Nyaris saja saling menyentuh.
Jungkook menengadah ke arah sang pelaku pemberhentian paksa. Maniknya menangkap sosok pemuda bersurai cokelat tengah menatap lurus tepat padanya.
Dan yang tak Jungkook kira. Telapak tangan itu ternyata milik seorang pemuda. Terlihat begitu halus dengan lima jemari merapat lentik.
.
.
.
.
Pemuda itu tersenyum, membentuk lengkungan bibir yang menawan begitu tulus. Turut mengangkat pipi berisinya yang tersapu merah. ーBenar-benar merah.ー Memanjang dari sisi ke sisi melewati hidung bangirnya.
Jungkook masih bergeming. Diam-diam mengamati pemuda itu.
Dia manis.
Hingga tangan yang tidak lebih besar dari milik Jungkook itu berputar meminta sebuah jabatan tangan.
Tanpa menunggu lama, Jungkook memutuskan untuk meraih jemari kurus si surai cokelat manis.
Menerima tawaran apapun yang akan diberikan oleh dia.
.
.
.
.
Kedua pemuda itu saling menjabat, melempar senyum satu sama lain. Dan menciptakan sebuah ikatan benang merah yang baru.
.
.
.
.
.
.
Tbc/?
