...; January, 10/20XX 10.31 PM

Di bawah sinar bulan yang bersinar perak itu, aku duduk termenung di bibir jendela. Pandanganku tak menentu. Seakan bergerak mengikuti langkah bayang hitam yang menjerat hati. Hembusan angin yang memuja kebebasan terpikat untuk menyentuh wajahku dengan belaiannya. Mataku kubiarkan terpejam dan menyesap pelan aroma tipis air di udara.

Indra penciumanku menangkap wangi tubuhmu. Ah, aku tak pernah cukup hanya dengan menyesap aroma tubuhmu saja. Aku ingin mendekapmu dan tak akan kubiarkan kau pergi dariku. Wangi tubuhmu selalu membuatku menggila setiap malam. Aku membuka mataku kembali ketika wangi tubuhmu sedikit memudar. Ketika menengadah ke atas, bulan sabit keperakan seakan tersenyum padaku. Tubuhku bergerak.

Aku akan menjemputmu sekarang.


Bleach © Tite Kubo

Special three-shot fanfiction for celebrating Ichigo X Rukia day, reunion theme

Rate: Mainly T for safety, M for slight lime. No lemon...

Pair: Mainly IchiRuki, slight RenTatsu, RenRuki friendship


Tokyo, Kinogaya Park; January, 10/20XX 10.33 PM

Aku berdiri dari ayunan yang sedari tadi kududuki. Entah berapa lama aku terduduk di sana. Mungkin sudah tiga jam. Pantas saja tubuh bagian bawahku terasa pegal. Beberapa hari ini, aku senang sekali pergi kemari. Bukan karena apa-apa. Aku hanya ingin mengingat kembali masa kecilku yang bisa dibilang sedikit bahagia dan kupikir taman anak-anak sebagai tempat yang dulu sering kudatangi untuk bermain. Kenapa sedikit? Aku tak ingin membicarakannya karena aku hanya mengingat sebagian kecil memori mengenai masa kecilku. Di otakku seperti ada filter yang menutupi semua kenangan itu. Tapi aku tak tahu dan tak ingin tahu. Mungkin lebih baik jika aku hanya mengingat seperti ini saja.

Aku berjalan keluar dari taman kecil itu untuk menuju apartemenku yang berada tak jauh dari sana. Pandanganku kuarahkan ke bawah. Yang bisa kulihat sekarang hanya jalanan yang tertutup sedikit salju dan sepatu boot hitam milikku. Ujung syal violet yang kukenakan bergerak ke kanan dan ke kiri. Tangan kananku memegang erat tas selempang yang kusampirkan di pundak. Poniku yang selalu di antara kedua mataku sedikit tertiup angin.

Malam hari ini sedikit dingin dari biasanya. Aku mengeratkan mantel berwarna krem milikku dan berjalan lebih cepat. Aku ingin segera sampai di apartemen dan membuat coklat panas. Berada di luar saat musim dingin adalah hal bodoh, apalagi ini sudah larut. Tahu begini, sepulang kuliah tadi aku langsung ke apartemen, tak perlu duduk seperti orang bodoh di taman anak-anak. Hhh... Sudahlah. Toh hanya tingga beberapa blok lagi.

Sedikit pegal karena terus menunduk, aku melihat ke arah depan dan langkah kakiku terhenti tiba-tiba. Saat ini, sekitar empat meter di hadapanku berdiri seseorang dengan kemeja hitam panjang bergaris vertikal putih. Dua kancing atas kemejanya ia biarkan terbuka dan kedua lengannya digulung hingga siku. Ia mengenakan celana panjang hitam serta sepatu berwarna sama. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Kepalanya sedikit miring ke arah kanan dan sejak tadi ia terus menatapku. Aku tak bisa melihat wajah maupun warna rambutnya karena tertutup bayangan. Yang terlihat di mataku, hanya seringainya.

Ia berjalan mendekatiku. Tapi aku tetap tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena bulan berada di depanku. Aku merasa jantungku melompat hingga ke tenggorokan dan hendak keluar. Telapak tanganku berkeringat, aku mundur selangkah ketika ia telah berjalan dua meter menuju tempatku berdiri. Di telingaku, berdengung detak jantungku yang semakin cepat tiap detiknya. Ia baru berhenti berjalan ketika benar-benar berada di hadapanku. Aku harus menengadahkan kepala dengan susah payah agar bisa melihatnya lurus di mata.

Dan di saat itulah aku melihat segalanya. Sepasang amber menatapku penuh misteri. Seringainya bertambah lebar ketika ia menyadari aku hilang kendali di bawah pesona yang ia tawarkan padaku. Sepintas aku melihat helai rambutnya tertiup pelan oleh angin. Dan dengan bantuan sinar perak bulan, aku menyadari rambutnya yang berwarna orange terang.

Aku tak bisa bergerak, hanya mampu menatapnya saja. Bahkan aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Ah, jangankan kata, menyebut satu huruf saja aku tak bisa. Laki-laki di hadapanku ini membuat kepalaku pusing. Pada akhirnya, yang bisa kulihat hanya kegelapan dan mendengar mulut manisnya menggumam sesuatu.

"Aku menemukanmu..."

җҗҗ

Aku mencoba membuka mata dengan susah payah. Kepalaku masih terasa sakit. Keadaan di sekitarku terasa ganjil karena sinar redup lilin yang berpijar di tengah langit-langit. Aku merasa tubuhku menjadi sangat berat. Seperti ada sesuatu yang menindihku.

"Nhhh..." Suara itu terdengar dekat dengan telinga kananku. Pipi dan leherku terasa geli karena sesuatu. Ketika pandanganku kembali normal setelah mengerjapkannya beberapa kali, yang sebagian kulihat hanya warna orange yang tenggelam di perpotongan leher dan bahuku. Pipi kiriku terasa dingin walau ada sebuah tangan yang mengelusnya pelan. Bola mataku melebar. Ada seseorang yang tengah menindihku. "U-uh... Sia-aaah!" aku berusaha mendorong pelan dirinya untuk menjauh dariku dan berhenti ketika aku merasa bibir dinginnya menyentuh pelan kulit leherku yang sensitif.

"Hmm, kau bangun?" aku merasa sentuhannya semakin membuatku hilang kesadaran. Hidungnya yang sedari tadi menyesap aroma tubuhku di leher semakin naik dan sekarang ke pipi. Aku membuka mata—entah sejak kapan tertutup—dan kini tengah melihat sepasang amber menatapku. Di bibirnya kembali terlintas seringai. Entah apa yang terjadi padaku, bibirku sama sekali tak mau bicara. Inginnya sih teriak, tapi ketika kembali menatap amber miliknya itu, aku tak bisa melakukan apa-apa selain menatapnya saja.

"ICHIGOOOOO~" sekilas aku melihat bayangan melesat cepat dan dia yang tadi menindihku kini terpental dan tergeletak di lantai dengan seseorang yang menduduki punggungnya.

"Urghh~ Menyingkir dari atasku, oyaji!" aku duduk dan menyadari pakaianku telah berganti menjadi gaun tidur berwana putih dengan potongan leher rendah—terlalu rendah untuk lebih spesifik—di bagian dada dan lengan baju yang hanya menutupi perpotongan lengan dan bahuku. Ketika menatap siapa yang tengah bergulat di samping tempat tidur, orang tadi melihat ke arahku dengan tatapan yang membuat sekujur tubuhku merinding melihatnya.

"OH! Siapa gadis cantik yang tidur di atas ranjangmu, Ichigo?" dengan horor aku menatap orang tadi yang kini tengah mengguncang hebat pria berambut orange yang dipanggilnya Ichigo. Apa itu namanya? Serius? Strawberry? Aku menggigit bagian dalam pipi untuk mencegah tawaku yang ingin keluar begitu saja.

"Dia bukan siapa-siapa. Menyingkir!"

"Omong kosong! Atau jangan-jangan kau sudah tidur dan menandainya sebagai milikmu? AAAAH~ MASAKI! KITA AKAN MEMPUNYAI CUCU SEGERA!" dengan teriakan à la murid-sekolah-perempuan-yang-tengah-melihat-idolanya-dari-dekat, ia berlari memutar di dalam ruangan sebelum akhirnya melesat keluar dengan teriakan yang semakin menggelegar. Bahkan sekarang aku masih bisa mendengarnya walau aku yakin ia telah berada jauh.

"Cih! Dasar bodoh. Bagaimana bisa aku mempunyai ayah seperti itu?" dari tempatku duduk, aku hanya bisa mendengarnya menggumam sesuatu. Aku tak bisa mendengar apa yang tengah ia katakan.

"ICHIGO!"

"AH! Mau apa lagi kau kemari?" Ichigo menghampiri orang tadi—kuasumsikan sebagai ayahnya, mengambil informasi ketika ia ditindih dari punggung, namun ia malah tak menghiraukan laki-laki itu dan berja—uh... Berlari ke arahku dengan kecepatan cahaya. Ketika sampai di sampingku, ia tersenyum sampai hampir menyentuh telinganya. Uuuh... Menakutkan. Lebih baik aku berhadapan dengan taring daripada senyum mengerikan seperti ini.

"AAAAAH~ ICHIGO! KAU TELAH DEWASA SEKARANG! MY THIRD DAUGHTER, KAU CANTIK!"

"Ubh!" aku tak bisa berkata apapun jika wajahku tenggelam dalam pelukan tiba-tiba dari ayah laki-laki berambut orange tadi.

"Oyaji! Menjauh darinya!" setelah tiga puluh detik berada dalam neraka, akhirnya aku mampu mengambil nafas yang tadi tersumbat oleh tubuh milik ayah pria tadi. Dan mereka kembali bergulat di lantai. Tapi kali ini berganti posisi dengan ayahnya di lantai sambil terus berbicara tentang sex, pernikahan dan empat cucu dengan senyuman mengerikan miliknya dan laki-laki berambut orange yang duduk di punggungnya berusaha membuat ayahnya pingsan—atau mungkin mati—dengan mencekik lehernya. Mungkin, itu tak berguna karena ia masih tetap bisa berbicara dengan suara tinggi sambil melihat ke arahku.

Setelah sedikit frustasi melihat ayahnya yang masih ON, laki-laki itu berdiri dan menyeret ayahnya dari belakang leher dan melemparnya keluar dari kamar seperti kantung sampah. Dan malang, ayahnya menabrak dinding dengan cukup kuat. Kupikir dia telah pingsan, tapi setelah tiga detik, ayahnya kembali berdiri dan berusaha masuk lagi.

'Uh, kumohon jangan biarkan dia masuk.'

'Tentu, hime. Setelah ini, tak ada lagi yang berani mengganggu waktuku denganmu.'

Aku tersentak mendengar suaranya terlintas begitu saja di kepalaku. Apa dia baru saja bicara denganku? Apa ini yang dinamakan telepati?

Setelah menutup pintu dan menguncinya dua kali, ia menatapku tanpa berbalik dari bahunya. Seringainya kembali terpasang di wajahnya. Entah insting atau apa, aku menutupi dadaku dengan selimut dan mencengkeramnya erat.

"Oh, hime. Tak perlu menutupinya, toh aku juga sudah melihat." Dari tempatku duduk, ia berbalik dan menatapku.

"A-APA? S-siapa kau?"

"Hm?" sekilas setelah ia memiringkan kepala dengan ekspresi heran, ia luput dari pandanganku dan kini tengah berada di hadapanku. Dengan posisi merangkak, ia semakin mendekat.

'De-dekat! Terlalu dekat!' aku memejamkan mata erat-erat sambil memalingkan wajah. Cengkeramanku pada selimut semakin kuat.

"Dekat? Sudah lama aku ingin mendekatimu. Setiap malam kau selalu membuatku tak bisa menahan diri. Ini sudah mencapai batasku. Aku tak tahan lagi." Suaranya yang rendah itu menggema di telingaku. Nafasnya menyapu pelan kulit leherku. Pipiku terasa geli karena rambutnya. Dan lagi-lagi aku merasakan bibirnya yang dingin menyentuhku.

"Hnnn..." dia tampak menikmati apa yang tengah ia lakukan sekarang. Aku bingung harus bagaimana. Semua ini terjadi begitu cepat. Aku tak tahu di mana aku sekarang. Siapa dan apa dirinya sebenarnya. Mengapa ia bisa berjalan begitu cepat hanya dalam sekejap mata? Semua pertanyan itu membuatku sakit kepala. Ditambah lagi tempat ini terlalu aneh. Siapa yang masih menggunakan lilin sebagai sumber penerangan? "Tak usah berpikir yang sulit-sulit. Kau... Pasti akan mengerti. Nanti bila tiba waktumu... Nnnh..."

"Ah!" bibirnya semakin terasa dingin di kulitku. Kedua tangannya melingkari pinggangku dan entah apa yang terjadi, aku berakhir duduk di pangkuannya. Selimut yang tadi kucengkeram terlepas dan tergeletak begitu saja di dekat kakiku. Ia duduk di tempat yang tadi kududuki, punggungnya bersandar dan satu kakinya terayun ke lantai.

Aku yang tak tahu harus apa, hanya memegang erat kedua bahunya. Salah satu lengan gaun tidur yang kupakai ia turunkan dengan perlahan sampai memperlihatkan sebagian dada kiriku. Dia menarikku sedikit sampai aku berdiri dengan kedua lututku dan menghadap dirinya. Aku melihat matanya yang terpejam dan wajahnya yang mendekat. Mataku terpejam erat dan tubuhku sedikit tersentak ketika bibirnya menyentuh dan menciumi tulang selangkaku.

"Uuukh..." sekarang tubuhku gemetar merasakan lidahnya menjilati tulang selangka hingga bahu. Ia kembali menciuminya dengan mulut terbuka dan seketika itu mataku terbelalak lebar. Aku merasakan ada yang janggal dengan mulutnya. Seakan menyadari sesuatu padaku, ia menatapku dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Memperlihatkanku sesuatu yang kupikir tak pernah eksis di dunia.

Kedua gigi taring miliknya keluar dari sela bibirnya.

Aku tarik kembali kata-kataku yang terlintas di kepala ketika ayah laki-laki ini tersenyum lebar di depanku. Mungkin lebih baik melihat senyum mengerikan itu daripada berhadapan dengan taring. Tubuhku bergetar hebat melihatnya. Pandanganku nanar seketika. Orang ini, ah bukan. Makhluk di hadapanku ini, dia... Apa?

Yang kulihat kembali hitam. Yang kudengar? Dia mengatakan sesuatu yang membuat perutku melilit dengan perasaan aneh.

"Maaf, aku tak akan melepasmu dari sekarang..."


Kuchiki Mansion; January, 11/20XX 7.12 AM

Pria itu berdiri tegap dengan wajah tanpa emosi. Rambut hitamnya yang sebahu tertiup angin pelan dari arah jendela kaca geser yang terbuka lebar, memperlihatkan halaman samping yang tertutup salju tipis. Beberapa batang pohon yang tak berdaun ataupun berbunga terlihat berjajar rapi mengelilingi halaman yang bisa dibilang luas itu. Kolam ikan yang biasanya terisi suara percikan kini membeku karena udara dingin.

Mata pria itu sedikit membuka ketika mendengar seseorang mengetuk pelan pintu shoji dari arah berlawanan.

"Apa yang membawamu sepagi ini kemari?" suaranya yang datar memotong kehendak lelaki di luar sana yang ingin mengatakan sesuatu.

Tanpa membuka pintu di hadapannya, lelaki itu mulai bicara. "Maaf atas kelancangan saya, Kuchiki-sama. Pagi ini, saya menerima kabar jika Rukia-sama tak ada dimanapun," terdengar dari suaranya yang tak terlalu jelas, lelaki itu berbicara dengan membungkuk dalam ke lantai sambil duduk bersimpuh.

"Jika tak ada, segera cari. Aku tak ingin mendengar apapun alasanmu jika tak bisa menemukannya." Pria itu kembali menutup mata dan mengaitkan kedua tangannya di belakang punggungnya. Di wajahnya masih terpasang wajah tanpa emosi walau nafas yang ia ambil sedikit memburu.

"Baik, Kuchiki-sama. Saya mohon diri," lelaki pembawa pesan itu kembali duduk bersimpuh dan sebelum beranjak pergi, menundukkan kepalanya sedikit ke arah pintu sebagai tanda hormat, walau pria di dalam sana tak bisa melihatnya.

Katakan saja itu sebagai kebiasaan.


...; January, 11/20XX 9.57 AM

Lagi-lagi cahaya orange yang kutangkap ketika membuka mata. Suasana di sekitarku sama dengan terakhir kali aku membuka mata. Bedanya? Aku merasa tak ada seseorang atau satu makhluk yang tengah menindihku. Setelah mengerjapkan mata berkali-kali, aku duduk dan melihat ke sekitarku. Baru kali ini aku melihat desain yang begitu kuno. Walau aku sering melihat rumah tradisional Jepang, desain ruangan ini sama sekali berbeda. Mungkin karena ornamen-ornamen yang tertata rapi dan terkesan antik, seperti desain dari barat. Mungkin lebih ke arah gaya Eropa.

Ranjang yang kutiduri memiliki ukuran King size. Bed cover dan pillow case yang dipakai berwarna merah marun. Sedang di balik bed cover, tersebar sheet putih berlapis tiga dengan dua sheet di atas yang mengapit selimut cukup tebal. Di bagian belakang head board, tirai berwarna merah darah tergantung dari langit-langit hingga lantai dengan garis keemasan di pinggirnya. Di ujung ranjang terdapat sofa panjang dan beberapa bantal kecil dengan warna serasi. Dua night stand mengapit ranjang dan masing-masing berdiri tiga candle holder yang terpisah dan terbuat dari besi dengan desain spiral.

Mengarah ke lantai, karpet tebal yang sepertinya terasa lembut ketika dipijak tersebar di sekitar ranjang dan berwarna putih. Lantai yang tak tertutup karpet adalah parquette berwarna hitam yang dipoles dengan wax hingga mengkilat. Di dinding sebelah kanan terdapat sebuah lukisan berukuran besar. Lukisan itu tak terlihat jelas karena cahaya yang kudapat hanya dari lilin yang tergantung di atas, dan tak semua lilin di sana menyala. Sedangkan candle holder di night stand sama sekali tak menyala walau terdapat lilin yang masih utuh. Yang bisa kulihat hanya detail ukiran pada pigura lukisan yang terkesan rumit berwarna emas. Mengapit lukisan, terdapat dua jendela besar yang tertutup rapat. Tirai yang berwarna sama dengan tirai di balik ranjang, sama sekali tak diikat ke samping. Dari bawah tirai bisa kulihat glass curtain berwarna putih dan sinar matahari yang berusaha mengintip masuk.

'Apa ini sudah pagi?' aku berpikir sambil memiringkan kepalaku dan mencuri lihat sinar matahari dari luar.

"Ini sudah pukul sepuluh kurang tiga di pagi hari." Badanku sedikit terlonjak dan aku langsung menengok ke kiri dimana suara tadi berasal. Semua kejadian yang terjadi di sini membuatku berpikir kalau aku menjadi gila. Bagaimana mungkin ia bisa membaca pikiranku? Apa semua makhluk sepertinya bisa melakukan itu?

Dia berjalan ke arahku dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana putih yang ia kenakan, sebagian celana tertutupi oleh sepatu boot hitam hingga bawah lutut. Semakin ia mendekat, dua pintu dari kayu berukuran besar dimana ia tadi masuk menutup perlahan dan benar-benar tertutup ketika ia sampai di pinggir ranjang. Ia tetap berdiri di sana dengan wajah datar, cukup lama hingga wangi tubuhnya mengunjungi indra penciumanku. Vanilla. Hanya itu yang bisa kusadari dari wangi tubuhnya. Mungkin ada sedikit bau rerumputan di dalamnya. Tapi entahlah...

Dari jarak yang cukup dekat, aku bisa melihat warna pakaian yang tengah ia pakai. Biru tua dengan kerah tinggi berwarna putih. Di bagian dalam ia memakai baju putih dengan garis abu-abu di bagian kancing dengan dua kancing atas terbuka. Baju luarnya berpotongan kerah berbentuk V yang tak memiliki kancing hingga bagian bawah perutnya, bagian lengan hanya sampai di bawah siku. Tampak seperti blazer, tapi di bagian bawah potongan, terdapat satu kancing yang hanya berfungsi sebagai hiasan. Ia mengenakan mantel pendek sepinggang berwarna hitam yang ia sampirkan di bahu sebelah kanan dengan rantai dari besi putih yang mengelilingi lehernya. Di tangan kirinya, ia menggunakan sarung tangan hitam untuk menutupi seluruh kulit lengannya, sedangkan di tangan kanan, ia tak memakai apapun.

Satu hal yang menarik perhatianku, di ikat pinggangnya yang berwarna hitam terdapat katana dengan untaian rantai hitam di ujung gagangnya.

"Ah! A-aku dimana?" perasaan panik mulai menyelimutiku ketika ia memberitahuku ini jam berapa. Ia hanya menyeringai sambil menutupi kedua mata ambernya dengan bayangan rambut. Tak kusangka ia kembali menghilang dan muncul di sebelah kananku. Nafasnya kurasakan merayap pelan di wajahku. Tanpa menengok, aku bisa melihat wajahnya berada dekat dengan wajahku dari ujung mataku.

Nafasku memburu cepat ketika tangan kanannya keluar dari saku dan hendak menjangkau daguku. Ketika jari-jari panjangnya menyentuh ujung daguku, aku tersentak. Sentuhannya terasa seperti es, membuat tubuhku sedikit bergetar dan bulu romaku berdiri. Perlahan ia duduk di samping kakiku dan menghadapku. Jari-jarinya yang memegang daguku mulai ia gerakkan hingga aku bisa menatapnya tepat di mata. Dengan mulut yang sedikit terbuka, aku semakin gemetar merasakan hawa yang berasal darinya. Ia terasa begitu dingin dan jauh. Entah apa yang terjadi padaku. Biasanya aku akan memukul siapapun yang berada terlalu dekat denganku sampai ia tak bisa berdiri. Tapi aku tak bisa melakukan apapun terhadapnya. Mungkin aku terlalu takut bereaksi di bawah tatapan ambernya itu.

'A-apa? Apa yang harus kulakukan? A-aku, aku ingin pulang. Renji...'

Seketika seringai miliknya menghilang. Kerutan dahinya semakin dalam dan ekspresi wajahnya menjadi datar, tidak seperti tadi. Hawa di sekitarnya pun semakin dingin. Aku merasa bisa membeku hanya dengan duduk diam di sampingnya. Jari-jarinya yang tadi memegang daguku kini mulai naik dan berdiam di pipi kiriku.

"Renji? Kau milikku. Takkan kubiarkan orang lain mengambilmu dariku. Hanya milikku." Pernyataan—bukan, perintah—yang ia utarakan membuatku sakit. Aku tak ingin dimiliki oleh makhluk sepertinya. Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu dengan semua temanku, berharap ini hanya mimpi buruk dan aku akan terbangun di ranjang milikku di apartemen.

'Bangunlah. Bangun Rukia. Ini hanya mimpi buruk...'

"Sayangnya ini bukan mimpi buruk, hime. Kau telah menjadi milikku sejak dulu. Kau sendiri yang memutuskannya. Tanpa paksaan, tanpa tekanan. Kau bersedia menjadi milikku sebagai keinginanmu." Dan inilah ciuman pertama yang ia beri untukku. Mataku terbelalak lebar ketika ia meletakkan bibirnya di bibirku. Tetap dingin. Aku tak merasakan apapun kecuali dingin. Air mataku yang sudah tak bisa lagi kutahan mengalir perlahan di kedua pipiku. Entah apa yang kupikirkan, aku menutup mata dan membalas ciumannya. Saat ini pikiranku kosong. Aku sama sekali tak bisa berpikir. Perkataannya tadi tak bisa kuproses.

Ciumannya semakin dalam, tangan kanannya tetap berada di atas pipiku dan mengelusnya pelan, sedangkan tangan kirinya ia lingkarkan di pinggangku dan membawaku semakin dekat hingga tubuhku menekan tubuhnya. Kedua tanganku mencengkeram erat pakaian luarnya. Walau aku duduk, tetap saja aku merasa gemetar.


Tokyo, Tokyo University's Hongō campus: Sanshirō ike; January, 11/20XX 10.08 AM

Duduk di pinggir kolam Sanshirō pada sebuah kursi panjang yang berjejer rapi, seorang laki-laki dengan rambut merah diikat tinggi serupa nanas bersila dada dan mengerutkan keningnya sedalam yang ia bisa. Pandangannya ia lempar pada kolam beku yang memiliki bentuk shin. Ia sama sekali tak peduli dengan udara dingin. Yang ada di kepalanya hanya sese—

Plak!

"OI! Dengar kalau orang sedang bicara!"

"OW! Tatsuki! Tak perlu memukulku kuat-kuat." Mengelus kepalanya yang memar karena dipukul buku tebal, Renji melempar death glare pada gadis tomboy yang duduk di samping kirinya. Tak menghiraukan ucapan Renji, Tatsuki kembali memukul kepala Renji di tempat yang sama. "OW, Hey!" Renji memegang pergelangan tangan Tatsuki yang hendak memukulnya lagi. "Ck! Apa yang ada di otakmu, cewek?" perlahan Renji melepas pegangannya dan kembali bersila dada.

"Huh! Kalau tak begitu, mana mungkin kau mendengarku?" Tatsuki menghadap Renji dengan tangan kanan yang ia sampirkan dengan santai di atas sandaran kursi. Ia terus menatap Renji dengan seksama, sedang yang diperhatikan tampak kembali tenggelam dalam pikirannya. Merasa kesal karena terus saja tak dihiraukan, Tatsuki berdiri dan meninggalkan Renji sendirian. Buku tebalnya tadi ia tinggalkan di samping Renji dengan sebuah note kecil yang terjepit di antara buku dan kursi. Ia merasa sakit mengetahui persis apa yang ada di pikiran Renji.

"Mungkin aku terlalu berharap padanya... Dasar bodoh." Dengan kepala tertunduk, ia berjalan pelan menuju kelas berikutnya. Tak menyadari lelaki yang diam-diam disukainya itu menatapnya dengan memegang note yang ia tinggalkan tadi.

"Maaf, Tatsuki... Mungkin belum saatnya aku memikirkan diriku dan dirimu." Renji menggenggam erat kertas kecil itu hingga tenggelam di tangan kirinya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain tepat ketika Tatsuki menengok untuk melihatnya dari kejauhan.

"Apa... Kau merasa berat, Renji? Aku... Hal ini sudah mulai menggangguku. Aku tak tahu harus bagaimana untuk membuatmu melihat ke arahku. Aku ingin kau mengulurkan tanganmu kepadaku. Apa itu berat?" dengan melihat siluet Renji sekali lagi, Tatsuki kembali melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Kali ini dengan membawa beban yang semakin terasa berat pada setiap langkah yang ia ambil. Berjalan menjauh dari pusat hatinya berada, membuatnya terlihat seperti orang lain. Perasaannya yang ia pendam sejak dulu, kini sudah mulai membentuk gundukan besar di dasar hatinya. Mungkin sekarang sudah memenuhi hati kecilnya yang sulit dimasuki orang lain.

Kalau bukan karena hatinya yang selalu berteriak kepadanya, mungkin ia sudah menyerah sejak dulu. Ia hanya tak ingin tersakiti hanya karena perasaan. Tapi lihat dia sekarang, merasa dikhianati diri sendiri ketika memutuskan untuk menutup dan merantai rapat hatinya dalam kotak pandora kemudian dibuangnya di lubang hitam. Setidaknya, ia masih bisa menatapnya sebagai teman yang berharga. Berdoa untuk kebahagiannya dengan orang lain? Jika ia sampai melakukan hal itu, ia merasa seperti orang munafik. Ia tak akan pernah bisa melihatnya bahagia dengan orang lain. Tidak dengan luka yang tersayat terlalu dalam. Hal tu seperti menabur garam pada luka lebar. Sakit, perih. Mungkin lebih baik jika ia tak akan bertemu lagi dengannya apabila ia akan berbahagia dengan orang lain. Dengan begitu, ia tak perlu membuka perban lapuk termakan usia yang melilit kuat di lukanya yang terasa baru.

Jika Tuhan mau berbaik hati padanya, mungkin ia akan menemukan orang lain untuk menaruh kembali kepercayaan dan semua harapannya.

'Tapi tak akan pernah sama seperti aku menaruh rasa percaya dan harapanku padamu, Renji...' dengan memantapkan perasaannya, ia menatap jalan di depannya dan mulai berjalan tegap. Seperti inilah Tatsuki yang dikenal sebagai gadis keras kepala yang memiliki pendirian kuat. Ia tak akan jatuh walau kakinya sudah tak bisa menopangnya lagi. Karena kedua tangannya mampu menopang beban yang sama dengan kedua kakinya.

Mengiringi langkah-langkah yang ia ambil, angin lembut beraroma salju menggelitik ujung hidungnya yang berwarna kemerahan.


...; January, 11/20XX 12.36 PM

Ichigo's PoV

Rukia masih tertidur sejak dua jam lalu. Mungkin ia hanya merasa shock dengan apa yang terjadi padanya. Aku tahu ini terlalu terburu-buru. Tak seharusnya aku menjemputnya sekarang. Aku masih mempunyai beberapa bulan sebelum ia benar-benar menjadi milikku. Tapi aku sudah menahan diri selama empat belas tahun lebih dan hal ini semakin menyiksaku ketika aku akan memilikinya hanya dalam beberapa bulan lagi. Hari itu masih terasa segar di ingatanku. Seperti baru kemarin semuanya terjadi. Kata-katanya yang ia lontarkan padaku benar-benar membuatku bahagia saat itu. Bahkan sampai sekarang, perasaanku akan melambung tinggi jika aku memutar kembali semua yang ia katakan dengan wajah polos.

Rukia, aku tahu kau memang hanya untukku...

җҗҗ

Flashback

Fourteen years and eight months ago

Karakura, Yumizawa Park; May, 17/19XX 6.23 PM

Aku berdiri di luar taman anak-anak yang sudah kosong. Tentu saja. Ini sudah larut. Mana ada anak kecil yang bermain saat menjelang malam seperti ini? Tapi wangi yang kucium menuntunku sampai ke taman anak-anak ini. Apa benar dia ada di sini?

Krieet... Ngiik...

Kepalaku sedikit kumiringkan ketika bunyi aneh tadi terdengar. Pandanganku tersita pada ayunan yang bergerak perlahan. Di sana terlihat gadis kecil yang menggunakan topi lebar berwarna putih dengan kepala tertunduk. Di sekitarnya tak ada siapapun atau apapun. Ia duduk dan bermain sendirian di ayunan. Tak sadar, aku melangkahkan kaki ke arahnya. Tampaknya langkah kakiku sama sekali tak ia dengar, buktinya ia terus saja menatap ke bawah dan sedikit menggerakkan kakinya maju dan mundur. Ketika aku berada dalam jangkauan, aku bisa mendengar ia tengah menggumam nada yang tak kuketahui. Mungkin lagu dari anime kesukaannya.

Dan kemudian, aku bertemu dengan sepasang violet yang berkilat berisi kebahagiaan. Matanya besar dan berkedip berkali-kali ketika melihatku berdiri tak jauh dari hadapannya. Gadis kecil di hadapanku mengenakan summer dress berwarna kuning tanpa lengan dengan hiasan bunga di bagian depan. Topi lebarnya tadi dihiasi dengan pita besar berwarna kuning pucat dan di kakinya terpasang sandal berwarna putih.

"Halo!" ia tersenyum lebar ke arahku yang terus saja menatapnya. "Nama kakak siapa?" kakak ya? Padahal usiaku sudah dua ratus tahun lebih. "Kenapa diam saja, kak? Aku kan bertanya baik-baik," ia memasang wajah cemberut dan mencucutkan bibir mungilnya ke arahku. Aku hanya terheran dengan sikapnya itu. "Oh! Mungkin aku harus memperkenalkan diri dulu, baru kakak mau memberitahu namamu. Iya kan?" ahh... Dia kembali tersenyum lebar sambil melompat dari ayunan dan berdiri di hadapanku. Kepalanya hanya mencapai tengah pahaku, gadis ini benar-benar mungil. Mungkin ia masih empat atau lima tahun. "Namaku Rukia Kuchiki. Umur enam tahun. Salam kenal. Sekarang giliran kakak!" enam? Perkiraanku meleset. Aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya.

"Rukia? Lucia?" aku semakin merasa heran dengan gadis mungil ini.

"Hm? Jangan mengatakan sesuatu yang tak kumengerti. Siapa nama kakak?" dia berusaha menyaingi kerutan yang terpasang di dahiku dan bersila dada. Gadis kecil yang sombong ya?

"Ichigo. Kurosaki Ichigo." Pada akhirnya aku tetap memberitahukan namaku walau dilarang.

"Baiklah! Berarti kakak kupanggil Ichi saja ya?" lagi-lagi ia tersenyum lebar. Dan kali ini, ia mendekat dan tiba-tiba mencium pipi kiriku dengan cepat. Aku tak berbuat apa-apa selain melihatnya yang kini tersenyum manis kepadaku. Saat itu, aku merasa sesak terhadap sesuatu yang tak kuketahui apa namanya.

җҗҗ

"Ngomong-ngomong Ichi, kenapa kau memakai baju seperti itu?" aku dan dia kini duduk di ayunan. Ayunan yang didudukinya bergerak maju dan mundur, sedang milikku, tak bergerak sama sekali. Aku terlalu tinggi untuk bermain ayunan anak-anak.

"Hm? Memangnya kenapa?" aku bergantian menatapnya dan pakaian yang kupakai. Aku mengenakan kemeja hitam lengan panjang tanpa dasi dengan vest putih yang kukaitkan setiap kancingnya. Mantel putih yang mencapai lututku hanya kusampirkan di kedua bahu dan kuhubungkan kerah mantel dengan hiasan berbentuk bulan sabit cukup besar dari besi putih. Celana putih yang kupakai sebagian tak terlihat karena kututupi dengan boot kain berwarna gelap.

"Ini kan menjelang musim panas. Apa Ichi sama sekali tak merasa gerah dengan pakaian yang 'wah' itu?" dengan ekspresi heran, gadis mungil itu menatapku tepat di mata.

"Tidak. Aku hanya merasa dingin. Itu saja." Aku menjawab pertanyaannya dengan menatap bulan yang semakin beranjak tinggi.

"Oh, begitu..." dengan sedikit tersenyum, gadis itu juga melihat ke arah yang sama denganku.

"Lalu, kenapa kau ada di sini?" akhirnya pertanyaanku keluar juga. sejak tadi aku ingin bertanya hal itu padanya, tapi ia terus saja bicara dan bertanya macam-macam padaku.

"Memangnya kenapa? Apa tak boleh?" mataku terbelalak lebar mendengarnya berteriak ke arahku. Ketika aku ingin menoleh ke arahnya, ia telah berdiri dari ayunan dan berkacak pinggang di depanku.

"Bukan begitu. Ini sudah malam. Apa kau tak takut akan terjadi sesuatu? Apalagi kau masih kecil..." dengan santai aku meletakkan telapak kananku di atas kepalanya dan mengusap rambutnya, setelah aku melepas topi yang ia gunakan dengan tangan kiriku. Rambutnya berwarna raven dengan potongan sebahu. Poninya berkumpul di satu tempat dan menjuntai di antara dua matanya.

"Aku bukan anak kecil! Aku sudah enam tahun! Huh!" bersila dada dan cemberut, dia memalingkan wajahnya dari hadapanku.

"Haha..." aku hanya bisa tertawa pelan sambil mengusap rambutnya kuat-kuat.

"Ah! Rambutku berantakan. Hentikan..." dengan susah payah, ia berusaha menjangkau tanganku yang masih berada di kepalanya. Setelah ia berhasil menyingkirkan tanganku, ia hanya menggenggam erat tanganku dan menatapnya dalam.

"Apa?" hanya itu yang bisa kutanyakan ketika ia sama sekali tak mengeluarkan sepatah katapun selama beberapa saat.

"Ichi, kenapa tanganmu dingin?" aku hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa padanya. Kalau kubilang itu, pasti dia tak akan percaya. "Heeeeeiii... Kenapa tak menjawab?" kali ini dia menatapku. Tanganku masih berada dalam genggamannya. Dua tangannya yang mungil sama sekali tak bisa membungkus tanganku.

"Ah, bukankah tadi kubilang aku merasa dingin?" aku hanya tersenyum kecil kepadanya yang sedang menatapku heran.

"Hm, aneh. Padahal kau sudah memakai baju super panas itu. Tapi badanmu terasa seperti es. Apa yang lain juga sama?" dengan tak melepas tangan kirinya dari tanganku, tangan kanannya mulai terulur ke wajahku. Dan ketika menyentuh pipiku, matanya terbelalak lebar merasakan suhu tubuhku.

"Ichi dingin sekali... Apa Ichi sedang sakit? Kalau sakit, istirahat saja kan?" tangannya ia jauhkan dan kembali menggenggam tanganku.

"Aku tidak sakit. Bahkan aku merasa sangat sehat..." sepertinya gadis kecil di hadapanku sama sekali tak percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. Dia tetap saja menatapku dengan pandangan heran dan mungkin sedikit khawatir.

"Kalau begitu, berjemur saja!" haaa... Gadis ini benar-benar aneh. Cepat sekali emosinya berubah.

"Berjemur?"

"Iya! Berjemur. Kalau berjemur di matahari, kau pasti tak akan dingin lagi..."

Cukup lama sebelum akhirnya aku menjawab saran yang ia berikan. "Matahari ya? Aku tak pernah merasakan matahari..."

"He? Mana mungkin? Padahal rambut Ichi seperti warna matahari. Kupikir Ichi suka matahari..." dia menunjuk rambutku dengan keheranan.

"Tak harus seperti itu kan? Aku lebih menyukai bulan. Bulan sabit perak, seperti sekarang..."

"Hm hm... Begitu. Lalu, kenapa tadi bilang tak pernah merasakan matahari? Apa Ichi tak tahan dengan cahaya matahari?" ia benar-benar banyak bertanya.

"Yaaah... Begitulah. Aku tak pernah bisa berada di bawah matahari. Melihat cahayanya saja, sudah tak tahan. Padahal, aku ingin melihat seperti apa itu cahaya dan merasa hangat. Bukan cahaya lilin atau lampu, bukan juga cahaya bulan yang benar-benar kusukai..." dia mendengarku dengan seksama tiap kata yang kuucapkan. Mungkin bagi anak seusianya, yang kukatakan itu hal biasa. Coba saja dia mengetahui apa yang kumaksud.

"Um! Kalau begitu..."

Gyuuut...

"Aku akan menjadi cahayamu dan membuatmu tetap merasa hangat. Mau kan?" aku benar-benar tak percaya padanya. Aku terkejut ketika dia mulai memelukku dan membisikkan kata-kata itu di telingaku. Gadis kecil yang tangah mendekapku ini membuat jantungku seolah berdetak lagi setelah sekian lama. Dan wangi yang sejak tadi kusesap, menguar kuat di ujung hidungku. Dia yang sejak tadi kucari, dan akan menjadi milikku. Milikku saja.

"Tentu, hime..." memejamkan mata, aku membalas pelukannya. Wajahku kusembunyikan di bahu mungilnya, menyesap dalam-dalam wangi tubuhnya yang sudah mengikatku dengan dirinya.

"Hihi... Aku bukan hime. Aku Rukia..." ah, suara tawanya menggema di telingaku. Aku tak sabar untuk segera memiliki dirinya.

"Hm... You'll be my hime..." aku melepas pelukannya dan mencium keningnya cukup lama. Dan ketika aku melepaskan ciumanku, dia tertidur di tanganku. Aku mengusap pelan wajahnya dan berusaha membuat poninya terdiam di belakang telinga, tapi sia-sia. Tertawa pelan, aku berdiri dan menggendongnya. Dia terasa sangat ringan dan hangat di dalam tanganku. Aku tak ingin cepat-cepat memulangkannya, jadi aku memilih berjalan pelan hingga ke rumahnya walau aku bisa sampai ke sana dalam hitungan detik saja.

Walau tak mau tapi karena harus, aku tiba di rumahnya yang bergaya tradisional Jepang. Cukup luas dengan pohon Sakura yang banyak berjejer di sekeliling halaman. Setelah masuk dari pintu gerbang yang kecil, aku sampai di pintu depan. Tanpa mengetuk, pintu shoji itu bergeser sendiri dan berdirilah seorang laki-laki dengan usia pertengahan dua puluh dengan rambut hitam sebahu di hadapanku dan mengenakan yukata biru muda. Ekspresi wajahnya datar, tapi aku tahu jika ia merasa gelisah. Kau sama sekali tak bisa menyembunyikan perasaanmu dariku.

"Mau apa kau? Kenapa Rukia ada bersamamu?" dengan suaranya yang terkesan dingin, ia menatapku tajam. Tinggi badannya tak jauh beda denganku, hanya saja dia lebih tinggi beberapa inch.

"Ah, bukankan itu sikap yang tak sopan membiarkan orang lain berdiri di depan rumahmu dan kau tanyai macam-macam? Setidaknya biarkan dia berbaring dulu, Byakuya..." dia masih tetap mempertahankan wajah tanpa emosi miliknya walau aku memanggilnya dengan nama kecil.

"Jangan memperingatkanku. Sikapmu sama saja dengan ayahmu." Dia melangkah ke samping memberiku ruang untuk masuk.

"Cih! Jangan samakan aku dengan orang tua itu!" tanpa peringatan, aku berjalan santai ke dalam dan menuju kamar Rukia yang kuketahui dari insting. Tentu saja aku tak mempedulikan tatapan aneh dari orang-orang yang bekerja untuk Byakuya. Dari kejauhan, aku bisa mendengar gumaman pelan yang meluncur lancar dari mulut dingin Byakuya dan membuatku ingin sekali melemparnya ke dalam kolam ikan koi kesayangannya.

"Like father, like son..."

җҗҗ

"Jadi, apa yang membawamu jauh-jauh hingga kemari, Kurosaki?" Byakuya bertanya sambil duduk bersimpuh dan meminum teh yang baru saja dihidangkan oleh salah satu maid.

"Ck! Jangan bodoh, Byakuya. Kau sudah tahu apa alasanku datang sampai kemari." Tak ingin membuat kakiku pegal dengan posisi duduk yang merepotkan, aku hanya duduk bersila dengan menopang wajahku dengan satu tangan di atas meja. Pandanganku tertuju pada halaman samping rumahnya yang luas, bukan ke arahnya. Di luar, bisa kulihat kelopak bunga Sakura kesukaannya itu jatuh berguguran dan menutupi rumput hijau di sekitarnya.

"Rukia ya? Merepotkan..." ah, dia benar-benar bisa membuat tempramenku menjadi tinggi dalam sekejap.

"Huh! Menyebalkan..." aku hanya mengutarakan satu kata walau sebenarnya masih ada banyak kata yang ingin keluar dari bibirku untuk mendeskripsikan sikap Byakuya.

"Jadi, kapan kau akan menjemputnya?" Byakuya meletakkan cangkir tehnya yang kosong di atas meja. Mengetahui keadaan sudah menjadi serius, aku berbalik dan menatapnya tepat di mata.

"Lima belas tahun, tepat di tanggal yang sama. Tujuh belas Mei lima belas tahun yang akan datang, aku akan menjemput Rukia untuk tinggal bersamaku di kastil selamanya." Aku bersila dada dan sama sekali tak memutus tatapan yang Byakuya berikan padaku.

"Sepertinya tak bisa dicegah lagi. Aku sudah tahu hal ini akan terjadi sejak lama." Memejamkan mata sejenak setelah apa yang ia katakan, Byakuya berdiri dan berjalan sampai di pinggir jendela kaca.

"Benarkah?" perlahan ia buka jendela kaca tersebut dan berjalan keluar untuk duduk di beranda samping. Aku hanya mengikutinya dan duduk tak jauh darinya, melihat bulan sabit perak yang sudah tinggi. Pada akhirnya, ia sama sekali tak menjawab pertanyaanku.

End of Flashback

җҗҗ

Semua kejadian itu berputar kembali di kepalaku. Kuharap Byakuya tak perlu sampai datang ke sini untuk memastikan keberadaan Rukia yang tiba-tiba menghilang. Mau bagaimana lagi? Kalau sudah tak bisa, ya tak bisa. Di sudut mataku, aku melihatnya bergerak gelisah dalam tidurnya. Buku yang kubaca daritadi kututup karena tak bisa kupahami arti kalimatnya ketika yang ada di pikiranku hanya Rukia. Aku menaruh buku tersebut di meja kecil samping jendela dan berjalan mendekatinya.

"Nii-sama..." aku mendengar suaranya yang lirih memanggil Byakuya. Bulir keringat dingin mengalir perlahan dari dahi dan tengkuk lehernya. Hal itu membuat rambutnya menempel di wajahnya karena lembab. Kedua tangannya yang mungil mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya hingga perut. Gaun tidur dengan potongan rendah itu menjadi tak beraturan dan hampir terlepas dari dua bahunya ketika ia bergerak gelisah.

Aku duduk di samping tubuhnya dan menyeka dahinya dengan telapak tangan kananku, berharap dengan suhu tubuhku yang dingin dapat membuatnya sedikit tenang.

"Uuuuh..." sebulir air mata melesak keluar dari kelopak matanya yang terpejam erat. Ah, perasaan ini kembali padaku. Meski ia sedang tertidur, aku sama sekali tak bisa melihatnya menangis. Apalagi jika air mata itu keluar karena perbuatanku.

"Renji..." tanganku berhenti tepat di atas keningnya ketika ia menyebutnya. Lagi-lagi. Kenapa nama itu yang keluar dari bibirmu? Tidak bisakah kau mengingatku walau hanya sekedar nama? Apa janji yang dulu kau ucapkan padaku itu hanya bohong? Aku merasa sakit, Rukia. Jika kau seperti ini, aku tak tahu apa yang akan kuperbuat pada seseorang yang kau panggil Renji itu. Aku memejamkan mata berusaha untuk menenangkan perasaanku yang bergemuruh dan kembali kubuka ketika kudengar suaramu memanggilku. Ah, mungkin lebih tepat seperti berharap aku tak ada di hadapanmu.

"Kau?" dia duduk dan cepat-cepat menyingkirkan tanganku dari keningnya. Sebegitu besarnya kah kau tak ingin aku ada? "Mau apa kau? Apa yang ingin kau lakukan padaku?" matanya sama sekali tak fokus ketika berusaha untuk melihatku. Cengkeramannya pada selimut ia bawa hingga menutupi dadanya yang hampir terlihat. Seluruh tubuhnya gemetar berada di sampingku. Aku memejamkan mata sejenak dan mulai bicara pelan kepadanya.

"Apa kau tak mengingatku, Rukia?" aku bisa merasakan tubuhnya tersentak ketika namanya keluar dengan lancar dari sela bibirku.

"Dari mana kau tahu namaku?" suaranya tegas walau ada rasa takut bercampur di dalamnya.

"Itu tidak penting. Aku sudah menyuruh orang untuk menyiapkan makan untukmu. Mungkin sebentar lagi akan diantar." Aku membuka mata dan menatap matanya yang kini berkilat dengan amarah.

"Tidak mau! Aku tidak mau makan. Cepat pulangkan aku. Aku tak ingin berada di sini atau di dekatmu!" perkataannya benar-benar menusukku. Aku merasa perutku melilit dan tenggelam di laut dalam.

"Begitukah?" aku memalingkan wajah darinya, tak ingin ia melihat raut wajahku. Aku dan dia hanya terdiam selama beberapa saat sampai suara ketukan pelan di pintu membuatku angkat bicara. "Masuk..."

"Permisi, Ōji-sama," seorang butler berperawakan tinggi memakai setelan jas hitam dengan rambut coklat yang disisir rapi ke belakang, masuk sambil mendorong queridon berisi makanan untuk Rukia. Dengan cekatan ia menyiapkan semuanya di atas meja dekat jendela. Setelah selesai melakukan tugasnya, ia membungkuk sedikit ke arahku dan berjalan pelan keluar dengan queridonnya.

Mengerti keadaan Rukia yang tak ingin diganggu, aku berdiri dan berdiam sejenak. "Makanlah. Aku tak ingin terjadi apa-apa padamu..." dengan itu, aku berjalan ke arah pintu. Saat memegang handle pintu, aku menengok ke arahnya dan berusaha tersenyum walau itu pekerjaan yang tak gampang saat ini.

"Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi bisakah kau mengingatku? Walau hanya nama, aku akan senang sekali." Perlahan aku menutup pintu dan bersandar padanya dari balik ruangan, menghela nafas yang sejak tadi tercekat di tenggorokan. Kedua telapak tanganku berkeringat dalam genggamanku yang terlampau kuat.

End of Ichigo's Pov


To be continue


A/N: Wohohoho~ Fanfic yang dibuat dengan waktu panjang dan juga berbagai perubahan plot pas ngetik. ^^ Berbagai referensi gila mesti saya buka dari internet atau bahan ajar kuliah. Tehehe... :p Yang penasaran sama baju yang dipake Ichigo waktu dia nyium Rukia, liat aja gambarnya di album fb. Bisa dibilang promosi. Khukhu... XD Kalo yang gak mau, liat aja bajunya Zen Wistalia dari manga Akagami no Shirayuki Hime, cover volume 2. Gambarnya kucontoh dari situ, cuma beda kepala... *plak* Kalo gak mau lagi, yasud, bayangkan saja sebisa anda. *ditampol*

Dua chapter terakhir sudah selesai dan siap update dalam beberapa hari. So, gimme feedback first. Love ya all! Btw, fanfic saya yang lain dalam masa hiatus. Karena saya mau hiatus panjang. Gomen~