Wanita berambut hitam panjang itu terus berlari menembus hujan salju tanpa menoleh ke belakang sama sekali, ia tidak peduli beberapa kali kakinya terantuk akar pohon, ia terus berlari, dan memegangi pinggangnya yang terus mengeluarkan darah.

"IZUNA!"

Suara teriakan pria di belakangnya tidak ia acuhkan, karena ia tahu, kalau ia berhenti, maka kematian menunggunya. Izuna terus berlari hingga tanpa sadar, salju yang ia pijak longsor, dan ia terguling ke jurang kecil. Tubuhnya kini telentang tanpa daya di antara tumpukan dahan-dahan yang mengering.

"OHOK!" Izuna terbatuk, dan mulutnya mengeluarkan darah segar, begitu banyak, sampai lidahnya terasa sangat getir.

"IZUNA! JANGAN BERGERAK!"

Suara pria itu. Lagipula, Izuna sudah tidak dapat bergerak lagi. Ia kehabisan sangat banyak darah, dan sekarang ia terkapar kedinginan. Sebentar lagi mungkin ia akan kehilangan nyawanya, karena pria itu adalah rival abadinya, tentu saja ia menginginkan Izuna mati. Kini lelaki pucat itu berdiri di hadapannya, dan berjongkok memegangi belakang kepalanya.

"Ya Tuhan, Kawarama! Ambilkan kantung penghangat itu! Taruh di lehernya!"

"Ya, kak Tobirama."

"Itama! Kau jangan pingsan! Ambilkan gunting! Aku akan memakaikan perban di lukanya!"

"I..iya kak."

"Izuna! Izuna—astaga...!"

Izuna kehilangan kesadarannya dan bola mata hitam itu terbalik. Tubuhnya mengejang hebat di pelukan Tobirama. Lelaki pucat itu kemudian mengumpulkan chakra biru di tangannya yang ia salurkan ke bagian perut Izuna sampai Izuna berhenti kejang. Tobirama memang bukan seorang medic-nin, tapi setidaknya, chakra darinya akan membantu Izuna bertahan sampai mereka mendapatkan pertolongan.

"Kawarama, berapa jauh kita dari markas?" Lelaki pucat itu meletakkan jarinya di hidung Izuna, memastikan Izuna masih bernafas.

"Dua kilometer kak, tapi dengan kondisi hujan salju."

"Persetan dengan hujan salju. Kau lari duluan, tunjukkan arah untuk kita."

"Siap kak!"

Dengan itu, Tobirama menggendong Izuna dengan kedua tangan. Membopongnya jelas tidak mungkin. Kedua adiknya membantunya naik dari jurang kecil yang licin itu, dan membawakan semua bawaannya.

Tiga orang lelaki itu berlari, berlomba dengan waktu membawa wanita itu kembali ke markas Senju, klan mereka. Tobirama merasakan detak jantung Izuna semakin melemah, karenanya ia memaksa dirinya berlari lebih cepat, walaupun ia sendiri mulai kelelahan dan kedinginan. Tobirama bisa saja memakai teknik Hiraishin nya, tapi apakah chakranya cukup untuk menghangatkan tubuh Izuna? Otak jeniusnya telah tertutup hujan salju, dan berpikir pun ia sudah tak mampu.

"KAK! MARKAS DI DEPAN MATA!"

"PANGGIL PENJAGA DAN NINJA MEDIS, ITAMA!"

Ninja Medis bergegas membawa wanita di gendongan Tobirama dengan tandu. Tobirama mengikuti mereka, tanpa peduli dengan tangannya yang masih penuh dengan darah Izuna. Tubuh wanita itu sudah tidak berbeda dengan mayat, begitu pucat dan dingin, tapi terakhir Tobirama menggendongnya, ia masih bernafas walaupun sangat pendek dan hanya satu-satu saja.

Seorang ajudan mendekati pria pucat itu. "Tuan Tobirama, anda dipanggil oleh Nona Hashirama."

"Aku akan ke sana segera." Tobirama melihat Izuna yang dibawa menjauh, dan berbalik untuk pergi ke ruangan Hashirama, kakaknya.