CT is not mine.
Days without Sanae is Ciymii's
.
.
.
Happy reading!
.
.
.
Wanita bermata coklat itu berjalan ke arah sebuah ruangan di kantor tempat ia bekerja. Tangannya menggenggam beberapa file yang dibutuhkan orang yang memanggilnya ke ruangan tersebut. Senyum cerita dari bibir terlapis lipstik berwarna merah senantiasa menghiasi langkahnya yang ditujukan oleh rekan-rekan se-kantor yang sigap menyapa kala ia melewati mereka satu per satu. Akhirnya ia sampai di depan pintu ruangan bertuliskan "President Director". Ia ketok pintu itu tiga kali sampai si pemilik ruangan mengeluarkan suara, mengijinkannya masuk.
Sanae, nama wanita itu berdiri di depan sang pimpinan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyanya dengan senyuman.
"Kita membutuhkan bantuanmu."
.
.
.
Sore menjelang malam di kota Barcelona. Pemandangan langit orange yang indah memikat setiap pejalan kaki yang hendak meninggalkan tempat kegiatan yang mereka lakoni dari pagi hingga muncul semburat orange di langit. Tak terkecuali para anggota keluarga pemain sepak bola bernomor punggung 28 tim Catalunya.
Anak laki-laki pertama keluarga ini yaitu Hayate Ozora tengah melambaikan tangan. Berpamitan pada teman-teman satu club SAINS di sekolahnya. Bocah laki-laki usia 13 tahun itu kini men-dribble bola dalam perjalanan rumah. Meskipun Hayate lebih menyukai SAINS dan bercita-cita menjadi dokter serta tidak berniat untuk menjadi pemain sepakbola seperti ayahnya, kemampuannya dalam bermain sepakbola patut diperhitungkan. Ini semua karena sang ayah yang selalu mengajaknya untuk bermain sepakbola.
Anak laki-laki kedua yaitu Daibu Ozora. Berbeda dengan snag kakak, Daibu ini justru ingin menjadi pemain bola profesional seperti sang Ayah. Setelah latihan di klub sepak bola, Daibu secepat kilat berlari ke rumah. Ini sudah lewat jam pulang! Pikirnya. Mama tidak suka kalau aku pulang lewat jam yang seharusnya. Gara-gara keasyikan latihan untuk persiapan turnamen tingkat SD, bocah berusia 12 tahun ini sampai benar-benar lupa kalau ini sudah jam 6 sore.
Di tempat yang lain, kepala keluarga Ozora tidak lain dan tidak bukan adalah Tsubasa tengah berbincang-bincang dengan rekan satu timnya, Gonzales mengenai pertandingan musim depan. Gonzales segera melambaikan tangan ketika mereka telah sampai pada persimpangan jalan. Gonzales harus berbelok ke kanan dan Tsubasa berbelok ke kiri.
Diperjalanan ketiga laki-laki Ozora itu berpapasan.
"Ayah!" teriak Daibu yang sudah bersama Hayate. Masih dengan men-dribble bola. Ketiganya sempat melakukan aksi saling berebut bola. Atau mungkin bisa dikatakan saling menunjukkan kemampuan dalam merebut bola. Ini terjadi sampai mereka tiba di rumah Ozora.
Sang istri sudah berada di rumah satu jam yang lalu. Kini ia sedang menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya dibantu oleh Yuki, anak perempuan mereka yang berusia lima tahun.
"Sayang, bisa minta tolong letakkan sendok dan garpunya di atas meja?" pinta Sanae pada anak perempuan semata wayangnya. Yuki segera mengambil sendok garpu dari tangan Sanae dan mulai menaiki kursi untuk menatanya di kanan kiri piring yang sudah diletakkan Sanae di atas meja.
"Tadaima!" Suara anggota keluarga laki-laki yang baru datang.
"Okaeri." Jawab Yuki dan Sanae secara bersamaan.
Ketiga anggota keluarga yang baru datang itu langsung berjalan menuju dapur karena tergoda oleh bau sedap masakan sang mama.
"Waaaah... baunya enak. Sepertinya lezat!" ucap Daibu
"Eits, mandi dulu. Ganti baju lalu segera turun untuk makan malam, okay?"
Ketiganya langsung menuju kamar mandi masing-masing untuk membersihkan diri. Setelah itu mereka berkumpul menuju ruang makan untuk menikmati makanan lezat yang telah disajikan.
.
.
.
"Selamat malam sayang." Ucap Sanae sambil mengecup kening anak ketiganya, Yuki.
"Selamat malam mama."
Sanae mematikan lampu kamar Yuki dan menutup pintu kamarnya. Dia mulai mengecek kamar anak-anak laki-lakinya yang lain. Mengucapkan selamat malam pada mereka.
Kini ia masuk ke kamarnya. Ia melihat Tsubasa sedang menelpon. Sepertinya menelpon Wakabayashi. Percakapannya terdengar serius. Tentu saja tentang sepakbola. Apalagi.
Dipeluknya tubuh kekar Tsubasa dari belakang. Dan ia mulai menghisap dalam-dalam aroma maskulin dan parfun sang suami yang sangat ia sukai. Tsubasa tentu saja kaget mendapati tindakan Sanae yang tiba-tiba.
"Baiklah. Besok aku telpon lagi." Tsubasa mengakhiri pembicaraannya di seberang line telpon. Disentuhnya tangan Sanae yang melingkar di perutnya.
"Ada apa?" Tanya Tsubasa layaknya bias membaca pikiran sang istri.
"Hmm. Aku hanya ingin memelukmu saja."
Tsubasa membalikkan badannya. Ditatapnya mata coklat sang istri lalu tertawa kecil sambil membawanya kembali dipelukkannya.
"Apa segini cukup?" tanyanya lagi. Masih tetap memeluk sang istri dengan mesra.
"Un." Dia mengangguk. Masih meresapi aroma maskulin Tsubasa. Mempererat pelukkannya pada suaminya.
"Bagaimana latihanmu hari ini, Tsubasa?" Tanya Sanae sambil melepaskan pelukkannya pada Tsubasa.
"Luar biasa." Jawabnya sambil mengecup singkat bibir Sanae. "Apa ada masalah hari ini?" tanya Tsubasa dengan ekspresi yang berubah namun tetap menunjukkan senyum.
"Hari ini Pak Alex menemuiku. Katanya perusahaan sedang membutuhkan bantuanku." Jawab Sanae memulai pembicaraan. Nada suaranya tidak yakin saat bercerita.
"Bantuan apa?"
"Kita ingin memperluas pasar ke Jepang. Beliau ingin aku berdiskusi dengan owner mitra bisnis kami di Tokyo untuk kerjasama lebih lanjut."
"Lalu?"
"Beliau ingin aku terbang ke Tokyo selama kurang lebih satu minggu." Jawab Sanae memalingkan muka.
"Kau setuju?" kali ini Tsubasa sudah melepaskan pelukkannya. Masih menatap Sanae.
"Beliau memintaku untuk meminta ijinmu dulu." Jawab Sanae dengan kembali menatap mata hitam pekat suaminya.
"Aku tidak mengijinkan." Jawabnya sambil berjalan melewati Sanae. Menuju tempat tidur. Agak kesal sepertinya.
"Eh kenapa?" tanya Sanae sambil mengikuti langkah Tsubasa.
Tsubasa telah membungkus badannya di dalam selimut. Bersiap membaringkan tubuh kekarnya di atas tempat tidur.
"Karena aku bilang begitu."
"Setidaknya berikan aku alasannya." Sanae merasa tidak terima dengan jawaban Tsubasa. Tidak biasanya suaminya itu memberikan jawaban tidak bijak.
"Apa karena kita memiliki Yuki yang butuh perhatian?" Sanae mencoba menerka apa yang menjadi alasan suaminya itu.
"..."
"Karena nanti jika aku pergi tidak ada yang menyiapkan makanan?"
"..."
"Karena nanti jika aku pergi tidak ada yang menyiapkan perlengkapan latihanmu?" Sanae masih tidak menyerah. Jika memang semua itu alasannya, dia bisa menyiapkan segalanya dari sekarang.
Tsubasa's POV
Sudah kuduga pasti ada yang ingin dibicarakan. Istriku ini perlu belajar banyak untuk menyembunyikan sesuatu dariku. Namun yang aku yakini selama ini, Sanae selalu bersikap terbuka dengan segala permasalahan yang ada. Dia tidak pernah menutup-nutupi. Hanya dia menggunakan cara yang berbeda untuk mengatakannya.
"Aku tidak mengijinkan." Aku berjalan melewatinya. Menuju tempat tidur.
"Eh kenapa?" dia bertanya alasanku sambil mengikutiku menuju tempat tidur. Aku sudah menarik selimut dan bersiap membaringkan tubuhku.
"Karena aku bilang begitu." Entah kenapa aku menjawab demikian.
"Setidaknya berikan aku alasannya." Sanae masih menuntut kejelasan jawaban yang aku berikan. Namun aku menutup mataku. Tak memberikan jawaban.
"Apa karena kita memiliki Yuki yang butuh perhatian?"
Iya.
"Karena nanti jika aku pergi tidak ada yang menyiapkan makanan?"
Benar.
"Karena nanti jika aku pergi tidak ada yang menyiapkan perlengkapan latihanmu?"
Mungkin.
Dia masih tidak menyerah. Terkadang aku merasa Sanae sudah berubah banyak. Menjadi wanita karier dan bertemu banyak orang membuatnya bertumbuh dan berkembang dengan cepat. Terkadang pula aku ingin menanyakan padanya apa selama ini materi yang aku berikan begitu kurang sehingga ia harus bekerja di luar. Begini nih yang aku tidak suka jika suatu hari perusahaan tempatnya bekerja memintanya untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri. Namun selama ini memang Sanae belum pernah mendapatkan tugas di luar kota karena aku yakin dia sudah menolaknya dari awal mengingat dia lebih mementingkan keluarga daripada pekerjaan. Tapi kenapa untuk yang satu ini dia tidak langsung menolak?
"Tsubasa...dingin." bisiknya.
Aku kembali membuka mataku. Aku tatap wajahnya. Kemudian mendekatkan tubuhku padanya untuk memeluknya. Dia selalu punya cara untuk membuatku luluh kembali padanya.
"Terimakasih." Ucapnya sambil membalas pelukkanku.
"Jika Tsubasa tidak mengijinkan, aku tidak akan pergi." Katanya memulai pembicaraan kembali.
"Kenapa pimpinanmu begitu menginginkan dirimu pergi ke Tokyo?" tanyaku memperjelas detail tujuannya pergi ke Tokyo.
"Karena mereka yakin aku bisa melakukan deal yang diinginkan perusahaan. Perusahaan meyakini melakukan deal dengan sesama orang Jepang menggunakan bahasa jepang akan lebih mudah."
Aku mulai paham.
"Kau tidak perlu khawatir jika aku tidak ada. Aku akan menyiapkan segala sesuatunya selama aku pergi. Jadi kau tidak terlalu repot..."
Kami berdua bertatapan.
"Aku berencana mengajak Yuki. Sekarang kan dia sekolah hanya seminggu tiga kali. Jadi tidak terlalu sulit mengejar ketinggalan di sekolahnya. Hayate dan Daibu juga sudah mandiri. Kalau kau khawatir tidak bisa memasak, kalian bertiga bisa makan di luar untuk sementara." Paparnya dengan tersenyum. "Namun jika kau tetap tidak mengijinkan, aku akan sampaikan ini kepada Pak Alex." Lanjutnya sambil mengecup pipiku.
"Akan kupikirkan." Jawabku singkat.
"Aku butuh jawabanmu besok pagi."
"Ya."
"Terimakasih." Dia mendekat padaku. Memberikan kecupan selamat malam di bibir.
Kami berdua menutup mata. Mulai menjelajahi alam mimpi.
.
.
.
Pukul 4.30 entah kenapa aku terbangun sepagi ini. Aku melihat Sanae masih terlelap. Hah. Aku menghela nafas. Aku tidak yakin aku bisa hidup tanpa Sanae walaupun hanya dalam waktu satu minggu. Ini terdengar konyol tapi aku sudah bergantung padanya begitu banyak. Jika aku tidak mengijinkannya, aku terlihat tidak adil. Aku sering meninggalkannya bersama anak-anak untuk jadwal pertandingan selama lebih dari dua minggu. Sekarang dia minta ijin untuk pergi satu minggu, aku tidak ijinkan? Toh dia pergi untuk urusan kantor bukan yang lain.
Jam alarm di meja berbunyi. Ah,iya! Sanae memang selalu memasang alarm pukul 4.45. Sanae mulai menggeliat.
"Selamat pagi." Bisikku di telinganya.
"Eh,apakah aku kesiangan?" ekspresi wajahnya terkejut. Aku hanya terkekeh melihat ekspresinya.
"Tidak. Kau tepat waktu." Ucapku sambil mencium keningnya mesra. Dia sepertinya bingung mendapati tindakan yang aku berikan.
"Selamat pagi." Ucapnya dengan tersenyum.
"Sanae...aku mengijinkanmu."
"hm?" dia masih tampak bingung dengan apa yang aku lakukan dan katakan.
"Aku mengijinkanmu pergi ke Tokyo selama satu minggu." Aku menatap wajahnya. Cantiknya Sanae jika bangun tidur seperti ini.
"Benarkah? Terimakasih!" katanya sambil memelukku erat.
"Kau tidak perlu mengajak Yuki. Aku bisa menjaganya." Dia melepaskan pelukkannya.
"Apa kau yakin?" tanyanya tidak percaya.
"Iya aku yakin."
"Baiklah kalau begitu. Akan kusiapkan semuanya. Jadi kau tidak begitu repot saat aku tinggal."
"Aku percaya padamu." Kataku sambil mencium bibirnya. Membaringkannya kembali di tempat tidur. Meresapi rasa bibirnya dalam-dalam. Dia terlihat terkejut. Namun kemudian membalas pautan yang aku berikan. Memintaku untuk memberikannya lebih dengan melingkarkan tangannya di leherku.
"Aku tidak akan mendapatkan yang seperti ini selama satu minggu. Jadi kau harus memberikannya setiap pagi sebelum kau pergi."
Dia terkekeh mendengar peryataanku.
"Tidak masalah. Apapun untukmu."
Kami kembali menautkan bibir kami. Meresapinya kembali dengan khitmat. Hingga kami harus bangun dan mempersiapkan segalanya sebelum meninggalkan rumah.
TBC
.
.
Taraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...
Ciymii balik lagi nih! Kali ini ciymii publish cerita baru dulu sebelum update fict yang lain yaa...
Kira-kira gimana ya kehidupan tsubasa tanpa Sanae selama satu minggu? XD
Kasih tahu pendapat kalian lewat review ya...
Cao! ^^
