Dua bibir saling beradu, memagut dengan lapar. Dua otot lentur bergulat sengit di dalam mulut. Saliva manis segera diteguk dengan senang hati, sekalipun masih bisa lolos dari celah dua bibir yang sempit dan melumeri sekitar pipi dan dagu. Dua belah bibir memerah dengan keterlaluan karena terlalu sering berbenturan dengan bibir lain yang sama-sama kelaparan. Pria berhelaian hitam—yang tengah berada di posisi atas—segera menarik bibirnya menjauh. Napas hangat keluar dengan memburu dari celah bibirnya yang membengkak. Dia terengah. Namun, tampaknya pria merah yang tengah berbaring di bawahnya sama sekali belum merasa terpuaskan sekalipun bibir tipisnya itu telah benar-benar membengkak karena pertempuran mulut yang tak berkesudahan sejak tadi.
Sang pria merah, dengan kelopak setengah terpejam, melenguh pelan. Kedua tangan yang terbalut kemeja putih segera melingkari leher si pria berambut hitam. Menariknya kembali mendekat untuk menyambung ciuman panas yang sempat terjeda bahkan tidak sampai satu menit. Dua bibir sekali lagi berbenturan. Sang pemilik surai merah memagut dengan lapar—seolah tidak pernah terpuaskan sekalipun jika bibirnya telah berdarah-darah. Pertarungan lidah semakin ganas—seolah tak kenal lelah untuk saling meliuk-liuk di dalam rongga mulut.
Sang pria berhelaian hitam berjengit dalam. Kedua tangan yang menyangga tubuh di atas seprai merah kini berpindah ke pundak pemuda di bawahnya. Tautan bibir sekali lagi dihentikan dengan paksa olehnya. Pemuda di bawahnya terengah, segera memasang raut wajah kecewa.
Nijimura Shuuzou sungguh merasa dirinya tidak sanggup lagi melawan ketidakberdayaan.
"Cukup, Sei. Hentikan semua ini. Aku ... tidak bisa." Pria itu menjauhkan wajahnya.
Sei, sang pemuda berhelaian merah masih terengah. Namun tatapannya menuntut penjelasan—atau lebih tepatnya penolakan. "Kenapa?" ia bertanya lancar. Begitu tegas dan mutlak. Seolah ia sedang tidak bertanya, melainkan menyatakan bahwa ia sama sekali tak dapat menerima keputusan sepihak seorang Nijimura Shuuzou.
Senyum pahit tertarik di kedua belah bibir yang masih dijejaki saliva. "Aku sudah mengatakannya berkali-kali padamu, 'kan?"
Kedua alis merah saling menukik. Kening berjengit dalam. Benar-benar merasa tak terima. "Tidak." Penolakan segera keluar dengan lugas, nada mutlak mendominasi sekalipun napasnya masih setengah-setengah. "Aku tidak ingin perpisahan. Aku tidak akan pernah mengizinkanmu pergi dariku." Jeratan di leher semakin dieratkan. Nijimura Shuuzou harus mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk menahan kepalanya agar tidak semakin dibawa mendekat ke wajah sang pria merah.
"Jangan egois, Sei. Ini semua salah. Hubungan ini tidak benar." kepalanya kembali dimundurkan. Manik kelabunya menatap dingin. "Aku tidak bisa meneruskannya."
"Aku tidak peduli. Kau milikku, Shuuzou." Leher itu kembali dijerat dengan erat. Dibawa mendekat untuk kembali berbenturan dengan bibir yang basah. Sebelum ciuman sepihak itu berlanjut dalam—seperti ciuman-ciuman sebelumnya—Shuuzou lagi-lagi melepaskannya. Kali ini ia benar-benar menjauhkan kepalanya dari jangkauan bibir pria di bawahnya.
"Shuuzou ..." netra emas itu menatapnya dengan terluka. Benar-benar terluka ...
"Dengarkan aku, Sei." Shuuzou berkata selembut mungkin. Kembali mendekatkan wajahnya, berharap sikap lembutnya mampu melunakkan keras kepala pria di bawahnya agar bisa lebih mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Dia tidak ingin mereka sampai kehilangan arah hanya karena lupa diri. "Sebelum kita menjerumuskan diri lebih jauh lagi, aku ingin kita berhenti sekarang. Hubungan seperti ini tidak benar. Ini dilarang. Kau dan aku sama-sama seorang alfa. Ini menyalahi hukum dan budaya kerajaan ini. Kau dan aku bisa dihukum mati oleh ayahmu karena telah melakukan suatu hubungan terlarang."
Namun, tampaknya tingkat keras kepala lawan bicaranya memang telah mencapai stadium akut. Batu karang mungkin jauh lebih lunak daripada kepala merah berisi pikiran paling egois Akashi Seijirou.
"Aku tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Aku tidak ingin kau meninggalkanku. Aku mencintaimu, Shuuzou."
Entah seberapa menyakitkannya makna perpisahan bagi Seijirou hingga baru kali ini Shuuzou melihat kekasihnya itu mengeluarkan air mata.
Ibu jari si pria berhelaian hitam segera mengusap cairan bening yang membasahi pipi seputih kapas. Bibir basah yang kini terbuka sedikit demi meloloskan isakan halus segera dikecup. Berkali-kali hingga sang kekasih kembali tenang. Pipi yang terus saja dibasahi air mata yang terlalu bandel untuk dibuat berhenti mengalir keluar, dikecup dengan begitu mesra.
Nijimura Shuuzou tidak tahu lagi hati Seijirou kini sudah sehancur apa. Mungkin ... jauh lebih hancur dari hatinya kini. Atau mungkin mereka sudah sama-sama hancur dalam keadaan yang sama mengenaskannya.
"Aku juga, sayangku. Aku sangat mencintaimu sampai-sampai tidak pernah kubiarkan cinta ini menjadi jauh lebih egois daripada ini. Aku tidak ingin kau dihukum. Kau adalah satu-satunya Pangeran penerus takhta. Kau akan memerintah negeri ini di masa depan. Aku tidak memiliki hak untuk mengusik masa depanmu—apalagi menghancurkannya." Jeratan di lehernya perlahan dilepas dengan lembut. Shuuzou menatap Seijirou sama terlukanya. "Kau juga sudah punya seorang omega yang sangat mencintaimu. Mau sehina apa lagi posisiku dalam kehidupanmu yang begitu sempurna?"
Seijirou, sungguh, selama dua puluh tahun kehidupannya, baru pertama kali ini ia merasa hati dan harga dirinya dihancurkan dengan begitu kejamnya di saat yang bersamaan. Dadanya terasa sesak, sampai dia sendiri tak mampu bernapas dengan benar. Isakannya pun terdengar menyedihkan. Persetan jika dirinya seorang alfa atau bahkan seorang pangeran yang seharusnya berkharisma, jika sudah menyangkut urusan cinta dengan alfa yang dicintai sepenuh hati, Seijirou tak akan pernah malu untuk menunjukkan sisi terlemah dari dirinya.
Dia tak pernah ingin ditinggalkan.
Terlebih, oleh orang yang paling ia cintai.
"Shuuzou ... jangan ... lakukan ini padaku." Ia mengusap air matanya sendiri dengan kedua tangan. Shuuzou segera menahan dua tangan yang melemas itu dan menggenggamnya di kedua sisi kepala Seijirou. Sekali lagi, ia mengecup lembut bibir merah yang basah itu. Menggumamkan kata-kata penenang agar alfa-nya tidak merasakan kehancuran lebih lama. Agar hatinya tetap utuh dan sempurna untuk tidak meratap keesokan paginya.
"Ini bukan perpisahan." Ia berbisik lembut di samping telinga sang kekasih. "Hanya hubungan kita yang akan berakhir sampai di sini. Kau bisa menemuiku setiap hari hanya sebagai seorang teman. Kita tidak bisa melewati garis batas lebih dari ini—tidak lagi, Seijirou. Kita seharusnya tahu diri sejak lama." Wajahnya kembali dijauhkan. Masih setia memberikan senyum bersarat luka mengenaskan. "Untuk terakhir kalinya sebelum hubungan ini benar-benar berakhir, aku ingin mengucapkan ini. Akashi Seijirou. Sei-ku tersayang. Aku mencintaimu."
Kecupan terakhir diberikan di atas bibir merah yang sudah berhenti meloloskan isakan. Seijirou segera hampa saat Shuuzou beranjak dari atas tubuhnya. Meninggalkan dirinya yang terbaring tak bergerak di atas tempat tidur yang berantakan.
Kuroko no Basuke by Tadatoshi Fujimaki
.
"Cinta ini tanpa batas. Sekalipun hati ini sudah tidak lagi utuh."
COUNTOURLESS
an original fanfiction by Minako-chan Namikaze
A/B/O Dynamisch—Twin!Akashi—Alfa!Seijirou—Omega!Seijuurou—Kingdom!AU
R18
NijiSeijuu—NijiSeiji—MayuSeijuu—MayuSeiji—SeijiKuro
WARNING: Abusif. Sadomasokis. Ribet (bagi saya), so many pair, saya Akashi centic (gak penting banget tolonglah), typo(s), OOC, dan semoga bisa tamat tepat waktu alias gak ngaret /nak. Dan satu lagi, cerita ini sama blengsek dengan cerita-cerita saya sebelumnya. Jadi harap maklumi kalau-kalau salah seorang karakter (yang mungkin saja karakter favorit Anda) tampak busuk di chapter ini ... XD
.
Selamat membaca.
.
.
Pagi itu, Akashi Seijirou bangun dengan kepala berdenyut sakit dan tubuh yang terasa remuk. Pening semakin menjadi-jadi ketika ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendudukkan diri dengan susah payah. Bibirnya yang kering meloloskan desisan—sekaligus umpatan yang tak patut untuk diucapkan seorang Putra Mahkota. Salahnya sendiri kenapa terlalu kalap menenggak banyak alkohol semalaman suntuk—apalagi dengan alasan paling picisan. Baru saja putus cinta.
Seijirou mengurut-urut pelipis, mencoba mengusir migrain yang melanda dengan begitu sadis.
Dia bahkan menghiraukan saat pintu kamarnya diketuk berkali-kali, memutuskan untuk tak terlalu peduli dengan sekelilingnya. Saat ini ia hanya memikirkan bagaimana cara menata hati yang semalam baru saja diporak-porandakan oleh sang mantan kekasih.
"Seijirou-kun, aku masuk."
Suara lembut terdengar dari luar, diikuti bunyi klak dari gerbang dua pintu yang dibuka dengan elegan. Sesosok pemuda bersurai langit musim panas muncul dari balik sana. Berjalan dengan anggun menghampirinya yang masih duduk membungkuk di atas tempat tidur. Manik sebiru larutan permata safir memandang datar ke arahnya.
"Seijirou-kun kenapa semalam tidur di sini?" ia bertanya. Suaranya bertending dengan lembut bagai petikan harpa di sore hari.
Seijirou menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sama datarnya—namun miliknya jauh lebih menusuk. Kepalanya masih sakit, dan pandangannya berbayang-bayang.
"Aku dengar dari para pelayan, semalam Seijirou-kun pulang dalam keadaan marah. Kemudian langsung mengurung diri semalaman di kamar ini."
Seijirou hanya diam. Sama sekali tidak berminat untuk menyambut obrolan basa-basi yang membosankan.
Tatapan datar itu teduh, sama sekali tidak menyiratkan kesan permusuhan seperti milik Seijirou. Pemuda biru selalu tahu diri untuk tidak memaksa Seijirou menanggapi obrolan sepihaknya. Tapi tetap saja, dirinya sudah terlalu bebal untuk dibuat kapok—masih saja betah berceloteh ria sekalipun sama sekali tidak ditanggapi oleh lawan bicara.
"Aku sebenarnya ingin menemani Seijirou-kun. Tapi Seichirou dan Seishirou sangat rewel semalam. Tapi memang seharusnya aku menemani Seijirou-kun di sini agar Seijirou-kun tidak kalap menghabiskan berbotol-botol alkohol—"
"Diamlah, Tetsuya. Suaramu membuat kepalaku semakin sakit."
Akashi Tetsuya, sekalipun baru saja disapa dengan nada ketus yang tak tanggung-tanggung, selalu saja berprasangka baik kepada alfa yang sudah dua tahun menjadi mate-nya. "Apa Seijirou-kun baik-baik saja? Ah, biar kubantu berdiri."
Bantuan segera ditolak. Tangan si omega biru segera dihempaskan. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri."
Tetsuya hanya memasang raut wajah datar, "Baiklah. Kalau begitu aku akan menyiapkan baju Seijirou-kun dan memanggil dokter." Pemuda biru itu segera berbalik, berjalan keluar meninggalkan Seijirou yang berdiri sendirian di kamar besar itu.
Alfa itu menatap lantai beberapa saat. Kemudian mengacak rambut merahnya dua kali. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, berusaha berjalan senormal mungkin alih-alih merasakan denyutan di kepalanya semakin menjadi. Sial. Seharusnya dia membatasi diri untuk tidak menenggak terlalu banyak alkohol semalam.
Telapak telanjang Seijirou menapaki lantai kamar mandi. Suhu dingin segera disalurkan dari batu alam yang ia jejaki. Pria itu melangkah menuju bathtub dan menghidupkan keran. Air hangat-hangat kukuh keluar dengan deras dalam usaha memenuhi bak mandi yang sudah seperti kolam mini itu.
Seijirou melangkah menuju wastafel. Mencuci mukanya sebersih mungkin dengan sabun kemudian menyikat gigi. Membuka semua bajunya dan langsung menenggelamkan diri ke dalam bathtub yang telah terisi penuh. Manik emasnya ia pejamkan. Menenangkan pikiran. Merasakan air hangat yang memijat semua persendiannya. Melenyapkan semua penat yang melanda tubuh—terutama hatinya.
Pria itu kembali membuka mata. Rangkaian kejadian semalam kembali membayangi pikirannya yang sudah semerawut di awal pagi.
"Aku ingin mengakhiri hubungan ini."
Kepalan tangannya langsung dilayangkan. Menghantam air hingga bercipratan ke segala arah. Seijirou menggertakkan gigi. Bagaimana mungkin Shuuzou memutuskan hubungan yang sudah tiga tahun mereka rajut dengan begitu mudahnya? Seijirou benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran alfa satu itu. Bukankah dulu ia bilang bahwa ia tidak keberatan melanjutkan hubungan meskipun Seijirou telah memiliki seorang mate? Bukankah ia bilang tak masalah kalau mereka sama-sama alfa? Bukankah Shuuzou sudah berjanji menerima dirinya apa adanya dan tidak akan pernah meninggalkannya? Lalu apa semua ini!? Omong kosong. Semua yang terjadi benar-benar membuatnya muak.
Shuuzou semalam memanggilnya ke rumah pribadi mereka. Mengajaknya makan malam bersama, memeluknya, menciumnya dengan mesra. Seijirou kira malam itu mereka akan menghabiskan malam berdua sampai lupa diri—tapi nyatanya pria itu memanggilnya bukan untuk mengajaknya menciptakan malam penuh kenangan indah. Tapi menciptakan malam penuh mimpi buruk yang akan selalu Seijirou ingat sampai umurnya habis.
Nijimura Shuuzou datang hanya untuk mencampakkannya.
Meninggalkannya secara sepihak. Dengan alasan tidak mau dirinya dihukum mati oleh Yang Mulia Raja karena telah ketahuan melakukan hubungan terlarang antara alfa dengan alfa.
Seijirou lagi-lagi berdecih. Omong kosong macam apalagi ini? Kalau benar Shuuzou mengkhawatirkan keselamatannya, lalu kenapa tidak dari dulu saja dia memutuskan Seijirou? Kenapa di saat hubungan mereka telah terlampau erat dan Seijirou telah terlanjur mencintai Shuuzou segenap hati? Apa Shuuzou sengaja ingin menyiksanya dengan perpisahan mendadak seperti ini? Bagus. Dia melakukannya dengan sangat baik. Sekarang Seijirou tidak tahu lagi dia harus bunuh diri atau malah membunuh Nijimura Shuuzou terlebih dahulu.
Pangeran itu menghela napas. Kemudian segera beranjak dari bathtub menuju shower. Pening di kepalanya segera sirna saat amarah telah mendominasi akal pikiran. Pria itu langsung membersihkan dirinya secepat mungkin dan keluar dari kamar mandi.
Saat ia keluar, Seijirou mendapati Tetsuya telah duduk menunggunya di tepi tempat tidur. Dengan setelan baju Seijirou di sampingnya.
Raut wajah Seijirou masih tetap datar saat ia berjalan menghampiri sang omega yang sama-sama memberikan ekspresi tawar kepadanya. Tanpa bicara apa-apa, Tetsuya segera melepaskan jubah mandi Seijirou. Membantu alfanya memakai baju. Pemuda biru itu bahkan tetap datar dan mengunci rapat mulutnya saat lagi-lagi mendapati tanda-tanda kemerahan yang membekas di sekitar leher dan dada mate-nya.
Sudah biasa ... batinnya.
Tetsuya selalu berusaha menjadi mate yang pengertian sekalipun selalu mendapati mate-nya lagi-lagi bermain curang.
"Hari ini Seijirou-kun ada rapat penting kenegaraan dengan Ayahanda dan para petinggi lainnya." Ujar Tetsuya ketika ia memasangkan sepatu pada kaki kanan Seijirou.
Menyahut seadanya, "Hn."—lagi-lagi rapat tak penting.
Omega biru segera berdiri begitu selesai memasangkan sepatu pada dua kaki alfanya. "Aku sudah memanggil dokter. Beliau akan datang sekitar lima menit lagi. Apa Seijirou-kun mau menunggu sebentar saja untuk diperiksa?"
"Tidak. Aku ingin langsung ke ruang rapat." Seijirou segera berbalik.
Tetsuya mengangguk mengerti. "Ya sudah. Akan kukatakan pada Midorima-kun pemeriksaan Seijirou-kun dilakukan nanti sore saja."
"Terserah kau sajalah, Tetsuya. Aku pergi." Seijirou melangkah menjauh dengan nada dingin pada kalimat terakhir yang ia lontarkan pada sang mate pagi hari itu.
Tidak ada pelukan, tidak ada kecupan. Sang Alfa segera melangkahkan kaki keluar pintu, meninggalkan Tetsuya yang hanya menatap punggung lebarnya dengan datar.
XXX
Seijirou memasuki ruang rapat. Para pejabat yang telah datang lebih dulu darinya segera berdiri dari kursi mereka, membungkuk hormat menyambutnya.
Sepertinya dia adalah orang terakhir yang datang, melihat semua kursi (minus kursinya) telah sepenuhnya diduduki.
Seijirou melangkah santai mendekati Ayahnya seolah tak sayang nyawa. Pria itu mendudukkan diri di kursi di samping Akashi Masaomi dengan tenang sekalipun pria yang berumur lewat setengah abad itu telah memelototinya habis-habisan.
Suasana di ruang rapat segera hening. Menunggu Masaomi untuk segera memulai. Yang Mulia Raja memberikan anggukan pada seorang pria di sebelahnya, memberi isyarat bahwa rapat sudah boleh dimulai.
"Jadi, karena Pangeran Seijirou telah datang tepat waktu, mari kita mulai rapatnya." Seorang pria yang duduk di sisi lain Masaomi meletakkan lembaran kertas yang sejak tadi dipegangnya dan segera berdiri, hingga kini sosoknya menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di ruangan itu. Pria itu mengambil remot yang tergeletak di dekat kertas-kertasnya dan menekan satu buah tombol. Sekejap, lampu di ruangan itu segera padam. Sumber cahaya yang tersisa di sana hanyalah layar proyektor besar yang bersinar terang. Menampilkan gambar peta suatu wilayah.
Ia memulai penjelasan, "Seperti yang kita lihat, semalam lagi-lagi terjadi aksi pengeboman. Kali ini terjadi pada wilayah B titik 13, J titik 27 dan X titik 2." Tiga buah titik merah kini berpendar-pendar di atas tiga wilayah yang berjauhan. "Pelaku pengeboman di wilayah J dan X yang berhasil ditangkap lagi-lagi bunuh diri di tempat. Dan di wilayah B, mereka berhasil lolos. Saat ini para penyelidik yang kita kirim sedang mencari jejak mereka."
Seijirou menopang dagu. Menatap layar proyektor dengan malas.
"Dan ada laporan bahwa dua Yayasan Omega di bagian Selatan juga diledakkan. Yang Mulia, negeri kita sudah tidak aman lagi. Banyak penduduk yang memilih meninggalkan kerajaan ini dan bermigrasi ke kerajaan lain. Ditambah lagi, populasi omega yang dilindungi kian menipis lantaran pengeboman yang sama sekali tak terendus. Kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan negeri ini."
Omong kosong. Kalian selalu mengatakan akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan negeri ini, tapi nyatanya apa yang kalian lakukan sama sekali tak memenuhi bahkan sebagian dari ekspektasi.
Seijirou sudah terlampau muak dengan rapat rutin yang selalu diadakan nyaris seminggu sekali—rapat tak berguna yang sama sekali tidak menghasilkan apapun.
Salah seorang pejabat menyambut tenang, "Kunci penyelesaian dari masalah ini hanya satu. Mencari dalang dari semua kekacauan ini. Melihat apa yang telah terjadi selama lima tahun belakangan ini, pastilah otak dari semua ini adalah seseorang yang telah mendapatkan dukungan finansial dari pihak yang sangat berkuasa. Bahkan hakim pun dibuat tak mampu berkutik mengenai masalah ini—"
"Tak berkutik? Tak ingin ikut campur maksudmu?" Seijirou menebas ucapan pejabat tersebut dengan lancang, membuat pejabat itu segera terdiam. Masaomi kembali mendelik ke arah putranya.
Pria yang sejak tadi berdiri di sebelah Masaomi kini mengeluarkan sapu tangan putihnya, mengelap keringat yang tiba-tiba muncul di pelipisnya. "Y-Ya. Anda benar, Pangeran Seijirou. Mereka tak ingin ikut campur mungkin karena orang ini." pria itu menekan-nekan tombol remot mungil. Sebuah foto seorang pria tiba-tiba muncul menimpa gambar peta. "Kami sudah menyelidiki orang ini. Pria ini bernama Hanamiya Makoto. Dia adalah Hakim Internasional yang baru menjabat satu setengah tahun. Dia juga merupakan saudara dari Perdana Menteri Kerajaan Touou, Imayoshi Shoichi. Mereka adalah dua orang yang paling kuat kita curigai menjadi otak dari kekacauan yang menyerang Kerajaan Rakuzan ini."
Seorang pejabat lain menyahut, "Tapi, kita sama sekali tidak memiliki hubungan yang buruk dengan Kerajaan Touou. Baik sekarang ataupun di masa lalu. Bagaimana mungkin mereka tiba-tiba melakukan ini pada kita tanpa alasan yang jelas?"
"Mungkin, mereka ingin menguasai negeri ini."
Semua orang yang ada di sana kini menoleh ke arah sang pangeran.
Seijirou masih mempertahankan raut datar. "Ini hanya tebakan. Seolah sudah direncanakan dengan sangat baik. Negeri ini perlahan dihancurkan dari dalam. Pemusnahan omega, beta yang mewabah, krisis ekonomi. Pertahanan kita pelan-pelan dibuat melemah. Beta bermental fisik lemah, tak sekuat alfa. Banyak beta gagal melahirkan bayi-bayi alfa. Dan kebanyakan beta tidak bisa melahirkan karena meledaknya jumlah penduduk beta laki-laki. Alfa dan omega semakin sedikit. Negeri ini akan segera runtuh tanpa alfa dan omega sebagai penyeimbang. Negeri yang hanya dihuni oleh kaum beta sama sekali tidak pantas disebut negeri para alfa. Sudah sepantasnya negeri itu dikuasai oleh kerajaan lain. Cepat atau lambat negeri ini akan direbut oleh negeri sebelah."—entah karena masih dipengaruhi dendam dan amarah terhadap sang mantan kekasih, atau memang Seijirou sengaja cari mati dengan berbicara lancang seperti itu di hadapan para petinggi.
"Seijirou! Jaga ucapanmu!" Masaomi menegur. Entah harus berapa kali dia harus memberikan pelajaran tata krama pada putranya yang bebal ini.
"Aku berucap kenyataan."
"Kami sudah melakukan sesuatu untuk mengatasi hal itu. kami sudah menugaskan para tentara untuk selalu siaga dan was-was memeriksa para pendatang baru. Kami juga sudah menempatkan tentara keamanan yang terpilih untuk mengawasi gerak-gerik setiap penduduk." Seorang pria yang sudah berumur, namun masih bisa menjabat sebagai jenderal menyahut lugas.
"Tapi tetap saja aksi terorisme terus merajalela setiap minggunya. Apa yang kalian sebut mengatasi itu sama sekali tak ada gunanya."
"Seijirou!" meja digebrak, semua orang menahan napas. Yang Mulia Raja kini sudah melotot habis-habisan ke arah putra kurang ajarnya. Memang seharusnya ia tidak menyuruh Seijirou mengikuti rapat ini. Bocah kurang ajar satu ini hanya akan semakin memperkeruh keadaan dengan kata-kata tak pantasnya. Kalau Seijirou bukan satu-satunya putra penerus takhta, sudah lama Masaomi melenyapkannya.
"Pangeran Seijirou benar, Yang Mulia. Apa yang kita lakukan akan berakhir sia-sia saja. Aksi terorisme tetap saja terus mewabah. Kita butuh cara lain untuk mengatasi hal ini." Jenderal yang sudah berumur itu kembali berucap.
Masaomi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Raut wajah gusar. Sekalipun mereka sudah menemukan kandidat yang dicurigai, mereka tak bisa melaporkannya begitu saja ke pengadilan. Apalagi mengingat pengadilan itu dipimpin oleh hakim yang sepertinya memihak pada musuh—pengadilan macam apa itu? Pengadilan yang tidak adil karena telah mengangkat si licik Hanamiya Makoto sebagai Hakim?
Raja itu menghela napas. "Untuk saat ini, tambah jumlah tentara untuk mengamankan daerah-daerah yang rawan pengeboman. Awasi juga Yayasan Omega di penjuru negeri ini. Pastikan tidak akan ada lagi rumah omega yang diledakkan malam ini. Dan kirim lebih banyak Tim Penyelidik berbakat untuk mencari bukti-bukti lebih banyak lagi."
Seijirou mendengus melalui hidung. Benar-benar rapat yang tak berguna ...
XXX
Nijimura Shuuzou, Alfa 24 tahun, Kapten Tentara Khusus Wilayah Barat, kini menapaki anak tangga dengan kedua kaki panjang yang dibalut sepatu boot kulit berwarna hitam. Pria itu kini tengah berjalan menuju ruang kontrol demi menjalankan perintah dari atasan, Komandan Tentara Wilayah Barat, Shirogane Kozo, untuk menggantikannya memantau para pekerja pengawas monitor keamanan yang menyorot seluruh negeri Rakuzan bagian Barat.
Pria itu berbelok mengikuti alur tangga yang meliuk-liuk ke atas. Garis wajahnya setenang biasa. Matanya menyorot datar pada apapun di depannya. Langkah kakinya teratur, tidak terkesan buru-buru, namun juga tidak kian melambat karena terlalu lelah menapaki ratusan anak tangga. Nijimura Shuuzou sesegar biasanya, seolah tidak pernah mengalami apa yang namanya patah hati.
Anak tangga terakhir sudah dilewati. Kini ia berdiri di depan pintu ruang kendali. Tangannya segera menekan kenop ke bawah, membuka ruangan tempat ia biasa ditugaskan untuk memantau situasi wilayah.
Dan Shuuzou segera kaget mendapati seisi ruangan kosong. Tidak ada pekerja yang duduk memantau keamanan, tapi semua komputer masih menyala dengan semestinya.
Kurang ajar. Beraninya mereka mangkir dari pekerjaan begitu saja saat Jenderal tengah melakukan rapat di wilayah pusat!
Shuuzou sudah berniat membanting pintu dan berbalik arah untuk mencari para pekerja yang seenaknya meningalkan wilayah Barat tanpa pengawasan—alih-alih ingin memberi mereka pelajaran. Namun, niatnya segera urung begitu mendengar seseorang memanggil namanya.
"Shuuzou."
Sang Kapten segera membeku.
Terdengar langkah kaki yang melangkah teratur di atas lantai ruang kendali. Dan suara yang telah susah payah dienyahkan dari dalam kepala sejak semalam kembali menyapa indera pendengarannya.
"Masuklah, Shuuzou. Aku sudah menunggumu."
"Seijirou." Ia memanggil datar. Shuuzou membuka pintu dengan lebih lebar dan masuk ke dalam.
Akashi Seijirou berdiri di tengah-tengah ruangan. Di tengah-tengah kursi pengawas yang berjejer. Sosoknya seolah seperti bayangan tak bergerak yang berdiri diam di tengah-tengah ruangan lantaran latar belakang puluhan layar menyala terang di belakangnya.
Mereka bersitatap. Shuuzou menatap datar. Seijirou menatap datar. Namun sang pria merah memancarkan aura sengit yang tidak tanggung-tanggung nusuknya.
Shuuzou berusaha bersikap wajar. "Y-Yo, Seijirou. Kau datang ke sini rupanya. Kukira kau sedang ikut rapat kenegaraan."
Kadar datar sama sekali tak dikurangi, "Ya. Rapatnya sudah selesai dan aku langsung ke mari."
"Oh. Ada apa kau ke mari?"
"Menemuimu."
Sempat terdiam, "Ada perlu apa denganku?"
"Berhenti bersikap seolah tidak terjadi apa-apa kemarin. Kau tahu benar apa tujuanku ke mari."
Bibir Shuuzou segera menggaris. Yang atas maju beberapa centi. Pria itu berbalik untuk mengunci pintu serapat mungkin. Kemudian, kembali menghadap sang mantan kekasih.
"Hubungan kita sudah berakhir." Ujarnya dengan tenang, namun dengan nada tegas. Seolah itu memang kenyataan yang harus Seijirou telan bulat-bulat sepahit apapun rasanya.
"Kenapa harus berakhir? Kita sudah menjalinnya selama tiga tahun. Kenapa kau tega mengakhirinya begitu saja?" Kedua alis merah bertaut, tak habis pikir. "Apa karena aku seorang alfa?"
"Ya. Itu masalah utamanya." Shuuzou segera menjawab. Suaranya terdengar berat. Berbagai emosi lagi-lagi berkecamuk di dalam dirinya. Bertempur melawan keinginan antara berlari ke arah Seijirou dan merengkuhnya ke dalam pelukan atau malah berlari ke belakang dan meninggalkan sang pujaan dalam keadaan hampa lagi. Sungguh, dia sama sekali tidak sanggup jika lagi-lagi harus dihadapkan dengan situasi semacam ini. Terlebih, usahanya menata hati sejak semalam rasanya sia-sia saja lantaran semua itu kembali dihancurkan seenaknya dengan kehadiran Seijirou di hadapannya kini.
Seijirou terdiam. Tatapannya membahasakan banyak pertanyaan yang berkelebat di dalam otak, namun tak satupun yang bisa dilontarkan keluar sekalipun kalimat tanya telah berada tepat di ujung lidah.
Shuuzou memutar bola mata, memilih menatap ke arah lain. "Dan masalah satunya adalah kau seorang Pangeran. Aku orang biasa yang tidak memiliki status penting apapun kecuali jabatanku yang sebagai Kapten kecil di wilayah Barat ini. Perbedaan kita telah telampau jauh, Sei. Semuanya memiliki batasan. Dan aku tidak mau melanggar itu. Tidak, jika itu berpotensi membahayakanmu. Kita bisa dihukum mati oleh Ayahmu jika tetap egois membiarkan hubungan ini terus berlanjut dan diketahui seluruh dunia."
Masih terdiam beberapa saat. Bibirnya bergetar pelan. Hatinya benar-benar telah dilukai oleh kata-kata egois namun tak dapat ditampik kebenarannya itu.
"Jadi ... kau takut mati?"
Shuuzou menarik senyum—senyuman kecut. Bagaimana caranya membuat Seijirou mengerti. Bahwa Shuuzou melakukan ini demi keselamatan Pangeran itu sendiri.
Aku juga sama hancurnya, Sei. Tapi, aku masih bisa menerima dengan lapang dada, bahwa hubungan ini memang harus berakhir.
"Kau pikir aku orang yang seperti itu?" ia bertanya balik.
Seijirou lagi-lagi terdiam. Kali ini, dia benar-benar merasa hatinya telah tertampar oleh sengatan panas pelecut api.
"Aku tidak pernah takut mati. Apalagi demi dirimu. Tapi, kalau kau juga sampai ikut mati bersamaku, bagaimana mungkin aku bisa membiarkan hal itu terjadi? Siapa yang akan meneruskan takhta kerajaan ini?" manik kelabunya menyorot teduh, namun juga memancarkan emosi terluka. "Selagi masih bisa dihentikan, akan kulakukan apapun demi menjauhkanmu dari kematian. Ini semua kulakukan demi dirimu, Sei. Kita tidak boleh egois. Negeri ini sedang kritis. Rentan dihancurkan kapan saja. Maafkan aku, Seijirou. Aku mencintaimu. Sungguh, aku benar-benar mencintaimu hingga aku merasa aku bisa gila karenamu. Tapi ... secinta apapun aku padamu, aku tidak ingin membuatmu berada dalam posisi bahaya karena hubungan terlarang ini. Cintaku tidak seegois itu. Menjalin hubungan denganku hanya akan membuatmu dicap sebagai alfa rendahan sepanjang hidupmu." Shuuzou memejamkan mata. Tidak kuat melihat raut terluka dari alfa pujaannya.
Benar. Kau dan aku benar-benar sudah berakhir, sekarang.
XXX
Shuuzou duduk diam di kursi di tengah-tengah ruang kendali. Mengawasi setiap pengawas yang kini sudah kembali ke ruangan untuk bekerja sepeninggal Seijirou satu jam yang lalu. Shuuzou menghembuskan napas keras melalui hidung. Seijirou hanya diam saat meninggalkan ruangan ini, bahkan pangeran itu sama sekali tak sudi menatap wajahnya untuk terakhir kali.
Nijimura Shuuzou sukses membuat seorang pangeran absolut Akashi Seijirou patah hati bertubi-tubi. Dan dia mengutuk diri sendiri akan hal itu.
Sebuah tepukan di bahu segera mengagetkannya. Kepala hitam segera tertoleh, dan buru-buru berdiri dari duduknya begitu mendapati siapa yang tengah berdiri di belakangnya.
"K-Komandan! Selamat datang kembali!" Shuuzou reflek tergagap—sepenuhnya terbangun dari pergolakan batin.
Sang Jenderal yang sudah berumur, Shirogane Kozo menarik senyum bersahabat. "Ya, aku kembali. Bagaimana keadaan di sini?" tanyanya.
"Aman terkendali, Jenderal." Menjawab langsung.
"Bagus." Pria tua itu mendudukkan diri di kursi yang ditempati Shuuzou tadi. Menyamankan punggungnya pada sandaran kursi empuk. "Rapat yang melelahkan." Ujarnya.
Shuuzou menaikkan kedua alis. Tampak penasaran. "Ano, bagaimana hasil rapatnya kalau saya boleh tahu?"
Shirogane menghela napas. "Seperti biasa. Peningkatan keamanan dan perintah penyelidikan yang diluaskan oleh agen-agen profesional."
Shuuzou terdiam beberapa saat, tampak mencerna dengan serius. "Negeri ini ... akan baik-baik saja, 'kan?"
Sang Jenderal tertawa pelan. "Tentu saja. Kita semua sudah berusaha menjaga negeri ini sebaik mungkin agar tetap berdiri. Dasar anak muda, jangan pernah menanamkan keraguan dalam dirimu. Apalagi sampai meragukan kekokohan negerimu sendiri."
"M-Maafkan saya. Saya tidak bermaksud begitu—"
"Aku tahu. Terkadang, aku juga pernah berpikir sampai kapan negeri ini akan bertahan. Semakin lama kerajaan ini semakin terpuruk."
"Komandan ..."
Pria tua itu menoleh, kembali memasang senyum yang menghilangkan matanya. "Kau sendiri, apa yang akan kaulakukan?"
Shuuzou menaikkan alis, tidak mengerti. "Maksudnya?"
"Kau tahulah. Kau sudah dewasa. Seorang pria alfa sejati. Usiamu sudah cukup untuk memiliki seorang mate."
Shuuzou kaget setengah mati. Pembicaraan yang benar-benar di luar dugaan, mau menjawab apa dia pada sang atasan. "A-apa—saya belum pernah berpikir untuk memiliki seorang mate dalam waktu dekat."—kalaupun pernah, itu pun bukan seorang omega ataupun beta. Melainkan seorang alfa bangsawan—Nijimura Shuuzou semakin terpuruk dalam.
Shirogane tertawa mendapati reaksi sang bawahan. "Menunda-nunda itu tidak baik. Apalagi kemungkinan terburuk bisa terjadi kapan saja. Sebelum Yayasan Omega dibabat habis oleh para teroris, lebih baik kau segera ambil langkah sebelum terlambat."
Shuuzou hanya diam.
Aku tidak minat karena baru saja mengalami patah hati.
Kemudian manik kelabunya menunduk, terpekur menatap lantai. Lagi-lagi bayangan Seijirou melintas dalam kepalanya.
Tapi ... mengambil seorang omega untuk dijadikan mate ... mungkin saja bisa membuat Seijirou berhenti berharap.
XXX
Saat ini ia tengah berdiri tepat di depan sebuah bangunan sederhana bercat putih gading. Manik kelabunya melirik ke atas, membaca cepat papan nama yang digantung di atas gerbang masuk. Yayasan Peternakan Omega Seirin.
Pria itu mendengus. Setelah berpikir matang-matang semalaman suntuk—Nijimura Shuuzou akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Dia akan membeli seorang omega. Semua ini bukan cuma semata-mata ia ingin membuat Seijirou mengerti bahwa hubungan mereka benar-benar telah kandas, tapi Shuuzou juga merasa bahwa dirinya perlu disembuhkan. Dia sudah tidak normal. Mencintai seorang alfa—bahkan sampai menjalin hubungan dalam waktu lama, entah sudah sesakit apa dirinya sekarang.
Menjalin hubungan alfa dengan alfa adalah haram di dunia ini. Terlebih, alfa yang dimaksud adalah seorang anak Raja. Dia perlu dinetralkan kembali. Nasib baik dia tidak pernah berbuat lebih jauh dengan Seijirou—dengan identitas mereka yang sama-sama alfa, mereka tidak akan mungkin bisa melakukan knotting. Kalaupun bisa, Shuuzou yakin Seijirou akan pingsan di tempat dan tidak akan bisa bangkit dalam waktu seminggu. Hubungan alfa dengan alfa sudah pernah terjadi, dan itu sampai membunuh alfa yang menjadi submisif. Itulah sebabnya hubungan seperti ini dianggap tidak normal. Itu terlarang, dan sangat diharamkan. Shuuzou antara setuju dengan tidak setuju dengan keputusan itu. Setuju karena ia tidak ingin Seijirou kesakitan dan berakhir sama tragisnya dengan alfa kotor terdahulu, dan tidak setuju kenapa hubungan seperti ini harus dilarang. Sebesar apapun ia menginginkan Seijirou, dia pasti akan bisa menahan diri untuk tidak merobek pria itu. Tentu saja.
Tapi siapa yang akan tahu ke depannya jikalau mereka sudah digelapkan bisikan iblis? Apa saja bisa terjadi jika kepala sudah diracuni hawa nafsu.
Dan Shuuzou seringkali mengingatkan diri untuk selalu tahu diri. Dia menginginkan Seijirou. Dan dia terkadang dia tidak dapat menekan hasratnya itu untuk menyetubuhi sang alfa merah.
Itulah sebabnya dia mati-matian ingin mengakhiri hubungan itu sebelum terlambat—Seijirou seharusnya mau mengerti dengan keputusannya.
Shuuzou memasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku jaket. Sekarang sudah memasuki musim gugur, udara jadi semakin dingin. Pria itu melangkahkan kaki menapaki rumput hijau perkarangan rumah omega. Kepala hitamnya celingak-celinguk memandangi sekeliling. Halaman depannya tampak bersih tanpa ada satupun daun-daun kering yang terserak. Aroma bangunan ini juga begitu enak di hidungnya. Tentu saja. Di sini adalah peternakan omega. Sudah pasti seorang alfa sepertinya akan merasa senyaman ini dikelilingi aroma feromon para omega yang begitu semerbak. Baik yang biasa, sampai yang begitu menyengat sekalipun (Shuuzou berpendapat ada beberapa omega yang tengah mengalami heat hari ini).
Pria itu kembali melangkah sambil terus memandangi sekitar. Anak-anak omega yang usianya sekitar dua belas sampai lima belas tahun berlarian keluar sambil tertawa riang. Kemudian pandangan mereka bertemu dengan Shuuzou. Sang alfa hanya memasang senyum kikuk, berusaha ramah. Para omega yang terlampau lugu itu hanya cekikikan sambil berbisik-bisik—sesekali melirik antusias ke arahnya.
Entah kenapa Shuuzou tiba-tiba merasa tidak nyaman berada di sini.
Pria itu memerhatikan sekilas. Omega memang dianugerahi tubuh mungil (yang sepertinya begitu enak saat dipeluk) dan wajah rupawan yang terkesan manis. Bau harum feromon yang dikeluarkan omega-omega muda di depannya ini pun terasa begitu baik.
Shuuzou merasa mendapatkan sedikit motivasi untuk membeli omega di sini bukan hanya untuk sekadar pelarian. Mereka ... begitu cantik dan mungil. Sangat pantas untuk dijaga sebaik mungkin. Dan Nijimura Shuuzou sepertinya tidak keberatan jika harus menjaga satu omega manis yang akan menjadi mate-nya nanti. Daripada terus terpuruk seperti orang yang tidak punya kerjaan lain selain meratapi mantan, lebih baik dia menata kembali hatinya dengan menjalani kesehariannya bersama seorang omega. Berbagai rencana-rencana masa depan mulai berkelebat di dalam kepala Shuuzou. Dia akan memiliki mate, kemudian memiliki sorang anak (tidak masalah mau alfa, beta, atau omega) kemudian mereka akan menjalani hari-hari yang penuh kehangatan bersama.
Oke. Rasanya itu sudah cukup untuk membuatnya semakin termotivasi memiliki seorang mate omega.
Shuuzou berniat melangkahkan kakinya lagi untuk memasuki lorong yang ia kira sebagai pintu masuk Yayasan omega ini saat sebuah suara tiba-tiba mengagetkannya.
"Maaf, Tuan."
Shuuzou segera menoleh. Seorang pria berhelaian cokelat yang kira-kira berusia kepala empat telah berdiri di belakangnya.
"Saya lihat dari tadi Anda terus berdiri di sini sambil menatap perkarangan. Bolehkah saya tahu ada keperluan apa Tuan datang ke peternakan saya ini?" pria itu tersenyum ramah.
Shuuzou segera berbalik menghadap sang pria yang ternyata adalah pemilik yayasan peternakan itu.
"Ah, aku Nijimura Shuuzou. Seorang alfa. Aku ke sini ingin membeli seorang omega untuk kujadikan mate."
Mata pria itu segera membulat, kemudian tersenyum dengan lebih lebar. "Wah, beruntung sekali para omega di sini. Salah satu dari mereka akan dimiliki oleh alfa tampan seperti Anda. Perkenalkan, nama saya Aida Kagetora. Pemilik peternakan ini. Mari masuk. Saya akan menunjukkan foto para omega di sini." Pria itu melangkah duluan, Shuuzou mengikutinya dari belakang. Semakin pria bersurai hitam itu masuk ke dalam, semakin kuat pula aroma feromon yang menyapa penciumannya. Membuatnya sempat berpikir bodoh bahwa dia akan mabuk kepayang kapan saja jika terus menerus mencium feromon kuat dari beberapa omega yang tengah mengalami masa heat di sini.
Shuuzou dibawa memasuki sebuah ruangan, yang ia duga adalah ruang kerja Kagetora. Seorang beta segera menyambutnya dari dalam.
"Silakan duduk, Tuan Nijimura." Kagetora menunjuk sofa yang kelihatan sudah buduk di dekat dinding. Shuuzou menurut dan segera mendudukkan diri di atas sofa biru yang lumayan empuk. Kagetora segera menoleh ke arah beta yang masih bernaung di ruangan itu. "Hei, Furihata! Cepat buatkan Tuan ini kopi! Kau ini kenapa diam saja—sudah tahu kita kedatangan calon pembeli!"
"E-eh—Ah, baiklah, Pak!" Beta berambut cokelat itu segera berlari keluar dengan tergesa-gesa.
"Sebentar, Tuan. Saya ambil dulu data para omega di sini." Kagetora segera berbalik menuju satu pintu lain di dalam ruangan itu. Tidak lama ia membuat Shuuzou menunggu, pria itu lekas kembali sambil membawa sebuah buku bersampul hitam yang bertuliskan Data Semua Omega Peternakan Seirin dengan tinta berwarna emas. Buku itu dengan segera diserahkan kepada sang calon pembeli.
Kagetora segera mendudukkan diri di atas sofa di seberang Shuuzou. "Kami hanya punya dua puluh omega di sini. Anda pasti tahu betul bagaimana krisis omega yang terjadi di negeri ini. Sebisa mungkin kami menjaga para omega di sini dengan sebaik-baiknya agar tidak jadi korban pengeboman." Kagetora berceloteh seraya membiarkan Shuuzou melihat-lihat wajah para omega milik peternakannya, lembaran demi lembaran kuning dibalik dengan perlahan. "Beruntung wilayah ini terlindungi dan sangat sedikit yang tahu kalau di pinggiran kota seperti ini ada sebuah peternakan omega kecil. Hahaha!" Shuuzou sama sekali tak mengerti apa yang tengah ditertawakan pria cokelat di hadapannya ini.
Alih-alih mendengarkan (dan sama sekali tak berminat menanggapi), Shuuzou terus membuka lembaran demi lembaran. Tidak ada wajah omega yang membuat hatinya tergerak untuk mengklaim mereka sebagai mate. Padahal, mereka semua manis dan perilaku mereka juga baik. Hanya saja, entah kenapa pikiran kurang ajarnya dengan begitu lancang membandingkan semua omega di dalam album ini dengan sosok Akashi Seijirou yang notabenenya adalah seorang alfa bangsawan.
Apa dia bodoh!?
Kagetora seakan bisa membaca raut frustasi dari wajah Shuuzou, ditambah lagi dia jelas-jelas mendapati bibir seksi sang calon pembeli tiba-tiba maju beberapa centi seolah menandakan ia sama sekali tidak puas dengan foto-foto yang ada di dalam buku bersampul hitam itu.
"Ada apa, Tuan? Apa para omega saya tidak ada yang sesuai dengan kriteria Tuan?" pria itu bertanya.
Shuuzou segera mendongak untuk menatap sang pemilik peternakan. "Hah? Oh, tidak. Aku hanya sedang bingung memilih omega mana yang paling pas untuk kujadikan mate. Mereka semua sangat manis dan terlihat baik."—ini tidak sepenuhnya bohong, sih. Aku memang sedang kebingungan mau pilih yang mana. Para omega ini atau Seijirou ...
"Tentu saja." Kagetora melebarkan senyum. "Selain wajah mereka yang rupawan, para oemga di sini juga sudah diajari tata krama dan cara bertingkah laku yang baik terhadap orang lain—terlebih, mereka juga sudah diajarkan saat heat pertama mereka bagaimana cara melayani alfa yang akan menjadi mate-nya."
Shuuzou hanya merespon seadanya alih-alih takjub bahwa omega di peternakan diajarkan dengan pelajaran seperti itu. Di peternakan, omega sengaja tidak di sekolahkan. Mereka hanya diajarkan cara menulis dan berhitung seadanya. Juga pelajaran tata krama. Omega tidak perlu mengemban pendidikan tinggi, karena pada akhirnya mereka hanya akan digunakan sebagai alat pengembang biak. Omega ada hanya untuk melahirkan bayi-bayi alfa dan omega—dengan kata lain, kasta omega begitu rendah sehingga mereka cuma difungsikan hanya sebagai media untuk menyambung garis keturunan.
Diskriminasi? Itu memang selalu terjadi di negeri yang dikemudikan oleh para tirani.
Shuuzou masih fokus menyeleksi data para calon mate-nya, saat lembaran ke enam belas dibalik, pria itu lekas mengernyitkan alis.
"Lho, kosong?" gumamnya, heran saat mendapati halaman ke-tujuh belas tidak memiliki foto. Data-data yang tertera juga tidak bisa dibilang lengkap—malah terlampau sedikit.
Kagetora melongokkan kepala demi mengintip halaman yang tengah ditatap oleh calon pembelinya. "Ah, itu. Omega itu sudah dibeli oleh seorang alfa kaya empat tahun lalu. Jadi fotonya saya lepas—dan saya lupa melepaskan kertasnya juga." jelasnya.
Shuuzou hanya diam. Kali ini bibir bawahnya ikut maju. Netra kelabunya membaca cepat data yang tertera di satu-satunya lembaran tanpa foto itu.
Namanya Seijuurou. Lahir 20 Desember tahun 19xx. Ayah: kosong. Ibu: kosong. Riwayat hidup: kosong. Apa-apaan ini!?
Kening Nijimura Shuuzou semakin mengkerut dalam lantaran tidak puas dengan informasi yang disajikan. Bagaimana omega satu itu bisa dibeli dengan data yang benar-benar kurang memuaskan?
Namun, manik kelabu itu segera menyipit ketika otaknya mendeteksi keanehan.
Nama dan tanggal lahirnya tidak asing. Shuuzou segera diingatkan kembali akan sosok Pangeran Absolut yang tengah menodongkan wajah ke arahnya.
"Jadi ... dia sudah dibeli?" Shuuzou masih menunduk ke arah buku, namun matanya melirik ke atas demi menatap Kagetora yang seketika kaget.
"Eh? Y-ya, Tuan." Jawab pria itu, berusaha menutupi kegugupan. "Apa Anda tertarik dengan omega itu, Tuan?"
Shuuzou kembali membalik halaman. "... Ya. Mungkin?" ia sendiri ragu kenapa omega yang bahkan tidak diketahui wajahnya bisa menarik perhatiannya hanya dengan modal nama dan tanggal lahir.
Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar derap langkah di atas lantai kayu, sontak mengusik ketenangan di dalam ruangan itu. Seorang beta—yang seingat Shuuzou adalah pemuda yang tadi diperintahkan Kagetora membuatkan minuman untuknya—segera muncul di muka pintu dengan raut wajah panik.
"Pak Kagetora!" teriaknya.
Kagetora berdecak seraya melotot. "Ada apa? Tidak perlu gaduh begitu. Kau tidak lihat aku sedang melayani calon pembeli!? Mana minumannya!?" pria itu berteriak galak.
Sang beta berambut cokelat segera menjawab gugup alih-alih masih tersengal-sengal karena habis berlari. "M-Minumannya ada, Pak. Tapi ada sesuatu yang lebih penting daripada itu!"
Kagetora menaikkan sebelah alis. Shuuzou meletakkan buku hitam ke atas pangkuan, sedikit merasa tertarik.
"Ada apa memangnya?"
Furihata menelan ludah. "Itu, Seijuurou! Dia lagi-lagi mengamuk!"
Seketika, Nijimura Shuuzou melebarkan mata.
Alis cokelat Kagetora sontak saling menukik. Pria itu segera berdiri dan menggulung lengan baju hitamnya dengan wajah penuh emosi. "Apa? Dasar omega satu itu." kemudian kembali menatap ke arah Shuuzou. "Sebentar, Tuan. Saya akan mengurus ini sebentar."
"Tunggu, Kagetora-san." Shuuzou segera menghentikan saat Kagetora sudah ingin melangkah. "Tadi dia bilang Seijuurou? Apa Seijuurou yang dimaksud adalah Seijuurou di buku ini?" ia segera menunjukkan halaman tanpa foto tadi.
Sang pemilik peternakan itu terdiam beberapa saat, kemudian menjawab enggan. "Err ... ya. Benar sekali, Tuan."
Langsung berjengit, "Tapi Anda bilang, dia sudah dibeli empat tahun lalu."
"Ya. Dia memang dibeli empat tahun lalu. Tapi dikembalikan lagi ... sekitar dua minggu yang lalu."
Satu alis hitam terangkat. "Kenapa dikembalikan?"
"Itu karena—Ah, nanti akan saya jelaskan. Sekarang saya harus mengurusnya dulu sebelum dia menghancurkan barang-barang lagi—Tuan tunggulah sebentar di sini!" pria itu segera berlari meninggalkannya bersama beta muda tadi.
Tidak mau menurut, Shuuzou langsung bangkit dari duduknya dan segera berlari mengikuti Kagetora. Mereka menuju sebuah perkarangan yang cukup luas—yang diduga Shuuzou sebagai taman.
Kagetora menghentikan langkah dan segera berteriak dengan nada memerintah. "Pegang dia kuat-kuat!"
"Lepas! Jangan sentuh aku, Alfa!"
Shuuzou yang baru saja sampai segera membelalak begitu mendengar suara yang tidak asing. Pria itu berdiri di samping Kagetora yang sontak mengernyit tidak suka ke arahnya.
Kedua manik kelabu Shuuzou masih terpaku pada sosok omega laki-laki berambut merah yang tengah dipegangi oleh tiga orang beta.
"Pak! Dia kuat sekali!" salah seorang beta bermata sipit berteriak ke arah Kagetora.
Si beta cokelat di samping Kagetora segera melangkah mendekati rekannya yang tengah kewalahan menghadapi satu orang omega—berinisiatif membantu. Namun entah kenapa, omega mungil berambut merah itu seolah memiliki tenaga dua kali lipat layaknya alfa militer sehingga empat orang beta yang kini sudah memeganginya dengan erat sama sekali bukan apa-apa untuk bertahan mengekangnya.
"Lepaskan aku!" omega itu meronta semakin brutal. Empat beta menarik tubuhnya ke bawah, berusaha keras menundukkannya. Sang omega merah kini berbaring tengkurap di atas rumput dengan kedua tangan dicengkram kuat di belakang punggung, dan kedua kaki yang dipegang kuat.
Shuuzou segera tercengang begitu sang omega liar mendongakkan kepala—menatap semua orang dengan raut ketakutan dan marah.
Bibir Shuuzou tanpa sadar bergetar saking tidak percayanya dengan apa yang baru saja matanya lihat.
Aida Kagetora segera melangkah mendekati omega merah yang kini sudah berhasil dilumpuhkan. "Kalian sudah memberikannya obat penenang?" tanyanya.
Salah seorang beta yang memegangi tangan si omega langsung menggeleng. "Dia tidak mau menelannya, Pak. Dia memuntahkannya terus."
Berdecak, "Apa boleh buat." Pria itu segera merogoh saku celana, mengeluarkan sekotak hitam seukuran kotak rokok dari sana. "Tidak ada cara lain. Pegangi dia lebih kuat." Perintahnya. Keempat beta itu segera menurut.
Kagetora segera membuka kotak hitam itu, mengeluarkan satu buah suntikan kecil berisi cairan bening. Pria itu segera berjongkok, menggulung lengan kaus putih sang omega. Tanpa tendeng aling-aling, Kagetora segera menancapkan jarum kecil pada lengan atas. Omega merah itu langsung menjerit, bukan jeritan kesakitan—tapi jeritan ketakutan. Air mata segera mengaliri pipi pucatnya. Kelopak matanya terpejam rapat.
Shuuzou hanya bergeming menyaksikan semua itu.
Kagetora segera berdiri dengan wajah datar. "Masukkan dia ke dalam ruang isolasi. Kunci pintunya serapat mungkin."
"Baik!"
Tubuh sang omega yang melemas segera diangkat. Kelopak matanya yang terpejam, membuka perlahan.
Dan Shuuzou seketika menahan napas begitu manik kelabunya bersitatap dengan sepasang manik semerah delima paling indah.
Begitu cantik ...
Shuuzou masih bergeming di tempatnya saat omega cantik itu digotong memasuki sebuah lorong di ujung bangunan. Bahkan sama sekali tak sadar Kagetora sudah kembali menghampirinya.
"Tuan?" pria pemilik peternakan itu mengerutkan kening begitu mendapati calon pembelinya tiba-tiba melamun.
Shuuzou menggerakkan bola kelabunya, melirik ke arah Kagetora dengan raut wajah tawar. Namun, kemudian senyum lebar segera terbit di kedua bibirnya yang sejak tadi menggaris.
"Sudah kutemukan."
"Hah?" Aida Kagetora sama sekali tak menangkap apa maksud alfa tampan di hadapannya itu.
Mata tajam Shuuzou melirik lorong yang diterangi lampu-lampu redup di mana omega yang terlalu menarik perhatiannya tadi diseret.
"Seijuurou ... aku menginginkannya."
XXX
Deru mesin mobil berwarna hitam memenuhi keheningan jalan yang dijejeri pepohonan berdaun jingga. Daun-daun kering yang berserakan di atas aspal segera berterbangan ketika diterpa laju ban mobil yang berputar cepat. Rem segera diinjak begitu sampai di tempat tujuan. Pintu mobil dibuka, seorang pria berhelaian hitam keluar sambil terus setia memasang raut wajah datar.
Nijimura Shuuzou, untuk kedua kalinya, kembali menjejakkan kaki di tempat ini. Pria itu menutup pintu mobil kemudian menarik napas.
Dia akan membeli Seijuurou hari ini. Dan dia benar-benar telah yakin akan keputusannya itu.
Pria itu segera melangkah memasuki gerbang besi bercat biru yang terbuka. Suara bisik-bisik segera terdengar begitu ia melewati perkarangan depan. Dia bisa melihat tatapan kesal sekaligus keheranan yang dilemparkan para omega ke arahnya—dan Shuuzou sebisa mungkin mengabaikannya. Mungkin dalam hati mereka bertanya-tanya, apa alasan Shuuzou lebih memilih seorang omega sakit daripada mereka yang seratus persen sehat. Wajah mereka seolah benar-benar menyayangkan keputusan tak masuk akal Shuuzou—mungkin mereka sekarang menganggapnya juga sudah tidak waras.
Dan yah ... aku memang sudah tidak waras. Coba tolong tunjukkan jalan lurus yang bisa membantuku kembali waras lagi tanpa harus berkorban hati.
Bibir atas sang alfa tampan langsung maju beberapa centi. Kakinya melangkah cepat menuju ruang kerja si pemilik peternakan, dan kebetulan saat ia hampir sampai, Aida Kagetora tiba-tiba keluar dari ruangannya.
"Kagetora-san." ia segera memanggil.
Kagetora menoleh, sedikit merasa kaget dengan kehadiran Shuuzou. "Oh, Tuan Nijimura. Anda datang lagi."
Pria berhelaian hitam itu semakin mempercepat langkah—nyaris berlari—mendekati sang pria tua.
"Sepertinya Anda sudah mendapatkan keputusan." Kagetora menatap lamat-lamat ke arahnya.
Shuuzou langsung mengangguk. "Ya. Dan aku memutuskan untuk membeli omega Seijuurou." Dia menjawab langsung.
Raut wajah Kagetora tetap datar, seolah memang sudah menduga keputusan calon pembelinya itu. "Apa Anda yakin?"
"Ya."—kuharap keputusanku memang benar.
Kagetora segera menghela napas setelah beberapa detik terdiam. "Baiklah. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang jelas, saya telah mengingatkan Anda."
Shuuzou tidak menjawab, hanya diam di tempatnya berdiri.
Kagetora berbalik, melirik ke arahnya melalui ekor mata. "Kalau begitu, mari ikuti saya."
Shuuzou menurut. Mengikuti Kagetora yang berjalan di depannya. Mereka memasuki lorong dengan cahaya yang nyaris minim. Lampu, yang entah berapa watt, yang berjejer dipasang di langit-langit putih tampak redup. Lantai kayu yang mereka pijak berderit pelan seiring dengan langkah kaki yang menggema. Di lorong ini hanya mempunyai satu pintu, dan itu cuma berada di ujung lorong. Mereka berdua berhenti tepat di depan pintu kayu itu. Dua orang beta yang ditugaskan berjaga di sana segera menunduk hormat ke arah Kagetora.
Di sini adalah ruang isolasi tempat calon omega-nya di kurung.
Nijimura Shuuzou ingat betul apa yang dikatakan Aida Kagetora kemarin.
.
"Dia trauma pada alfa."
"Apa?" Shuuzou lantas segera menaikkan alis.
Kagetora menghela napas dengan raut lelah. "Dia dibeli saat usianya enam belas tahun. Dia adalah omega pengungsi. Seijuurou dipindahkan dari Yayasan Omega sebelah Timur ke sini saat insiden pengeboman lima tahun lalu."
"Lalu, apa yang terjadi sampai dia jadi seperti itu? Apa karena ledakan itu?"
"Tentu saja tidak. Seijuurou adalah omega yang ceria. Dia penurut dan cerdas. Itulah sebabnya dia bisa dibeli seorang alfa kaya raya dengan harga fantastis."
"Jadi ...?"
Pria tua itu menunduk iba. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sampai sekarang Seijuurou tidak pernah ingin cerita. Saat dia dikembalikan dua minggu lalu, keadaannya benar-benar kacau."
Shuuzou merasa punggungnya membeku mendengar hal itu.
"Dia sangat ketakutan pada semua orang. Dan akan menjerit jika melihat alfa. Tidak hanya itu, di sekujur tubuhnya juga terdapat banyak luka." Kagetora mendongak untuk menatapnya. "Kemungkinan, dia telah disiksa dalam jangka waktu lama. Sampai-sampai mentalnya jadi seperti ini."
.
"Bagaimana keadaan Seijuurou?" Kagetora bertanya pada dua penjaga di depannya.
"Dia masih stabil, Pak. Selama kita tak mengganggunya, dia akan tetap tenang."
Kagetora mengangguk. "Kasihan sekali anak itu. Entah hal sekejam apa yang sudah ia alami." Kemudian pria itu melirik Shuuzou yang sejak tadi membisu. "Ini Nijimura Shuuzou. Dia alfa yang ingin membeli Seijuurou."
Kedua beta itu lantas kaget bukan main.
"Eh? Tapi, Pak, Seijuurou sedang tidak dalam kondisi sehat. Saya tidak yakin dia masih bisa dijual. Tidak untuk saat ini."
"Dia bahkan tidak bisa diajak bicara."
"Ck, aku tahu. Dan aku sudah mengingatkan Tuan ini, tapi dia bersikeras menginginkan Seijuurou."
Mulai jengah juga. Kenapa orang-orang ini begitu susah memberikan Seijuurou padanya. Sungguh, Shuuzou bukanlah orang yang sabar. "Aku tidak keberatan. Aku menerima kondisi Seijuurou apa adanya. Biarkan aku membelinya. Aku janji akan merawatnya sebaik yang kubisa."
Ketiga penghuni Yayasan Peternakan itu terdiam. Kagetora lagi-lagi menghela napas. "Baiklah. Kami juga tidak bisa menolak, 'kan?" pria itu segera menoleh, memberi isyarat pada kedua penjaga untuk membukakan pintu.
Dua orang penjaga itu menurut. Berbalik untuk membukakan tiga kunci yang menyegel ruang isolasi itu.
Pintu segera terbuka. Kagetora mempersilakannya masuk.
Shuuzou menginginkan Seijuurou. Bukan hanya karena ia ingin membuat Seijirou berhenti berharap padanya, tapi tak dapat dipungkiri oleh Shuuzou bahwa ia tidak bisa menyangkal gejolak aneh saat ia pertama kali melihat sepasang mata semerah darah milik seorang omega paling cantik yang pernah ia lihat. Ditambah lagi, wajah sang omega pun begitu mirip dengan sang mantan kekasih. Persetan kalau ia sama sekali gagal move on. Shuuzou sungguh menginginkan Seijuurou.
Shuuzou melangkahkan kaki menjejaki lantai berkeramik putih. Berbanding terbalik dengan lorong tadi, ruang isolasi ini begitu benderang dengan pencahayaan lampu yang begitu terang di tengah langit-langit. Udara dingin dari AC di dalam sana segera menerpa tubuh Shuuzou, memanjakan kulitnya yang sedikit berkeringat—karena di lorong tadi begitu pengap dan panas, Shuuzou bertanya-tanya kenapa dua penjaga yang berdiri berjam-jam di luar sana itu tidak mati kekurangan udara segar.
Shuuzou mengedarkan pandangan. Ruangan ini kecil, mirip sebuah kamar pada umumnya. Hanya saja ruanan ini tidak memiliki jendela dan hanya dikelilingi dinding bercat putih. Di dalam sana juga hanya terdapat satu buah kasur. Tidak ada kursi. Tidak ada meja. Juga tidak ada lemari.
Di atas tempat tidur, seorang pemuda ringkih bersurai merah duduk tenang merapat pada dinding. Wajahnya mendongak, kelopak matanya tertutup. Bibir merah muda yang tipis sedikit terbuka. Poni merah panjangnya jatuh menyentuh pangkal hidung dan pipi tirus.
Nijimura Shuuzou sekali lagi dibuat terpesona oleh sosok yang baru ia kenal—namun tak diragukan lagi sama sekali tidak asing di matanya.
Bermacam-macam perasaan berkelebat di dalam dirinya, hingga bibirnya reflek meloloskan satu buah nama.
"Sei ..."
Sedetik ketika ia mengeluarkan suara, pada detik itu juga Seijuurou segera tersentak. Begitu tatapan mereka bertemu, sang omega langsung menjerit.
"Tidak! Jangan mendekat! Pergilah! Aku benci alfa! Pergi! Tidak!"
Shuuzou hanya terpaku mendapati respon calon mate-nya yang begitu histeris menyambut kedatangannya. Pria itu melangkah ragu, bingung harus melakukan apa untuk menenangkan Seijuurou yang mulai melemparkan bantal dan segala benda yang bisa ia lempar.
"Sei ... Seijuurou! Tenanglah! Hei!" Nijimura menangkap selimut putih yang dilemparkan tepat di depan mukanya.
Kagetora dan dua orang beta di luar segera masuk ke dalam ruangan dengan tergesa. Dua orang penjaga itu segera memegangi kedua tangan Seijuurou. Sang omega semakin brutal mengamuk. Kakinya kini menendang-nendang tempat tidur. Tubuhnya tak mau diam dan terus menggeliat minta dilepaskan. Air matanya meleleh. Shuuzou bisa melihat bekas luka cambukan di perut rata sang omega saat kaus putihnya tersingkap.
Hati sang alfa segera mencelos. Bibir bergumam lirih, penuh rasa iba. "Sei ..."
Seijuurou memejamkan mata. Bibirnya meloloskan isakan lirih alih-alih bergumam memohon pengampunan. Omega-nya benar-benar ketakutan. Dia menangis hebat dalam kekangan dua penjaga yang ikut merasa iba menatap dirinya.
Kagetora segera mengeluarkan suara lantang. "Kita akan langsung memulai proses pengklaiman." Kemudian secepat kilat melirik Shuuzou dengan tatapan tajam. "Gigitlah salah satu bagian tubuhnya untuk memberikannya tanda. Maaf, kami tidak bisa membuatnya tenang. Proses pengklaiman harus dilakukan dengan kedua pihak masih sama-sama sadar."
Shuuzou mengangguk patuh. Pria itu segera mendekati Seijuurou yang dipaksa duduk oleh dua penjaga tadi.
Lagi-lagi kedua mata mereka saling bertemu. Shuuzou bisa melihat bagaimana Seijuurou memandangnya dengan sorot ketakutan dibalut kebencian yang begitu kentara. Shuuzou bertanya-tanya, sudah seberapa keterlaluan mantan mate Seijuurou memperlakukannya hingga omega merah ini sampai menanamkan kebencian dan ketakutan pada setiap alfa yang mendekatinya.
"Lekaslah, Tuan!" Kagetora mengingatkan.
Dua alis hitam Shuuzou segera menukik. Dia tidak akan memberi klaim pada Seijuurou dalam keadaan meronta-ronta seperti sedang berupaya mengambil keperjakaan seorang pemuda elok dengan paksa.
Shuuzou memangkas jarak. Kedua tangannya merengkuh kedua pipi basah Seijuurou, sekalipun omega itu berusaha melepaskan wajahnya. Omega itu memejamkan matanya rapat-rapat. Bibir kering terus merapalkan kata-kata yang sama dengan lirih.
"Aku tidak mau. Aku tidak mau. Lepaskan aku. Aku tidak mau."
Lagi-lagi Shuuzou merasa hatinya dilukai, seperti baru saja disabet oleh sebilah belati.
"Tatap aku, Sei." Ia berkata lembut.
Seijuurou masih memejamkan mata serapat mungkin. Terus menangis dalam ketakutan yang tak dapat dimengerti.
"Lepas. Ampuni aku ..."
Shuuzou menarik senyum miris. Perlahan menggerakkan ibu jarinya mengusap air mata yang tak henti-hentinya meleleh—bagaimana mungkin mata indah ini membuang air matanya secara cuma-cuma untuk ketakutan yang sama sekali tak berarti?
Shuuzou memutuskan memperlakukan Seijuurou sama seperti ia memperlakukan Seijirou yang tengah marah kepadanya. "Seijuurou. Sei-ku tersayang ... jangan nakal seperti ini." pucuk hidung sang omega ditarik pelan.
Satu alis cokelat Kagetora berkedut-kedut, sementara dua beta lain terpaksa membuka mulut lebar-lebar. Alih-alih cengo dengan apa yang dilakukan sang alfa, mereka semua langsung dibuat terkejut saat melihat Seijuurou langsung berhenti menangis. Diam seketika.
Shuuzou tersenyum—sedikit merasa takjub juga—dan mengelus rambut merah Seijuurou dengan sayang. "Anak baik. Aku bukan orang jahat. Aku tidak akan melukaimu."
Bibir Seijuurou bergetar. Membisikkan sesuatu yang tidak jelas, namun tatapan ketakutannya kini berubah jadi teduh.
Omega-nya sudah tenang.
Shuuzou, entah terbawa perasaan atau memang sudah tidak tahan, tiba-tiba mengecup bibir kering Seijuurou.
"Izinkan aku mengklaimmu." Ia menempelkan kedua dahi mereka dan berbisik pelan. Dua pucuk hidung saling bertemu. Seijuurou tidak menjawabnya, omega itu hanya diam. Namun tatapannya yang sayu membahasakan kalau dia merasa nyaman dengan perlakuan Shuuzou.
Sang alfa memindahkan tangan. Beranjak dari kedua pipi halus Seijuurou dan merengkuh tubuh mungil sang omega. Dua beta yang sejak tadi memegangi Seijuurou perlahan melepaskan cengkraman mereka.
Seijuurou benar-benar tenang dalam pelukan Nijimura Shuuzou.
Bibir Shuuzou turun. Menggesek garis rahang, melintasi epidermis leher. Pria itu memiringkan wajah begitu sampai di perbatasan leher kanan Seijuurou. Memejamkan mata, mengecup permukaan kulit lembut. Kemudian membuka mulut untuk menancapkan gigi pada permukaan kulit—sekuat mungkin hingga kulit leher itu terkoyak dan melumerkan cairan kental berwarna merah.
"Ah—!" Seijuurou memejamkan mata serapat mungkin. Kedua tangannya mencengkram kain jaket di punggung Shuuzou, sementara sang alfa meneguk cairan merahnya.
Shuuzou segera menjauhkan wajahnya—takut dirinya kalap dan menggigit lebih jauh. Kagetora segera maju dan menggulung lengan kaus panjangnya. Mengeluarkan silet dan satu buah pena tanpa tinta dari dalam saku.
Silet itu disodorkan pada Shuuzou. "Keluarkan darahmu dengan ini."
Shuuzou menerimanya dan segera menggores ibu jarinya. Darah segera keluar dari celah luka yang ia buat.
Ujung tutup pena dibuka, ditadahkan di bawah jarinya. "Teteskan ke dalam sini."
Shuuzou menurut. Tiga tetes darahnya masuk dengan sempurna ke dalam pena pendek berbodi bulat.
Kagetora mengangguk. "Baiklah. Saya akan mengukir nama Anda pada leher Seijuurou yang sudah Anda tandai. Sekarang, biarkan kami mengurus sisanya. Anda keluarlah dulu." Ujar Kagetora, tenang.
Menurut, Shuuzou segera melangkahkan kakinya keluar. Menutup pintu ruang isolasi rapat-rapat. Membiarkan omega-nya melanjutkan proses pengklaiman sebelum bisa ia bawa pulang.
XXX
Nijimura Shuuzou membuka pintu rumahnya, segera melesat masuk dengan cepat. Buru-buru menutupnya kembali dan segera menekan tombol saklar. Ruang tamunya segera terang benderang. Shuuzou langsung melangkah menaiki tangga kayu, naik ke lantai dua dan langsung menghampiri pintu kamar di depan tangga, membukanya dengan cepat alih-alih berhati-hati untuk tidak membangunkan pemuda berhelaian merah yang kini tengah tertidur dalam gendongannya. Ia segera memasuki kamar yang lampunya sengaja tak dimatikan dan langsung membaringkan tubuh Seijuurou di atas permukaan tempat tidur. Omega-nya masih tertidur pulas—atau lebih tepatnya tak sadarkan diri.
Shuuzou menegakkan tubuh begitu selesai menyelimuti Seijuurou dengan nyaman. Helaan napas lolos begitu saja dari celah bibirnya. Tak terhitung sudah berapa banyak Seijuurou mengamuk hari ini ketika melihatnya. Proses pengklaiman Seijuurou berlangsung sangat lama karena setiap prosedur selalu memakan banyak waktu minimal satu jam untuk membuat Seijuurou bisa dikendalikan. Sekarang pria merah itu resmi menjadi omeganya—belum sepenuhnya resmi, sih. Karena mereka masih harus melakukan tahap terakhir, yaitu knotting.
Shuuzou menaruh obat penenang yang diberikan Kagetora di atas nakas, kemudian terdiam beberapa saat di tempatnya berdiri. Menatapi setiap jengkal wajah Seijuurou. Dada omega itu bergerak naik turun dengan teratur. Dua belah bibir tipis sedikit terbuka. Kelopak matanya terpejam tenang. Wajah rupawan tanpa cela. Sungguh, makhluk ini benar-benar sempurna jika saja dia tidak sedang mengalami gangguan mental.
Benar-benar mirip ... apa jangan-jangan mereka saudara?
Shuuzou segera menggelengkan kepala. Mengusir jauh-jauh bayangan wajah Seijirou yang tengah tertidur dengan pulas dalam dekapannya demi keselamatan akal sehat. Pria itu buru-buru berbalik menuju lemari. Membuka-buka dua laci di sana demi menemukan seutas tali untuk mengikat Seijuurou. Sejujurnya Shuuzou sama sekali tidak ingin melakukan ini. Tapi Kagetora sudah mengingatkannya berkali-kali—dan tanpa perlu diingatkan lebih banyak lagi pun Shuuzou sudah tahu bahwa ketika Seijuurou membuka matanya kembali, dan mendapati keberadaan Shuuzou di dekatnya, omeganya itu pasti akan menjerit. Lagi. Menatapnya dengan sorot ketakutan dan berusaha melarikan diri.
Shuuzou masih ingat betul raut keheranan sang pemilik Yayasan Peternakan Omega itu ketika ia begitu bersikeras ingin membeli Seijuurou yang katanya adalah seorang omega yang telah cacat. Shuuzou sendiri tidak mengerti kenapa dia begitu memilih Seijuurou yang bahkan hanya dengan sekali melihatnya pun akan langsung menjerit ketakutan sebagai mate-nya. Mungkin alasannya karena Seijuurou benar-benar mirip dengan Seijirou. Dan Shuuzou sejak kemarin bertanya-tanya, kenapa kedua pemuda merah itu begitu mirip. Dia tidak pernah ingat Yang Mulia Masaomi memiliki dua orang putra. Kebetulan kah? Shuuzou pernah mendengar bahwa di bumi ini setidaknya ada tujuh orang yang memiliki wajah sama persis. Tapi tidak Shuuzou sangka dua orang itu akan begitu semirip dan sedekat ini.
Dan Shuuzou merasa terpukul dengan tindakannya sendiri. Dia sudah bertekad untuk melupakan Seijirou, tapi malah dengan sengaja—dan sangat memaksa—ingin menjadikan seseorang yang benar-benar mirip dengan mantan kekasihnya itu sebagai mate. Mau semunafik apa lagi dia? Mempencundangi diri sendiri dengan begitu menyedihkan seperti ini. Seijirou pasti akan mengatainya lebih menjijikkan dari seekor moluska penyakitan.
Memikirkan itu, seketika bibir menawan itu manyun. Kenapa dia masih harus memikirkan bagaimana Seijirou mengata-ngatainya nanti? Memangnya mereka akan bertemu lagi?
Tidak mau terus dirundung patah hati yang tak berkesudahan, Shuuzou segera beralih ke pintu lemari di samping. Membukanya dan menarik empat buah dasi.
Kalau tidak ada tali, masih ada dasi.
Pria bersurai eboni itu segera melangkah mendekati tempat tidur. Seijuurou masih menikmati berpelesir dalam alam mimpi. Sementara itu Shuuzou sudah naik ke tempat tidur dengan perlahan, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara ataupun getaran mengganggu. Dengan hati-hati, ia melilit masing-masing pergelangan tangan sang omega pada dua pilar atas tempat tidur—Shuuzou bersyukur dia memiliki tempat tidur bermodel lama. Kemudian menyingkap sedikit selimut demi mengikat pergelangan telapak kaki mungil pada dua pilar bawah. Shuuzou sempat terdiam begitu mendapati ada banyak bekas luka keunguan di kaki putih sang omega. Tidak mau lama tergugu, Shuuzou segera menyelimuti kaki Seijuurou kembali. Dia perlahan turun dari tempat tidur dengan hati-hati. Namun, saat kedua kakinya berhasil menjejak lantai, dua manik semerah darah itu terbuka perlahan.
Shuuzou membeku di tempat. Mereka kini bersitatap dalam kebisuan—namun hanya sebentar ketika di detik kedua, suara jeritan segera melengking di segala penjuru kamar.
Shuuzou segera dihantam panik ketika Seijuurou mulai meronta-ronta. Menarik-narik kedua tangan dan kakinya yang terikat kuat dengan dasi. Omega itu menjerit dengan nada penuh ketakutan. Trauma tergambar jelas dari wajahnya yang tiba-tiba saja berkeringat.
"Hei, tenanglah! Jangan meronta-ronta seperti itu! Tanganmu bisa terluka!" Shuuzou segera menjatuhkan duduk di tepi tempat tidur. Kedua tangan terulur untuk menahan Seijuurou bergerak semakin brutal.
"Lepaskan aku! Tidak! Jangan ikat aku! A-aku tidak akan melawan! Kumohon, jangan ...! Jangan! Tidak! Jangan! Aku tidak mau!" bagaikan sebuah mantra, kata 'tidak' dan 'jangan' bagaikan kalimat pasti yang tak pernah absen dari celah bibirnya yang bergetar takut.
Shuuzou berjengit, berpikir kilat bagaimana ia bisa menenangkan Seijuurou sendirian seperti ini. Dan obat penenang di atas nakas seolah bersinar terang dalam jarak pandangnya.
Pria itu segera bangkit dan berlari menuju dapur. Menuangkan air mineral dari dispenser dan segera kembali dengan tergesa-gesa. Seijuurou masih meronta-ronta demi melepaskan diri, dan semakin brutal ketika mendapati Shuuzou kembali lagi.
Pria berhelaian hitam itu buru-buru mengambil sebutir obat dari dalam botol kecil. Kemudian kembali mendudukkan diri di tempat semula. Sekarang, bagaimana dia bisa memberikan obat penenang pada orang yang seolah-olah sedang kesurupan?
Shuuzou berpikir keras—memikirkan cara lain selain meminumkan obat dari mulut ke mulut tanpa melakukan kekerasan. Tapi, di saat seperti ini otak seolah tak mengizinkan Shuuzou memiliki opsi lain. Pria itu memasukkan air mineral memenuhi rongga mulutnya—sengaja tidak diteguk. Kemudian menyelipkan sebutir obat kecil ke sela-sela bibir. Fokus matanya kini beralih pada Seijuurou yang kini sudah menangis dan meminta pengampunan dengan lirih. Shuuzou menangkap dua pipi basah sang omega. Memaksanya untuk tidak bergerak dengan bebas. Ketika pria merah itu membuka sedikit mulutnya, Shuuzou segera membenturkan kedua bibir mereka. Memasukkan sebutir obat sekaligus air minumnya ke dalam mulut Seijuurou. Omega itu mengerang, kemudian tersedak. Air yang tidak sepenuhnya diterima meleler keluar dari celah bibir yang masih berpagut. Shuuzou menahan posisi mereka terus seperti itu sampai benar-benar yakin obat penenang itu telah berpindah ke dalam perut Seijuurou.
Pria bersurai hitam itu menjauhkan wajah. Mengusap bibir dan dagunya yang basah. Manik kelabunya menatap iba pada ekspresi Seijuurou yang kini hampa. Shuuzou mengelap sisa-sisa air yang membasahi pipi dan dagu sang omega. Gumaman lirih masih saja keluar dari bibir basah bagaikan sebuah alunan melodi ritmis paling menyedihkan.
"Jangan ... hentikan ... kumohon ... ampun ..."
Manik delima itu kosong. Seijuurou sudah seperti mayat hidup yang sedang merapalkan mantra kutukan. Omeganya benar-benar kurus dan pucat. Entah sebrengsek apa mantan alfanya sampai membuat mental Seijuurou menjadi rusak parah seperti ini.
Shuuzou mengulurkan tangan. Mengusap helaian poni merah yang halus, menyingkapnya ke atas. Kecupan lembut didaratkan di atas kening mulus.
"Tenanglah. Aku memperlakukanmu dengan lembut."
Kemudian turun ke bibir. Mencoba menghentikan gumaman menyedihkan yang begitu menggores hati.
"Aku bersumpah tidak akan pernah menyakitimu." Satu kecupan lagi. Dua, tiga, lima kecupan diberikan dengan tujuan memberikan ketenangan. Namun air mata hangat itu seolah tidak pernah mau dibuat berhenti. "Seijuurou. Sei-ku jangan menangis. Kumohon jangan seperti ini. Kau membuatku merasa seolah aku benar-benar telah menyakitimu."
Kini kedua pipi basah yang dikecup mesra.
Bibir tipis masih saja betah mengeluarkan suara lirih. Bagaikan kaset rusak yang membandel tidak mau dibuat berhenti mengulangi adegan yang sama.
"Ampun ... Chihi ... ro ... jangan ... lakukan ini ..."
Kedua alis hitam Shuuzou segera bertaut.
Chihiro? Apa itu nama dari mantan mate keparatnya?
Shuuzou miris alih-alih merasa ingin mencari alfa bernama Chihiro saat ini juga untuk dibunuh. Pria itu menempelkan keningnya pada kening putih Seijuurou.
Entah penyiksaan macam apa yang sudah dialami Seijuurou sebelumnya hingga omeganya jadi seperti ini.
Shuuzou kembali mengecup kening sang omega, kali ini dengan lebih lembut dan lama. Kemudian, berbisik selembut kapas. Mencoba memberikan ketenangan melalui ciuman yang paling tulus.
"Tenanglah, Sei. Aku Shuuzou. Nijimura Shuuzou. Bukan Chihiro. Aku bersumpah tidak akan melukaimu."
"Kumohon ... hentikan, Chi—"
Shuuzou segera membungkam bibir itu dengan ciuman. Dia bisa melihat pandangan Seijuurou masih saja kosong, hanya saja kelopak mata indah itu telah menutup setengah. Rasa kantuk mulai membelai.
Shuuzou mencium bibir lembut itu berkali-kali. Sedikit banyak menyukai sensasi yang dirasakan ketika ia membelai bibir Seijuurou dengan penuh kehati-hatian seolah memang tak pernah ingin membuat omega itu terluka barang sedikit. Shuuzou tidak tahu kenapa dia jadi begitu menyukai bibir ranum Seijuurou. Omeganya terlalu rapuh untuk menanggung segala ketakutannya sendirian.
Seijuurou ... Omeganya ... makhluk paling rapuh yang membuatnya selalu ingin mengecup bibir lembutnya berkali-kali demi memberitahukan pada sang omega ... bahwa kini ia akan baik-baik saja. Di tempat perlindungan paling aman yang bisa ia gapai, dalam pelukan hangat Nijimura Shuuzou.
Manik delima itu kini benar-benar menghilang. Bersembunyi di balik kelopak mata indah yang terpejam. Deru napas halus menerpa wajah Shuuzou, membelai dengan nyaman. Pria itu tersenyum dan menarik tubuhnya menjauh.
"Tidurlah." Ia bergumam pelan. Kemudian dengan perlahan melepaskan semua simpul yang mengikat kaki dan tangan omeganya. Membiarkan Seijuurou tidur dengan nyenyak tanpa harus diikat dengan apapun, sambil berharap dia bisa melihat binar positif dari mata seindah ruby keesokan paginya.
.
.
Bersambung ...
.
.
AN: Jadi ini adalah fic omegaverse pertama saya. :") Countourless itu artinya 'tanpa batas' btw ... XD
Entah kenapa fic saya selalu gak jauh-jauh dari genre drama-h/c ya :"D berasa ini fic agak2 mirip dengan Enfold entah kenapa—padahal imajinasi yang tergambar di otak jelas2 lain wkwk. Itu Seijuurou macam orang sakit jiwa banget hastagah tolong maafkan Nako, Juro, udah bikin kamu kek gini huhuhu. Jadi, Seijuurou ini semacam mengalami gangguan mental gegara penyiksaan yang dialaminya dalam jangka waktu lama—kalau pembaca baca warning, pasti bakal ketahuan penyiksaan macam apa yang udah Seijuurou alami :"D
Fic ini udah direncanain saat saya beberapa hari mengenal omegaverse huahaha (dan saya juga masih pemula soal a/b/o verse ini). Dan ide bikin Twin!Akashi sama-sama mencintai dan memperebutkan si abang dalam bentuk multichap akhirnya terwujud. Tapi—gak tau juga ke depannya. Karena bisa aja saya banting setir dari gagasan itu lantaran baper akan suatu hal #ini tipe author yang gak punya pendirian# #plak
Di sini Seijirou adalah Bokushi, matanya gak heterokrom. Kedua matanya berwarna kuning emas. Sementara Seijuurou adalah Oreshi. Dua-dua matanya berwarna merah.
Fic ini juga semacam bentuk dari fetish saya—#nengok nama-nama pair yang numpuk di disclaimer# oh iya, satu lagi yang penting. Saya ini payah banget soal politik—masalah kenegaraannya mainstream banget tolonglah. Apa daya fantasy politik dalam imajinasi saya sama halnya dengan kodok memanggil hujan di musim kemarau :""" btw, kerajaan di fic ini modern. Gak kayak kerajaan zaman dulu.
Udah deh, segitu aja. Saya bingung mau ngomong apa lagi. Padahal pas ngetik ini perasaan banyak banget pernyataan yang pengen saya tulis di AN. Apa daya (lagi) daku memang pelupa :"""
Sampai jumpa di Countourless chapter dua,
Salam manis,
Minako-chan Namikaze
