MARIONETTE "PROLOG"
Malam yang dingin.
Suara angin mendesau terdengar di sekelilingku, sayup namun berkelanjutan.
Kayu-kayu itu terdengar berkerotak, aromanya kering dan pahit.
Peri kecilku berusaha memejamkan matanya di pangkuanku, aku tau ia sedang memaksakan dirinya untuk tertidur, tapi tetap saja tidak bisa. Kelopak matanya terlihat bergerak-gerak liar. Aku tersenyum, di dalam lubuk hatiku, aku tau ia tengah menebak-nebak kado Natal yang akan kuberikan untuknya seminggu lagi.
"Halmeoni, aku tidak bisa tidur."
Aku sudah tau itu.
"Lalu?" tanyaku sambil membelai rambut ikal sebahunya yang terselip pada lipatan pakaian rajutannya.
"Apa yang akan Halmeoni berikan untukku, untuk Natal satu minggu lagi? Apa aku boleh mengetahuinya?" Ia menegakkan punggungnya sambil menoeh ke arahku. Bola matanya begitu besar, aku tau ia sangat berharap.
"Andwe. Halmeoni akan memberitahumu sampai kau mau menunggu malam Natal."
"Haruskah?" Ia terdengar merajuk sambil berkacak pinggang.
"Tentu, hadiah Natal hanya diberikan pada saat malam Natal, bukan seminggu sebelum kedatangan hari suci itu."
"Tapi aku ingin mengetahuinya! Apa aku boleh menebak?" tanyanya bersemangat. Aku menggeleng. "Jebal Halmeoni, Halmeoni bisa membuatku mati penasaran!" Bibirnya cemberut tampak begitu kecil, ia kini melipat tangannya di dadanya. Aku tau ia mulai kesal.
"Apa yang bisa Halmeoni lakukan untuk membuatmu lebih sabar?" kataku sambil mengancingkan mantelku yang bermotif bunga lili.
Teng... teng... teng!
Kami menatap jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam.
"Tidurlah. Kalau tidak, halmoni tidak akan memberikan hadiah Natal untuk tahun ini," pintaku sambil menarik selimut berbulu bercorak pelangi di dekat kakinya.
Gadis kecil itu menahan tanganku sesaat, "Arraseo. Aku akan menunggu. Sebagai gantinya, Halmeoni harus mendongengkan cerita kepadaku malam ini!" Deretan mutiara kecil tampak menghias senyumnya.
"Mendongengkanmu? Apa Halmoni berutang padamu?" kataku sambil terkekeh.
"Ne, karena Halmeoni sudah membuatku menunggu," sahutnya gesit.
Aku terkikik, "Arraseoyo, Halmeoni akan mendongengkanmu, tapi berjanjilah kau akan tidur setelahnya. Yaksok?"
Malaikat cantik itu mengangguk antusias. "Yaksok."
"Kemarilah." Aku melebarkan lenganku. Cucuku dengan senang hati mendekatkan tubuhnya ke arah tubuh pongahku yang kian melemah. Aku memeluknya erat.
Suasana meremang di sekitar kami, hanya api yang bergoyang-goyang dari perapian yang menciptakan cahaya di ruangan sempit ini. Lantai-lantai terasa hangat, sehangat atmosfer saat ini.
Musim dingin di Bulan Desember tahun ini begitu bersahabat, salju menghujani bumi dengan elok, dan aku kedatangan cucuku dari kota, orang tuanya menitipkannya kepadaku sejak dua hari yang lalu. Aku tak pernah menyadari, meski usianya baru enam tahun, ia pandai sekali berbicara dan keras kepala tentu saja seperti ayahnya yang juga putra bungsuku.
Wajahnya putih seperti salju namun sehangat ketika kau menatap bulan purnama, sepasang matanya berbentuk seperti kenari dan berwarna pinus segar, sementara senyumannya menggemaskan dan menyejukkan hati siapapun yang melihatnya. Aku menyukai rambutnya yang kecoklatan, sangat menawan.
"Halmeoni akan menceritakan kepadamu sebuah kisah tentang seorang gadis yang cantik. Gadis yang tersesat dalam dunianya."
"Mengapa ia tersesat?" tanyanya bingung.
"Ia seperti bayangan, bisa berada di mana saja, mengikuti terang, juga mengikuti gelap...," tuturku sambil menerawang jauh ke pemandangan luar jendelaku.
Angin bertiup dingin dari celah gorden yang jendelanya sengaja kubiarkan terbuka. Salju-salju putih itu turun berterbangan dengan lentur dari langit kelam malam itu. Serpihan-serpihan kristalnya terlihat menyala-nyala di sekitar pondok kecilku di dekat hutan.
"Apakah ini akan menjadi cerita misteri?" tanyanya di dekat pipiku, aroma napasnya seharum buah kiwi bercampur vanila, manis dan menyenangkan.
"Mollayo," kataku tersenyum, lalu mengecup pipi marsmelownya yang empuk.
"Katakan padaku, bagaimana penampilannya?" Ia menarik-narik lengan pakaian hangatku. "Secantik apa dia?"
"Ia secantik dirimu. Berambut burgundi, dengan mata hijau sewarna emerald. Tapi..." aku menghentikan kalimatku, lalu mengamati gadis kecilku dengan lekat, "Tak sepertimu yang menyukai gaun berwarna putih, ia lebih senang mengenakan busana berwarna hitam."
"Wae? Mengapa harus hitam? Aku tak suka warna hitam! Itu warna yang menakutkan," serunya setengah memekik sambil mencengkram pundakku.
"Menurutmu begitu?" aku melihatnya menggeliat.
"Ne! Itu warna berduka, aku tak mau berduka." Ia menggeleng kuat sambil mencibir.
"Tapi, gadis itu memang selalu berduka."
"Waeyo?"
"Topi yang anggun, gaun serta kostumdari kain tule yang indah, stocking tipis, pita yang mengikat pergelangan tangannya, sepatu boot berukuran sedang, payung berenda... semua berwarna hitam!"
"Wae, Halmeoni? Waeyo?" tanyanya sambil memegang pipinya tak sabar.
"Ia berduka atas kekosongannya."
...
