"After Story"

.

.

.

A Plastic Memories Fanfiction

Plastic Memories © Doga Kobo

Rating: K+

Please enjoy!

.

.

.

Sudah sejak lama Kazuki berpikir bahwa hidup tanpa seorang Isla adalah mustahil; sama mustahilnya dengan salju yang turun di musim panas ataupun bulan yang berbentuk kubus. Kazuki pikir ia tidak akan mampu bernapas lagi jika Isla tidak ada. Ia tidak akan bisa hidup lagi jika gadis itu direnggut darinya kelak. Tetapi lihat dia sekarang. Mabuk; bertingkah seperti orang gila yang kehabisan obat; menangis dan memanggil nama 'orang itu' berulang-ulang, lagi dan lagi sampai ia kecapekan dan tertidur; dan yang terpenting, dia masih hidup.

Kazuki hidup walau dia berpikir dia akan mati dan akan tetap hidup entah untuk berapa lama lagi. Nyatanya, tubuhnya mengkhianatinya. Alkohol tidak lagi mempan untuknya-tidak untuk membunuhnya maupun untuk membuatnya melupakan gundahnya.

Tanpa Isla, Kazuki tidak akan bisa hidup. Tidak di dunianya yang dulu.

.

.

.

.

.

.

.

.

"...zuki. Kazuki."

Kesadarannya kembali ke permukaan. Kazuki terbangun ketika suara yang begitu familiar itu memanggilnya berulang kali tanpa henti. Kalau sudah begini, tingkat kekesalan jadi bertambah saja. Siapa sebenarnya yang berani membangunkan sang raja singa Kazuki ini?

"Berisik!" rutuk Kazuki sembari memukul meja. Pandangannya memang masih kabur, tetapi ia ingat betul siapa pemilik suara menyebalkan yang mengganggu tidurnya barusan. "Kalau kau kemari hanya untuk menggangguku, lebih baik kau pulang saja, Constance." Yah, itu sudah pasti Constance, rekan setimnya sekaligus pemilik senyum paling menyebalkan di antara para Giftia.

"Yasutaka-san memintaku untuk menggantikannya menjemputmu." Itu bohong. Constance-lah yang sebenarnya mengajukan diri untuk menjemput Kazuki dan menyuruh Yasutaka untuk tidak datang kali ini.

"Hah? Sejak kapan dia jadi sok perhatian begitu? Menjijikan."

Constance seperti biasanya tersenyum. "Kazuki juga harus lebih memperhatikan diri sendiri. Aku tidak bisa selamanya ada untuk menjagamu."

Untuk sepersekian detik, Kazuki lupa cara bernapas. Dadanya sesak tak karuan kala mendengar kalimat terakhir itu. Kejadian yang setengah mati ia coba untuk lupakan dengan menjerumuskan diri ke dalam minuman keras malah begitu mudahnya diungkit kembali oleh Constance.

"Memangnya siapa yang perlu kau jaga, hah?! Aku juga bukan anak kecil lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Tanpamu pun..."

Ada sendu yang terpancar di kedua bola mata itu. Ini kali pertama Kazuki merasa ingin menangis saat mengomel. Mengapa demikian? Karena ia kembali mengingat malam itu-malam ketika ia memapah tubuh mungil Isla yang sudah tidak bernyawa lagi? Ataukah karena kata-kata Constance yang menunjukkan seolah-olah akan ada masa di mana ia dan Constance tidak bersama?

"Tanpamu pun, aku..."

""Baik", bukan begitu?"

Sampai sekarang pun, Constance tetaplah menjadi Constance yang Kazuki kenal; mengatakan semua itu dengan wajah yang secerah musim panas tanpa tahu kebenarannya dan tanpa mengira bahwa mungkin akan ada orang yang merasa menderita karena ucapannya.

Setidaknya, itulah yang Kazuki pikir.

"Yah..."

Nyatanya, ia tidak baik, untuk sekarang ataupun nanti-nanti. Tetapi tidak juga buruk, karena ia sanggup hidup.

.

.

.

.

.

.

.

A/N : Saya minta pendapatnya ya, minna-san. Bagusan ini dijadikan satu chapter aja atau multi? Soalnya bingung juga. Kalau satu chapter rasanya gak jelas gini endingnya. Kalau multi chapter, belum dapat ide mau lanjut gimana. Menurut readers sendiri gimana? #nyengirkuda

RnR, please? :D