Cinta Segitiga, kayaknya udah banyak deh topik tentang kisah percintaan ini. Hehe, ini FF juga terinspirasi dari beberapa novel yang temanya cinta segitiga. Semoga nggak membosankan dan terlalu umum ya...

Let go to the story,,,

Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi ratusan murid di semua High School yang ada di jepang, tidak terkecuali di Mirai High School sekolahku yang ada di Konoha, sebuah distrik kecil di kota Tokyo. Ratusan siswa berteriak kegirangan bahkan ada yang melompat mengekspresikan kebahagiaan mereka, tentu saja karena hari ini adalah hari kelulusan kami semua.

Tapi tidak begitu denganku, aku hanya tersenyum dengan gaya yang biasa, meski namaku berada di urutan teratas dari para siswa. Itu sudah biasa, bukan hal aneh. Seseorang juga pernah melalui hal ini sebelumnya, dan juga merasakan bagaimana rasanya berada di posis teratas, dan itu semua biasa saja dan hal itu memang sudah sewajarnya. Aku itu justru lebih tertarik melihat ekspresi gadis di sebelahku yang begitu ekspresif dalam menggambarkan kebahagiaannya, meski sebenarnya ia berada di urutan terakhir tapi ia tak peduli. Bahkan beberapa teman mengoloknya, ia tetap tak peduli. Gadis itu begitu menarik perhatianku rambutnya yang kuning, kulit tan dengan mata seindah lautan. Siapapun yang melihat pasti tak akan menyangka ia adalah gadis keturunan Jepang asli saat pertama kali melihatnya.

Aku kembali tersenyum simpul melihat tingkah sang gadis yang saat ini merangkul teman wanitanya terlalu kuat, bahkan tak menyadari temannya sudah merintih kesakitan karena ulahnya. Mengabaikan hal itu, ia terus berlonjak dan berteriak aku lulus aku lulus, dengan sangat keras.

"Naruto, kasihan Hinata kau merangkulnya terlalu kuat" aku mencoba menghentikan aksi si gadis pirang yang hampir saja menjadi tersangka pembunuhan si gadis indigo.

"Ah, gomen ne Hinata-chan. Kurasa aku terlalu bersemangat" ujar si pirang sambil membungkukkan badannya berkali-kali. Terlihat imut dan menggemaskan di mataku.

"Tidak apa-apa, Naruto" ucap si gadis indigo dengan nada yang lembut, khas seorang tuan putri terhormat.

"Dobe no baka" komentarku melihat kebodohannya. Ya, sepertinya aku memang tak bisa mengatakan hal yang manis padanya. Entah karena memang sudah di takdirkan atau apa, tapi aku selalu saja mengatakan hal yang berbeda dengan apa yang kurasakan dalam hatiku pada gadis pirang ini.

"Yak, aku tidak bodoh Sasuke teme" bentak Naruto padaku. Tentu saja si pirang ini tidak terima dengan perkataanku. Hei, memangnya siapa yang terima di katakan bodoh?

"Kau memang bodoh Naruto, lihat kau ada di urutan terbawah. Itu artinya kau memang yang terbodoh seangkatan baka" balasku dan di mulailah pertengkaran antara aku melawan Naruto. Hal ini bukanlah hal yang baru bagiku dan kelihatannya para siswa di Mirai high school juga merasa begitu, melihat laki-laki paling dingin melawan gadis paling cerewet di sekolah. Namun, inilah bagian yang menyenangkan dari Naruto dalam hidupku. Menggodanya dan membuatnya menumpahkan seluruh emosi yang ada dalam dirinya adalah kenikmatan tersendiri bagiku. Terlebih melihat wajahnya yang memerah yang terkesan sangat lucu dan menggemaskan. Meski begitu, aku dan Naruto tetaplah berteman. Kami sudah bersama sejak masih masuk TK hingga saat ini. Terlebih karena keluarga kami sudah sangat dekat.

"Yak Sasuke, kenapa wajahmu selalu datar huh" ucap si pirang menyadarkanku dari lamunanku. Entah sejak kapan dia memegang kedua pipiku dan menariknya nyaris melampaui batas elastisitasnya. " Nah, kalau kau tersenyum selebar ini lebih bagus. Dari pada wajah flatmu. Kau bukan tembok Sasuke" omelnya padaku. Yah, mau bagaimana lagi, bukan salahku jika wajahku minim ekspresi.

"Bherhenthi mhenarikh phiphikhu" balasku dengan suara aneh, dan entah kenapa si pirang terlihat menikmatinya. Ia bahkan tertawa tepingkal-pingkal mendengar ucapanku.

"Hahaha, kau lucu Sasuke. suara itu, sumpah aku tak akan pernah lupa seumur hidupku" ujarnya sambil menahan perutnya. Yah, satu lagi hal menarik dari Naruto, ia tak pernah menahan tawanya. Tidak seperti gadis lain yang sudah memasuki masa pubertasnya, Naruto seperti tak penah mengalami apa yang namanya pubertas. Ia masih bersikap layaknya Naruto yang dulu, cerewet, usil, dan sederet tingkah anak kecil lainnya.

"Jadi, Sasuke. kau akan meneruskan sekolahmu kemana?" tanya Naruto saat kami akan bersiap-siap untuk pulang, karena sepertinya hanya tinggal beberapa orang saja di sekolah itu.

"Aku mendaftar dan ikut ujian masuk untuk beberapa sekolah. Dan aku berhasil lulus di semua sekolah yang aku ikuti ujian masuknya." Ucapku seraya memerhatikan gadis di sebelahku yang entah kenapa berjalan sambil menunduk. 'apakah ada sesuatu yang sedang di pikirkannya?'

"Oh souka. Jadi kau tentu akan memilih sekolah terbaik diantara semuanya ya?" suara Naruto sedikit bergetar saat menanyakan hal itu. Sebenarnya, kalau boleh jujur aku akan memilih sekolah yang ada dirimu Naruto.

"Tidak juga. Kau masuk sekolah mana?" tanyaku penasaran. Jujur saja aku tidak tahu kemana gadis ini akan melanjutkan studinya.

"Entahlah. Okaasan memintaku masuk S Univertity mengambil jurusan seperti memasak atau kecantikan ya kau tahulah jurusan untuk anak perempuan agar aku menjadi wanita yang lebih lembut, semacam itu. Katanya disana kampus yang sangat cocok untukku. Tapi aku ingin masuk K University. Kau tahu aku lulus masuk ke Universitas itu karena prestasiku di bidang atletik." Ujarnya sambil meremas seragam KHS yang sebentar lagi akan kami lepaskan. Sejujurnya, aku juga tak mau ia masuk S University. Aku tak mengikuti ujian masuk kampus itu, karena jurusan yang ada di sana tak begitu menarik minatku. Ya, jurusan terbaik mereka itu adalah segalahal yang berhubungan dengan seni tata boga dan fashion. Tapi jika Naruto jadi masuk ke kampus itu, itu artinya aku tak akan sering bertemu dia lagi bukan?

"Tidakkah kau bisa membujuk ibumu? Nanti aku juga akan masuk K University menemanimu, bagaimana?" tawarku padanya yang di sambut tawa sarkastik Naruto yang terdengar mengagumkan di telingaku.

"Dan kita akan bertengkar terus sampai lulu, begitu?" tanya Naruto dengan sebuah senyuman miring di wajahnya.

"Itu kalau kau tidak bosan bertengkar terus denganku." Ku raih pelan kepala pirang Naruto dan mengelus surai pirang lembutnya.

Dengan langkah lunglai aku berjalan memasuki rumah, entah kalau mansion ini pantas di sebut rumah. Tempat ini begitu suram dan kaku, tidak ada kehangatan. Berbeda dengan rumah Naruto yang sudah sering aku kunjungi. Begitu hangat dan damai. Di rumah ini begitu banyak aturan sehingga kau akan merasa akan berada dalam penjara dari pada sebuah rumah. Bahkan Naruto sempat mengatakan bahwa rumahku ini seram, dan tentu saja aku tak dapat menyangkalnya.

Beberapa pelayan berkimono nampak membungkuk hormat padaku dan aku mencoba untuk mengabaikannya, sudah biasa. Segala hal dalam hidupku ini terasa biasa saja bagiku. Ya, semua dalam hidupku terasa datar, mungkin hal ini yang membuat wajahku selalu datar, seperti yang selalu di pertanyakan Naruto tadi. Memikirkan Naruto membuatku melangkahkan kakiku lebih cepat lagi menuju kamarku.

"Kelihatannya kau buru-buru sekali Sasuke" ucap sebuah suara bariton yang sangat aku kenal. Seseorang yang sangat aku hormati, teladanku. Uchiha Itachi kakakku.

"Hn" hanya itu yang aku ucapkan pada aniki ku. Dan melanjutkan langkahku menuju kamar di ikuti oleh anikiku. Sepertinya ia juga baru pulang kuliah, jika di lihat dari tas dan beberapa buku yang saat ini di bawanya.

"Jangan menaruh bukumu di atas ranjangku, baka aniki" ucapku saat ku lihat ia hampir meletakkan buku-buku tebalnya di ranjangku. Gerakannya tiba-tiba dan terkekeh pelan.

"Hai, bocchan" balas Itachi meledekku. Kuraih bantal di hadapanku dan melemparnya pada Itachi. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi sepertinya hal itu kekanak-kanakan sekali.

"Bagaimana, kau akan melanjutkan sekolahmu kemana Sasuke?" tanya aniki sambil memegang bantal yang tadi ku lempar.

"Entahlah, aku akan masuk ke Universitas manapun yang akan di masuki oleh Naruto." Jawabku. Ya, dari semua orang di dunia ini aku selalu menceritakan apapun pada anikiku ini, termasuk soal Naruto.

"Begitu ya. Sepertinya bocah Namikaze itu berhasil menyita perhatian Uchiha Sasuke yang satu ini. Apa kau yakin kau hanya berteman dengannya?" Pertanyaan Itachi yang ini juga bukan hal baru lagi bagiku setiap kali aku bercerita tentang Naruto padanya. Sudah sering ia bertanya, dan aku tidak tahu jawab apa. Aku dan Naruto memang berteman itu faktanya. Tapi benarkah hanya itu?

Seringkali aku berpikir, apakah seorang teman akan memperhatikan temannya secar diam-diam? Mengambil fotonya diam-diam mengoleksi beberapa ekspresi sang teman dan menyimpannya secara tersendiri di Gallery hp dan laptopnya? Atau mencatat segala hal tentang diri temannya dalam sebuah buku? Kurasa tidak. Tapi aku juga masih belum berani untuk mengakui, aku menyukai Naruto pada Uchiha satu ini karena sifatnya yang jahil dan seringkali meledekku. Tak akan butuh waktu lama bagi Itachi untuk meledekku setelah aku bercerita panjang lebar.

"Bukan urusanmu" akhirnya kujawab pertnyaan itu dengan dialog yang sama setiap kali pertanyaan itu terucap.

"Ayolah Sasuke, kau pelit sekali. Aku tahu kau menyukai gadis Namikaze itu" ujar Itachi memohon padaku, sangat out of character. Andai para penggemar pria berambut panjang ini tahu, mereka pasti akan spechless melihat idola mereka memohon dengan wajah kekanakan seperti itu.

"Harusnya ku foto wajahmu dan ku posting di akun media sosialmu, nii-san. Aku yakin, akan sangat menarik membaca komentar netizen melihat wajahmu yang menggelikan itu" mencoba mengabaikan Itachi, kunyalakan laptopku dan mencoba memindahkan foto Naruto yang berhasil ku ambil diam-diam hari ini. Dan seperti biasa, Itachi juga akan ikut duduk disebelahku memerhatikan setiap ekspresi Naruto bersamaku.

"Haha, kejam sekali dia" adalah komentar Itachi saat melihat foto Naruto yang tertawa lebar dengan Hinata dalam rangkulannya. Terlihat gadis itu sudah sangat tidak beraya di hadapannya.

"Lalu ini, kau lihat nii-san. Dia cantik sekali saat rambutnya terbang oleh angin. " ucapku saat melihat foto naruto yang tengah berlari.

"Ah, ini saat dia makan ramen. Cara makannya berantakan sekali. Tapi aku menyukainya. Tidak ada yang ditutup-tutupi, semuanya tingkahnya mengalir seperti apa yang ia suka dan nyaman" komentarku lagi dan itachi nii-san hanya tersenyum menanggapi semua ceritaku.

"Kau tahu aniki, naruto itu sangat menyenangkan bila berada didekatnya. Sayang kau jarang bersama kami, jadi kau tak tahu" ucapku lagi. Berharap kakakku satu-satunya ini tahu, betapa menyenangkannya saat bersama naruto.

Lalu kulanjutkan melihat koleksiku, dan aniki sepertinya sekarang lebih tertarik dengan hanphonenya, mengutak atik sesuatu. Terkadang ku zoom foto naruto sampai batas maximum. Sesekali senyum simpul terukir di wajahku, saat melihat tingkah lucu Naruto yang sempat ku abadikan. Dan tanpa sadar rona merah menjalar dipipiku saat melihat senyuman Naruto yang secerah matahari pagi.

Jepret

Sebuah suara kamera dan tawa memalingkan wajahku dengan tidak rela dari wajah gadis di layar laptopku pada seseorang di sampingku yang bersiap akan kabur dari kamar.

"Baka aniki, apa yang kau lakukan. Serahkan hp mu" bentakku hendak mengejarnya yang sudah berlari dan berada di pintu kamarku.

"Kau manis sekali Sasuke. jarang-jarang aku dapat melihat wajahmu yang seperti ini. Ah, akan aku jadikan walpaper dan avatar di beberapa akun media sosialku" ucapnya sambil berlari yang membuatku semakin geram. Tingkahnya sungguh kekanakan untuk lelaki seusianya. Dia sungguh usil sekali. Aku tak ingin menjadi korban kejahilannya di dunia maya. Cukup di dunia nyata saja ia menjahiliku.

"Ita-" ucapanku terhenti saat kulihat Itachi sudah berhenti berlari dengan seseorang di hadapannya, yang juga membuatku juga berhenti berlari. Wajahku menunduk menghampiri kakakku yang kini dihadiahi tatapan dingin dari laki-laki di hadapannya.

"Jangan lari-lari dirumah, kalian sudah bukan anak-anak lagi" ucap pria itu dingin dan berlalu dari hadapan kami.

"Hai, otou-sama" jawab kami berdua dan kembali ke kamar kami. Melupakan tujuan awal aku mengejar Itachi. Masuk ke dalam kamar dan segera mengganti gakuran yang melekat di tubuhku. Rasanya wajar jika Naruto merasa takut di rumah ini jika ayahku sedingin itu. Berbeda dengan paman minato, ayahnya yang begitu periang namun tegas disaat di perlukan. Kepala keluarga yang sangat bijaksana. Pemimpin yang baik, orang yang baik.

"Sasuke-sama Fugaku-sama meminta anda untuk segera ke ruang keluarga" ucap seorang pelayan setelah mengetuk pintu kamarku tiga kali.

"Hn" jawabku dan si pelayan berlalu seolah mengerti arti kata ambigu yang sudah terlalu sering aku ucapkan. Selalu begitu, jika ada yang ingin di sampaikan ayahku selalu meminta untuk bertemu di ruang keluarga. Terlalu formal rasanya. Kenapa tidak langsung saja menemuiku di kamar dan bicara dengan santai di sini. Ah, tapi kalau dipikir lagi itu juga mengerikan, karena itu sangat tidak ayahku sekali mendadak manis dan santai.

Aku berjalan santai ke ruang keluarga, mengenakan hakama putih yang cukup mudah memakainya. Ku lihat Itachi juga keluar dari kamarnya memakai kimono hitam dengan beberapa awan merah menjadi motifnya. Kami berjalan beriringan tanpa ada satu kata pun terucap dalam perjalanan menuju ruang keluarga. Kulihat di sana sudah duduk ayah dan ibuku yang sedang menuangkan teh dengan sangat anggun untuk ayahku. Dan saat kami sampai dan duduk ibu juga menuangkannya untuk kami. Kami meminum teh itu dengan khidmad dan sesuai tata krama.

"Bagaimana dengan nilaimu Sasuke" tanya ayah tanpa basa-basi. Yah, basa-basi memang bukan keahliannya. Langsung saja kuberitahukan bahwa aku mendapatkan rata-rata tertinggi seangkatan dengan nilai 9,97. Tinggal sedikit lagi untuk mencapai nilai sempurna. Tapi sepertinya ayahku tidak terima, meski kenyataannya nilaiku ini tidak hanya terbaik se angkatan, tapi juga terbaik se Jepang.

"Sasuke" geramnya padaku "apa saja yang kau kerjakan selama ini. Aku memintamu untuk meraih nilai sempurna seperti kakakmu dulu. Apa hal itu saja tak bisa kau penuhi?" tanya ayah kembali membandingkanku dengan Itachi. Aku tahu, kakakku memang pintar, tidak ia jenius. Karena itulah aku berusaha mengejarnya agar aku bisa sejajar dengannya. Agar ayah pun bisa bangga padaku, pada kami berdua. Kulihat Itachi nii-san juga tertunduk. Tangannya bergerak-gerak gelisah entah apa yang sedang di pikirkannya.

"Lihat aku saat aku bicara padamu Uchiha Sasuke. Apa begini sikap yang di ajarkan di sekolahmu pada orang tua?" ucap ayahku tajam dan aku hanya menunduk, tak berani menatap tatapan tajam ayahku di depan sana. Terkadang aku bingung, benarkah pria ini ayahku? Kenapa ia tak pernah puas dengan apapun hasil jerih payahku. Kenapa ia selalu menuntut banyak hal padaku. Apakah ia menyayangiku? Lalu aku teringat ucapan okaasan yang mengatakan bahwa ayah itu sangat menyayangi kami, hanya saja ia terlalu kaku dan tidak bisa menunjukkannya. Dan itu membuatku berfikir, ayah yang aneh. Keluarga yang aneh.

"Sudalah, lalu kemana kau akan melanjutkan sekolahmu Sasuke. ayah memberimu kebebasan padamu untuk memilih, tapi dengan syarat itu adalah sekolah ternama" ayah sudah mulai menurunkan kembali nada suaranya, dan menyesap kembali teh yang ada di hadapannya.

"Itachi, tadi Minato dan aku berbincang mengenai kedekatan keluarga kita dan membahas masa depan perusahaan dan juga keluarga kita. Kami berencana untuk menambah kekuatan ikatan keluarga kita, dan aku dengan Minato berencana menjodohkanmu dengan Naruto, putri Minato" ucapan ayahku bagai petir di siang bolong yang menyentak jantungku. Apa maksud ayah? Apa maksud semua ini? Naruto di jodohkan dengan nii-san? Tanyaku tak percaya yang sayangnya tak mampu ku suarakan pada ayahku.

Benarkah yang aku dengar ini?

TBC

haha, saya nambah FF lagi.. semoga readers sekalian suka FF saya yang ini

mohon tinggalkan jejak ya.