"Lagi-lagi, Pembunuhan Oleh Pecandu Narkoba, kah? Kageyama, silahkan dibaca.."

"Baik. Tetapi, apa tidak apa-apa kasus ini diberikan kepadaku? Maksudnya, bukan kutolak, tapi… detektif polisi lain ada yang lebih hebat, lihat, seperti Azumane-san dan Nishinoya-san?"

"Mereka malah mengerjakan kasus yang lebih penting lho.. lagipula bukankah ini bagus untukmu? Rookie-kun?"

Kageyama terdiam. Kepala polisi tempat ia bekerja itu melenggang pergi. Memangnya kasus apa yang lebih penting dari pembunuhan sadis? Oleh pecandu narkotika lagi. Kageyama melangkah perlahan mendekati meja kerjanya yang sudah penuh dengan berkas-berkas info tentang apalagi kalau bukan pembunuhan sadis itu.

"Pelaku melakukan hal yang sama pada setiap korban…" gumamnya, "Korban selalu wanita. Mereka membawa korbannya ke tempat sepi, kemudian mencekiknya, mengulitinya dan mengeluarkan organ-organ dalam…"

Kageyama membuang muka sejenak. Melihat foto korban membuat perutnya agak mual. Ia mengambil berkas di tumpukan bawah.

"Pelaku yang tertangkap tidak mengatakan apa-apa, ia hanya tertawa dan menyumpahi polisi. Eh?" Kageyama menilik lebih jelas dialog yang diucapkan sang pelaku di artikel yang ia baca. "Kalian para polisi bodoh akan merasakan akibatnya jika berurusan dengan kami, Gagak Hitam!"

Gagak hitam? Aneh, bukankah memang seharusnya gagak berwarna hitam?

.

.

.

.

.

.

'GAGAK HITAM'

.

Haikyuu © Furudate Haruichi

.

Gagak Hitam © MiracleUsagi

.

Rate : T

.

Genre : Crime, Mystery

.

Warning : Out of Character, missed TYPO(s), Alternate Universe, kata dan kalimat yang melenceng dari KBBI, menggunakan EYD yang kacau, penulis pertama kali menulis untuk genre kriminal dan misteri jadi mohon dimaafkan kalau fanfik ini tidak menarik.

.

Penulis tidak mengambil keuntungan materiil dari termuatnya fanfiksi ini. Penulis hanya mengambil kebahagiaan semata karena telah menyiksa karakter-karakter favoritnya.

.

DLDR/Enjoy!

.

.

.

.

.

.

"Ka-ge-ya-MAA!"

Kageyama yang tengah meneguk segelas kopi pahit terbatuk hebat. Sambil terus batuk, matanya menatap tajam sosok pendek dihadapannya yang menatapnya inosen.

"Hinata Boke! Aku hampir mati tersedak kopi, kau tahu!? Kalau aku benar-benar mati tersedak kopi pahit, kau pasti akan kutuntut!"

"M-maaf! Lagipula kau terlalu berlebihan, tidak mungkin juga kau akan mati karena tersedak kopi. Dan juga, kalau kau mati kau tidak akan bisa menuntutku, Kageyama!" Pemuda bernama Hinata Shouyo yang tadi dimarahi Kageyama berkacak pinggang sambil menyeringai. Kageyama hanya mendengus kesal mendengar ucapan pemuda itu.

"Jadi kau kenapa di sini? Tidak kuliah?" Kageyama bertanya sambil tak melepaskan tatapan dinginnya pada layar komputer.

"Duh! Kebanyakan lembur bikin kau jadi mirip orangtua ya? Pelupa. Ini jam Sembilan malam, ada mata kuliah jam segini?"

"Dan kau seperti bocah." Dengus Kageyama lagi.

"A-Apa? Che.. padahal niatku baik mau jenguk teman yang lembur, tapi sikapmu begini. Dasar tak tahu terima kasih.." Hinata mengerucutkan bibirnya.

"Oh, begitu? Terima kasih Hinata-Boke-Shouyo yang menyempatkan datang menemani temannya yang sedang lembur di sela-sela deadline skripsinya.." Kageyama menyeringai puas. Ia menatap Hinata yang berdiri kikuk.

"Ah… kau mengingatkanku akan hal yang paling kubenci, dasar Kageyama, Eh! Lagipula namaku nggak ada kata-kata 'Boke'-nya!"

"Sudah sana pulang, selesaikan skripsimu bodoh! Sudah semester akhir juga, kau mau lulus tidak? Atau kau ingin jadi yang 'paling-paling' senior di kampusmu?"

"Kalimatmu seperti dosenku! Dasar jahat! Judulku kan nggak gampang!"

"Salahmu ambil Kedokteran dan Farmasi! Kau itu bodoh, sedari SMA kau bodoh dan ceroboh." Kageyama kembali menatap layar komputernya.

"J-jahat! Hump! Terserah aku mau ambil apa, dasar tukang diktator!" Hinata menjulurkan lidahnya pada detektif polisi di hadapannya itu. Ia merasa kesal, niat baiknya mau menemani temannya itu tak diindahkan oleh si objek. Akhirnya, dia memutuskan pulang dan beristirahat. Ia menyambar jaket oranye yang senada dengan warna rambutnya. Tetapi langkahnya terhenti karena panggilan Kageyama.

"Oi, Boke! Terima kasih ya." Kageyama tersenyum tipis. Meski tipis, Hinata tahu senyumannya tulus tak penuh ejekan.

"Yo! Kapan-kapan aku datang lagi!"

"Boleh, kalau skripsimu kelar."

"Geh.. Kejam!"

.

.

.

"Anu, permisi, Sugawara-san. Sawamura-san ada di ruangannya?"

"Daichi? Ada. Kau ingin bertemu dengannya, Kageyama?"

"Ah, iya. Terima kasih, Sugawara-san."

Kageyama berjalan melewati blok-blok komputer di ruangan kaca kantor polisi itu. Tangannya mengetuk pintu kaca dengan tulisan 'Ruang Kepala' yang kacanya samar. Perintah untuk masuk diterimanya. Kageyama mendorong pegangan pintu berwarna perak itu.

"Siang, Sawamura-san. Ada apa memanggil?"

"Kau sudah lihat berita terbaru yang termuat di televisi lokal pagi ini?"

"Ah, belum. Saya semalaman begadang di kantor mencari beberapa informasi. Dan, baru pulang pukul tiga pagi tadi, sehingga-"

"Astaga, aku tahu kau sangat bersemangat dengan kasus pertamamu. Tapi istirahat yang cukup juga diperlukan seorang opsir, Kageyama."

"Ah, ya. Maafkan keteledoran saya." Kageyama membungkuk. Di dalam hatinya ia mengiyakan pendapat kepala polisinya itu. Istirahat sangat diperlukan. Ia memang merasa sangat mengantuk, karena dia tertidur cuma tidak sampai dua jam.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Biar kutunjukkan berita yang sempat direkam Suga tadi. Oh, ya, tidak usah terlalu kaku begitu. Di sini semuanya boleh berbicara akrab dengan siapapun, termasuk kepala polisi." Sawamura Daichi, sang kepala polisi tersenyum ramah. Kageyama mengangguk sopan.

Tangan besar kepala polisi itu memencet tombol remote televisi, mencari rekaman tayangan berita yang ia bicarakan tadi. Kageyama memperhatikan sambil tetap tegap berdiri.

"Berita pagi ini, kembali kasus pembunuhan yang menimpa gadis-gadis muda terjadi lagi. Kali ini mayat korban ditemukan dengan kondisi yang sama dengan korban-korban sebelumnya. Mayatnya ditemukan oleh seorang pekerja kantoran yang kebetulan lewat dengan mobilnya di area parkiran publik. Menurut saksi mata, pada dini hari terlihat wanita yakni sang korban mendatangi area parkiran tersebut, saat ditanya ia hendak menemui seseorang yang diduga adalah tersangka pembunuhan sadis yang kembali terjadi. Kini korban-"

Sang kepala polisi mendesah, geram. Kageyama tetap memperhatikan layar televisi dengan saksama. Mencoba berpikir.

"Lalu, berita selanjutnya yang sebenarnya tidak sengaja ikut terekam." Pria berambut cepak hitam itu mengganti acara berita itu dengan berita lain tentang tabrakan mobil yang menewaskan tiga orang dewasa.

"Tabrakan sebuah mobil kepada para pejalan kaki terjadi di depan sebuah gedung makanan cepat saji di distrik lima. Kejadian ini menewaskan tiga orang pejalan kaki, yakni seorang mahasiswi dan teman perempuannya, serta seorang petugas parkir. Pelaku diduga menggunakan narkotika jenis sabu seberat setengah gram yang ditemukan di dashboard mobilnya. Pelaku yang menolak ditangkap polisi berteriak-teriak sembari menyanyikan sebuah lagu aneh. 'Lihat, aduh, Lihatlah! si Gagak Hitam. Lihat, aduh, Lihatlah! dia mengawasimu.' Kini pelaku sudah diamankan oleh polisi setempat."

"Gagak… Hitam..?" gumam Kageyama.

"Setahuku Pemerintah kini juga tengah 'berperang' dengan komplotan pengedar narkoba yang terkenal dengan sebutan Gagak Hitam. Kabarnya mereka komplotan bersenjata yang berhasil mengedarkan ganja kering dan kokain di pasar gelap. Tapi sampai sekarang pemerintah belum berhasil meringkus keberadaan mereka yang kabarnya juga sulit untuk ditemukan. Sekian banyak orang yang diduga mengonsumsi narkotika yang ditangkap pemerintah, seperti di berita kedua, hanyalah pengguna yang tidak tahu apa-apa tentang para pengedar, bukan anggota komplotan." Terang si kepala polisi. "Tapi, tadi si penabrak tahu tentang Gagak Hitam.. mungkin saja dia memang anggota.." Lanjutnya bergumam.

"Ah, mungkin juga tidak, Sawamura-san. Di berkas yang kemarin kau sampaikan, ada seorang pelaku-" Kageyama tersentak. Ia menyadari sesuatu. "Sawamura-san, mungkinkah dalang pembunuhan sadis kepada para wanita dan dalang pengedar narkotika yang dicari pemerintah itu sama?"

Kepala polisi itu juga tersentak. Lipatan tangan pada dadanya mengendur. Sejenak ia menyeringai.

"Mungkin saja."

Mungkin…?

.

.

.

"Cih… Kageyama lama banget.. Dia itu niat nggak sih bantuin merevisi?" Pemuda berambut oranye ikal itu menghempaskan diri ke sandaran kursinya. Ia menyendok krim di parfait-nya, lalu menjilatnya. Sesekali mengedarkan pandang ke penjuru kafe yang disinggahinya itu dengan tatapan malas. Seorang pramusaji wanita berambut pirang pendek mendekatinya.

"Ada yang mau dipesan lagi, tuan?" Pramusaji cantik yang poninya diikat itu tersenyum ramah. Membuat Hinata tersipu karena kecantikannya.

"Ah, tidak. Eh, iya! Chocolate parfait lagi satu, dan.. kopi hitam, itu saja." Hinata menjawab kikuk membuat si pramusaji terheran-heran. Dengan cepat ia menuliskan pesanan Hinata dan kembali tersenyum ramah.

"Baik, tunggu sebentar, tuan."

Uwah, cantiknya..

"Oho, sekarang si Boke sudah mulai menyukai seorang gadis ya?" Hinata terlonjak saking kagetnya mendengar ucapan seseorang yang amat dikenalnya yang berdiri menyeringai di belakangnya sambil menatap ke pramusaji tadi.

"A-apa? Ng-nggak! Haha, candaanmu lucu banget Kageyama! Aha..ha.." Hinata memaksa dirinya untuk tertawa sambil menatap Kageyama yang mulai duduk di bangku depannya.

"Sudah diam, tawamu cempreng. Berisik pula.." Kageyama mengernyit kesal karena Hinata tak berhenti tertawa.

"Sial, diam juga kau tukang diktator!" Hinata menghentikan tawanya dan malah berbalik kesal.

"Aku pulang nih.." Kageyama bangkit lagi. Wajahnya masih menunjukkan ekspresi dingin, tapi sebenarnya ia hanya ingin mengisengi teman kecilnya itu.

"E-eh? ah! Ja-jangan pulang! Ini revisinya gimana? Kalau aku nggak lulus-lulus gimana? Tuan Kageyama yang baik hati, tolonglah ha-"

"Cukup bodoh, kau dilihatin orang se-kafe.."

"Maaf sudah menunggu, ini pesanannya." Pramusaji berambut pirang tadi kembali dengan parfait dan kopi hitam. Sambil menyajikan pesanan Hinata ia terkekeh, "Kalian akrab sekali ya?"

"Kebetulan saja aku akrab dengan orang bodoh ini."

"Jahat!"

"Ahaha.. Ada yang mau dipesan lagi, tuan?"

"Tidak, terima kasih."

"Baik, selamat menikmati." Pramusaji itu melenggang pergi. Hinata menunjuk kopi hitam yang tadi dipesannya.

"Bayaranmu karena mau bantuin revisi."

"Siapa bilang aku datang mau bantu revisi?" Kageyama menyesap pinggiran cangkir putih dengan aksen bunga biru itu. Ia menyeringai.

"S-Sialan.."

"Aku nggak bantu. Tapi aku menemani saja, keberatan?" Kageyama bersandar di kursinya.

"Nggaklah, memangnya pengacara yang selalu keberatan? Aku bukan anak fakultas Hukum." Senyum Hinata.

"Sombong sekali kau anak Kedokteran.."

"Haruslah."

.

.

.

Sudah sore ketika Kageyama keluar dari kafe tempatnya bertemu Hinata. Tadinya ia bermaksud mengantar Hinata pulang, tapi pemuda pendek itu menolak. Alasannya tidak mau merepotkan Kageyama yang seorang opsir polisi, nanti kalau terlalu merepotkan bisa-bisa ia ditangkap. Tentu saja itu cuma guyonan, alasan utamanya ia ingin mampir membeli beberapa kebutuhan makanan dan lain-lain. Kageyama sekali lagi menawarkan bantuan. Ia tahu, Hinata tinggal sendiri jadi siapa tahu pemuda ceroboh ini butuh bantuan. Tetapi lagi-lagi Hinata menolak. Ya sudah, Kageyama memutuskan pulang dan melaksanakan apa yang diucapkan Sawamura-san kemarin, istirahat.

Jalanan macet rupanya. Motor hitam bermodel Motosport-nya sampai tidak bisa melewati jalan, saking padatnya. Langit perlahan berubah gelap, namun masih tetap bersemburat oranye.

Cih, ada apa sih?

Matanya awas mencari celah supaya bisa maju. Seorang petugas polisi nampak di jarak 100 meter darinya. Susah payah ia menyelip dan menyalip mobil-mobil yang berdesakkan, sampai akhirnya ia sadar bahwa polisi yang sedang mengatur lalu lintas yang macet itu salah satu kenalannya yang memang bertugas di daerah sini.

"Iwaizumi-san!"

"Kageyama?" Kageyama memarkirkan motor hitamnya tak jauh dari Iwaizumi berdiri. Ia menghampiri senior sewaktu ia masuk Akademi polisi itu.

"Tidak biasanya daerah sini macet. Ada apa?"

"Kau masih tetap pandai mengamati situasi ya? Macet ini disebabkan karena ada jalan yang ditutup." Iwaizumi menunjuk arah kirinya yang terpasang banyak garis polisi dan cone oranye penutup jalan.

"Kenapa ditutup?"

"Kasus pembunuhan." Iwazumi menjawab pendek. Ia kembali mengatur mobil-mobil yang mulai bising dengan suara klakson. Beberapa pengemudi menyumpah marah karena tak segera bisa maju.

"Boleh kulihat, Iwaizumi-san?"

"..Ah, ya, kau yang mengurus kasus pembunuhan di sentral kan? Silahkan, di sana juga ada Oikawa."

Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda berambut hitam itu segera berlari menembus garis polisi. Ia sempat tertahan oleh polisi yang berjaga, tetapi akhirnya mereka membiarkannya masuk setelah tahu identitasnya. Ia berdecih pelan saat melihat seniornya yang lain selain Iwaizumi-Oikawa. Sedari Akademi polisi, ia tidak terlalu menyukai seniornya yang satu ini. Tetapi ia menghormati dan belajar banyak dari Oikawa tentang menjadi seorang detektif polisi.

"Oikawa-san." Oikawa terkejut melihat mantan adik tingkatnya di salah satu daerahnya. Sekilas Kageyama melihat sorot tak suka dari wajah tampan seniornya itu.

"Ah, Tobio-chan. Apa yang membawamu ke sini?"

"Macet." Jawab Kageyama pendek.

"Ahaha.. kebetulan sekali ya? Seorang opsir sentral bisa datang ke sini, suatu kehormatan." Oikawa menyeringai. Kageyama mendengus. Kalimat seniornya ini penuh dengan sindiran tajam, itu salah satu yang ia benci dari seniornya ini.

"Jadi, kasus pembunuhan sadis lagi?" Tanya Kageyama langsung. Ia tak mau berbasa-basi.

"Ya seperti yang kau lihat. Korbannya gadis muda, pertama pelaku mencekiknya, kemudian menguliti dan mengeluarkan organ dalam. Pasti opsir sentral sudah tahu, kan?"

"Tentu saja." Kageyama menjawab angkuh. Lama-lama ia kesal juga mengobrol dengan seniornya itu. Oikawa berdecih mendengar jawaban Kageyama.

"Ah.. tapi, untuk kasus yang ini pembunuhnya terlalu kejam deh. Masa gadis secantik dan seimut ini harus meregang nyawa?" Oikawa mengendikkan kedua bahunya. Asistennya memberikan foto mayat korban dan foto korban yang sedang mengenakan seragam pelayan kepada Kageyama.

Kageyama tersentak melihat foto yang diberikan. Korban seorang mahasiswi yang bekerja sambilan di sebuah kafe, berambut pirang pendek dengan poni yang diikat, dan memiliki senyuman yang ramah.

"Padahal dia imut banget kan,Tobio-chan? Namanya Yac.. Yachi.. Yachi Hitoka, ya.. semoga kau tenang di alam sana Hitoka-chan." Oikawa menepuk kedua telapak tangannya, membuat pose berdoa.

"Tobio-chan?"

Kageyama berlari, meninggalkan tempat perkara, mengabaikan Oikawa yang berteriak memanggilnya. Ia menaiki motornya segera kembali ke kantornya.

Cih, dasar tidak berguna! Padahal kau baru bertemu dengannya tadi. Dasar tidak berguna!

Kageyama menambah kecepatannya. Ia hanya berharap satu :

Hinata tidak tahu soal kematian pramusaji itu.

.

.

.

.

.

.

Bersambung…

.

.

.

A/N

Hai semuanya! Terima kasih sudah bersedia membaca fanfiksi series pertama saia di fandom Haikyuu ini.. /nangis haru

Sebelumnya maaf sedalam-dalamnya jika fanfiksi ini ada typo, kesalahan seperti mata kuliah (jujur saia masih SMA, gak tau apa-apa soal dunia perkuliahan) dan soal misteri dan kriminalitas di fanfiksi ini mohon dimaafkan jika tidak seru dan mendebarkan. Ini pertama kalinya buat saia nulis genre kriminal T_T saia akan coba semaksimal mungkin. Doakan^^

Pokoknya terima kasih sebesar-besarnya pada Readers sekalian yang sudah baca! Semoga saia juga masih bisa mampu mengerjakan fanfiksi ini!

Salam, Usagi.