Copyright Mayonice08
2013
Someday in July
Haehyuk
Suatu hari di bulan Juli…
a/n: rewriting. ditulis ulang dengan tambahan beberapa scene.
cerita banyak deskripsinya dan alurnya lambat. Semoga enggak bosan yaa… hoho
.
Part 1
Notice me, memo!
.
.
Donghae memijit pelipisnya yang terasa nyut-nyutan. Sejak tadi kepalanya terasa pening. Seolah dicengkeram erat, ia merasakan kepalanya begitu berat dan sakit. Sungmin―personal asistennya sempat menawarkan obat pereda sakit kepala. Tapi, ia tolak, karena efek samping obat yang kadang disertai kantuk. Ia tak mau, pertemuan penting dengan salah satu kliennya tertunda, karena ia mengantuk saat jam meeting. Donghae pun memilih menahan sakit kepalanya.
Kakinya yang terbalut celana bahan yang didesain oleh desainer ternama. Melangkah pelan. Ia melangkah dengan agak terhuyung ke depan. Donghae memasuki sebuah lift menuju apartemennya yang berada di kawasan pemukiman elite. Ia melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Hampir pukul setengah sepuluh malam. Padahal jam pulang kantor biasanya pukul lima sore. Tapi, Donghae sebagai direktur kantornya tersebut, ia sering pulang terlambat memastikan segala pekerjaan di kantornya berjalan dengan sukses.
Donghae menyandarkan tubuhnya di dinding lift yang kini sedang bergerak. Ia tinggal di lantai delapan di sebuah apartemen elite. Setiap lantai apartemen itu hanya ada dua apartemen saja. Tapi, jangan bayangkan apartemennya sangat luas. Apartemennya berukuran sedang, tapi ada banyak fasilitas khusus yang ditawarkan seperti kolam renang indoor, sauna dan gym center. Sangat menguras kocek saat ia membeli apartemen ini.
Suara 'Ding' diiringi pintu lift yang bergeser terbuka, Donghae mulai melangkahkan kakinya meninggalkan lift. Masih dengan berjalan agak terhuyung, ia menaruh salah satu telapak tangannya di dinding saat berjalan, menyeimbangkan tubuhnya yang semakin lulai dan rasanya ingin jatuh ke lantai.
Pelan-pelan, Donghae sampai di depan pintu apartemennya. Ia menyisipkan kartunya sekaligus memasukan password berbentuk angka tujuh digit, setelahnya pintu apartemennya terbuka.
Donghae buru-buru masuk dan menghambur ke dalam ruang tengah apartemennya. Ia melonggarkan dasinya yang mengalung di lehernya. Donghae masih mengenakan sepatu dan kemeja kerjanya, ia membaringkan tubuhnya begitu saja di sofa. Rasanya begitu nyaman. Kepalanya memang masih sakit, tapi tiduran seperti ini, cukup membuat lelahnya terusir sebentar.
Hampir lima belas menit, tidur-tiduran di sofa. Lelap mulai menguasai Donghae. Kelopak matanya yang daritadi ia pejamkan, semakin terasa berat. Kantuk pun mulai merasuki tubuhnya. Tanpa sadar ia terlelap dan tertidur nyenyak di sofanya.
.
.
Hyukjae menyisipkan kartu kedalam lubang pada pintu di hadapannya. Setelah memasukan beberapa digit angka, Hyukjae menarik knopnya dan membuka pintunya pelan. Ia melepas sepatu yang ia kenakan dan menaruhnya pada rak sepatu di dekat pintu. Lalu, menggantinya dengan sandal selop untuk digunakan di dalam rumah.
Baru berjalan beberapa langkah memasuki ruang tengah. Hyukjae menemukan seseorang tertidur pulas di sofa kecil di depan televisi flat tersebut. Hyukjae mematung di tempat, tangannya menggenggam tas selempangnya dan terdiam mengamati sosok yang tertidur itu.
Bola mata Hyukjae menelusuri wajah sosok itu. Mengamati lelaki dengan rambut hitam kecoklatan yang tertidur terlentang masih mengenakan baju lengkap, tak lupa sepatu yang menggatung di lengan sofa.
Wajahnya rupawan. Garis-garis wajahnya memang tidak tegas, terkesan halus dan lembut. Membuat lelaki itu tampak mempesona. Hyukjae sangat suka menatap bibir merah tipis yang sedang terbuka itu. Membuat sosok itu semakin terlihat manis di mata Hyukjae. Gaya tidurnya bak anak kecil.
Bergerak perlahan, Hyukjae melangkah pelan berharap tak menimbulkan suara dan berlutut di dekat sofa. Hyukjae menaruh tas selempangnya di atas meja. Maniknya bergeser mengamati sepatu kulit berwarnakan hitam di hadapannya. Ia menarik sepatu yang dikenakan lelaki itu, serta melepaskan kaus kakinya. Meletakkan sepatu dan kaus kaki tersebut di kaki sofa.
Hyukjae tak lupa melepaskan dasi yang masih mengalung di leher lelaki itu. Ia menahan nafas, ketika tangan Hyukjae bergerak menuju pertengahan tubuh lelaki tersebut. Jemari Hyukjae jatuh tepat di atas ikat pinggang yang dikenakan si lelaki. Tak ingin terlihat seperti orang cabul. Pelan-pelan, jemari panjang Hyukjae melonggarkan ikat pinggang tersebut. Setelahnya ia menarik ikat pinggang yang masih melekat di celana lelaki tersebut.
Kepala Hyukjae meneleng. Memandang lelaki tersebut. Ia menggelengkan kepalanya bingung, bisa-bisanya lelaki ini tertidur dengan pakain yang masih lengkap. Pasti terasa tak nyaman sekali.
Tanpa sengaja, tangan Hyukjae menyentuh permukaan kulit lelaki itu yang terasa panas. Manik almond Hyukjae pun membesar.
Panas? Apa jangan-jangan … lelaki itu demam?
Mencari tahu, Hyukjae pun meletakkan telapak tangannya di dahi lelaki itu. Ia mengernyit. Memastikan sekali lagi, Hyukjae menggeser duduknya. Mendekat pada lengan sofa. Jemari Hyukjae menepis helaian rambut lembut yang menutupi dahi lelaki itu.
Hyukjae menundukkan kepalanya. Bibir merah mudanya mendekat ke arah kening lelaki tersebut. Hingga bibirnya menempel pada dahi si lelaki, mengecup kening itu agak lama.
Benar saja. Telapak tangan maupun bibirnya terasa panas. Sosok yang tengah tertidur ini benar-benar demam.
Dengan buru-buru, Hyukjae meraih remote untuk mengatur suhu ruangan. Ia melangkah menuju salah satu ruangan di dekat kamar mandi, yang ia yakini adalah ruang kamar tidur. Mengambil selimut besar dan bantal lalu keluar lagi ke arah ruang tengah.
Hyukjae pun berlutut lagi, dan pelan-pelan mengangkat kepala sosok itu, menyusupkan bantal empuk di bawahnya. Saat lelaki itu kembali tertidur, ia merentangkan selimut di atas tubuh lelaki itu.
Hyukjae terdiam sesaat kembali memandangi wajah tampan itu. Terkikik sendiri saat sadar ia tingkah yang ia lakukan seperti seorang fanboy sedang mengagumi seorang idola lelaki yang tampan.
Hyukjae pun bangkit, menuju dapur. Ia mebuka pintu almari es, mencari-cari bahan makanan yang bisa ia gunakan untuk memasak. Hanya ada beberapa potong sayur dan buah segar.
Hm… Ia putuskan untuk membuat bubur sehat, lalu mengupas buah menjadi potongan kecil-kecil. Untuk camilan saat lelaki itu bangun.
Ia mengaduk bubur yang ia buat. Sambil menunggu bubur matang, Hyukjae menilik di kotak P3K yang ada di dekat almari es. Membaca nama obat yang tertera di kemasan, lalu mengambil obat penurun panas. Hyukjae kembali ke dapur untuk mengecek buburnya. Beberapa kali mengaduk, bau bubur yang sedap itu menyeruak ke hidung.
Hyukjae sempat menemukan potongan sosis dan mencincangnya untuk ditambahkan di bubur. Ia menuangkan bubur tersebut di mangkuk putih, terlihat nikmat dan uapnya masih mengepul. Terlihat lezat untuk dimakan. Namun, bubur bukanlah makanan kesukaan Hyukjae. Terlalu lembek baginya.
Ia mengambil nampan, meletakkan mangkuk bubur, sebuah piring dengan potongan buah segar, juga botol obat dan segelas air putih. Ia bergegas kembali ke ruang tengah. Sesampainya di ruangan itu, Hyukjae menaruh nampan pada meja di depan sofa. Ia kembali berlutut di dekat lelaki yang masih tertidur itu.
Pelan-pelan, Hyukjae menggoyangkan bahu sosok itu, agar terbangun. Tak begitu lama, lelaki itu mulai membuka kelopak matanya separuh. Tapi, memejamkannya lagi saat ia merintih sakit. Hyukjae segera melingkarkan lengannya di bahu lelaki itu, ia menarik bantal tersebut. meletakannya vertikal, lalu membantu lelaki tersebut untuk bersender kembali di atas bantal. Posisi tubuh lelaki itu, sekarang agak setengah duduk setelah diganjal oleh bantal yang disiapkan Hyukjae.
"Hai, bangun… makan lalu minum obat," ucapnya lirih.
Lelaki itu kembali mengerang sakit. Tapi, setelahnya kelopak matanya mulai terbuka lagi. Walaupun terlihat jelas kantuk masih menguasainya. Hyukjae bisa melihat kalau lelaki itu kelelahan. Kantung di bawah matanya mulai menghitam, dan kulit wajahnya terlihat pucat.
Hyukjae mengangkat mangkuk bubur. Tak ada cara lain. Terpaksa, ia harus menyuapi lelaki itu. Melihat kondisi tubuh lelaki itu yang sangat lemas.
Ia mengambil satu sendok bubur, meniupnya agar tidak panas. Setelahnya mengarahkan sendok pada bibir tipis yang masih terbuka tersebut. Hyukjae bisa saja memasukan sendoknya tanpa aba-aba kedalam bibir tersebut. Tapi, tak mungkin kan? Lelaki tersebut bisa saja tersedak.
Hyukjae pun kembali bersuara, "Aku suapi, ya…"
Setelah melihat, lelaki itu mengangguk pelan. Hyukjae mulai menyuapkan sendok demi sendok bubur buatannya. Sampai bubur di mangkuk tersebut tinggal sedikit. Ia meraih botol obat, lalu mengeluarkan satu pil berwarna putih hijau. Hyukjae juga meraih gelas air putih di tangannya yang lain.
"Kau harus minum obat. Minumlah, aku bantu," tukasnya.
Tanpa menunggu persetujuan lagi. Hyukjae menyuapkan pil itu lalu mendekatkan pinggiran gelas pada bibir lelaki tersebut. Lelaki itupun meneguk minumnya.
Lelaki tersebut kembali tertidur, setelah Hyukjae membenarkan posisi bantalnya dan menyelimutinya sampai leher. Hyukjae membereskan peralatan makanan yang ada di atas nampan, meninggalkan piring buah tetap di atas meja. Ia kembali kearah dapur. Mencuci peralatan kotor dan mengelap konter dapur sampai bersih.
Kemudian, Hyukjae melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan beberapa ruangan lainnya dengan sedikit suara. Takut jika ia berisik, dia akan menganngu tidur lelaki tersebut. Mulai dari kamar utama, Hyukjae mengambil beberapa kaus yang tergeletak di ranjang dan menaruhnya di keranjang baju kotor. Merapikan baju yang ada di walk in closet .
Hyukjae mencuci pakaian kotor di kamar mandi kering yang terletak di dekat dapur. Sambil menunggu cuciannya selesai, Hyukjae mengambil sapu dan menyapu semua ruangan. Setelahnya kembali membersihkan karpet di ruang tengah dan ruang tamu dengan menghidupkan vacuum cleaner.
Saat semua pekerjaannya selesai, Hyukjae duduk di konter dapur. Meneguk air putih dingin beberapa gelas. Ia cukup lelah, tapi hal ini sudah menjadi aktivitasnya tiap pagi. Ia melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul sepuluh pagi. Masih ada waktu sebentar untuk mampir ke minimarket di dekat apartemen yang berjarak hanya satu blok saja, kembali ke apartemen ini. Lalu ia berjalan kaki untuk pergi ke toko bunga milik sepupunya. Sepertinya ia akan terlambat saat sampai di toko bunga. Tapi, tak apalah. Itu urusan belakangan.
Hyukjae pun menyobek kertas kecil yang menempel di depan kulkas untuk menulis memo. Kebiasaan yang ia lakukan setiap hari. Jari-jarinya yang panjang mulai bergerak di atas kertas.
'Aku keluar sebentar ke minimarket, belanja untuk keperluan dapur. Jika demammu belum turun, pindahlah ke kamar, istirahat lagi. Kalau lapar, di kulkas ada roti kacang dan aku sudah menyiapkan buah di atas meja. Sepulang belanja, aku masakan.
H'
Hyukjae tersenyum simpul memandang tulisannya. Terkesan informal sekali sih, sebenarnya ia bingung.
Haruskah menulis memo yang formal? Selama ini ia memang sering meninggalkan pesan untuk lelaki itu, tapi lelaki itu tak pernah sekalipun membalasnya. Yang Hyukjae tahu, lelaki itu sudah membaca pesannya.
Memandangi kertas memonya sekali lagi, Hyukjae meraih magnet berbentuk ikan nemo dan meletakkan magnet itu di atas kertas, sehingga menempel di pintu almari es.
Hyukjae melangkah ke ruang tengah, lalu mengambil tas selempangnya dan mengenakannya lagi. Kemudian, ia berjalan keluar ruangan. Menuju pintu utama, ia mengganti sandal selopnya dengan sepatunya tadi. Menalikan sepatunya, setelah itu membuka knop pintu dan menghilang di balik pintu. Sambil berharap lelaki yang tertidur di sofa, demamnya segera turun dan membaik.
.
.
Donghae terbangun. Ia merasakan ponsel di celananya bergetar berpuluh-puluh kali. Juga mendengar suara telpon yang bordering di nakas meja dekat ruang tengah apartemennya. Berisik, dering telpon itu sangat berisik.
Masih mengantuk, ia memaksa kelopak matanya terbuka. Mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya berkali-kali. Lalu, menyamankan pandangannya yang buram untuk beradaptasi dengan cahaya yang menyelip di balik gorden apartemennya yang masih tertutup.
Sudah pagi.
Ia segera bangkit dari tidurnya saat menyadari jika pagi sudah datang. Ia merasakan kepalanya berputar-putar sebentar, tapi setelah itu pandangannya lumayan membaik. Rasa sakit di kepalanya sudah menghilang.
Baju yang Donghae kenakan basah. Keringat juga mengucur di wajahnya. Ia sangat gerah. Dan ia melihat selimut tebal di atas tubuhnya. Ia mengenakan selimut di kala musim panas mulai datang? Ah, iya, sejak kapan ia mangambil selimut dan bantal? Lalu, sejak kapan ia melepaskan sepatunya?
Donghae tak ingat melakukannya semalam.
Ponsel di celananya kembali bergetar. Donghae merogoh sakunya dan mengeluarkan iPhone miliknya itu.
Nama Sungmin tertera jelas di layar ponsel. Ia menyentuh simbol panggilan dengan warna hijau dan mulai tersambung dengan Sungmin di seberang line.
"Ah akhirnya kau mengangkat telponku…" gerutu Sungmin.
Donghae menggumam tak jelas, menunggu Sungmin untuk bicara.
"Boss, apa kau datang ke kantor? Pukul dua siang, ada rapat dengan klien dari Jepang. Semenjak pagi, kau tidak muncul ke kantor. Aku sangat khawatir, aku menelpon berkali-kali tapi tak satupun panggilan yang kau angkat,"Sungmin berujar cepat.
Donghae mendengus pelan.
"Ini pukul berapa?" tanyanya dengan suara masih parau.
Mendengar itu, bola mata Sungmin membesar di seberang line. Sungmin bisa menyipulkan jika Bossnya sedang tak baik-baik saja. Sungmin menduga-duga, sakit kepalanya kemarin bisa jadi salah satu penyebabnya.
"Jam satu lebih sebelas menit Boss, apa kau sakit Boss?" tanyanya khawatir. Meski Donghae terkesan agak kaku, dia merupakan atasan yang baik. Jadi, Sungmin sudah menganggapnya sebagai teman meski hubungan mereka terkesan agak formal. Tapi, tak apalah. Donghae tipikal orang yang sangat tertutup.
"Hubungi klien secepatnya. Katakan pada mereka pertemuannya diundur sampai tiga puluh menit. Persiapkan saja berkas dan perlengkapan untuk pertemuan ini. Aku akan segera bergegas ke kantor," titah Donghae.
Sungmin mengangguk manut. Ia tahu, jika atasannya sedang tak baik-baik saja, tapi Lee Donghae tetaplah Lee Donghae. Pekerjaan adalah nomor satu, bahkan kesehatan akan menjadi urutan kesekian baginya.
"Siap, aku akan mengaturnya Boss," sahut Sungmin cepat.
Donghae mengangguk, lalu menutup telpon. Ia mulai bagkit dari sofa. Tubuhnya gerah dan terasa lengket. Mandi menjadi pilihan yang palik menarik saat ini. Mengingat matahari di luar sana sedang tinggi-tingginya, dan musim panas yang datang membuat suhu sangat terasa panas dan gerah.
Donghae bergegas ke kamar mandi pribadinya yang terletak di dalam kamarnya. Setelah menanggalkan bajunya, ia berdiri di bawah shower. Mengucur tubuh telanjangnya dengan air dingin. Sangat segar. Ia menggosok tubuhnya dengan sabun, dan menuangkan shampoo lalu mengusapnya di rambut pendeknya. Selama seperempat jam, Donghae sibuk mendinginkan tubuhnya di bawah shower.
Selesai mandi, Donghae keluar dari kamar mandi mengenakan bathrobe dan berjalan ke arah walk in closet-nya yang telah rapi kembali. Donghae memilih kemeja polos berwarna krem dan celana kain panjang berwarna hitam. Dipadukan dengan jas yang ia comot sekenanya.
Setelah selesai mengenakan pakaian dan merapikan rambutnya. Donghae berdiri di depan kaca yang ada di tengah walk in closet. Mengamati pantulan dirinya yang tampak mempesona. Meski agak kaku dan tertutup, Donghae tetaplah lelaki yang suka dengan keindahan. Jadi, melihat dirinya tampil menarik sangat menjadi prioritas utamanya. Apalagi saat akan ada acara penting dengan kliennya.
Sebagai sentuhan terakhir, Donghae menyemprotkan parfum mahalnya ke sisi leher dan pergelangan tangannya.
Donghae keluar dari kamarnya membawa tas kerjanya. Donghae melangkah lagi menuju dapur. Perutnya terasa kosong. Ia butuh asupan makanan. Mencari sesuatu untuk dimakan. Kali saja ada.
Saat dia berada di depan lemari pendingin. Ia melirik memo, tepatnya dua buah memo yang tertempel di pintu kulkas. Beberapa hari belakangan, pada pintu kulkas Donghae selalu ada memo yang menempel. Donghae tak heran dengan hal itu.
Donghae membacanya sekilas.
'Aku keluar sebentar ke minimarket, belanja untuk keperluan dapur. Jika demammu belum turun, pindahlah ke kamar, istirahat lagi. Kalau lapar, di kulkas ada roti kacang dan aku sudah menyiapkan buah di atas meja. Sepulang belanja, aku masakan.
H '
Tulisan salah satu memo. Sedang masih ada satu memo di sampingnya.
'Barang-barang belanjaan sudah aku masukan ke dalam kulkas. Buah yang tadi aku taruh di atas meja sudah tak segar. Aku kupaskan yang baru, kutaruh di kotak makanan. Cari saja di rak nomor tiga. Di meja makan, aku buatkan sandwich daging tuna. Jangan lupa dimakan dan minum vitamin yang kusiapkan. Aku sudah mengecek kondisi tubuhmu, demammu sudah turun. Syukurlah. Istirahatlah.
H'
Orang itu bisa membuat Donghae tersentuh. Perhatian kecil yang ia berikan. Bahkan, sosok asing yang tak Donghae kenal mengingatkan dirinya untuk istirahat, tak lupa makan dan menyiapkan vitamin untuknya?
Tanpa sadar, senyuman terulas di bibir Donghae. Ia tahu sekarang. Jadi, yang melepaskan sepatunya, menyelimuti tubuhnya dan merawatnya adalah orang itu. Donghae harus berterima kasih pada orang itu. Mungkin nanti, setelah pulang atau besok kalau bertemu dengan orang itu.
Donghae merogoh dompetnya yang ada di saku celananya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan ia masukan ke dalam kertas lalu ia tempelkan di pintu kulkas dengan bantuan dua magnet agar tak jatuh. Sebagai uang ganti dari belanja untuk mengisi bahan-bahan di kulas.
Donghae melirik kertas yang tertempel untuk menulis memo. Ia menyobeknya satu lembar. Untuk kali ini. Ia begitu tertarik untuk membalas memo-memo tersebut.
'Terimakasih telah merawatku, dan ini uang ganti untuk belanja. D'
Sangat singkat. Berbeda dengan memo yang ditujukan kepadanya. Tapi, ini Donghae lho yang membalas. Jadi, hal ini bisa dikatakan merupakan hal yang wah. Karena Donghae jarang bersosialisasi dengan orang lain, kecuali ia terpaksa melakukannya. Donghae melakukan hal yang menurutnya konyol―menulis memo dan membalasnya menurutnya adalah konyol― ini merupakan kemajuan(?) entah di bidang apa kemajuannya.
Memonya sudah tertempel. Dengan magnet berbentuk buah strawberry. Sudut bibir Donghae mengulas senyum simpul lagi.
Donghae membuka kulkas, lalu merundukkan tubuhnya untuk mencari kotak makanan berisi potongan buah. Ia meraih kotak makanan berwarna hijau muda, menaruhnya di atas konter dapur. Donghae melirik jus kemasan dan mengambil gelas bersih untuk meneguk jusnya.
Donghae berjalan ke meja makan, mencomot dua tangkup sandwich, mrngunyahnya cepat. Maniknya melirik botol vitamin yang ada di samping piring sandwich. Donghae mengambil satu butir vitamin, ia menelan vitamin tersebut dan meminum jusnya kembali.
Jemari Donghae tak lupa meraih kotak makanan itu untuk ia bawa di genggamannya. Sepertinya buah dalam kotak itu terasa lezat, bisa Donghae santap saat perjalanan ke kantor.
Ia kembali memandang kotak makanan berwarna hijau tersebut. Senyum tipis terulas di bibirnya. Donghae memang tak pernah bertemu langsung dengan orang itu, tapi ia berharap cepat atau lambat, pertemuannya akan segera terjadi.
.
.
TBC
.
.
Ini REWRITING! Sempat saya publish di akun fb dulu. Terus saya hapus. Sekarang saya publish lagi XD
Ini adalah 4shoot yang sudah complete. Berminat lanjutannya?
